A Little Secret
Disclaimer : I own the story. Others? Not mine. Secret Garden © SBS
Warning : AU. DON'T LIKE, DON'T READ! Shounen Ai, Yaoi, Typo, OOC dan OOC, dll, dkk, dst
.
.
Enjoy It!
#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#
.
.
Hari pertama di tahun ajaran baru. Uzumaki Naruto, pemuda berambut pirang yang baru saja resmi meninggalkan bangku SMA-nya dua bulan yang lalu, tersenyum lebar melihat bangunan megah di hadapannya.
"Pada akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di sini. Menyenangkan!" tuturnya.
Pemuda berusia enam belas tahun itu melangkah melewati gerbang dan segera memasuki area Fakultas Bahasa dan Seni yang terletak tak jauh dari gerbang masuk universitas barunya.
Kakinya melangkah pasti menyusuri koridor yang menghubungkan lobi utama gedung dan lobi jurusan. Naruto menatap papan jadwal yang ada di jurusannya dan segera pergi ketika sudah mengetahui ruangan kelasnya pagi ini.
"Kelas pertamaku di Universitas Konoha," gumamnya riang sembari meniti anak tangga.
Seperti yang sudah diduga, hari pertama di tahun ajaran baru selalu diawali dengan perkenalan, dan dengan cepat pemuda Uzumaki yang menjadi tokoh utama di cerita ini mendapatkan teman baru; Inuzuka Kiba, pemuda ceria yang memiliki tato segitiga merah terbalik di masing-masing pipinya.
"Err, rasanya aku baru melihatmu hari ini, Naruto. Apa kau tidak ikut OSPEK?" tanya Kiba setelah sesi perkenalan selesai dan dosen mata kuliah pertama mereka keluar dari kelas.
"OSPEK? Ah, ya, aku tidak ikut," jawab Naruto sembari menunjukkan cengirannya.
"Pantas saja. Di kelas ini hanya wajahmu yang asing di mataku," tutur Kiba sembari menganguk-anggukkan kepala.
"Memang apa saja yang kalian lakukan ketika OSPEK?"
"Yah, tidak jauh dari apa yang kau bayangkan; pengenalan lingkungan kampus, perkenalan dengan dosen, perkenalan mata kuliah, semacam itu lah," papar Kiba, membuat bibir si pemuda pirang membentuk huruf 'O'.
Beberapa saat kemudian Kiba memperkenalkan hampir semua orang yang ada di kelas kepada Naruto, dan pemuda pirang itu sama sekali tidak kesulitan beradaptasi dengan lingkungan barunya.
"Wow, kau adalah yang termuda di sini, Naru," ungkap Sora, pemuda berambut raven lurus sebahu.
"Kau membuatku merasa tua, Naru," kali ini Chouji, pemuda bertubuh subur, yang bicara.
"Bagaimana bisa kau masuk universitas, Naru? Usia rata-rata angkatan kita kan delapan belas tahun," tanya Ino, satu-satunya gadis yang ada di kumpulan itu.
"Ah, itu. Aku berhasil ikut akselerasi sewaktu SMP," jawab Naruto santai.
"Akselerasi? Wow," Kiba membulatkan mata, takjub.
"Kalau dihitung-hitung berarti kau lompat kelas dua kali. Benar?" tanya Sora.
"Ya, begitulah. Aku lompat kelas sewaktu kelas satu SMP dan kelas satu SMA."
"Itu artinya kau pandai! Akhirnya aku menemukan seseorang yang bisa kuandalkan untuk tugas diskusi," Ino bertepuk tangan sekali dan tersenyum lebar.
"Kami mengandalkanmu, junior," sambung Kiba.
"Junior? Kau juga termasuk junior, Inuzuka boy," ucap Chouji sembari meninju pelan bahu Kiba. Ya, Kiba hanya lebih tua setahun dari Naruto.
.
-0-
.
"Bagaimana hari pertamamu, Blonde?" tanya seorang gadis yang tengah berdiri di depan meja bar.
"Baik, sangat baik malah," jawab Naruto disertai senyum lebar.
"Apa ada pemuda kaya yang kau temui di kampus?" tanya gadis itu lagi, kali ini dengan mata berbinar. Naruto mengerlingkan mata.
"Lebih baik kau segera mengantarkan pesanan dan jangan sampai membuat manager menghampirimu," tegur Naruto sembari melirik ke arah seorang lelaki berusia duapuluh tiga tahun yang sedang memperhatikan keduanya.
Gadis yang sejak tadi berbincang dengan Naruto segera beranjak dari tempatnya dan mulai mengantarkan pesanan ke tamu yang datang malam ini. Naruto kembali menata botol-botol minuman yang setiap hari selalu di sentuhnya dengan rapi.
"Kalau kau tidak berniat mengontrol keadaan pub, sebaiknya kau kembali ke kantormu saja," tegur Naruto yang kini sedang mengelap gelas minuman.
"Kalau bukan karena ayahku, aku tidak akan pernah mau menginjakkan kaki di tempat berisik ini. Ck, merepotkan."
Sang Uzumaki hanya menggelengkan kepala. Yang baru saja ditegurnya adalah Nara Shikamaru, anak dari pemilik pub tempatnya bekerja. Sampai detik ini Naruto masih tidak tahu kenapa lelaki yang sekarang sedang duduk sembari bertopang dagu di depannya ini memilih untuk menjadi manager sebuah pub.
Naruto sendiri sudah bekerja di pub ini selama hampir dua tahun. Ia melakukannya sejak masih duduk di bangku SMA.
Naruto tidak seperti anak kebanyakan, ia tinggal sendiri di kota ini, tanpa keluarga. Naruto tinggal sendiri di sebuah apartemen sederhana yang terletak tak jauh dari kampusnya.
Si pemuda pirang segera memasang seringai ketika seorang wanita anggun berpakaian ketat dan minim duduk di depan counter bar tempatnya bertugas. Naruto melangkah mendekati wanita itu dan mencondongkan tubuh, menatap wajah tamunya dengan jarak kurang dari sepuluh senti.
"Ada yang bisa kubantu, nona?" tanyanya dengan suara serak. Matanya menatap dalam iris coklat lawan bicaranya.
"Seperti biasa. Kau tahu seleraku kan?" balas wanita itu sembari membelai sisi wajah Naruto.
Naruto kembali menunjukkan seringainya dan beranjak untuk mengambilkan minuman yang dipesan. Tidak ada satu orang tamu pun yang tahu kalau bartender andalan pub ini masih berusia enam belas tahun. Beruntung Naruto memiliki tubuh yang tinggi dan wajahnya sama sekali tidak lagi terlihat seperti anak-anak, sehingga tidak ada seorang pun yang curiga dengan keberadaannya.
Naruto kembali mendekati manager-nya setelah menyajikan pesanan tamunya. Pemuda berkulit tan itu mengerutkan dahi ketika Shikamaru menatapnya tajam.
"Kenapa?" tanyanya heran.
Shikamaru menarik napas dan mengalihkan pandangan ke lantai dansa yang dipenuhi sosok-sosok yang tampak asik bergerak mengikuti musik.
"Apa kau harus bersikap seperti itu? Kau berlebihan."
Naruto melepaskan tawa. Ia mengambil satu botol sake dan meletakkannya di depan atasannya.
"Bukannya kau yang berlebihan? Aku hanya melakukan tugasku, itu saja," balas Naruto enteng. Shikamaru meraih botolnya dan meneguk isinya pelan.
"Kau adalah seorang bartender. Kau tidak perlu menebar feromonmu ke semua pelanggan di sini." Naruto kembali tertawa.
"Serius, sampai detik ini aku masih tidak mengerti, kenapa kau lebih memilih menjadi manger pub ini ketimbang menjadi dokter, sesuai dengan latar belakang pendidikanmu?"
"Ck, merepotkan."
"Semua hal memang selalu merepotkan untukmu kan?" goda Naruto ditengah tawanya.
"Ya, kurasa begitu. Dan diantara semua hal merepotkan itu, kau adalah yang paling merepotkan," ungkap si pemuda dengan rambut yang diikat tinggi tanpa menatap lawan bicaranya. Naruto menatap lelaki di depannya dan tersenyum.
"Sebaiknya aku pergi," ucap Shikamaru sembari melangkah meninggalkan meja bar.
Naruto kembali mengerjakan tugasnya di balik counter bar. Ia menyapa semua tamu yang datang ke 'wilayahnya' tanpa khawatir. Naruto sama sekali tidak takut dengan kemungkinan teman-temannya tahu pekerjaannya di sini, toh selama dua tahun belakangan belum ada yang berhasil mengenalinya.
Naruto memang selalu melakukan penyamaran sebelum memulai pekerjaan malamnya. Ia menutupi tiga goresan di pipinya dengan riasan, memakai lensa kontak berwarna merah darah, dan bahkan menata rambutnya sedemikian rupa untuk menutupi identitas.
Sikapnya pun berubah seratus persen. Jika Naruto di dunia luar adalah seorang pemuda sederhana yang polos, ceria dan selalu menebar senyum, maka Naruto di dunia malam adalah seorang lelaki modis yang selalu menebar lirikan dan seringai menggoda.
Benar-benar dua karakter yang berbeda.
Naruto mengalihkan pandangan dan menghela napas ketika melihat tamu yang baru saja duduk di tempat yang tadi ditempati manager-nya.
"Kenapa kau bisa ada di sini lagi?" tanya Naruto diiringi tatapan bosan.
"Apa itu caramu menyambut pelanggan, huh?" balas si pemuda bertopi Gatsby.
"Kau adalah satu-satunya pelanggan yang tidak kuharapkan tahu. Kalau saja pub ini milikku, maka aku akan membuat peraturan yang tidak memperbolehkan seorang selebritis minum di sini."
Naruto melangkah mendekati rak dan mengambil sebotol minuman. Ia menyodorkan botol yang dibawanya beserta sebuah sloki pada salah satu tamu tetapnya.
"Seharusnya kau bangga karena aku selalu datang ke tempat ini, Blonde. Popularitasmu bisa meningkat kalau orang-orang tahu kau adalah bartender favoritku," ungkap si pemuda yang mulai menyecap minumannya.
"Tanpa bantuanmu pun aku sudah populer, tuan selebritis."
"Sudah berapa kali kubilang, jangan pakai panggilan menyebalkan itu," tegurnya. Naruto kembali menghela napas.
"Terserah kau saja, Neji, aku tidak peduli."
Naruto meninggalkan tamunya dan beralih ke tamu lain yang sudah menunggu. Hyuuga Neji, pemuda yang baru saja ditinggalkan bartender favoritnya, menatap sloki berisikan cairan berwarna keemasan yang ada di hadapannya.
"Menjadi seorang entertainer sama sekali tidak menyenangkan," gumamnya. Ia meraih slokinya dan meneguk isinya. "Kalau tahu begini, seharusnya kutolak saja tawaran itu. Sial!" rutuknya sambil kembali meneguk minumannya.
.
.
-0-0-0-
.
.
Naruto menaikkan sebelah alis ketika melihat keramaian yang ada di pintu masuk utama gedung fakultasnya. Naruto memang tidak masuk melalui pintu itu, melainkan melalui pintu lain yang letaknya paling dekat dengan tempat parkir motor. Sebuah tepukan sukses membuat si pemuda pirang menolehkan kepala.
"Ou, ohayou," sapanya sebelum kembali menatap kerumuman di depan pintu masuk gedung. "Ouch!"
Naruto kembali menolehkan kepala dengan kedua tangan mengusap bagian belakang kepalanya yang dipukul teman barunya sendiri dengan buku materi perkuliahan.
"Untuk apa itu tadi?" tanyanya kesal. Sora hanya tertawa, sementara Ino, yang tadi memukul, melipat kedua tangannya di depan dada.
"Untuk sikapmu yang mengacuhkan kami," jawabnya ketus. Naruto hanya menunjukkan cengirannya.
"Apa yang kau perhatikan, Naru?" tanya Sora. Ketiganya kini sedang menunggu lift. Pagi ini kelas mereka ada di lantai lima.
"Oh," Ino menganggukkan kepala.
"Apanya yang 'oh'?" Sora menatap gadis di sampingnya. Ino menunjuk ke arah pintu masuk, membuat Sora ikut menggumamkan 'Oh' di detik berikutnya.
"'Oh' itu maksudnya apa?" tanya Naruto bingung.
Belum sempat Ino ataupun Sora menjawab pertanyaan teman mereka, suara teriakan dan pekikan terdengar dari arah pintu, membuat Naruto kembali menolehkan kepala.
"Apa-apaan itu?" tanya Naruto ketika melihat tiga orang bodyguard membuat jalan di kerumunan.
"Tuan muda baru saja datang, Naru," cetus Ino, membuat Naruto menatap teman perempuannya.
"Kau tidak ikut OSPEK, jadi kau pasti belum tahu. Yang ada di belakang bodyguard itu adalah anak dari donatur terbesar universitas ini," papar Sora.
Naruto mengangguk-anggukkan kepala dan kembali menatap keramaian yang sejak tadi menarik perhatiannya. Di balik tiga lelaki bertubuh kekar itu terlihat seorang pemuda bertubuh tegap yang mengenakan kemeja putih dengan garis vertikal berwarna biru tua dan celana jeans hitam.
"There he is, the most wanted guy," ucap Ino.
"Uchiha Sasuke," lanjut Ino dan Sora bersamaan.
Naruto memperhatikan pemuda yang dimaksud dua temannya dengan seksama. Tubuh tinggi, kulit putih, rambut raven dan mata onyx. Yah, pantaslah Sasuke menjadi 'the most wanted guy' di kampus ini.
Ino menarik lengan Naruto ketika pintu lift terbuka. Si pemuda berambut pirang hanya menurut dan masuk ke dalam lift. Ia menatap gerombolan yang kini tertuju ke arah tangga.
"Tangga?" Naruto menaikkan sebelah alis.
Sora menekan tombol lift dan bersandar di dindingnya.
"Yang kudengar, selama dia kuliah di sini, dia tidak pernah sekali pun memakai lift," ungkap lelaki berambut gelap sebahu itu.
"Dan itulah kenapa semua kelas untuk murid angkatannya selalu berkutat di lantai satu sampai lantai tiga," timpal Ino.
"Kenapa dia tidak memakai lift memangnya?" tanya Naruto penasaran.
Tiga orang gadis yang ada di lift bersama ketiganya sesekali melirik ke arah mereka dengan tatapan tidak mengenakkan.
"Kalau yang itu aku tidak tahu," Ino angkat bahu. "Tapi katanya dia punya semacam phobia," lanjutnya.
Pintu lift terbuka dan kembali menutup setelah tiga gadis yang tadi bersama mereka keluar dan memberikan tatapan tidak suka pada Ino. Naruto mengerutkan dahi dan menatap sahabat perempuannya.
"Tidak usah khawatir, mungkin mereka adalah anggota fans-club si Uchiha muda," tuturnya ringan.
"Bagaimana kalau mereka bertiga melaporkan apa yang kau katakan tadi ke pemuda Uchiha itu, Ino?" tanya Naruto.
"Uchiha itu mungkin anak dari donatur terbesar di universitas ini, tapi dia sama sekali tidak punya hak untuk memecat ataupun mengeluarkan siapapun dari sini. Kau tenang saja," tutur Sora sembari menepuk bahu pemuda yang lebih muda darinya itu.
.
-0-
.
"Sudah berapa kali kubilang padamu, batalkan kontrak itu! Aku tidak mau melakukannya, tidak akan pernah!" Neji menutup teleponnya dan menghempaskan diri ke sofa ruang tamu tempatnya berada.
Sebelah tangan pemuda berusia dua puluh tahun itu menyisir rambut coklat panjangnya perlahan, sementara kedua matanya tertutup rapat. Ia masih merasakan hangover dampak dari kegiatan minumnya semalam, dan manager-nya baru saja memberitahukan jadwal take vocal untuk single terbarunya.
Neji menarik napas panjang dan menatap langit-langit ruangan yang didominasi warna putih. Matanya kembali menutup, dan pemuda bermarga Hyuuga itu menyamankan posisinya. Gumaman kecil keluar dari bibirnya tanpa ia sadari. Gumaman melodi dari lagu terbarunya.
Suara hak dan lantai yang beradu membuat pemuda itu membuat gumaman tadi berganti dengan helaan napas panjang. Tanpa membuka mata pun Neji tahu siapa yang berdiri di depannya.
"Aku tidak mau melakukannya," ucap Neji tanpa membuka mata.
"Kau sudah menanda tangani kontraknya, Neji, kau tidak bisa lari dari kewajibanmu sekarang," balas sebuah suara tegas.
"Bukannya aku sudah memintamu untuk membatalkan kontrak itu? Kalau mereka minta uang ganti rugi, kau tahu berapa nomor pin rekeningku kan?"
Seorang wanita yang tengah melipat kedua tangannya di depan dada tampak menahan diri untuk tidak menggeplak kepala penyanyi muda di hadapannya. Ia menarik napas dalam-dalam, berharap emosinya tidak tersulut di saat seperti ini.
"Kontrak tetaplah kontrak, kau tidak bisa membatalkannya begitu saja. Lagipula, apa kau mau kehilangan kepercayaan pihak label, huh? Bukan hal yang mudah bisa diterima label besar seperti Rookie Nine, dan aku tahu kau paham itu," ungkapnya panjang.
Neji kembali menghela napas. Menjadi salah satu penyanyi di bawah label Rookie Nine memang termasuk dalam kategori keberuntungan, karena seperti yang dikatakan manager-nya tadi, mendapatkan kontrak dengan label sebesar Rookie Nine bukanlah hal yang mudah. Ia sendiri baru bisa bergabung dengan label itu setelah tiga tahun memulai debut.
Neji tahu kalau sikap kekanakannya ini bisa membuatnya dikeluarkan dari label, tapi ia tidak peduli.
Bagaimanapun juga ia harus mempertahankan dan menjaga harga dirinya.
"Cepat bersiap, kutunggu kau di lobi."
"Kalau kau terus memaksaku, aku akan memecatmu, manager."
Satu ucapan itu berhasil membuat sang manager menghentikan langkah.
"Kau bisa memecatku sebagai manager-mu kapanpun kau mau, tapi kau tidak akan pernah bisa memecatku sebagai sepupumu sampai kapanpun, ingat itu."
Neji kembali menghela napas panjang. Ia tidak punya banyak pilihan. Tidak, ia memang tidak punya pilihan sekarang.
.
-0-
.
Naruto menghentikan langkah dan bersandar di pegangan tangga. Sejak pagi ia memang sudah merasa tidak begitu sehat, tapi ia tidak bisa mengabaikan kuliahnya. Tidak setelah semua kerja keras yang dilakukannya untuk bisa masuk ke universitas ini. Tidak setelah semua pengorbanan yang dilakukannya.
Setelah menarik napas panjang, ia kembali melangkahkan kaki dan meniti anak tangga satu per satu sebelum akhirnya oleng.
Naruto sudah menutup mata dan bersiap merasakan sakit di sekujur tubuhnya, tapi ia segera membuka mata ketika merasa sepasang tangan menahan punggungnya. Perlahan ia menolehkan kepala, dan ia makin terkejut melihat sepasang iris onyx menatapnya tajam.
"Cepat menyingkir, kau menghalangi jalanku," ucapnya dingin.
Naruto segera berdiri dan berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya. Matanya menatap tajam pemuda yang tadi pagi sempat menjadi bahan pembicaraannya dengan Sora dan Ino.
Sasuke menepukkan kedua tangannya dan melangkah menaiki tangga setelah sebelumnya melirik pemuda yang tampak pucat. Ia menggelengkan kepala pelan dan kembali melangkah ke lantai tiga.
'Dia menepukkan kedua tangannya? Apa-apaan itu? Memangnya dia pikir aku ini kotor atau apa?' pikir Naruto sembari mendelik kesal.
Naruto segera bersandar ketika kepalanya kembali terasa sakit. Sebelah tangannya mejambak pelan rambut pirangnya, sementara tangannya yang lain berpegangan erat agar ia tetap bisa berdiri.
"Hei, kau baik-baik saja?"
Naruto mengangkat kepalanya dan menatap Sasuke yang berdiri di anak tangga tak jauh dari tempatnya. Ia mengangguk pelan dan kembali meremas rambutnya.
"Kau yakin?" tanya Sasuke ragu. Naruto kembali mengangguk pelan.
Sasuke menghela napas ketika melihat pemuda pirang yang tidak dikenalnya makin meremas rambutnya sendiri. Ia kembali turun dan berdiri di hadapan Naruto, memperhatikan pemuda itu dari ujung rambut hingga ujung kaki, kemudian menggelengkan kepala.
Sasuke menarik tangan Naruto yang sejak tadi meremas rambut dan memaksanya menuruni anak tangga.
"Hei, apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" Naruto berusaha melepaskan genggaman Sasuke.
"Kau harus ke Poliklinik dan beristirahat," balas Sasuke tanpa menoleh.
"Kelasku akan dimulai lima menit lagi, aku harus segera ke lantai empat!" seru Naruto lagi, masih berusaha melepaskan genggaman tangan pemuda di depannya.
"Orang-orang seperti kalian memang tidak tahu mana hal yang harus didahulukan."
"Huh? 'Orang-orang seperti kalian'? Apa maksudmu?"
"Ya, orang-orang seperti kalian. Orang-orang biasa yang selalu memaksakan diri dan berusaha keras tanpa memikirkan keadaan kalian dan mengesampingkan kebutuhan kalian untuk sesuatu yang dianggap lebih penting, padahal tidak."
Naruto menghentakkan tangannya, membuat genggaman tangan Sasuke terlepas. Sasuke membalikkan tubuh dan menatap pemuda berkulit tan di hadapannya dengan alis terangkat.
Naruto menarik napas panjang, berusaha menahan emosi.
"Melewatkan satu mata kuliah mungkin bukan hal yang besar untukmu, tapi tidak bagi kami, 'orang-orang biasa'. Kami tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan yang kami miliki. Kami lebih memilih memaksakan diri dan mengambil kesempatan yang sulit kami dapatkan daripada melewatkannya hanya karena hal sepele."
Naruto menatap tajam pemuda di depannya. Ia menatap gedung yang ada di belakang lawan bicaranya. Ia tidak sadar kalau ternyata mereka berdua sudah berdiri di area Poliklinik. Naruto berbalik dan melangkah.
"See? Berjalan lurus saja kau tidak bisa. Dengan keadaanmu yang seperti itu, apa yang kau harapkan saat ada di dalam kelas, huh? Bukannya kuliah, yang ada kau hanya akan menyusahkan orang di sekelilingmu, Dobe," ucap Sasuke ketika Naruto melangkah dengan terhuyung.
Sasuke kembali menarik tangan Naruto dan melangkah mendekati bangunan Poliklinik.
"Lepaskan aku, Teme!"
"Shut up, Dobe!"
Sasuke sama sekali tidak peduli dengan tatapan yang tertuju padanya dari orang-orang yang ada di dalam Poliklinik. Ia terus menyeret Naruto dan menghempaskan pemuda pirang itu ke salah satu tempat tidur yang ada di ruang perawatan.
"Kau ada masalah lagi, Sasuke?"
"Tidak."
Naruto menatap seorang wanita muda yang memasuki ruang rawat. Dari jubah putih yang dikenakannya Naruto bisa menduga kalau wanita itu adalah dokter di sini. Ia sedikit menganggukkan kepala sopan ketika wanita itu menatapnya.
Sasuke membalikkan tubuh dan menatap wanita bernama Shizune itu dengan lekat sebelum melangkah mendekati pintu.
"Rawat dia. Kalau dia memaksa meninggalkan gedung ini, ikat saja kaki dan tangannya. Pastikan kau memberinya obat dan memaksanya tidur," ucapnya sebelum menghilang di balik pintu.
"Dasar bocah," celetuk Shizune sembari melemparkan pandangan ke arah pintu.
.
.
TBC
.
.
Author Note: yep, chapter pertama. Saya mengadopsi cerita drama Secret Garden, ada yang sudah nonton? Ah, tapi biarpun saya mengadopsi drama itu, cerita dan susunan alur fic ini tidak akan seratus persen sama seperti cerita drama itu. Saya punya imajinasi sendiri tentang fic ini. Well, wanna leave me a comment or review for the first chapter?