Author Notes: Oh iya, sebelumnya, maaf banget… Fic Kousai yang belum ada sehari author publish, terpaksa author hapus, karena ternyata masih banyak typo, dan ceritanya masih plain banget,emosinya gak sampai, padahal cerita dasarnya jauh di luar itu sebenarnya *akibat gak mau nahan nafsu, sih* terus dapet banyak protes soal Sasusaku juga XD *hehehehe, author tahan dulu ceritanya dan mau dirombak dulu habis-habisan

Jadinya, author ganti sama cerita ini deh yang lebih mateng, SasuHina lagi. Jadi penggemar SasuGaara, eh, maksudnya penggemar GaaHina :p harus bersabar dikit lagi, soalnya Fic Kousai-nya masih sangat mengecewakan banget, maaf banget ya… ditunda dulu sampai From Y To Y selesai *yang masih 12 chapter lagi padahal, hehehehe*

Ya udah, langsung aja :) selamat menikmati fic ini


Summary:

Sewaktu Naruto menikah dengan Sakura Haruno, Hinata didera patah hati yang luar biasa. Jadi, ketika seorang Uchiha Sasuke yang dingin dan kaku melamarnya secara tiba-tiba, tidak ada salahnya untuk menerima lamaran pernikahan itu, kan?


Saihate

by: Aya Kohaku

Disclaimer: I'm not claiming any ownership from Naruto series


Chapter 1

Denting garpu. Hiruk pikuk perbincangan. Gelas-gelas yang terus terisi penuh. Gelak tawa yang berganti. Wangi pekat wine bercampur aroma mawar putih yang menyeruak. Aroma kue cokelat yang menguar. Suara piano mengalun lembut, memperdengarkan Piano Sonata No. 14 in C minor karya Beethoven, atau yang biasa lebih dikenal sebagai Moonlight Sonata, ke penjuru ruangan. Kaki-kaki para tamu serentak mulai sibuk berdansa, mengikuti alunan musik yang mendayu. Lalu ada suara tawa lagi, kali ini lebih keras, terdengar ringan di udara.

Sebuah pesta pernikahan yang meriah.

Dan di sanalah dia, di tengah pesta itu, di sanalah Hyuuga Hinata sedang berdiri resah, kepala tertunduk, dan tangannya sibuk memainkan tepian gaun warna kremnya yang halus. Gaun panjang tanpa lengan keluaran Terani Couture itu melekat di tubuhnya yang langsing, senada dengan kulitnya yang putih dan terlihat kontras dengan rambut violet tuanya yang dibiarkan tergerai sampai pinggang. Riasannya yang minimalis semakin menonjolkan bola mata Hyuuga perak-lavendernya. Ia terlihat luar biasa cantik malam itu, seperti nymph yang tersesat di bumi.

Tapi Hinata Hyuuga tidak senang.

Ia tidak senang sama sekali akan kenyataan itu.

"Hinata, apa kau tidak ingin memberiku sebuah pelukan?"

Dan wanita inilah penyebabnya.

"Te-tentu saja ti-tidak, Sakura," senyuman pahit tersungging di bibir Hinata. Agak terpaksa, ia membalikkan badannya demi memeluk gadis berambut merah muda yang entah sejak kapan sudah berdiri manis di sebelahnya. Dadanya sesak ketika memeluk gadis itu, merasa terhianati. Rasanya, ingin sekali Hinata menamparnya, atau menumpahkan minuman di gaun pengantinnya, tapi ia tidak bisa. Hinata tidak bisa melakukannya. Hatinya terasa semakin sakit saat wanita yang dia panggil Sakura itu mengeratkan pelukan di antara mereka.

Hinata tidak bisa membencinya, gadis ini, wanita merah muda ini.

Sakura Haruno.

Hinata tidak bisa membencinya.

"Tenten dan Neji benar-benar tidak bisa datang, ya?" tanya Sakura sesaat setelah melepaskan pelukannya.

"Begitulah, Tenten-chan belum pulih benar setelah melahirkan kemarin malam, dan Neji-nii terlalu khawatir akan keadaan istri dan anaknya. Ah, ya, mereka titip salam untukmu dan," Hinata sungguh tidak mau menyebutkan nama itu, tapi ia sadar, ia tidak boleh menunjukkannya terang-terangan, "da-dan Na-Naru-Naruto," lagi, Hinata menyunggingkan senyuman pahitnya, lalu berhenti sejenak untuk memikirkan apa yang akan dia ucapkan selanjutnya, "ka-kau terlihat cantik, Sakura."

Tawa renyah keluar dari bibir Sakura. "Kau harus mengatakannya untuk dirimu sendiri, Hinata. Kau tahu, kau menawan sekali malam ini."

Tapi, andai saja Sakura tahu, bagi Hinata, pujian itu sudah tidak ada artinya lagi.

Hinata sudah tidak peduli lagi.

"Haaah, Ino dan Shikamaru tidak lama lagi juga akan mendapat momongan, kandungan Ino sudah mencapai usia tujuh bulan sekarang. Aku sudah tidak sabar untuk menyusul Ino dan Tenten," Sakura tersenyum lebar, bola mata emeraldnya bergemerlap, "kau kapan akan menikah, Hinata?"

Nah, itu, sebuah pertanyaan sederhana, yang benar-benar tidak ingin Hinata dengar saat ini.

Kapan dia akan menikah, katanya?

Oh, bukankah seharusnya Sakura bertanya, kapan Hinata sanggup menyembuhkan luka hatinya yang mungkin tidak akan pernah tertutup akibat pernikahan Sakura dan Na… Naru─ ah! Hinata bahkan sudah tidak sanggup menyebutkan nama laki-laki itu lagi.

Laki-laki yang selalu dicintainya selama ini.

"A-aku ti-tidak tahu, Sakura, mu-mungkin masih… la-lama."

Atau mungkin aku tidak akan pernah menikah, lanjut Hinata dalam hati.

"Kau sudah dua puluh tiga tahun, Hinata," Sakura berkacak pinggang, "ayolah, banyak laki-laki yang mau denganmu, tapi selalu kau tolak. Lihat, kau sangat cantik, dan seksi," senyuman jahil tertera di wajah Sakura, "kadang aku iri denganmu, Hinata. Naruto pernah bilang, badanku rata seperti anak laki-laki. Ahaha, aneh rasanya, kami yang tak pernah akur, malah berakhir menjadi sepasang suami istri begini."

Hentikan, sudah, hentikan. Jangan bicarakan laki-laki itu lagi. Jangan buat ingatan Hinata melayang pada rambut pirang yang menyala itu lagi. Atau bola mata birunya yang ramah. Atau senyumannya yang cerah. Hentikan. Jangan ungkit laki-laki itu lagi. Hinata tidak ingin mendengarnya. Hinata tidak mau membayangkan wajahnya. Sudah. Hentikan. Cukup. Cukup. Cukup.

Cukup.

"Hei, apa aku mengganggu perbincangan gadis-gadis ini?"

Hinata merasakan semestanya berhenti berputar.

Suara ini…

"Ah, tidakkah seharusnya kau menemani tamu laki-laki, su-a-mi-ku?"

… Naruto.

Jantung Hinata seperti berhenti berdetak.

"Tidak salah, kan, kalau aku kangen dengan is-tri-ku?" tanya Naruto polos, lalu mengecup kening Sakura pelan sebelum akhirnya menarik gadis merah muda itu dalam pelukannya, berbisik pelan, "Aku benar-benar tidak sabar dengan malam pertama kita nanti, Sakura."

"Kau mesum!" desis Sakura dengan wajah yang sempurna merah.

"Eh? Tapi kau menyukainya, kan?"

Lalu mereka berciuman, secara penuh, tepat, sungguh tepat, di bibir. Ciuman yang sangat lama, sangat lembut, sangat menggebu, sangat memburu, dan…

Sangat mesra.

Hinata menyaksikannya.

"A─," Hinata tidak tahu harus berkata apa lagi, hatinya seperti dicabik-cabik menjadi kepingan-kepingan kecil yang rapuh, "aku harus pulang sekarang."

Sakura dan Naruto otomatis melepaskan ciuman mereka, menyisakan semburat merah muda yang tampak jelas di pipi mereka.

"Kau sudah mau pulang, Hinata?" Sakura mendorong dada bidang Naruto untuk menjauh. "Perlu kupanggilkan Kiba, atau Shino, untuk mengantarmu pulang?"

Mana bisa, Sakura. Tidakkah kau lihat Kiba tengah menari dengan riang di seberang sana, dan Shino sedang serius bermain go dengan Chouji?

Hinata menggelengkan kepalanya. "Aku bisa mencegat taksi, Sakura."

"Eh? Tapi ini 'kan sudah malam, Hinata? Bagaimana kalau kau bertemu pencopet, atau orang mabuk di jalan?"

Mendengar suara laki-laki itu, jemari Hinata mencengkeram tepian gaunnya kuat-kuat.

"Tidak, Na─" nafas Hinata serasa tercekat, "ti-tidak, Naruto. Aku tidak mau merepotkan ka-kalian. Ti-tidak apa-apa, su-sungguh."

Namun Sakura dan Naruto masih belum begitu yakin.

"Baiklah kalau begitu," Naruto mengacak-acak rambut pirangnya, "aku yang akan mengantar─"

"Tidak perlu."

Selama tiga detik, Hinata yakin sekali, yang barusan menolak tawaran Naruto itu bukan suaranya.

Dan memang bukan suara Hinata.

"Tidak perlu, Naruto," suara maskulin itu mengalun lagi, "aku akan mengantarnya pulang."

Yang pertama kali Hinata tangkap ketika mendongakkan kepalanya demi mencari si empunya suara adalah sepasang bola mata onyx dingin yang menatap lurus ke arahnya.

Sepasang bola mata milik Sasuke Uchiha.

oOoOo

"Ti-tidakkah pernikahan Naruto dan Sakura indah sekali, U-Uchiha-san?"

Memang tidak salah kalau dibilang Hinata dan Sasuke itu pernah jadi teman satu sekolah, tapi sebenarnya hubungan mereka tidak sebagus itu juga. Bahkan kata 'teman' kelihatannya terlalu berlebihan untuk menggambarkan hubungan di antara mereka. Hinata hanya kebetulan saja berada di kelas yang ─hanya Kami-sama yang tahu mengapa─ sama dengan Sasuke sejak mereka masih di taman kanak-kanak. Sebenarnya Hinata juga tidak berharap akan bertemu dengan Sasuke lagi saat ia mengambil kuliah Bisnis dan Manajemen di Todai, namun itulah yang terjadi, Sasuke ternyata juga mengambil jurusan kuliah yang sama dengannya dan di universitas yang sama pula.

Sayangnya, mereka sama sekali bukan 'teman' dalam arti sesungguhnya. Bahkan, seingat Hinata, mereka tidak pernah berbincang satu sama lain sebelumnya. Mungkin hanya sesekali, saat mereka berada dalam satu kelompok tugas yang sama. Tapi di luar itu? Sama sekali tidak pernah.

Jadi, ketika sekarang Hinata tengah terduduk di sebelah Uchiha Sasuke ─Uchiha Sasuke!─ di dalam mobil Maserati Gran Turismo milik laki-laki itu, hanya berdua saja dengannya ─dan jangan kalian pura-pura lupa akan penampilan Uchiha Sasuke yang, oh ayolah, dia tampan, sexy, hot, apa pun kau menyebutnya─ normal 'kan, kalau Hinata merasa gugup?

Baiklah, Hinata tidak merasa gugup.

Ia merasa sangat gugup.

"Hn," adalah jawaban pendek yang diberikan Sasuke atas pertanyaan panjang lebar Hinata.

Betapa keringat dingin kini menetes deras di pelipis Hinata.

"Ah, da-dan ba-banyak mawar putih," lanjut Hinata lagi, masih mencoba mencairkan suasana yang beku, "su-suatu saat, a-aku juga ingin per-pernikahanku dipenuhi ma-mawar pu-putih."

Hinata tersenyum getir.

"A-aku benar-benar ba-bahagia untuk mereka, U-Uchiha-san. A-aku harap, me-mereka bisa," tangan Hinata menekan dadanya sendiri, "me-mereka bisa me-membangun keluarga yang har-harmonis."

Ada tusukan tajam di ulu hatinya.

"Ti-tidakkah kau ba-bahagia juga, Uchiha-san?"

Sasuke tidak menjawab, ia terus menyetir. Pandangan matanya lurus memerhatikan jalanan Tokyo yang tidak kunjung sepi meski jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Merasa tidak ada gunanya melanjutkan pembicaraan lagi, Hinata pun memutuskan mengunci bibirnya rapat-rapat, memilih melemparkan pandangannya ke luar jendela, ketika ia rasakan Sasuke menepikan mobilnya di sebuah taman yang gelap.

Apa maunya?

"Kalau kau mau menangis, menangis saja, Hyuuga."

Hinata sontak menegakkan tubuhnya.

"Ma-maksudmu─"

"Aku tidak akan bilang siapa-siapa," sahut Sasuke dingin.

Eh?

"Tidak perlu memaksa dirimu," kata-kata Sasuke masih terdengar dingin, meski ada sedikit nada kekhawatiran di sana, "menangis saja kalau kau mau."

Sumpah, Hinata ingin sekali tertawa keras-keras sambil menudingkan telunjuknya ke muka Sasuke. Apa tadi? Apa yang dia katakan tadi? Hinata menangis? Dia pikir, Hinata mau menangis?

Jangan bercanda.

Tentu saja Hinata bahagia dengan pernikahan Naruto dan Sakura. Hinata bahagia kalau Naruto juga bahagia. Dia bukan lagi Hinata yang lemah itu. Sekarang dia adalah Hinata Hyuuga, gadis cantik pewaris utama perusahaan Hyuuga, gadis yang akan membuat Tou-san dan Kaa-san-nya bangga. Gadis impian para eksekutif muda. Banyak laki-laki tampan yang jatuh hati padanya., tapi Hinata selalu menolak mereka. Hinata selalu menolak mereka demi Naruto. Hinata selalu menolak mereka demi laki-laki impiannya, dan apa salahnya hal itu? Hinata adalah gadis yang kuat, bukan lagi anak perempuan lemah seperti kata orang-orang dulu! Dia tidak akan menangis begitu saja hanya karena laki-laki impiannya menikah dengan wanita lain. Tidak. Hinata adalah gadis yang tegar. Gadis yang tabah. Ia sudah bersumpah ─Neji-nii dan Hanabi saksinya─ bahwa ia tidak akan berlindung di bawah bayang-bayang orang lain lagi. Jadi, mana mungkin Hinata menangis hanya karena masalah sepele ini, kan? Mana mungkin Hinata menangis hanya karena laki-laki yang dia cintai selama sebelas tahun memilih menikahi wanita lain ketimbang dirinya, kan?

Iya, kan?

Lantas, mengapa ia merasakan pipinya basah oleh air mata?

"Aku…"

Satu tetes.

"Aku…"

Dua tetes.

"U-uchiha-san, aku…"

Berpuluh-puluh tetes.

"Aku akan menunggu di luar," tanpa melirik Hinata barang sekali pun, Sasuke meraih gagang pintu, lalu membukanya, "kalau kau sudah selesai, panggil aku."

Kemudian, yang dapat Hinata pandang, hanyalah punggung bidangnya yang mulai menjauh.

Dan ketika pintu itu tertutup dengan suara 'blam' kecil, yang Hinata tahu, air matanya telah jatuh bebas, tanpa ada perlawanan apa-apa, meninggalkan kelopaknya yang rapuh, meninggalkan bola mata perak-lavender-nya yang sayu, meninggalkan benteng kuat yang telah susah payah Hinata bangun selama empat tahun belakangan ini, dan dalam sekejap saja, dalam satu malam saja, segala pertahanan jiwanya itu rubuh.

Padahal, Hinata tidak seharusnya menangis, kan?

"Ibu…"

Tapi ternyata memang tidak semudah itu.

Tidak semudah itu menerima kenyataan soal Naruto dan Sakura.

"Ibu," Hinata mengelus kalung liontin peninggalan mendiang ibunya, lantas membenamkannya ke dalam pelukan yang panjang, seiring luruhan air matanya yang tak mau berhenti mengalir kencang, dan dadanya yang semakin terasa sesak. Kalau diberi pilihan, Hinata akan memilih bertemu arwah ibunya sekarang, dan memeluk wanita yang sangat ia rindukan itu erat-erat. Masa bodoh jika itu adalah arwah, hantu, atau ruh, Hinata hanya ingin bertemu ibunya, itu saja.

Ibunya, yang selalu mampu menenangkan Hinata dengan pelukan hangatnya.

"Tolong aku, Ibu…"

Ya Tuhan…

oOoOo

"Kau sudah selesai?"

Sasuke mengamati Hinata dari pucuk rambut sampai ujung kaki berulang kali, mematikan putung rokok yang belum selesai dihisapnya, membuangnya ke tempat sampah, lantas menyodorkan jaket Armani hitamnya untuk si gadis Hyuuga.

"Kau bisa mati kedinginan memakai gaun di tempat terbuka begini."

Hinata menerima jaket Armani hitam itu malu-malu. Jaket yang rupanya terlalu besar bagi badan mungil Hinata itu tentu mahal sekali, maka ia memutuskan untuk berhati-hati memakainya.

"Te-terimakasih, U-uchiha-san."

"Hn," balas Sasuke cuek, "kau bisa ikut duduk juga kalau kau mau."

Sayangnya, tidak ada pilihan lain.

"Ba-baiklah," ucap Hinata sambil menempatkan dirinya di kursi taman. Setelah itu, tidak ada satu pun dari mereka yang membuka suara.

Untuk beberapa saat, mereka terlelap dalam kesunyian panjang.

Kesunyian yang sungguh tidak nyaman.

"Lemah," Hinata mendengar laki-laki tampan di sebelahnya tiba-tiba bergumam, "kau masih sama seperti yang dulu. Lemah."

Bola mata Hinata membulat.

"Lemah, dan cengeng," Sasuke melanjutkan, "wajar saja, Naruto lebih memilih Sakura ketimbang dirimu, Hyuuga," pemuda Uchiha itu menempatkan wajah tampannya sedemikian rupa sehingga jarak hidungnya dan hidung Hinata hanya tinggal beberapa inci, "kau benar-benar lemah."

Hinata dapat merasakan hembusan nafas Sasuke yang wangi mint di atas bibirnya.

"Padahal melirikmu saja Naruto tidak pernah, tapi kau masih saja berharap," Sasuke terkekeh, "orang sepertimu mau dijadikan pewaris utama Hyuuga? Menggelikan."

Pandangan Hinata sekonyong-konyong berubah kosong.

Ke mana perginya Uchiha Sasuke yang mengkhawatirkan keadaannya beberapa menit yang lalu, yang memberinya waktu untuk menangis, juga meminjaminya jaket Armani hitamnya yang mahal supaya Hinata tidak mati kedinginan?

Ke mana perginya?

"Lalu kau berharap apa setelah ini, Hyuuga? Menjadi istri kedua Naruto, begitu? Atau menjadi perawan tua yang tidak menikah?"

Astaga, siapa iblis kejam yang ada di hadapan Hinata ini?

Sasuke melengkungkan seringai tampannya. "Ah, tiba-tiba aku jadi ragu, apakah kau benar gadis perawan, Hyuuga? Atau… ternyata di balik sifat sucimu itu," seringai Sasuke melebar, "kau sebenarnya perempuan yang sangat nakal? Mungkin saja, saking seringnya hatimu terluka karena Naruto, kau lantas pergi mencari laki-laki lain, lalu─"

"Cukup, Uchiha-san!"

Ini sudah keterlaluan!

Dengan penuh amarah yang menyala, Hinata bangkit dari duduknya. Secara kasar dan cepat, ia melepas jaket Armani hitam yang dipinjamkan Sasuke, dan melemparnya di tanah. Ia tidak peduli seberapa mahal harga jaket itu ─Hinata bahkan tidak akan segan-segan merobek jaket itu kalau dia mau─ dan ia tidak peduli jika Sasuke marah. Oh, betapa Hinata sudah tidak mau peduli lagi tentang apa pun yang menyangkut laki-laki arogan bermata onyx ini!

"Pertama, Uchiha-san," Hinata mengarahkan telunjuknya ke muka Sasuke, "jangan pernah samakan aku dengan gadis-gadis tak tahu malu yang mengejarmu itu. Kedua," ia mengepalkan tangan kirinya, "aku memang selalu mencintai Naruto, dan dia memang tidak pernah melirikku, lantas kenapa? Apa kau keberatan dengan itu, Uchiha-san? Apa kau tidak suka? Apa kau mau menyebarkannya ke teman-temanmu yang sombong itu, yang selalu memandangku sebelah mata, yang selalu menyebutku gadis lemah? Silakan saja─ demi Tuhan, silakan saja! Aku tidak peduli!"

Hinata berhenti sejenak untuk meraih tasnya, lalu kembali menatap Sasuke tajam. Bola mata perak-lavendernya melukiskan kemarahan.

"Maafkan aku karena terlahir lemah, Uchiha-san," nafas Hinata mulai tak teratur, "maafkan aku karena terlahir cengeng ─astaga, maafkan aku karena dilahirkan─ namun, katakan padaku, Uchiha-san, apakah menjadi lemah dan cengeng itu dosa? Apakah menjadi lemah dan cengeng, itu berarti aku akan masuk neraka?"

Sasuke tak menjawab apa-apa.

Ia terlalu kaget sekaligus terpana untuk mengucapkan sesuatu.

"Aku memang tidak secantik gadis-gadis yang biasa kau kenal. Aku adalah gadis berkulit pucat dengan wajah pucat dan bola mata yang juga pucat. Tapi setidaknya aku tak pernah mengganggu hidupmu sebelum ini Uchiha-san!"

Salah.

Hinata sangat salah.

"Aku akan pulang sendiri, rumahku tidak jauh dari sini," Hinata membalikkan punggungnya, matanya masih memancarkan sinar kemarahan yang dingin, "terimakasih atas tumpangannya, Uchiha-san. Selamat malam."

Namun, belum ada satu meter Hinata berjalan, ia terpaksa menghentikan langkahnya ketika secara tak terduga ia rasakan Sasuke menarik pergelangan tangannya dengan kasar, menempelkan bibirnya di telinga Hinata, dan membisikkan beberapa kata yang akan membuat Hinata tak dapat tidur beberapa hari kemudian.

"Menikahlah denganku, Hyuuga. Aku akan membuatmu bahagia."


To be continued


Hyaaaaa,,, gak tahu kenapa, lebih seneng nulis fic ini disbanding From Y To Y. Mungkin karena saya suka fic tentang pernikahan ya .

Jadi gimana? Patut dilanjutin gak readers semua :D oh iyaaa, From Y To Y dua atau tiga hari lagi saya update kok. R&R ya, please, sama masukan dan saran juga ^_^

Arigatou, minna-san…