For anyone who regard my existence.

Thank you...


Warning: AU, Gender switch, OOC, typos, and almost plotless.


Fanfiction by Gimo Michiko

Present: My Litlle Princess


Happy Reading ^^


Yoochun POV

Apakah kalian pernah merasakan sakit yang teramat menyakitkan? Bahkan begitu perihnya hingga tidak ada seorang pun yang menyadarinya. Luka yang membuat kalian 'mati rasa' dan berimbas pada wajah tak berekspresi. Ekspresi yang menyatakan dirimu sedang 'amat terluka'.

Itulah aku. Seorang anak yang masih berstatus duduk di bangku kelas dua SMP. Seorang anak yang begitu tenggelam di dalam kepahitan hidup. Seorang anak yang seharusnya tertawa polos tanpa perlu memikirkan kejamnya dunia. Entah berapa kali kucoba untuk menghindarinya, tapi semakin kuat usahaku malah semakin dekat kesakitan ini terasa. Jadi lebih baik aku berdiam diri dan menikmati tiap hantaman derita ini.

Kadang aku merasa di puncak kelelahan. Kadang aku berharap jikalau itu diizinkan, aku hanya meminta sesuatu yang mungkin mustahil. Aku menginginkan 'kebahagiaan'.

~ooooooooo~

Sudah hampir setahun aku bertemu dengannya. Di dalam satu ruangan yang sama dengan jarak yang dekat.

"HAHAHAHAHAHA!" tawa beberapa orang mengema memenuhi seluruh kelas tempatku berada sekarang. Aku melirik ke bangku sebelahku. Terlihat kumpulan para yeoja dan namja tertawa terbahak-bahak dan aku sedikit penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. 'Kali ini topik mereka apa ya?' batinku. Sudah menjadi rutinitas bagi kelas ini setiap bel pulang berdering. Sebagian siswa berkumpul di sebelah bangkuku.

Seorang namja memukul-mukul permukaan meja dengan sangat keras. Kadang aku kasihan pada meja yang selalu menjadi 'korban penganiayaan' itu.

"Bwahahahaha... itu konyol! Bagaimana kau bisa melakukannya Junsu?" tanya namja itu.

"Rahasia," jawab yeoja yang bernama Junsu.

Terdengar panduan suara para siswa yang menyerukan 'A' bernada doremifasollasido tanda mereka sangat kecewa dengan jawaban Junsu.

"Haha," tawaku tak tertahankan lagi. Yah untuk pertama kalinya si ratu pelawak berhasil membuatku tertawa.

'Tuk!'

Sebuah bola kertas mengenai kepalaku.

"Akhirnya aku berhasil membuatmu tertawa Yoochun," kata Junsu dengan tersenyum.

Semua siswa menoleh ke arahku dengan tatapan tak percaya. Mereka pasti berpikir bahwa mana mungkin seorang Park Yoochun yang berhati robot dapat tertawa?

"Jangan pelit untuk tertawa ya Yoochun-sshi, arasseo?" kata Junsu sekali lagi.

Dapat kurasakan sesuatu yang aneh di wajahku. Kurasa wajahku memerah! Dengan cekatan aku mengambil tasku lalu berlari keluar kelas.

"Dia aneh sekali, benar begitu Junsu?" tanya seorang yeoja pada Junsu.

Junsu tertawa lalu bertanya, "Mana yang lebih aneh, aku atau dia?"

Yeoja itu tertawa dan menjawab, "Tentu saja Junsu."

~ooooooooo~

Aku berlari meninggalkan ruangan kelasku menuju suatu tempat. Tempat yang mungkin kurang dianggap penting oleh sebagian siswa di sekolah ini, tapi tidak bagiku. Tempat yang sedang aku tuju adalah tempat yang sangat spesial. Tempat dimana aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya.

Sebuah papan bertuliskan ruang musik membuat langkah lariku berhenti. Dengan nafas terengah-engah aku membuka pintu lalu memasukinya. Melihat benda hitam besar berada di tengah-tengah ruangan sukses membuatku tersenyum. Aku mendekatinya lalu berkata, "Piano, kau tahu... aku baru saja tertawa di depan orang banyak. Ajaib ya? Padahal aku seharusnya hanya bisa tertawa di depanmu saja."

Lagi-lagi aku berbincang-bincang dengan benda mati. Yah... boleh dibilang kalau aku ini gila, tapi hanya piano inilah yang menjadi temanku selama ini. Piano ini menjadi tempatku mengadu, meluapkan emosi dan menjadi buku diary. Buku diary yang tentunya bukan berwujud tulisan melainkan dentingan-dentingan nada yang mengalun harmonis.

"Aku ingin berterima kasih padanya yang telah membuatku tertawa, tapi aku terlalu malu mengatakannya. Hey... apakah aku ini pengecut?" tanyaku pada piano yang tentunya tidak akan pernah menjawab pertanyaanku ini. Aku menjentikkan jariku. "Bagaimana kalau aku membuatkannya sebuah lagu?" kataku langsung membuka buku yang aku bawa tadi. Tanganku bergantian mencari nada yang cocok lalu menyalinnya ke buku tersebut.

Cukup lama aku berkutat tidak jelas.

"Argh...!" geramku jengkel. Aku sudah menghapus berkali-kali not balok berserta lirik lagu yang aku tulis di buku. Baru kusadari bahwa aku belum berhasil menulis apa pun. Kini aku menatap lemah piano di depanku ini. "Kenapa aku tidak bisa membuatkan lagu untuknya dengan tema pertemanan? Apakah tema ini salah? Lalu tema yang benar apa? Hey piano, tolong beritahu aku," pintaku sambil mengelus-ngelus permukaan piano.

Aku menghela nafas panjang lalu memutuskan untuk pulang.

~ooooooooo~

Hari berganti dengan cepat seperti biasa, namun ada sesuatu yang tidak biasa padaku. Hari ini aku berangkat sekolah dengan rasa penuh semangat. Aku sudah tidak sabar untuk segera sampai ke kelasku. Namun rautku wajahku mendadak berubah kusut saat memasuki ruangan kelasku. Bagaimana tidak, sosok yeoja sebelah bangkuku tidak menampakkan diri. 'Kemana dia?' batinku. Sebenarnya aku sangat ingin menanyakan keberadaannya pada siswa yang lain tapi aku terlalu takut untuk bertanya. Saat absensi Junsu dinyatakan tidak masuk tanpa keterangan apa pun.

Selama pelajaran berlangsung, tidak ada sepatah kata pun dari songsaenim yang aku dengarkan. Berkali-kali aku menoleh ke bangku sebelahku, berharap tiba-tiba Junsu ada. Namun harapan tinggal harapan. Sosok Junsu tidak muncul-muncul juga hingga bel pulang berdering. Dengan langkah gontai aku meninggalkan ruangan kelasku. Rasanya hari ini sungguh sangat membosankan. Aku benar-benar rindu candanya... senyumnya... tawanya... segala tentang dirinya. Tersentak akan pemikiranku, aku segera mengeleng-gelengkan kepalaku. Kulanjutkan langkah siput–lebih tepatnya langkah yang sangat lambat– ini menuju ruang musik. Sesampainya disana, aku langsung curhat pada si piano.

"Dia tidak membuatku tertawa hari ini. Bukan karena candanya yang tidak lucu melainkan dia tidak masuk sekolah. Hey piano... mengapa aku akhir-akhir ini selalu memikirkannya?" tanyaku.

"Hikz..."

'Apa tadi aku mendengar suara? Suara isakan lebih tepatnya?' batinkuku dengan mengkerutkan kening.

"HUWA...!"

Aku mendekati pintu dan dengan ragu-ragu, kuputar kenop pintu lalu melongok ke luar.

"Tidak ada siapa pun? Apa aku salah dengar?" tanyaku terlebih pada diriku sendiri.

Kugeleng-gelengkan kepalaku, mengedarkan pandanganku ke sepanjang lorong koridor dan hasilnya nihil. Tidak ada seorang pun di sini kecuali diriku tentunya. Aku menghela nafas panjang dan berniat untuk menutup pintu kembali, hingga kudengar suara isakan yang volumenya semakin meninggi.

'Brak!'

Kubanting pintu ruang musik dengan emosi. Kubiarkan kakiku membawa diriku entah kemana.

"Huwe..."

Suara itu menuntunku pada tangga yang letaknya tak jauh dari ruang musik. Di ujung tangga tersebut terdapat sebuah pintu. Aku sangat yakin bahwa di balik pintu tersebutlah sumber isakan itu berasal. Dengan hati berdebar-debar kudaki tiap anak tangga hingga akhirnya aku memutar kenop pintu dan mendorongnya pelan.

Seketika mataku membulat. Di atap sekolah inilah terdapat seorang yeoja mungil tengah menengadah ke langit yang sedikit mendung siang ini. Air matanya mengalir melewati tiap lekuk pipinya yang kemerahan. Bibir cherrynya bergetar dan tangannya memeluk lututnya yang ia tekuk.

Kuberanikan diriku untuk mendekatinya. "Junsu?" panggilku.

Yeoja yang kuyakini bernama Junsu menoleh ke arahku dengan mata yang sungguh bengkak. Bukannya hari ini ia tidak masuk sekolah? Jadi sejak jam pertama ia membolos? Kenapa dengannya? Mengapa Junsu yang terkenal selalu tertawa sekarang menangis seperti ini?

"Kau tidak apa-apa?" tanyaku sekali lagi.

Junsu malah menangkupkan tangannya, membuat hampir seluruh wajahnya tertutup. "Umma... Appa... Jahat! Kalian Jahat!" raungnya.

Seketika dadaku terasa sesak. Luka hati yang terpendam kembali menganga lebar.

"Aku benci kalian!... Aku tidak butuh kalian!" teriak yeoja itu lagi dan masih pada posisi yang sama.

Detik itu juga, aku langsung jatuh terduduk dan memeluk Junsu. "Gwanchana... Semuanya akan baik-baik saja."

"Tolong temani aku," pinta Junsu.

Aku terdiam kemudian mengangguk.

Sejak kapan diriku peduli pada orang lain? Bahkan untuk memperhatikan diriku saja rasanya tidak pernah. Apakah ada yang salah denganku?

"Kenapa kau tidak pulang?" tanyaku sambil melepaskan pelukannku.

Junsu mengeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin pulang!"

"Lalu kau mau kemana?" tanyaku bingung.

"Kemana saja asal bukan rumah!"

Aku tersentak, namun sejenak kemudian kuhela nafas panjang. "Bagaimana kalau ke tempat yang kau suka?" bujukku. Eh tadi aku bilang apa?

Junsu melepaskan tangan yang menutupi wajahnya dan menatapku. "Kau janji akan menemaniku?"

Aku mengangguk.

"Kau janji tidak akan meninggalkanku?" tanyanya lagi.

Aku terdiam sejenak, namun kemudian mengangguk. Biarlah aku ikuti kemauannya, nanti juga ia pasti gantian merengek minta pulang ke rumahnya.

"Janji?" katanya sambil mengacungkan jari kelingkingnya.

"Aku berjanji," jawabku sambil menautkan jari kelingkingku ke jari kelingkingnya.

Kami baru saja melakukan pinky promise. Janji yang selama ini aku anggap janji yang sangat konyol, tapi buktinya aku melakukannya. Sekarang aku semakin yakin kalau ada yang salah dengan diriku.

~ooooooooo~

"GOL!" teriak Junsu girang.

"Jangan teriak di telingaku! Suaramu seperti lengkingan lumba-lumba!" bentakku jengkel. Bagaimana aku tidak jengkel. Junsu menyeretku ke tempat yang ramai, tempat yang sangat aku benci. Masih mending kalau suara berisik manusia, tapi tempat ini bising karena suara mesin! Heran... dengan sekejap wajah sedihnya telah menghilang.

"Biarin! Yang penting Yoochun kalah!" ledek Junsu.

"Cerewet!" balasku galak. Aku mengembungkan pipiku saat menatap layar LCD yang memampang jelas skor 5-0 untuk game sepak bola. Tentu saja mudah ditebak siapa yang mendapat skor lima dan yang mendapat skor nol.

"Yoochun kalah... Yoochun KO! Hahahaha!" tawa Junsu meledak.

Sebenarnya ingin kumaki Junsu, tapi melihat ia tertawa membuatku amarahku menguap entah kemana. "Aku kan belum pernah bermain game, jadi wajarlah kalau aku kalah."

Junsu langsung menatapku dengan mata sipitnya yang membulat tidak sempurna. "Yoochun belum pernah bermain game?" tanya Junsu tidak percaya.

Aku mengangguk mengiyakan.

"Belum pernah kemari? Maksudku belum pernah ke game center?" tanya Junsu lagi.

Sekali lagi aku hanya bisa menganngguk.

'Ctak!'

"Dasar Yoochun pabo! Dasar jidat lebar pabo!" Junsu menjitak dahiku.

"Wadaw!" ringisku. Ingin rasanya mengucapkan sumpah serapah pada Junsu karena beraninya ia mengataiku dengan sebutan 'jidat lebar'.

"Pernah bermain ke taman?" tanya Junsu tiba-tiba menghentikan jampi-jampi yang baru saja akan aku mulai katakan dalam hati.

"Mwo?" tanyaku balik.

"Pernah bermain ke taman?" ulang Junsu.

"Pernah tapi aku tak ingat kapan terakhir kali aku ke sana," jawabku lemah.

"Yap, kalau begitu tujuan kita selanjutnya taman!" ajak Junsu langsung menyeret paksa tanganku.

Yah... lagi-lagi aku hanya sebagai hewan peliharaanya yang selalu mengikuti majikannya jalan-jalan.

Kami pun keluar dari gedung game center. Untunglah aku keluar dari tempat bising mesin itu, rasanya telingaku tuli untuk sementara waktu. Kini kami berlari menyusuri trotoar, terus berlari sesuai peta yang tertancap di memori otak Junsu.

~ooooooooo~

"Tara...! Bagus kan?" teriak Junsu dengan mata berbinar-binar.

"Hah... hah...," nafasku tersengal-sengal setelah berlari cukup jauh. Aku sampai heran dengan Junsu yang sepertinya masih bernafas dengan teratur.

"Ayo main ayunan!" ajak Junsu yang lagi-lagi menyeret paksa tanganku dan tidak memberiku kesempatan untuk mengatur nafasku yang patah-patah.

Junsu duduk di kursi ayunan lalu merengek, "Cepat dorong aku."

Untuk sekian kali aku menghela nafas panjang menghadapi sikap Junsu. Ternyata posisiku sebagai hewan peliharaan bermetamorfosis menjadi baby sister.

"Sudah sore, kapan kau pulang?" tanyaku sambil mendorong pelan punggung Junsu. Aku khawatir karena langit mulai berwarna oranye keemasan pertanda matahari sebentar lagi akan terbenam.

Junsu menunduk lalu berkata, "Aku tidak mau pulang."

"Kenapa tidak mau pulang?" tanyaku lagi.

"Karena mereka tidak peduli padaku," jawab Junsu pelan. Tak lama kemudian terdengar isakan pelan yang keluar dari mulut Junsu. Kurasa Junsu menangis lagi. Junsu yang ceria ternyata sangat mudah menangis. Ini sebuah fakta yang mungkin baru aku seorang yang tahu.

Aku menghentikan dorongan tanganku lalu mengepalkan tanganku kuat hingga kuku jari-jariku menacap dalam. "Mana mungkin ada orang tua yang tidak peduli pada anak mereka."

Junsu menoleh ke belakang, menatapku dengan air mata berlinang. "Itu hanya berlaku untuk anak yang berstatus 'anak kandung', hikz..." isak Junsu langsung memalingkan mukanya.

Tanpa sadar aku merengangkan kepalan tanganku. "Maksudmu?" tanyaku.

"Aku baru menyadarinya... betapa sakitnya setelah mengetahui fakta yang tersembunyi bertahun-tahun. Ternyata aku bukan anak kandung, aku sama sekali tidak memiliki ikatan darah dengan mereka. Aku hanyalah anak punggut dan sekarang mereka sedang berbahagia karena sebentar lagi memiliki anak kandung. Mereka sudah tidak memerlukanku lagi," jawab Junsu. Terlihat tangannya meremat kuat pegangan ayunan yang terbuat dari besi.

Aku berjalan memutari ayunan lalu duduk di kursi ayunan sebelah Junsu yang kosong. "Jangan berpikiran buruk tentang orang tuamu. Aku yakin mereka pasti sangat menyayangimu." hiburku.

Junsu langsung meloncat dari kursi ayunannya lalu menatapku tajam. "Kau tidak akan mengerti perasaanku! Karena kau...," Junsu menghela nafas panjang lalu melanjutkan, "karena kau tidak mengalami apa yang aku alami!"

"Benarkah? Apa setiap orang harus mengalami masalah orang lain baru memahami masalah orang tersebut?" balasku.

Junsu semakin menatapku tajam. "Kau berlagak dewasa!"

Aku beranjak berdiri dari kursi ayunanku lalu mendekati Junsu. "Karena keadaan yang membuatku seperti ini. Orang tuaku bercerai... " elakku.

Junsu hanya bisa membisu.

Aku memegangi pundak Junsu. "Aku lelah melihat sifat kekanak-kanakanmu. Lihatlah mereka yang berada di panti asuhan. Mereka pasti sangat iri padamu."

"...,"Junsu kehabisan kata-kata.

Aku menyeka air mata Junsu lalu berkata, "Pulanglah, mereka pasti mengkhawatirkanmu."

Bukannya reda tangisan Junsu malah semakin menjadi-jadi. Ia langsung memelukku dan membenamkan mukanya di dadaku. Terasa sangat jelas seragamku basah oleh air mata Junsu.

"Aku benar-benar sayang mereka. Aku cum... Aku cuma takut mereka akan membuangku, hikz...," rengeknya.

Aku mengelus lembut rambut Junsu. "Mereka tidak akan melakukannya padamu karena mereka adalah appa dan umma'mu," janjiku.

Junsu semakin mempererat pelukannya. Terdengar suaranya yang parau.

"Tolong... tolong antar aku pulang," pinta Junsu.

Aku tersenyum. "Dengan senang hati my little princess."

~ooooooooo~

"Turunkan aku Yoochun! Aku ini bukan bayi yang bisa kau gendong seenakmu!" paksa Junsu.

Aku terkekeh, "Kau memang bayi, hahaha... bayi yang cengeng."

Yah... dengan terpaksa aku harus mengendong Junsu di punggungku. Aku hanya cemas bila ia berjalan dengan kakinya sendiri dan bisa saja ia berubah pikiran lalu berganti rute. Mungkin saja ia akan menyeretku ke game center berisik itu lagi dan tentunya aku tidak akan membiarkannya.

'Ctak!'

"Dasar jidat lebar pabo! Cepat turunkan aku! Aku ini berat!" bentak Junsu dan dengan entengnya menjitak dahiku.

Aku mendesis panjang. "Kau memang berat! Aku serasa mengendong dolpin yang sedang hamil tua! Jadi diamlah sampai kita berada di rumahmu!" bentakku jengkel.

"..." Junsu tidak menyahut.

"Dimana rumahmu?" tanyaku.

Kami melewati perumahan yang sepi. Maklum hari telah gelap dan lampu jalan mulai menyala satu persatu.

"Sudah dekat. Tinggal dua rumah dari sini," jelas Junsu.

"Sampai sini saja ya!" kataku sambil menurunkan Junsu dari punggungku. "Cepat pulang, mereka pasti sangat mencemaskanmu."

Junsu menunduk dan mengesek-gesekan alas sepatunya.

Aku menaikkan salah satu alis mataku. "Apa lagi?"

'Cup!'

"Gomawo Chunie." Junsu mengecup pipiku dan langsung melarikan diri.

Aku hanya bisa berdiri mematung mengamati sosok Junsu yang menghilang masuk ke rumahnya. 'Tuhan... apa yang terjadi padaku?' batinku sambil meremat dadaku yang bergerumuh kencang.

End of Yoochun POV

~ooooooooo~

Junsu POV

'Plak!'

"Junsu! Kemana saja kamu!" bentak ummaku penuh amarah. Ia menampar pipiku keras, dapat kurasakan panas dan perih menjalar di pipi kananku.

"Umma... Jun...," kata-kataku terpotong ketika tubuhku dipeluk erat oleh ummaku.

"Yunnie...! Suie-ya pulang!" teriak ummaku parau, kurasa umma menangis.

'Drap... drap... drap...'

"Benarkah itu Boo?" Appa berlari menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Melihatku di pelukan umma, appa langsung melepaskan ponsel yang sempat menempel di telingannya. Ponselnya jatuh menghantam lantai tapi appa tidak memperdulikannya, ia lebih memilih berlari kearahku dan memelukku. "Kemana saja kamu suie-ya? Appa sampai menelepon ke mana-mana. Kenapa ponselmu tidak aktif?"

"Suie-ya... jangan berbuat seperti ini... umma mohon. Bisa-bisa umma sangat menyesal kehilangan anak tersayang umma," kata umma dengan nada yang sangat sedih.

Aku yang mendengarkan perkataan umma hanya bisa menangis. Aku sungguh sangat menyesal telah membuat appa dan umma begitu mencemaskanku.

"Umma..." panggilku.

"Ne?"

"Kapan adikku lahir?" tanyaku sambil mengelus-ngelus perut umma yang besar.

End of Junsu POV

~ooooooooo~

Yoochun POV

"Aku pulang...," kataku saat memasuki rumahku.

Tidak ada sahutan dan itu sudah biasa bagiku. Tapi entah mengapa aku tidak pernah bosan untuk selalu mengucapkan salam setiap aku pulang. Aku memasuki ruang tengah lalu menghempaskan badanku ke sofa. Rasanya hari ini sungguh sangat menyita tenagaku. Aku memejamkan mataku, membiarkan tubuhku beristirahat sejenak.

"Trililit... trililit..."

Telepon rumah yang letaknya tak jauh dariku terus berdering, namun aku membiarkannya. Tidak perlu mengangkatnya apabila sudah tahu siapa yang menelepon dan apa yang akan dibicarakan di telepon. Biarlah mesin penjawab telepon melakukan tugasnya.

"Chunie-ya?... Mianhae... umma sangat sibuk. Mungkin hari ini umma tidak pulang. Bila lapar teleponlah restoran cepat saji. Umma sayang Yoochun. Pip...!"

Aku menghela nafas panjang dan membuka kelopak mataku. "Tidak perlu memberitahuku, aku sudah tahu," kataku sambil mengepalkan tanganku kuat.

Kenapa aku bisa mempunyai keluarga seperti ini? Keluarga yang tak utuh karena setahun yang lalu appa dan umma bercerai. Sidang memihak pada umma untuk hal hak asuhku. Kenapa aku harus mengalami hal ini? Mengapa dunia begitu kejam padaku? Aku hanya seorang remaja yang masih membutuhkan kasih sayang orang tua. Aku berharap waktu cepat berlalu, biarkan semuanya berjalan seperti ini. Tanpa ada melodi seperti permainan pianoku.

Bagaimana dengan Junsu ya? Ternyata nasib kami tak jauh berbeda walau beda akar masalahnya. Mungkinkah ia masih bisa tertawa esoknya?

~ooooooooo~

"HAHAHAHAHA!" tawa beberapa orang mengema memenuhi seluruh kelas tempatku berada sekarang. Aku melirik ke bangku sebelahku. Terlihat kumpulan para yeoja dan namja tertawa terbahak-bahak. Aku tersenyum karena situasi tidak berubah sama sekali. Junsu seperti biasa selalu membuat lelucon dan tertawa bersama siswa yang lain.

'Drrrt...drrrt...!'

Ponselku bergetar. Dengan malas aku mengakatnya, "Yeoboseyo?... Umma?... Arraseo."

Junsu berhenti mengoceh dan menoleh ke arahku. Siswa yang di sekitar Junsu juga mengikuti apa yang dilakukan Junsu. Tanpa memperdulikan tatapan mereka, aku beranjak berdiri lalu meninggalkan ruang kelas.

Seperti biasa, aku sedang menuju ke ruang musik. Tapi kali ini ada sesuatu yang menganjal hatiku, rasanya sangat sakit sekali. Mengapa ini terjadi dengan mendadak? Aku belum siap!

"Piano...," kataku begitu mendapati benda hitam besar tersebut. Aku mendekati piano tersebut lalu mengelusnya lembut.

"Yoochun...," panggil seseorang.

Aku menoleh dan tersenyum. "Junsu..."

"Boleh bicara sebentar?" tanya Junsu.

Aku mengangguk.

Kami berdua meninggalkan ruangan musik lalu menuju ke atap sekolah. Tempat pertama kali aku melihat Junsu menangis.

"Gomawo..." Junsu memulai percakapan.

"Untuk apa?" tanyaku.

Junsu menganyam jari-jari tangannya. "Semuanya... semua yang telah kau lakukan padaku."

Aku tersenyum lalu mengacak-ngacak rambut Junsu. "Bagaimana keluargamu?"

Junsu tertawa. Terlihat tawanya sangat tulus. Tawa bahagia tentunya.

"Aku sudah tidak sabar menyambut anggota keluarga baru. Adikku... adikku yang sangat aku sayangi," jawab Junsu.

Aku ikut tertawa. "Semoga adikmu tahan akan sikapmu itu, hahahaha!"

'Ctak!'

Lagi-lagi Junsu menjitak dahiku.

"Dasar jidat lebar nyebelin!" gerutu Junsu.

Aku mendesah pendek, "Kali ini aku tidak akan berbaik hati padamu. Terima pembalasanku ini!"

Junsu yang menyadari tanda-tanda bahaya langsung berlari menjauh dariku. "Coba saja kalau bisa, wekz!" tantangnya.

"Awas kau, Junsu!" Aku mengejar Junsu yang berusaha melarikan diri. Yah... kami berdua berputar-putar hingga akhirnya berhenti sendiri karena kelelahan. Kami berbaring di lantai atap sekolah.

"Hah... hah... larimu cepat juga," kataku dengan nafas terengah-engah.

"Kau juga," balas Junsu dengan kondisi yang sama denganku.

"Time out lima menit ya?" pintaku.

"Oke," jawab Junsu enteng.

Lima menit kami gunakan sungguh-sungguh untuk beristirahat. Setelah nafasku kembali normal, aku beranjak berdiri dan mendekati Junsu yang masih posisi terbaring.

"Bangun pemalas," kataku sambil mengulurkan tanganku.

"Ne... ne...," jawab Junsu sambil menanggapi uluran tanganku.

'Hup!'

Dengan sekali tarikan, aku membawa Junsu ke dalam pelukanku.

"Yoochun?" tanya Junsu kaget.

"Gomawo... sudah membuatku tertawa." Aku melepaskan pelukanku lalu menggledah tasku. "Ini untukmu," kataku sambil menyerahkan sebuah buku pada Junsu.

Junsu menerima buku pemberianku lalu bertanya, "Apa ini?"

'Drrrt... drrrt...'

Aku mengakat ponselku. "Yeoboseyo?... Arraseo." Kumasukan kembali ponselku ke saku celanaku.

"Siapa yang menelepon?" tanya Junsu.

Aku tidak menjawab pertanyaan Junsu. "Simpan buku itu baik-baik dan ingat! Kau hanya boleh membukanya saat di rumah, arra? Oh... hm... sepertinya aku sudah dijemput, aku harus pulang sekarang. Bisa antar aku sampai ke bawah?" pintaku.

Junsu yang kebingungan hanya bisa mengangguk. Aku tersenyum lalu mengandeng tangan Junsu hingga keluar dari halaman sekolah. Selama perjalanan, Junsu memeluk buku pemberianku dengan erat. Sebuah mobil telah menungguku, aku membuka pintu namun sebelum masuk aku menatap Junsu.

"Aku pergi...," pamitku.

"Hati-hati di jalan," balas Junsu dengan tersenyum.

"Gomawo..." Aku masuk ke mobil dan mobil melaju kencang.

End of Yoochun POV

~ooooooooo~

Author POV

Junsu membuka buku pemberian Yoochun saat ia berada di kamarnya. Bola matanya berputar membaca tiap baris.

"Eh... artinya apa nih?" tanya Junsu kebingungan. Namun Junsu tidak kehabisan akal, ia membuka kamus online dan dari situlah ia mengerti arti dari tiap lirik lagu itu. "Romantisnya... Kya...!" Junsu menguling-gulingkan badannya di ranjang karena terlalu senang.

'Drrrt...drrrt...'

"Yeoboseyo?" jawab Junsu.

"Ini aku Yoochun," balas Yoochun dari seberang sana.

Junsu langsung senyam senyum gaje. "Eh... tahu nomer ponselku dari siapa?"

"Haha... yeoja terkenal sepertimu, siapa sih yang nggak punya nomer ponselmu."

"Haha... kenapa meneleponku?"

"Hm... sudah lihat isi buku pemberianku?"

Junsu melirik buku di sebelahnya. "Ne..."

"Aku yakin pasti kau menggunakan jasa kamus online kan? Hahaha."

Junsu mengembungkan pipinya. "Jangan mengubar aib orang! Akh... hm... ini lagu?"

"Ya iyalah lagu... kau tidak bisa melihat not balok ya?"

"Mian... mian... " jawab Junsu cemberut.

"Gitu aja ngambek. Mau aku nyanyiin?"

"Mau... mau..."

"Dengarkan baik-baik ya..."

Junsu mengangguk meskipun Yoochun tidak bisa melihatnya.

" I suppose this feeling in my heart would be love.
Although I try to hide it, a smile appears on my lips.

It hasn't been even a day but I begin to miss you again.
What should I do? My heart has caught a deep illness.

Now I will not have a lazy appearance anymore.

I want to show you just my good points.

Up there, high in the sky, I want to fly
To tell the world that I love you.

Deep in the night sky, girl
I will become a star to protect you. You're my love.

Those words "lets break up", those words "be happy",
Lets never say those to each other..

Like now, please be by my side.
I pray that you understand my lacking heart.

Lean against my manly appearance..
I want to become a man that best suits me.

Please give me approval to go be inside your
heart always.

If you are like me, than there won't be any pain,
Because now I will protect you

My little princess everyday I'm going to show you love that
I've hid until now.

For forever, without a changing heart girl
I'm going to love you more than myself
You're my love. "

"Wow keren! Suaramu merdu sekali Yoochun!"

"Gomawo... hm... Junsu..."

"Mwo...?"

"Sekarang aku di bandara dan sebentar lagi aku ke Amerika. Mungkin aku menetap di sana untuk waktu yang lama."

Junsu tersentak kaget. "Mwo! Amerika!"

"Ne... Saranghae... Bye... pip..!"

" Ya... Yoochun!... Yoochun!" panggil Junsu frustasi.

Junsu mencoba menelepon Yoochun kembali namun gagal. Ponsel Yoochun non aktif.

"Nado saranghae... hikz...!" Junsu menangis sambil memeluk buku pemberian Yoochun.


TBC


a/n :

Gimo comeback !

Huhay... setelah vacum karena UAN yang bikin mules nie perut.

Nah... gimo tau2 nonggol bikin fict YooSu. Pengen buat aja sih...

Buat DesySeungho ShawolShinee

Cepet unjuk gigi! Maksudku cepet sembuh yak halmeoni ^^

Wkwkwkwk

Gila... njenguk serasa mulih desa =="

Haha salam evil dari magnae :P