Disclaimer: All Harry Potter Universe is J.K. Rowling's

Warning: tahun ke-6, OoC (maybe), gaje, DLDR


RED, WHITE,

and

GOLD!


Chapter 2

"'Mione!"

"Banguuun,"

"Psssht, sudahlah, tinggalkan saja dia,"

"Diam kau Lavender! 'Mione?"

Hermione mengerjapkan sebelah mata. Cahaya menusuk bola matanya, membuatnya segera menutupnya lagi. Mengernyit, ia menggosok-gosokkan tangannya ke kedua matanya, lalu sambil menguap ia membukanya.

Yang pertama ia tangkap adalah bayangan sesuatu yang merah, dan setelah mengucek beberapa kali, Hermione memandang tepat ke mata cokelat Ginny. Ia menoleh ke kiri dan kanan, teringat kalau ia masih berada di kamarnya. Dilihatnya dari sudut matanya Lavender mendengus dan menutup pintu di belakangnya. Ia menguap lebar sebelum berkata dengan nada mengantuk.

"Ginny? Mmh... jam berapa seka—hoaaahm—... rang?" tanyanya di sela-sela kuapannya.

Gadis berambut merah itu berkacak pinggang, "Tidak penting sekarang jam berapa—yang pasti kau sudah ketinggalan sarapan! Bahkan kemarin kau tidak makan malam... kukira kau capek sekali, sampai ketiduran memakai seragam." ia menunjuk tubuh Hermione yang memang benar—masih terbalut rompi abu-abu tua dengan blus lengan panjang putih menyembul di baliknya. Ia mendesah melihat wajah Hermione yang tampak masih mencerna apa yang terjadi.

"Sayang sekali lho, kau tidak ikut makan malam. Kemarin para juri yang akan mengawasi Quidditch sudah tiba. Tapi sebetulnya yang datang hanya satu sih... sama seorang lagi dari Kementrian sepertinya. Juri satu lagi akan mengawas di Durmstrang, kurasa itu aturan dari mereka atau apa, entahlah," menyadari ia berceloteh sendiri, Ginny kembali memfokuskan pada Hermione. "Kau kenapa sih? Dari sejak kapan ya—kau terlihat sibuk terus. Setiap kali aku melihatmu kau seperti orang stres,"candanya.

Melihat Hermione yang masih saja tidak menanggapinya, Ginny beranjak menuju meja, dan kembali dengan setumpuk pakaian. Mata cokelat Hermione berputar menatap Ginny yang berjalan mondar mandir, kepalanya masih terasa berat.

"Nih!" Ginny menaruh tumpukan seragam, jubah, dan kaus kaki ke tempat tidur Hermione. "Aku sudah menyiapkannya. Jaga-jaga saja, siapa tahu kau belum bangun saat aku kembali—eh, ternyata malah benar," katanya santai sambil turut menjatuhkan diri ke kasur, membuat ia sedikit terlompat, diikuti dengan seragam Hermione yang ikut melambung. Cepat-cepat menangkap seluruh pakaian tadi, Ginny nyengir.

Hermione mengerang sedikit, kepalanya pusing dan menyakitkan, tapi ia memusatkan seluruh energinya dan menyingkap selimut, bangkit perlahan-lahan. Begitu ujung kakinya menyentuh lantai, sekujur tubuhnya terasa lemas, tangannya buru-buru menggapai tiang tempat tidurnya. Ia meringis.

"Hei, hei," tegur Ginny khawatir. Ia beranjak berdiri, menangkap sebelah tangan Hermione dan menuntunnya untuk duduk di kasur. "Kau tidak apa-apa?"

"Aku baik-baik saja," Hermione membalas, menampilkan senyuman untuk meyakinkan Ginny. Lebih berhati-hati ia berdiri, sejenak ia menyeimbangkan posisinya yang limbung.

"Kalau kau benar-benar capek, kau izin saja," gadis berambut merah itu terus memaksa, tidak percaya dengan kata-kata dan gerakan tubuh Hermione yang mencoba meyakinkannya. "Profesor McGonagall pasti akan mengerti."

Hermione kembali mengibaskan tangannya, seolah itu hal yang remeh. "Sudahlah, kau terlalu melebih-lebihkan. Aku baik-baik saja, yah hanya sedikit pusing dan kelaparan," ia mencoba untuk bergurau.

Ginny langsung berkata tegas, "Kalau begitu ayo cepat berganti baju! Kau tidak perlu mandi—dan jangan protes. Kau tidak terlalu bau kok," ia nyengir, "lagipula kelihatannya kau juga terlalu lemas untuk menggenggam gagang shower. Kalau kau cepat-cepat, kita bisa menyelinap ke dapur dan mendapat beberapa sandwich... atau mungkin kita bisa kembali ke Aula Besar, sebenarnya sarapan juga belum habis. Aku saja yang ke sini duluan."

"Hm," kata Hermione akhirnya, ia berjalan ke ujung kamar dan mengambil sisir, "kau juga menyeret Lavender ke sini?"

"Ah, dia," Ginny berkata dengan sedikit sebal, "alasan saja. Sebenarnya dia cuma mau dandan lagi. Ugh! Aku mulai muak dengannya, kalau kau mau tahu,"

"Lalu kenapa kau terus jalan bersamanya? Belakangan ini kulihat kalian tambah dekat,"

"Itu sih bukan aku yang mendekatinya, tapi dia. Kelihatan benar, tahu! Ia cuma mendekati aku karena dia menyukai Ron. Psssh, tolong deh. Dia kira dia bisa membuat Ron jatuh cinta padanya dengan mendekati adiknya, begitu?" Ginny mencibir, "sori deh."

Hermione tersenyum sekilas. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau Lavender Brown menyimpan rasa pada Ron. Setiap hari ia berada terus di dekat mereka—Ron, Harry, dan dirinya, selalu terlihat kira-kira beberapa jarak di belakang mereka atau di samping mereka. Setiap kali Ron menoleh padanya, Lavender langsung menyunggingkan senyum menggoda dan terkikik perlahan. Di kelas-kelas pun Hermione akan menangkap Lavender mengerling pada Ron, walau Ron menghiraukannya. Hermione memutar bola mata, jelas-jelas gadis itu tidak menyerah bahkan saat ia tahu kalau Ron dan Hermione berkencan.

Dengan cepat, ia mengganti seragam yang menempel di tubuhnya dengan seragam baru yang masih wangi. Ia sedikit bergerak menuju belakang lemari, karena walaupun ia sudah sering berganti pakaian di depan para cewek, tetap saja ada bagian yang merasa... uhm, malu. Apalagi setelah ia lihat pantulan tubuhnya di cermin. Rasanya... biasa saja, ketimbang Lavender yang tubuhnya berlekuk atau Parvati yang langsing. Merasa sedikit minder, Hermione buru-buru menyisir rambut ikalnya dan menggumamkan mantra untuk membersihkan tubuhnya.

Merasa sedikit lebih fresh, ia mengemasi tas yang menyimpan buku-bukunya, telinganya masih mendengarkan celotehan Ginny.

"—walaupun aku masih sedikit kesal dengan tingkah Ron yang terlalu protektif. Untung saja ia tidak kelewat marah dengan Harry. Tapi aku masih harus berterima kasih padamu lho, 'Mione, karena sudah—"

"—menjodohkanmu dengan Harry musim panas ini. Ya, ya, ya, aku sudah bosan mendengarnya," Hermione tertawa kecil, "benar deh, Ginny, kau tidak usah berterima kasih padaku! Yang kulakukan juga hanya menceramahi Harry untuk 'membuka hatinya' dan..."

"Yeah, tapi ceramahanmu itu benar-benar manjur dan masuk ke otaknya!" potong Ginny, "coba bayangkan, kalau ia tidak juga membuat 'gerakan' padaku waktu itu, mungkin aku sudah menerima ajakan Dean untuk balikan."

Hermione mencangklongkan tasnya di pundak sambil membuat gestur untuk segera keluar, "Dean Thomas? Memangnya kalian pernah pacaran?"

Ginny berdiri sembari merapikan seragamnya, ikut berjalan keluar dari kamar. Setelah berlari kecil menuruni tangga, dan mendapati Ruang Rekreasi hampir kosong, mereka buru-buru melompat keluar lukisan.

"Well," mulai Ginny sambil berjalan cepat, deru napasnya ikut terdengar, "kami sempat kencan di minggu terakhir kunjungan Hogsmeade," lalu dengan pipi yang sedikit memerah ia menambahkan, "lalu kami bertambah dekat dan... yah, begitulah."

"'Yah begitulah'?" Hermione tertawa, "jadi kalian hanya kencan sekali dan 'jadian' selama minggu terakhir sekolah, lalu... sudah? Selesai semua?"

"Kuakui minggu-minggu itu cukup menyenangkan. Tapi aku memutuskannya, dengan alasan pertama, ia terlalu protektif. Sama saja; sudah cukup Ron saja yang begitu. Untung Fred dan George sudah lulus, bayangkan saja bagaimana jadinya kalau ada tiga kakak protektif ditambah Dean. Serasa di kerangkeng," keluhnya, "dan kedua, well aku masih... uhm, menyukaiHarrybegitulah," serunya cepat.

Hermione hanya mengangguk-angguk saja dan membiarkan seulas senyum muncul di bibirnya. Langkah-langkah mereka bergerak semakin cepat menyusuri lorong-lorong kastil yang semakin bertambah murid-muridnya. Ini berarti para murid sudah hampir semua selesai sarapan dan sedang bergerak menuju kelas masing-masing. Mereka menghentikan pembicaraan dan mempercepat laju mereka, menembus kerumunan orang yang berdesakkan.

Setelah sampai di depan lukisan semangkuk buah-buahan dan menggelitiki buah pirnya, mereka memanjat masuk, disambut oleh tiga peri-rumah yang dengan ceria langsung menawarkan sepiring kue bluberi. Hermione menyanggupinya dan cepat-cepat menghabiskan kuenya sampai remah terakhir, sementara Ginny hanya duduk sambil minum jus labu yang ditawari seorang peri-rumah tua.

Belum pernah Hermione merasa selapar ini. Nafsu makannya bertambah pesat begitu melihat makanan, dan ia segera melahap kue kedua dengan lapar. Ia jadi teringat penyebab semua ini.

Yap, hari ini tepat tiga hari sejak pertemuannya dengan Malfoy, di mana perjanjian konyolnya itu berlangsung. Sejak itu ia mengasingkan diri sejenak dari Ron dan Harry, dan mungkin yang lainnya juga, sibuk memikirkan apa yang bakal mereka lakukan jika melihat ia mendukung Slytherin. Lalu ia juga sudah pusing teringat janji satunya lagi dengan Moon, adik kelasnya yang terus merongrongnya untuk bekerja sama. Alhasil beberapa hari ini ia mengurung diri di perpustakaan, mencari bahan untuk presentasi 'Pemandu Sorak' di rapat prefek berikutnya. Beberapa kali juga ia menghabiskan waktu untuk membicarakannya dengan Moon. Malamnya, ia sudah tak ingat untuk makan lagi karena benaknya langsung terisi dengan setumpuk tugas Arithmancy dan Rune-kuno. Dan saat tidur? Ck, bukannya bisa beristirahat, ia malah bermimpi Ron dan Harry jatuh dari sapu mereka melongo, melihatnya memekikkan yel-yel: 'Draco hebat! Draco hebat! Paling jago di angkasa! Draco hebat! Draco hebat! Gooooooooo Draco!'

Oh, Merlin. Hermione hanya bisa mengeluh saat penatnya sudah mulai hilang. Ia menenggak habis sepiala jus labu.

Semoga saja semua presentasi cheers itu cepat beres.

.

.

Seminggu setelahnya, Hermione merasa lebih baik.

Setiap hari, ia selalu dikontrol makannya oleh Ginny—ia sangat berterima kasih padanya—yang mengharuskannya untuk sarapan, makan siang, dan makan malam dengan porsi yang gila-gilaan. Ia juga diharuskan tidur tepat jam 10, setelah semua tugas selesai—yang dikerjakan bareng Ginny. Pagi-pagi bangun jam setengah 6, dengan pemanasan tubuh konyol yang diperintahkan dengan tegas oleh gadis Weasley itu.

Yah, sudahlah. Yang penting sekarang ia merasa jauh lebih fit, lebih sehat, lebih cemerlang. Pelajaran dan tugas pun sudah ia kerjakan dengan segera tanpa sekalipun menembus batas waktu jam 10. Bahkan presentasi dan segalanya yang perlu disiapkan untuk rapat prefek nanti sudah lengkap. Dan ia pun berhasil untuk sementara waktu menghindar dari Draco.

Argh, jujur saja, pengaruh Draco pada dirinya benar-benar parah. Sudah semua mimpinya terisi dengan dia menyeringai sambil meluncur di atas sapunya, hampir setiap ia lengah sedikit dan pikirannya kosong, selalu ia yang muncul dengan seringaian menyebalkannya itu. Tapi bukan namanya Hermione Granger kalau tidak bisa mengusir semua itu. Ia sudah terlalu sibuk dan setiap sel otaknya ia gunakan untuk mengatur jadwal padatnya tiap hari, sehingga tak ada waktu untuk mengurusi atau pun memikirkan perjanjian itu.

Seperti hari ini, sekarang ia tengah duduk mencatat tugas Profesor Flitwick di kelas Mantra, menghiraukan sekitarnya, termasuk Ron yang tampak bosan mencatat malas-malasan di samping kirinya dan Harry yang malah baru mulai mengeluarkan perkamennya di samping kanannya.

Ruangan kelas itu memang bentuknya sedikit aneh, makanya kursi-kursi dan mejanya pun disusun melingkar dan memanjang. Satu deretan bisa memuat sekitar 7 anak, itulah mengapa Hermione bisa duduk di tengah Ron dan Harry.

Profesor Flitwick berdiri di atas tumpukan buku yang disusun hingga tingginya sejajar dengan deretan ketiga kursi para murid, membuat beberapa anak kagum karena ia tidak jatuh-jatuh juga. Suara riangnya memecahkan keheningan yang hanya dipenuhi suara goresan tinta, "Baiklah, anak-anak! Jangan lupa untuk mengumpulkannya paling lambat dua minggu lagi. Ingat, dua minggu. Lebih cepat lebih baik," katanya, bersamaan dengan suara bel berdering.

"Oke, semua! Pelajaran selesai! Selamat istirahat," serunya, sembari melompat dan menghilang di balik mejanya.

Kelas pun dipenuhi suara para murid yang ribut berkemas. Beberapa masih sibuk mencatat dengan kecepatan tinggi, seperti Harry. Ron dan Hermione yang masing-masing sudah selesai, beranjak turun dari deretan pertama kursi mereka. Mereka berjalan keluar kelas tanpa bicara, ikut menembus murid-murid yang ingin cepat keluar.

Sesampainya di luar, Ron meraih lengan Hermione, menariknya agar cepat ke sampingnya agar tidak terdorong murid di belakangnya. Hermione sedikit terkejut, sebelum ikut berjalan ke samping kelas. Mereka memutuskan untuk menunggu Harry di sini saja.

Hermione memandang kerumunan murid yang keluar secara bersamaan dan menuruni tangga putar dalam diam. Ia bisa merasakan Ron memandanginya. Diam-diam ia merasa tidak nyaman dengan keheningan canggung ini.

Setelah beberapa detik—yang terasa seperti menit, Hermione baru menyadari bahwa tangan Ron masih menggenggam lengannya. Dengan lembut, ia melepaskannya. Ron juga terlihat kaget, buru-buru menggunakan jari-jarinya untuk membetulkan kerah seragamnya—yang sebenarnya tidak kenapa-kenapa. Saat itulah Hermione melihat kilauan kecil dari jari Ron. Mata cokelatnya menangkap sekilas sebuah cincin dengan kilasan garis cokelat keemasan sebelum tangan Ron kembali ke posisi semula, dengan jarinya tersembunyi di balik jubahnya.

Sebelum ia menanyakannya, Harry sudah keluar. Di sampingnya terlihat Ernie Macmillan—kelihatannya ia juga telat menyalin catatan.

"...jangan lupa." sayup-sayup suara Ernie terdengar, sebelum ia menghilang menuruni tangga.

"Jangan lupa apa?" tanya Hermione, lega dengan kedatangan Harry.

Yang ditanya hanya mengacak rambutnya, matanya menghindar dari tatapan Hermione. "Bukan apa-apa," katanya cepat, "hanya tugas."

Hermione menaikkan alis, "Benarkah? Kelihatannya..."

"Tidak, dia hanya mengusulkan untuk bekerja sama dengan tugas barusan," sela Harry. Ia maju ke pinggir tangga, "Dia bilang Hannah Abbott jago Mantra, makanya dia nawarin untuk belajar bersama."

"Kau kan bisa belajar denganku," tuntut Hermione. Ia ikut berjalan menuruni tangga, Ron mengikuti di belakangnya.

Harry memindahkan mata hijaunya ke Hermione, "Maksudku bukan merendahkan kemampuanmu, 'Mione. Hanya saja... kau kelihatan capek belakangan ini, makanya aku tidak ingin membebanimu,"

"Oh, omong kosong," bantah Hermione, langkah-langkahnya tak sengaja ia hentakkan, "aku baik-baik saja. Ginny mengontrol kegiatanku, dan sampai sekarang aku sangat sehat, dan sangat kuat untuk mengajari kalian Mantra—atau apapun itu."

"Mate, kau belakangan ini sering hang-out dengan Hufflepuff, eh?" tukas Ron, membuat Hermione hampir menjatuhkan buku-bukunya; lupa kalau masih ada Ron di belakangnya.

Harry tidak menoleh, ia meneruskan jalannya memutari tangga. "Yeah, mereka lumayan." katanya.

Ron hanya balas bergumam tak jelas, sebelum keheningan kembali melanda mereka. Setelah beberapa anak tangga tanpa bicara, Hermione memutuskan untuk memecahnya.

"Aku teringat kejadian tadi, di kelas Ramuan," ia berkata, mata cokelatnya mengerling ke atas; kebiasaannya saat mengingat kejadian lama, "Snape dengan ramuanmu yang meledak," ia melanjutkan, kalimatnya ia tujukan pada Ron.

Harry memecah sebuah senyum-setengah-seringai, "Yeah, benar-benar kejadian tak terlupakan. Aku tidak akan melupakan kejadian tadi seumur hidupku. Snape, dengan ledakan hitam di wajahnya dan rambutnya terangkat berdiri?" ia berdecak geli.

Ron membalas senyuman-setengah-seringai itu, terlihat bangga dengan dirinya sendiri. "Yah, walaupun dengan balasan detensi dan pemotongan poin yang... entahlah berapa banyak, demi melihat wajah Snape yang seperti itu..." Ron terkikik menahan geli.

Gadis berambut cokelat itu menyelesaikan putaran terakhir tangga, menjejakkan kakinya di lantai batu. Mata cokelatnya menatap Ron yang terakhir menuruni tangga, sorotnya terlihat penasaran, "Sebenarnya apa yang kau masukkan ke dalam ramuanmu Ron?" tanyanya.

"Tidak terlalu penting, sebenarnya. Sepertinya aku hanya salah memasukkan batu anu dengan batu anu." sahutnya ringan.

Mereka kembali berjalan. Hermione tidak tahan untuk nyerocos, "Honestly, Ronald, kau kan bisa lebih berhati-hati lain kali, dan bukannya meledakkan ramuan tepat di depan Snape. Tapi... jujur saja, wajahnya menggelikan sekali," ia mengakhiri, bersamaan dengan dua yang lain terkikik.

"Oh ya, ngomong-ngomong, bagaimana kemajuan latihannya?" tanya Hermione.

Harry menjawab tenang, "Begitulah... susah susah gampang," guraunya. "Pertandingan awal semakin dekat, dan menurut perkiraanku yang maju duluan adalah kita dan Ravenclaw."

"Aku tidak begitu mengerti sebenarnya. Aturannya gimana sih?" tanya Ron setelah terlepas dari kikikkannya.

"Begini, karena tim asrama kita kan ada empat, makanya kita perlu saling bertanding. Seperti biasa saja, kayak tahun lalu. Ravenclaw lawan kita... Kita lawan Hufflepuff... Mereka saling tanding... lalu sama Slytherin. Pokoknya begitu, sampai akhirnya tersisa dua asrama dan bertanding. Kalau tahun-tahun biasa, asrama yang menang bakal dapat piala asrama kan? Kalau sekarang, asrama yang menang dapat izin menjadi kapten untuk satu Hogwarts. Nantinya dia yang akan mengatur strateginya melawan Durmstrang, begini begitu, dia juga bisa merekrut anggota dari asrama lain, karena intinya kan Hogwarts lawan Durmstrang, bukan hanya satu asrama saja. Jadi kalau ditotal, akan ada 6 pertandingan lawan asrama, satu pertandingan akhir untuk menentukan Kapten Hogwarts, lalu satu babak pertama dan satu babak final." jelas Harry panjang lebar.

"Kalau begitu... waktunya akan dipersempit, bukan?"

"Ya. Kalau biasanya, 7 pertandingan itu kan rentang jaraknya bisa berbulan-bulan. Kalau sekarang, karena ada 9 pertandingan sekaligus, pastinya 7 pertandingan yang diadakan di sini hanya akan berjarak beberapa minggu dengan pertandingan selanjutnya."

Hermione mengangguk mengerti. Kalau begini... kira-kira akan ada 6 pertandingan yang harus ia dukung sebagai cheerleader. Itu pula kalau tim Gryffindor—dan Slytherin, Hermione berpikir sebal, menang atau sampai ke akhir pertandingan asrama. Dan ia pun tidak tahu juga apabila para cheerleader harus ikut ke Durmstrang untuk mendukung Hogwarts saat mereka bertanding di sana. Ah! Tapi, apa yang ia pikirkan sih? Bahkan presentasi saja belum.

...ya ampun.

"Ron!" desis Hermione, "rapat Prefek!"

"O iya!" Ron menepok dahinya, matanya membelalak.

"Jangan 'o iya' saja dong!" Hermione menarik lengan Ron, hatinya sudah mulai panik. "Ayo!"

Ron langsung bergumam tidak jelas, sebelum akhirnya mengucapkan selamat tinggal pada Harry—diikuti Hermione, kemudian keduanya berlari panik menuju ruang rapat Prefek. Tolol! Kenapa mereka berdua bisa lupa!

Dalam hati, Hermione berdoa agar kertas-kertas dan segala tetek bengek presentasi itu ada di tasnya. Dan bagaikan tersiram air dingin, jari-jarinya menemukan kertas-kertas familiar itu tertekuk di selipan salah satu bukunya. Sudah lebih lega, ia terus berlari, menghiraukan posisinya yang kini menjadi yang ditarik, bukan yang menarik lagi. Pergelangannya terasa sakit digenggam kencang oleh Ron, dan kakinya mulai berdenyut-denyut. Ia merutuk dirinya sendiri dalam hati.

Semoga semuanya lancar...


Hermione sudah bisa bernapas lega.

Akhirnya! benaknya bersorak gembira. Akhirnya semuanya selesai juga.

Entah ini atas dasar keberuntungan atau apa, tapi yang pasti kedua Ketua Murid setuju dengan ide Moon! Mereka bilang ide itu bagus, dan tampaknya tidak akan terlalu susah juga. Ketua Murid Putri yang berdarah-campuran, sangat tertarik dengan ide itu, dan ia pun meminta izin pada Moon untuk ikut serta mengurusnya. Hermione, jujur saja sangat lega.

Yang ajaib adalah, rapat berjalan lancar, dan Malfoy—malah mendukungnya. Tentunya bukan dengan kata-kata, "Oh ya itu ide bagus!". Tch, itu akan sangat menggelikan. Ia tidak menginterupsi, hanya terkadang bertanya untuk lebih jelas, dan saat ditanya apakah ia setuju atau tidak, ia hanya berkata "Terserah". Saat anggota asramanya hendak protes, ia hanya menutup mata dengan gaya masa bodoh. Ya sudahlah. Yang penting mereka setuju, dan Slytherin pun mau berpartisipasi (walau Hermione yakin itu karena tak ada yang berani melawan Draco).

Yang sekarang mereka akan lakukan, setelah meminta perizinan Dumbledore—yang sudah diberikan juga—adalah pengurusan seleksi. Tentunya tidak semua gadis Hogwarts akan menari-nari, bukan? Maka itu, Ketua Murid Putri dan Moon akan mendiskusikannya, di mana Hermione terkadang disuruh ikut untuk menyumbangkan ide. Pada akhirnya, disepakati kalau akan ada tiga tes untuk penyeleksian.

Tahap pertama adalah membuat poster. Semua itu sih sudah selesai, dan sudah dibagikan ke masing-masing prefek. Hermione sudah sibuk menempelkan kertas mengilap di papan pengunguman di Ruang Rekreasi ketika segerombolan cewek menyerbunya.

"Hei, hei! Sabar sebentar!" serunya kewalahan. Ia melambaikan tongkatnya, menaikkan kertas pendaftaran yang sekarang melayang menuju papan.

Tapi cewek-cewek itu tidak sabaran. Segera setelah Hermione keluar dari desakan mereka, mulai lagi dari atas tangga; cewek-cewek penasaran. Dengan cepat, Hermione minggir, menyediakan tempat yang cukup luas agar mereka tidak berdesakkan membabi buta seperti itu. Ia memutar bola mata.

"Tentang apaan sih?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di sebelahnya.

Hermione menoleh, sedikit terperanjat. Lalu ia mulai rileks lagi setelah mengetahui siapa yang mengagetkannya itu.

"Cheerleaders. Kau tahu kan?" balasnya, mengalihkan perhatian lagi ke kerumunan cewek-cewek itu.

Harry mengangguk. Ia menjatuhkan diri di atas sofa yang paling dekat dengan perapian. "Pernah lihat di majalah Dudley," katanya sambil mendengus. "Majalah Playboy. Kau tahu kan, model-model dengan pose seperti 'itu', memakai baju pemandu sorak."

Sambil memutar bola mata jijik, Hermione bersandar di dinding perapian, mengamati kretek api yang berlompatan. Panasnya terasa hangat di tempatnya berdiri.

"Yeah. Well... kau belum kuberitahu ya?" mata Harry menatap Hermione dengan pandangan bertanya. "Untuk Quidditch nanti, akan ada pemandu sorak," sambung Hermione.

"Kau serius?" mata hijau brilian Harry membesar tak percaya.

"He eh."

"Feh," Harry menyenderkan kepalanya ke sofa, matanya berputar menatap papan pengunguman yang masih saja diributin oleh cewek-cewek itu. Pekikan dan kikikkan terdengar jelas. "Aku tidak pernah menyangka ada orang yang mengusulkan ide seperti itu."

"Moon yang mengusulkannya," Hermione menjawab, tidak begitu tertarik lagi membahasnya.

"Siapa?"

"Moon." ulangnya. "Setahun di bawah kita, Hufflepuff."

"Ah."

"Aku kaget mengetahui kau belum mengenalnya, Harry," kata Hermione, "kau kan sering main ke sana bukan?"

"Yeah... aku tidak terlalu memerhatikan," katanya malas, "lagipula aku hanya ke Ruang Rekreasi mereka sekali. Selebihnya hanya di luar,"

Hermione mengangguk mengerti. Ia memandangi lagi pergerakan api yang melompat-lompat di perapian, bunyi keretakan kayu terdengar. Sesaat, ia melirik ke papan pengunguman, ternyata para cewek itu sudah berkurang. Tapi kalau ia memicingkan mata, terlihat kertas pendaftaran cheers sudah terisi oleh tanda tangan nama-nama mereka.

Ia berdeham kecil. Mata cokelatnya berkali-kali melirik antara kertas pendaftaran dengan sofa yang diduduki Harry.

Bersamaan dengan itu, Harry bangkit berdiri. Ia terlihat meringis kalau dilihat dari dekat, tapi Hermione tidak terlalu yakin. Harry memindahkan tatapannya pada Hermione.

"Aku mau keluar dulu," katanya, "aku harus membicarakan sesuatu dengan... er, Madam Hooch," ia terlihat bingung dengan kata-katanya sendiri. Lalu ia mengangguk, "Ya, er... untuk membicarakan Quidditch. Kau tahulah..."

"Oke, oke," Hermione tertawa kecil. Sejenak ia merasa tidak yakin.

"Hei, Harry?" panggilnya.

Harry yang sudah berjalan menuju pintu lukisan menoleh. Rambut hitamnya terlihat mencuat dan lebih berantakan.

"Yeah?"

Hermione terdiam sejenak. Ia menggeleng, "Tidak. Tidak apa-apa."

"O-ke," ia bergumam gugup sebelum memanjat lukisan. Sayup-sayup suaranya terdengar, "Sampai nanti, 'Mione."

"Sampai nanti," balas Hermione pelan. Ia merasa aneh. Ah, bukan. Ia merasa Harry aneh.

Sudahlah, pikirnya. Mungkin ia memang ada masalah atau apa.

Ruang Rekreasi sudah lebih tenang dari sebelumnya. Beberapa masih duduk di atas sofa, atau berkumpul di salah satu meja, mengerubungi permainan catur terbaru. Suasana terasa hangat sekali.

Tapi Hermione menggigil. Mungkin karena memang sudah musim gugur—tapi kini ia berada di dalam ruangan. Aneh. Ia memutuskan untuk menghiraukannya saja dan merapatkan jubah hitam Hogwarts yang biasa. Mata cokelatnya kembali melirik ke papan pengunguman.

Sudah tak ada orang yang berada di situ. Kebanyakan mungkin sudah selesai menulis nama mereka dan kembali ke kamar atau keluar. Lagipula sekarang memang jam istirahat, kebanyakan bagi tahun ke-6, jam segini adalah waktu bebas untuk mengerjakan tugas. Makanya, relatif banyak yang bersantai di sini.

Mengawasi anak-anak cowok bermain Gobstones dan beberapa yang lain menyibuki diri sendiri dengan perkamen masing-masing, Hermione menghampiri sofa. Ia membuka tas cokelatnya yang tergeletak di situ, mengambil sebuah pena bertinta khusus. Memastikan ada cukup tinta di dalamnya, ia berjalan mendekat ke papan pengunguman. Lagi-lagi ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, dan setelah cukup yakin tak ada yang memerhatikan dirinya, ia mengangkat kepala.

Poster mengilap kuning bergliter dengan gambar dua orang pemandu sorak sedang bergerak lincah—kaki masing-masing terangkat dan tangan mereka mengangkat pom-pom, bibir mereka bergerak, terlihat seperti sedang meneriakkan yel-yel—dengan tulisan keemasan besar-besar terpampang di depannya. Khusus para CEWEK! tulisnya, INGIN BERPARTISIPASI DENGAN TURNAMEN QUIDDITCH? DAFTAR SEBAGAI PEMANDU SORAK! dijamin : perhatian khusus dari cowok-cowok Quidditch bagi kalian yang mengikutinya! dan juga, 'untuk kaum cewek seperti kita, dijamin akan mendapat kencan dengan para anggota Quidditch. Ingat girls, daya tarik dan pesona kita tak akan terkalahkan! Ikut sekarang; pendaftaran 3 sickle masing-masing orang.

Hermione menggeleng-gelengkan kepala. Ia tahu kalau Moon yang mendesain poster ini. Menurutnya, lumayan juga. Karena kebanyakan sekarang para cewek lebih mementingkan dandan dan cowok. Dan pastinya, jika ikut pemandu sorak, para cowok akan mulai memerhatikan kita.

Ia menelan ludah.

Malfoy brengsek. rutuknya. Menggertakkan gigi kesal, Hermione mengulurkan tangannya, dan menggenggam erat penanya.

Tanda tangan Hermione Granger tergores sempurna di bagian bawah kertas.


Lavender Brown menganggap dirinya sempurna.

Oh, tentu saja, tidak ada manusia yang sempurna. Tapi ia tetap suka kata itu. Sempurna, ha, terlihat seperti... hmm... bagaimana ya? Seperti ia adalah seorang yang berbeda, yang paling menarik, yang tak ada cacat sekalipun.

Tapi Lav tahu kalau ia jauh dari kata itu. Yeah. Ah... tapi tak ada salahnya kan berharap? Berkhayal, menjadi gadis paling cantik di Hogwarts, dengan kemampuan yang membuat para profesor—bahkan Snape—ternganga. Selalu mendapat O di kertas tes dan tugasnya. Lalu, ke manapun ia berjalan, semua orang akan minggir; mempersilakannya. Diperlakukan spesial.

Oh... indahnya berkhayal.

Well! Sayang sekali ia tidak seperti itu. Ia tidak sepintar Granger, si sok tahu yang memang selalu mendapat nilai O. Ia tidak terlalu dekat dengan cowok-cowok, tidak seperti Granger—lagi-lagi, atau Parkinson, yang dengan beruntungnya dekat dengan si ganteng Draco Malfoy. Oh, please. Ia tidak repot-repot menyembunyikan kalau ia menganggap Malfoy sangat tampan. Orang bego mana sih yang tidak berpikiran sama? Kalau menurutnya, Malfoy adalah wujud dari sempurna. Hmm... keluarga yang tak hanya kaya, terhormat, juga darah-murni, lalu fisiknya yang jelas jauh di atas rata-rata, kemudian auranya yang dingin dan misterius, juga kepintarannya yang lumayan, dan ia berada di Slytherin, demi Merlin. Itu berarti dia termasuk bad-boy, kriteria cowok yang paling bikin meleleh.

Bisa disimpulkan kalau Malfoy berderajat tinggi, dan tidak bisa diraih.

Walaupun Lav sendiri adalah darah-murni, hubungan keluarganya dengan keluarga Malfoy cukup jauh. Yeah, sekali ia pernah melihat sang kepala keluarga Malfoy berada di ruangan yang sama dengan keluarganya—saat pesta. Tapi entahlah, itu pula keluarga Brown hanya sekali mengunjungi pesta seperti itu, karena masih berhubungan dengan Kementrian. Itu pun saat Lavender masih kecil.

Tapi masa bodoh soal status darah. Ia tidak begitu peduli dengan itu.

Yang ia pedulikan sekarang adalah... masalah cewek biasa: cowok dan penampilan.

Ya, ya, ya, terserah. Tapi tak bisa dielakkan bukan, kalau ia cewek, dan ingin menarik perhatian orang lain? Salahkan hormon-hormon yang sudah mulai berkembang ini.

Penampilan. Itu merupakan salah satu hal terpenting bagi Lav. Sampai saat ini, ia baru lumayan puas dengan seluruh penampilannya. Rambutnya yang pirang ikal sudah ia panjangkan hingga sepunggung, dan matanya ia perjelas dan besarkan menggunakan eye-liner. Tak lupa untuk menambahkan aksen 'menggemaskan', blush-on pink di pipinya yang sedikit tembam. Lipstik juga ia pakai, agar membuat orang lain tergoda.

Tapi yang bikin kesal adalah tubuhnya. Ia ingin diet. Sudah 4 hari berturut-turut ia makan seperti sapi gila. Entahlah, nafsu makannya benar-benar tak bisa dikontrol. Jadilah ia bertekad untuk mogok makan, agar bisa kembali ke bentuk tubuh yang sebelumnya.

Grrrrhh... coba ia bisa seperti Granger. Jelas sekali badannya proporsional, ideal. Lav tahu kalau Granger bisa makan apapun tanpa gemuk nantinya. Rasanya ingin ia cabik-cabik. Padahal ia, sudah diet dan mogok makan pun hanya berkurang satu kilo! Yang ada malah nambah lagi. Arrggh, padahal Lav perlu tubuh yang sempurna untuk menarik perhatian Ron.

Yap, ke topik kedua alias cowok.

Cowok yang menggaet hatinya adalah Ronald Weasley, seseorang yang sangat cute dan menggemaskan. Apalagi di awal tahun ini, ia lihat Ron sudah berkembang menjadi seorang cowok tampan. Ia juga memiliki senyum yang sangaaat amaaat mempesona...

Dan juga, ia ikut Quidditch. Oh, inilah satu alasan kenapa ia berada di sini. Kalau ia berada di sini, ia bisa mendukung Ron saat ia bertanding!

Pertanyaannya, di sini itu di mana? Jelas di Aula Besar, tempat penyeleksian pemandu sorak diadakan.

Lav tidak begitu yakin kalau yang sekarang dilakukan itu penyeleksian. Yang ada hanya sebuah layar sihir dengan gambar bergerak di dalamnya, katanya sih contoh gerakan cheers. Ada banyak gadis di layar itu, masing-masing menggunakan baju dan rok mini ketat dengan warna-warna mencolok. Mereka membawa sebuah benda berbulu di tangan, dilambai-lambaikan. Rambut mereka—yang kebanyakan pirang—diikat satu dan bergoyang-goyang saat mereka melompat. Lalu satu persatu dari mereka membentuk sebuah segitiga, kemudian satu orang melompat dan dinaikkan ke paling atas, dan dari yang Lav lihat; yang paling atas itu yang paling cantik.

Aku harus menjadi yang paling atas. Lav mengulang dalam hati. Aku harus menjadi yang paling atas. Harus.

Selama 30 menit gambar itu bergerak, kemudian saat yel-yel terakhir diteriakkan, layarnya padam.

Lav mengedipkan mata, ia menoleh ke Ketua Murid Putri yang duduk di samping kiri layar.

"Itulah gerakan dan tarian cheers dari dunia Muggle," katanya pada akhirnya.

Dengungan terdengar di seisi Aula Besar.

"Kelihatannya keren ya," bisik Parvati dari samping kanannya. Lavender mengangguk setuju.

"Tapi... sepertinya susah," bisik Lavender balik, terdengar cemas.

Parvati mengibaskan tangannya, "Gerakannya kayaknya gampang kok. Hanya perlu melenturkan tubuh,"

Lavender menahan untuk tidak mendengus. Gampang untuk Parvati. Dia dan Padma kan tubuhnya sangat lentur, mereka pernah bercerita tentang tarian dan dansa yang mereka pelajari sebelum masuk Hogwarts. Dari apa yang Lav ketahui, mereka juga jago melakukan gerakan-gerakan seperti yang di layar itu, seperti jungkir-balik, rolling, dan lainnya.

"Untuk masuk ke tim cheers, harus bisa menguasai gerakan-gerakan tadi. Seperti saat layar pertama kali ditayangkan, itulah gerakan basic. Stamina dan energi diperlukan di sini. Latihan-latihan kita pun tidak akan sembarangan," kata sang Ketua Murid Putri lagi.

"Tapi... kalau di lapangan, kita akan melakukannya di mana?" tanya seorang gadis berambut cokelat madu—sepertinya dari Ravenclaw.

"Dumbledore sudah menyediakan panggung kecil yang tingginya setara dengan panggung penonton—mungkin sedikit lebih rendah. Akan ada satu di tiap sisi asrama, jadi jika kau Ravenclaw, panggungmu berada di sebelah sisi Ravenclaw," jelasnya.

Yang lain mengangguk-angguk , terlihat tertarik.

Sang Ketua Murid melanjutkan kembali, "Dan jangan lupa salah satu kriteria yang dicantumkan di poster: minimal nilai Mantra-nya harus A. Kenapa? Karena kita akan melakukan gaya berbeda untuk cheers ini. Kalian harus bisa mengeluarkan semburat merah, kuning, hijau, dan biru dari tongkat kalian, dan lainnya. Nantinya akan kita pilih satu kapten untuk satu asrama."

Bisik-bisik mulai terdengar lagi. Mulai ada yang panik. Mereka sepertinya tidak terlalu membaca isi poster dari papan pengunguman. Lavender menghela napas lega, untung saja ia lumayan dalam Mantra—yah, nilainya pas A sih. Matanya melirik gadis yang duduk sendiri di ujung. Granger.

Ngapain sih dia ikut? pikirnya, setengah jengkel setengah penasaran. Lalu sebuah pikiran muncul di kepala Lavender, membuatnya melotot horor. Jangan-jangan ia ingin mendukung Ronnie!

Lavender tahu, oh ia sangat tahu kalau Hermione Granger berkencan dengan Ron. Tapi mereka tidak kelihatan sedang berkencan ataupun pacaran kok! Lagipula, tak ada pernyataan khusus kalau mereka pacaran kan? Berarti ia masih bisa mendekati Ron. Semuanya sah-sah saja.

Ia baru sadar kalau bengong ketika sekelompok cewek beranjak keluar. Ada juga yang mengacungkan tangannya dan ikut bergabung ke kelompok itu. Lavender menyikut Parvati, berbisik, "Ada apaan sih?"

"Nggak," balas Parvati tanpa menoleh, "Ketua Murid bilang kalau sekarang boleh mundur, seandainya kau tak kuat menjalani gerakan-gerakan seperti tadi. Atau ada alasan lain, entahlah. Tapi yang pasti aku akan bertahan. Kelihatannya seru sih!" ia terkikik sebelum menatap wajah Lavender. "Kau mau mengundurkan diri tidak?"

Jawaban dalam hati Lav pastinya tidaakk! tapi sekarang ia tidak begitu yakin. Apa ia bisa menjalani semua itu? Apa tubuhnya 'cukup' dan masuk kriterianya? Apa ia punya stamina yang kuat? Ia kan tidak begitu ahli di bidang ini.

Lav memikirkannya baik-baik. Kalau ia ikut, ia tidak yakin bisa mengikuti gerakannya dan lain-lain. Tapi... kalau tidak ikut, ia barangkali akan menyesal seumur hidupnya, ditambah ia tak bisa mendukung Ronnie!

Jujur saja, ia tidak begitu pede. Yeah, mungkin dalam Mantra ia lumayan. Tapi dalam gerakan dan lainnya sama sekali nol. Tak ada pengalaman apapun. Ia kan tidak seperti Parvati dan Padma yang punya pengalaman menari dan dansa. Ia juga bukan kelahiran-Muggle yang pastinya tahu banyak mengenai cheers. Hhh... ini benar-benar berat, ia mengeluh dalam hati. Tampaknya Parvati masih menunggu jawabannya, sementara ada beberapa anak lagi yang keluar dari Aula. Lavender bertekad dalam hati. Ya, ini keputusannya.

Aku tidak akan mundur. AKU AKAN MENDUKUNG RONNIE DENGAN SEPENUH HATI!

Seisi Aula terdiam.

Lavender tersenyum lebar. Napasnya menderu. Ia menoleh, menatap Paravati yang hanya melongo menatapnya. Senyumnya menghilang.

"Apa?" tanyanya mulai dongkol ketika Parvati masih berada dalam posisi yang sama.

"Kau..."

Lavender membeku. Ia melayangkan pandangan ke sekelilingnya, masih dalam diam, Ketua Murid Putri tampak tersenyum geli, Granger menatapnya aneh, dan yang lainnya hanya bengong memandangnya.

"Oh tidak," gumamnya. Matanya membesar saat menoleh ke Parvati, "Aku mengatakannya keras-keras ya...?" ia berbisik, dalam hati ia memohon agar itu tidak benar.

Parvati mengangguk perlahan.

Lavender merasa pipinya memanas. Pasti sudah merah sekali sekarang. Ia meringis kecil pada orang-orang yang masih saja menatapnya. Kebanyakan yang lain hanya mendengus kecil sambil tertawa, ataupun seperti Parkinson yang memutar bola matanya dan mendesis, "Please deh," dengan sinis.

Setelah beberapa menit memalukan itu, seisi Aula hening lagi. Hanya ada satu dua suara yang entah mau menanyakan sesuatu atau mau mengundurkan diri. Akhirnya, saat dua orang terakhir keluar, sang Ketua Murid Putri membuka mulut.

"Baiklah. Jika sudah tak ada lagi, maka diputuskan kalian yang masih berada di sini akan mengikuti seleksi kedua," tepuk tangan terdengar. Ketua Murid Putri tersenyum sejenak sebelum melanjutkan, "Seleksi kedua akan diadakan di sini juga, dua hari lagi pada jam yang sama. Kalian," katanya mengedarkan pandangan, "akan melakukan berbagai gerakan basic. Jadi jangan lupa memakai celana yang tidak terlalu longgar, dengan kaus bebas. Apapun yang membuat kalian bisa bergerak leluasa,"

Berbagai anggukan terlihat. Sang Ketua Murid berkata, "Oke. Karena sudah tak ada pertanyaan, kalian boleh kembali ke asrama,"

Para murid perempuan segera bangkit dari tempat duduknya, bergiliran untuk keluar dari Aula. Lavender berdiri, merapikan sejenak seragamnya, kemudian ikut berjalan bersama Parvati dan Padma. Sekilas matanya menangkap Granger sedang berbicara dengan seorang gadis mungil yang kelihatannya tak lebih dari 14 tahun, dengan rambutnya yang cokelat madu pendek. Mata Lavender memicing, tekadnya sudah bulat.

Ini adalah kompetisi. pikirnya panas. Dan aku yang akan memenangkannya.

Dan dengan itu, ia melangkah keluar dengan dagu terangkat.

.

.

.

Hermione menghela napas lelah. Sekarang sudah habis makan malam, di mana ia menyantap makanannya bersama Ginny, sementara Ron dan Harry menghilang. Mungkin mereka sibuk membicarakan Quidditch atau apa. Tapi kan Ginny juga anggota tim, berarti mungkin ada persoalan lain.

Jujur saja, hubungan trio itu mulai sedikit merenggang. Jadwal Hermione yang beda dari Ron dan Harry mendukung fakta itu. Mereka tampak sibuk sendiri.

Tadi sore adalah seleksi pertama untuk pemandu sorak. Ide penyeleksian itu dari Hermione, menyarankan agar para murid Hogwarts diperkenalkan dulu dengan cheerleader. Semuanya berjalan lancar, ia kira. Tentunya bukan termasuk suara melengking Lavender.

Haaah, kalau mengingat hal itu membuat Hermione gondok. Tapi ya sudahlah, itu kan hak orang untuk menyukai siapa dengan siapa. Tapi tetap saja kan! dirinya yang cemburuan memprotes.

Hermione memutuskan untuk tidak terlalu blak-blakan memperlihatkan hubungannya dengan Ron. Walaupun kelihatannya berita itu sudah tersebar—buktinya adalah Draco Malfoy yang mengetahuinya juga, bahkan mengancamnya dengan itu.

Ia menggelengkan kepala lagi, mengusir gambar Malfoy yang entah mengapa terus menerus hinggap di kepalanya. Dongkol, ia memutuskan untuk memikirkan hal lain saja. Seperti... pelajaran. Ya. Atau tentang pemandu sorak. Tapi hal itu malah membuatnya teringat dengan janji konyolnya. Hmm... pikirkan tentang Quidditch! Tentang... snitch... tentang Quaffle yang terlempar-lempar di udara... tentang firebolt... tentang Malfo—GAAAH!

Gadis berambut cokelat itu menghela napas lagi untuk kesekian kalinya. Ia menenteng buku-buku bersampul kulit yang baru ia pinjam dari perpustakaan. Ia berjanji akan menemui Ginny nanti—katanya gadis itu akan curhat lagi dengannya. Hermione berjalan semakin cepat—sekarang sudah jam setengah sepuluh.

Ia melintasi koridor-koridor familiar dari perpustakaan. Ia sudah hafal jalan pintas menuju asrama Gryffindor, yaitu melewati lorong-lorong yang lebih kecil ini.

Dengan cepat, ia melintasi belokan tajam yang biasa, menuju sebuah lorong baru. Cahaya dari obor-obor yang tertempel di dinding semakin meredup, menandakan untuk cepat masuk ke asrama masing-masing. Hampir jam malam.

Tapi sebenarnya Hermione tidak perlu khawatir ketahuan Filch, karena ia kan Prefek. Bilang saja kalau sedang patroli, nah beres. Tapi Hermione tidak suka berbohong, makanya ia ingin cepat-cepat saja. Langkah-langkah kakinya menjadi satu-satunya yang terdengar, bergema di lorong itu. Bagian yang ia lewati memang jarang ada orang, kebanyakan tidak tahu ada jalan ini. Tapi Hermione tahu kalau ada sebagian yang memang sengaja memanfaatkan kesepian itu untuk... bermesraan. Di sekeliling sini memang lumayan banyak terdapat lemari sapu—spot yang pas sekali.

Hermione berbelok lagi, belokan tajam. Dari sini harusnya ia tinggal ke lurus, kemudian keluar dari lorong itu dan ke kiri, lurus terus sampai ke lukisan si Nyonya Gemuk. Tapi ia berhenti. Napasnya tercekat.

Obor terakhir yang menerangi sudut itu sudah redup, hampir padam—menyisakan nyala api kecil yang menari-nari. Sudut itu terdapat sebuah jendela kaca, di mana sampingnya ada lemari sapu kecil. Hermione ingat jelas; ini salah satu spot bermesraan yang paling sering dipakai.

Tanpa sadar, Hermione menahan napas. Ia tidak ingin mengganggu privasi orang lain... ia hendak berjalan pelan-pelan saja agar tidak ketahuan pasangan yang sedang berciuman di sudut itu.

Ia melirik mereka. Tidak begitu kelihatan karena kurangnya cahaya. Hanya sekilas. Mata cokelat Hermione membelalak, tubuh gadis yang sedang berciuman itu jelas terlihat—dengan rambut hitamnya yang panjang. Dia Parkinson.

Tapi bukan itu yang membuat jantung Hermione berdegup keras sekali. Justru pasangan cewek itu—wajah dan tubuhnya tidak terlihat, sudah terhalang pintu lemari sapu. Bayangan mereka ikut masuk ke dalamnya, dengan Pansy menutup pintu itu hingga berdebam. Tapi sekilas, ya—hanya sekilas. Tangan kanan cowok itu yang terjulur di rambut Pansy—beberapa detik sebelum pintu menutup, adalah cincin dengan garis keemasan.

Cincin yang Hermione jelas lihat di jemari seseorang beberapa hari lalu.

Kaki Hermione terasa lemas. Degupan jantungnya begitu keras, matanya masih menatap tak percaya.

Tak mungkin.

Kenapa...?

Mata cokelatnya mengerjap sesaat, sebelum ia mengangkat kepalanya. Tepat di depannya, sosok berambut pirang platinum menatapnya tanpa bicara. Mata sosok itu abu-abu, menatapnya dingin.

Lagi-lagi, napas Hermione tersangkut di tenggorokan.

Ia tahu—Malfoy juga menyaksikan kejadian barusan. Ia juga tahu, kalau Malfoy tahu pasti siapa orang 'itu'. Hermione hanya bisa semakin lemas. Mata Malfoy berkilat, seakan mengejeknya dan berkata: 'kalau kau ingin aku tutup mulut, kerjakan apa yang aku perintahkan. Karena sekarang aku punya dua hal yang membuatmu tak bisa menolak perintahku.'

Dalam hati Hermione mengutuk. Ia mencoba menghiraukan rasa sakit yang membuatnya sesak. Kalau sudah begini, mau bagaimana lagi? Yang bisa ia lakukan hanyalah mengikuti perintah Draco, untuk melindungi rahasianya sendiri dan reputasi Ron. Apa yang akan terjadi kalau sampai ketahuan Ron mencium seorang Slytherin...?

Jubah Malfoy tampak mendekat. Di kegelapan itu, tanpa ada seorang pun dari mereka yang repot-repot mengeluarkan tongkat, ia mendekat. Wajahnya putih pucat, napasnya membuat tengkuk Hermione merinding.

"Granger," bisiknya halus, suaranya sedingin es. Hermione mematung. Darahnya seakan berhenti seketika.

Hening.

"Kupegang janjimu."

Dan secepat ia datang, kelebatan jubah hitamnya menghilang. Hanya cahaya api yang menari-nari di kegelapan mengantar Hermione menuju kesadarannya.

tbc


(A/n)

Gak puas sama chap ini. Hayaah, kepanjangan ya? Abisan ini harus ngebut berapa bulan sebelom masuk ke pertandingan yang pertama. Btw, si Draco aja baru nongol sekali. Huehe.. maap m(_._)m

Thanks buat semua yang udah review di chapter kemaren. Makasih banyak *hug*

Mohon reviewnya yaa~~ *nawarin tumpeng* wkwkw