Disclaimer:

Eyeshield 21 © Riichiro Inagaki & Yusuke Murata

A Matter of Honor © Hiruma Manda

.

~Based on true story~

Real Story © Veteran Yamato

Operasi Ten-Go

(7 April 1945)

.

a Heading into Battle

.

-x0X0x-

.

6 April 1945

Aku mematung, terdiam, tak sanggup berkata apapun. Kubiarkan angin laut mengecup helai rambutku pelan, namun aku tetap tidak bergeming. Kokoh laksana pohon yang dilewati angin manakala melihat sesuatu yang dalam sekejap seakan membuat seluruh syarafku berhenti beroperasi.

Besar, salah! Sangat besar. Begitu gagah, seakan mencibir ombak laut yang pecah begitu menghantamnya. Tubuh bajanya hitam mengkilat ditimpa matahari yang saat ini berada 45o di ufuk barat. Siap meruntuhkan keberanian musuh dengan ketangguhannya.

"Yamato."

Suara baritone seseorang menyadarkanku. Aku menoleh, kudapati seorang pria jangkung berambut dark blue tengah berdiri disebelahku—ikut mengamati apa yang sedari tadi menyita perhatianku. "Ya?" tanyaku.

"Eh?" Mata aquamarine pria itu sontak beralih padaku. "Maksudku ... Yamato."

Sebelah tangannya menunjuk kapal besar yang saat ini tertambat di pelabuhan—benda yang kuamati sedari tadi. Oh, aku mengerti apa maksud pria ini. Sebuah senyum terukir di bibirku sebagai balasan.

Ya, kapal raksasa itu bernama Yamato. Sama dengan namaku. Sama dengan nama negeri ini [1]. Sungguh ada perasaan bangga tersendiri dalam jiwaku kala mengetahuinya.

"Kita harus segera naik ke kapal," ajakku seraya menepuk pundak pria itu—Shun Kakei—dan mulai melangkah mendekati tangga kapal. "Misi telah dimulai, dan pukul empat tepat Wakil Kapten meminta kita berkumpul."

Tap.

Tap.

Ta

"Kita tidak punya cukup bahan bakar untuk kembali ke sini—ke Kure," ucap Kakei lirih di belakangku.

Aku berhenti berjalan, kugenggam erat telapak tanganku dan menatap bumi. "Aku tahu. Kita sudah mengerti resiko ini sejak berada di akademi. Misi pemerintah menempatkan kita disana adalah agar kita dilatih supaya siap dalam pertempuran sesungguhnya untuk Tanah Air. Lantas, apa yang semestinya kita takut hanya karena kemungkinan tidak dapat kembali pulang?"

Hening cukup lama. Beberapa detik kemudian, terdengar langkah mendekati tempatku berdiri. Kakei berjalan—berlalu melewatiku. Dia berhenti saat berada tepat di ujung tangga kapal, tak jauh dariku.

"Kau benar, Yamato. Demi kemakmuran di Asia Timur Raya." Dia berucap sambil mengenakan topi Angkatan Laut-nya lalu menaiki tangga kapal dengan penuh kebanggaan.

Aku hanya tersenyum semakin lebar saat menatap punggung pria yang seumuran denganku itu. Kukenakan topiku sendiri dan mengikuti langkah Kakei.

Kusentuh pegangan besi tangga kapal untuk membantuku naik. Mendadak, dingin yang kurasakan di ujung syaraf telapak tanganku menjalar dengan cepat ke seluruh tubuh. Tanpa peringatan, angin laut pun bertiup kembali. Entah mengapa kali ini terasa berbeda. Perasaanku menjadi tidak enak dan jantungku berdegup semakin kencang, membuat sebulir keringat dingin meluncur dari keningku. Angin ini ... seolah membawa berita kematian.

.

-x0X0x-

.

"Kita akan melawan Sekutu di Okinawa." Seorang Wakil Kapten dengan bekas luka di pipi berbicara dengan lantang di hadapan kami semua.

Sembari mendengarkan, kulirik sekeliling. Ada sekitar 2000 orang dengan balutan seragam kehitaman Angkatan Laut Jepang berkumpul di dek atas kapal ini, berbaris dalam kesatuan yang tertata rapi,

Kami telah memasuki Selat Bungo saat ini dari keberangkatan sekitar satu jam lalu. Yamato—kapal ini—dikawal kapal penjelajah ringan Yahagi dan delapan kapal perusak berangkat untuk menjalankan misi.

Seusai memberi kami instruksi untuk menyerang, Wakil Kapten memerintahkan kami untuk bergeser menghadap ke arah kanan—menatap timur—dimana Istana Kekaisaran berada.

"Kimigayo wa ..." Seseorang memberi instruksi menyanyi. Serentak kami semua memberi hormat dan menyanyi bersama.

.

Kimigayo wa

Chiyo ni yachiyo ni

Sazare-ishi no

Iwao to narite

Koke no musu made. [2]

.

Tidak peduli seberapa takut kita

Betapa cepatnya waktu berputar

Tidak peduli berapa banyak musuh

Tidak peduli apa yang kita takuti

Semangat Yamato selalu tertuang dalam diri. [3]

.

Seusai bernyanyi, kami semua menunduk—berdoa dalam diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dengan penuh kesungguhan, kupanjatkan doa teruntuk keluargaku—Orang Tuaku, Karin, dan Taka. Berharap mereka akan memaafkanku. Mengenang kembali kejadian waktu itu membuatku terpukul, hingga akhirnya air mata berkumpul kembali di pelupuk mataku.

"Yamato."

Meskipun suara itu lirih, aku dapat mendengar dengan jelas seseorang memanggil namaku. Kubuka mata dan kudapati seorang pria berambut dan bermata merah tengah mengulurkan tangan padaku—Akaba Hayato.

Tanpa ragu, kusambut tangannya dan kutenggelamkan kepalaku di bahunya. Kala itu, air mataku tak dapat lagi terbendung. Kurasakan juga bahuku basah. Kami langsung menepuk punggung satu sama lain—berusaha untuk menenangkan.

Sore ini, dek atas kapal tempur terbesar Yamato dipenuhi haru biru dan doa mengalun dalam hati untuk keselamatan kawan satu akademi.

"Saat bertemu lagi, kita mungkin sudah jadi tulang di kuil Yasukuni." [4]

.

-x0X0x-

.

"Nghaa~ Kau tidak ikut minum, Yamato?"

"Tidak," jawabku singkat saat pemuda jangkung hiperaktif—Mizumachi Kengo—menyodorkan segelas besar bir padaku.

"Fuh~ Setidaknya makanlah walau hanya sedikit," pinta Akaba.

Aku kembali menolaknya dengan menggeleng pelan. Kami bertiga mendadak diam, larut dalam pikiran masing-masing.

"Kami semua juga serius dalam hal ini." Suara berat Kakei membawa kami kembali pada kenyataan. "Setidaknya, kau harus siap setiap saat jika musuh menyerangmu."

Kusisir rambut liarku dengan jari untuk menghilangkan sedikit ketegangan. "Ini bukan soal serius atau tidak. Aku paham hal ini, Kawan. Aku hanya merasa bingung. Kalian tidak mengerti. Istri dan putraku ... "

"Fuh~ Musik kami bertiga memang masih berdiri sendiri. Terkecuali untuk Kakei yang sudah bertunangan dan Mizumachi yang sudah memiliki kekasih. Tapi walaupun sedikit, kami memahami ritmemu. Karena kita semua disini, berada dalam tempo yang sama."

Kupandang lekat manik ruby pecinta musik itu. Meskipun telah masuk Angkatan Laut, darah pemusik yang mengalir dalam nadi Akaba tidak bernah berhenti berdesir. Kami semua hanya geleng-geleng kepala menghadapi sikapnya, dan hanya dibalas wajah stoic dari sang pemilik.

"Nghaa~ Itu benar! Kita semua bersaudara!" seru Mizumachi seraya merangkul dan mengacak-acak rambutku. Pria ini memang selalu bersemangat—juga selalu bisa menularkan rasa semangat itu pada orang lain.

Kakei dan Akaba yang melihat tingkah kami hanya bisa ikut tersenyum simpul. Akhirnya kami bergabung dengan seluruh kru kapal lainnya di dek atas. Kami semua duduk bersama membentuk lingkaran. Malam ini kami lewatkan dengan berpesta. Makan, minum bersama, atau sekedar berbagi cerita dengan kawan.

.

-x0X0x-

.

7 April 1945

Pagi itu, aku dan beberapa orang kru bersiap di posisi kami di dek atas. Hanya Kakei yang kukenal dekat di sini. Sebuah meriam 460 mm berada di bawah kendaliku. Senjata itu sangat hebat. Dengan amunisi khususnya, siap untuk menyerang pesawat musuh. Aku benar-benar ingin menggunakannya untuk bertempur dengan Amerika di Pasifik.

Beberapa saat berlalu. Kala itu matahari telah menunjukkan kekuasaannya. Suasana tampak begitu tenang. Kapal bergerak dalam kecepatan sedang. Air laut pun tampak begitu te—

Nguing!

Sontak aku menoleh. Kulihat sebuah pesawat pengintai tengah terbang pelan mengikuti kami sambil berusaha menutupi diri di antara awan.

"MUSUH!"

Kakei yang berteriak terlebih dulu. Tanpa aba-aba lagi, kuarahkan meriamku ke pesawat musuh. Musuh yang menyadari kalau persembunyiannya terbongkar, dengan cepat menambah kecepatan.

Pesawat musuh terbang naik-turun, meliuk-liuk, menghilang ke awan dan menukik sangat cepat hingga bersentuhan dengan air laut—masuk dan keluar dengan sangat cepat dari jarak jangkau serangan kami. Sial! rutukku. Aku tidak bisa membidik dengan baik.

"Jarak dengan mereka tidak dapat terdeteksi dengan baik!" teriakku.

Kakei yang berada tak jauh dariku mengangguk. "Dimengerti!"

Pesawat musuh telah pergi, membuat kami sedikit was-was. Matahari semakin tinggi, namun hal itu sama sekali tidak menurunkan konsentrasi kami. Kami tidak boleh lengah saat ini. Tidak di saat musuh telah mengetahui posisi kami. Tidak saat musuh dapat menyerang setiap saat dengan kekuatan yang lebih besar.

"Musuh datang lagi! Arah jam dua! Jumlahnya sekitar tiga puluh!" Seseorang dari tiang pengawas memberi tahu kami di bawah. Sontak kami langsung bersiap.

Dan memang benar adanya, musuh datang lagi dengan jumlah yang lebih banyak—seperti perkiraan kami. Mereka dibagi menjadi dua kelompok, berpencar untuk menyerang kapal kami.

Hanya dalam waktu beberapa menit, mereka telah membuat kami semua kalang-kabut. Ratusan bom menghujani kapal kami, seperti jaring-jaring yang siap menerkam mangsanya. Pecahan-pecahan peluru mengenai orang-orang di dek. Berdenting dan meledak dengan mengerikan.

Kucengkeram kemudi meriamku lebih erat. Dengan seluruh keahlian yang kumiliki, kuarahkan ujung meriam ke arah pesawat-pesawat musuh. Perang senjata tak dapat terelakkan. Deru mesin senapan saling beradu keras menjadi satu bersamaan dengan suara teriakan kesakitan serta putaran baling-baling pesawat. Sebuah simfoni kematian yang sanggup menggetarkan jiwa siapa saja.

Nguing!

Secepat kilat aku menoleh. Kudapati sebuah pesawat musuh terbang sangat dekat denganku. Benar-benar sangat dekat. Walaupun sekilas, aku dapat melihat dengan jelas pilot pesawat tipe pengebom itu. Seorang pria berambut pirang dengan hidung mancung dalam balutan seragam penerbang Amerika yang menatap remeh ke arahku saat meriamku meleset sekitar tiga inchi dari ekor pesawatnya. Aku menggeram kesal, membuatku ingin melempar orang itu dengan batu saja.

Setelah lima belas menit penyerangan, pesawat musuh mundur perlahan. Kami semua dapat bernapas sesaat—benar-benar hanya sesaat. Karena tak lama setelah itu, pengawas berteriak lagi dengan panik.

"Mereka datang! Mereka datang!"

.

|to be continued|

.

-x0X0x-

Dictionary:

[1] Saat Perang Dunia II, Jepang lebih sering disebut dengan Yamato.

[2] Kimigayo, National Anthem of Japan.

[3] Lagu militer yang biasa dinyanyikan para pejuang Jepang.

[4] Kuil Yasukuni : Sebuah kuil Shinto di Tokyo, Jepang. Kuil ini dibangun untuk mengenang para warga Jepang yang tewas dalam perang.

-x0X0x-

Sudah masuk peperangan! Horrey … XD/ *tunjuk-tunjuk* *jingkrak-jingkrak* *gelundungan*

.

Oke, abaikan anak ababil di atas ==d

Akhirnya chapter dua update juga setelah sekian lama~ :o #nyadar

Untuk chap 3 mungkin akan lebih lama lagi karena minimnya referensi. Gomen~ m(_ _)m

Sudah, tidak perlu banyak omong lagi, saya akhiri saja~

.

Review?