Baby Girl
5th Life
(a Somewhere Hollow)
.
.
.
Naruto©Masashi Kishimoto, 1999
Baby Girl©Akasuna no hataruno Teng-chan, 2011
.
.
.
"Sasuke…" lirih Sakura saat menyadari suara yang menyebut namanya dan Sasori.
Setelahnya tak ada suara apapun terdengar kecuali langkah kaki milik Sasuke yang mendekati kedua temannya berada.
"Sasori, apa yang terjadi?" tanyanya panik sembari meletakkan kantong plastik berisi makanan ringan di atas meja belajarnya.
"Hanya mengatasi dua preman yang gak penting tadi di jalan."
"Baka!" ketus Sasuke pada sahabatnya itu.
Meskipun Sasuke menyebutnya idiot, namun Sasori sangat mengerti bahwa sebenarnya pemuda beriris onyx tersebut sangat mengkhawatirkan dirinya. Itulah sebabnya si rambut merah hanya mampu mendengus dan berseringai sebagai balasannya.
"Sudahlah. Lagi pula Sakura-chan sudah mengompresku."
"Hn."
Lagi-lagi Sasuke menutupi perasaannya yang sesungguhnya. Jika tadi ia mengatai Sasori idiot walaupun sebenarnya ia merasa khawatir, kali ini Sasuke harus memasang wajah datar untuk menyamarkan perasaan yang sebenarnya kurang suka melihat kedekatan Sakura dan Sasori.
"Kau darimana Sasuke-kun?" tanya Sakura menyita perhatian Sasuke.
"Dari mini market. Persediaan pensilku habis, sekalian membeli snack," ungkap Sasuke.
"Ya sudah, aku pergi. Sepertinya kalian perlu waktu untuk berduaan," ucap Sakura dengan membuat dua tanda kutip di atas kepalanya, dan diiringi seringai yang menurut kedua lelaki di hadapannya sungguh tidak elit.
"Geez…"
Kini Sasuke tengah berada di kamarnya bersama Sasori. Sebenarnya tidak ada suatu kepentingan tersendiri untuk Sasori mengunjungi rumah sahabatnya ini, melainkan untuk bermain game bersama karena lelaki bermata hazel tersebut merasa jenuh di rumahnya seorang diri. Dan sejak kepergian Sakura lima menit yang lalu, tak ada perbincangan yang mereka bahas. Hingga pada akhirnya Sasorilah yang berinisiatif mengeluarkan mereka dari suasana hening.
"Dia… benar-benar terlihat semakin menarik ya? Menurutmu Sasuke?"
"Hn!? Siapa?" tanya Sasuke tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar televisi seperti Sasori, berlagak kurang paham arah pembicaraan mereka.
Merasa sahabat disampingnya pura-pura bodoh, Sasori menghela napas sedikit kesal, "Ini tentang Sakura. Siapa lagi?"
"Aa… Dia memang selalu menarik. Kau saja yang baru menyadarinya."
Great!
Akhirnya kalimat yang dinantikan Sasori terlontar juga dari mulut Uchiha Sasuke. Sahabatnya ini memang telah terperangkap pada pesona Haruno sejak lama.
"Tu-tunggu… maksudku—"
"Cukup. Aku bukanlah Kiba yang hanya peka terhadap aroma. Kita sudah bersahabat sejak lama Sasuke, aku sangat peka pada tingkahmu…" selanya sebelum Sasuke menyelesaikan kalimat penyangkalannya diiringi dengan gerakan jarinya memencet satu tombol untuk menjeda permainan mereka, "…kau ini sudah jelas mencintainya. Mulai sekarang jangan tahan lagi perasaanmu padanya."
"Sasori. Kau—" desis pemuda raven tersebut, "Geez—aku heran denganmu. Apa kau telah menjadikanku puppet, memasangkan alat pendeteksi dalam tubuhku sehingga apa yang kurasa kaubisa mengetahuinya dengan mudah."
"Hahaaa… tidak butuh ahli pembuat puppet untuk mengetahuinya Sasuke. Kau selalu ada bersamanya, melindungi, mengetahui semua sisi tersembunyinya, dan mengeluarkan aura 'membunuhmu' saat ada seseorang yang terlihat mengusiknya. Apalagi itu kalau bukan rasa cinta."
Sasuke lalu mengalihkan pandangannya pada jendela kamar yang terbuka, menampakkan bintang-bintang bertebaran mengelilingi bulan. Sebenarnya hal tersebut dilakukannya untuk menyembunyikan semburat merah tipis yang menjalar di pipinya.
"Kau memang jenius soal diriku. Aku tak akan lagi menahannya."
Dua menit sudah Sasuke dan Sakura kembali dalam perjalanan menuju ke sekolah. Tak ada pembicaraan yang mendominasi diantara keduannya, karena dapat terlihat dengan kasat mata bahwa keadaannya sekarang memang benar-benar canggung. Bagaimana tidak, untuk pertama kalinya sejak mereka bersama, baru kali ini Sakura membonceng pemuda bermata onyx tersebut menggunakan sepeda Sasuke. Dan untuk pertama kalinya pula, Sasuke dibonceng seorang teman wanita, apalagi yang kini ia cintai.
Seperti pagi kemarin. Kali ini sepertinya Sasuke—dan Sakura—akan mendapat ancaman terlambat sekolah lagi. Jika kemarin alasan terlambatnya Sasuke memang benar-benar murni karena bangun kesiangan, kali ini lain lagi ceritanya. Sebenarnya mereka telah berangkat dari rumah sejak lima belas menit yang lalu. Akan tetapi saat di tengah-tengah perjalanan, ban sepeda Sakura tertusuk paku yang entah darimana asalnya. Jelas hal tersebut mengharuskan ia meninggalkan sepedanya berada di bengkel terdekat untuk diperbaiki, yang tentu membutuhkan waktu lumayan lama.
Dan suatu istilah yang mengatakan bahwa di setiap musibah selalu ada berkah kini berlaku bagi Sasuke. Bagaimana tidak, berkat sepeda Sakura yang rusak tersebut kini ia bisa dibonceng gadis yang selalu ada dalam mimpi-mimpi indahnya.
Tiba-tiba ide jahil muncul di otaknya yang bisa dibilang jenius. Tanpa aba-aba ia menaikan kecepatan sepedanya yang pastinya membuat Sakura dengan spontan mencengkram pinggang—ah bukan, lebih tepatnya seragam Sasuke. Mungkin Sakura akan tetap seperti itu jika tidak ada lampu lalu lintas berwarna merah menyala, dan mengharuskan Sasuke menghentikan sepedanya.
Dengan kikuk gadis berambut merah muda itu menarik perlahan pegangannya pada seragam pemuda Uchiha di depannya. Namun belum sempat ia melepaskannya, tiba-tiba dirasakannya sebuah tangan yang menggenggamnya dengan erat. Kemudian tangan tersebut mengambil alih gerakan tangan Sakura, menuntunnya supaya melingkar di sekitar perutnya, sehingga keadaannya kini Sakura memeluk Sasuke dari belakang.
Sebenarnya sakura risih melihat tatapan-tatapan aneh ditujukan padanya dan Sasuke. Namun protes pun terasa sulit untuk dilontarkan pada pemuda yang kini tengah berseringai itu.
"Sasuke…" panggil Sakura saat sepeda mereka kembali melaju, meski tak secepat sebelumnya.
"Hn," tanggapnya.
"Apa aku boleh berpendapat hal yang memalukan?"
Terdengar suara tawa namun rendah berasal dari mulut Sasuke, tak mampu menutupi rasa gemasnya.
"Katakanlah!" perintahnya yang terdengar tak sabaran.
"Umm… Kau…"
Terdengar ia memberikan jeda pada kalimatnya, pertanda sebenarnya ia ragu-ragu untuk mengatakannya. Namun tak lama kemudian ia kembali melanjutkannya lagi dengan rona merah menjalar di wajahnya yang datang tanpa permisi.
"…kau ternyata tak sedingin yang kubayangkan," akunya meski masih bermakna tersirat.
"Eh!?"
"Uhm! Kukira tubuhmu itu sedingin ekspresi dan nada bicaramu. Tapi ternyata tidak," tegasnya walaupun dengan rasa malu setengah mati. Namun anehnya itu malah membuatnya merasa senang bisa mengungkapkan apa yang ia rasa saat ini.
Sedangkan Sasuke tak mampu berkata-kata lagi mendengar pengakuan yang seolah dapat melelehkan seluruh organ tubuhnya. Dan seandainya ia bukanlah manusia biasa, pasti kini Sasuke akan langsung menerbangkan sepedanya ke langit ketujuh bersama putri tunggal Haruno tersebut.
Berlebihan memang. Tapi apa daya jika cinta sudah menjalar di hati.
Lima menit sudah Naruto bersandar di jendela pinggir koridor depan kelasnya. Terlihat dengan jelas bahwa perhatian cowok berambut jabrik tersebut kini tengah tertuju pada komik bersampul jingga mencurigakan di tangan kanannya. Tanpa ia sadari banyak siswi lewat untuk mencuri pandang padanya, bahkan para siswa pun tidak melepaskan pandangannya dari Naruto—tepatnya pada sampul komik yang Naruto pegang.
Mungkin Pemuda jabrik itu akan tetap berkonsentrasi pada komik tersebut dan mengabaikan orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya kalau saja ia tak mencium aroma yang sangat tidak asing lagi baginya. Dan satu orang yang Naruto kenal hanya dengan aroma wangi tersebut. Siapa lagi jika bukan Haruno Sakura.
Bingung. Mungkin itulah gambaran perasaan sang Uzumaki saat ini. Bingung apakah benar yang ia hirup kini adalah wangi dari orang yang ia kenal atau bukan. Bingung apakah benar yang ia lihat adalah nyata atau ilusi. Bingung karena lengan kirinya merasakan sakit akibat dari cubitannya sendiri, pertanda semuanya bukan mimpi.
"Naruto..."
Naruto masih bingung apakah benar yang ia dengar kini berasal dari gadis di hadapannya atau makhluk lain.
"O-Ohayou !" sapa gadis itu lagi dengan kalimat yang berbeda.
"Eh... O-ohayou!" jawab Naruto dengan tercekat. Tentu hal itu juga membingungkan, apakah benar itu adalah suara dirinya.
Keadaan menjadi sedikit canggung, karena yang ada kini Naruto dan Sakura hanya saling bertatapan satu sama lain. Dan itu membuat hal yang paling ditakutkan Naruto terjadi juga. Yaitu Naruto merasa bingung atas reaksi tubuhnya yang ingin segera memeluk Sakura.
"Ohayou, Naruto!" seru Sasuke tiba-tiba, membuat Naruto kaget.
"Ah! Ohayou Sasuke."
"Ayo kita masuk ke kelas, sebentar lagi bel," ajak Sasuke setelah ia menarik tangan Sakura untuk masuk ke kelas.
Akhirnya setelah beberapa saat yang lalu, baru kali ini laki-laki berkulit tan tersebut tidak merasa bingung lagi apa yang terjadi. Karena ia yakin bahwa pemuda Uchiha barusan telah melemparkan pernyataan perang untuk dirinya.
Pernyataan perang untuk memperebutkan sang tuan putri Haruno.
Pelajaran telah dimulai, dan Olahraga adalah mata pelajaran yang harus dilewati pada jam pertama untuk kelas XII-A. Benar-benar cocok untuk mengawali aktifitas mereka pada pagi hari yang indah di musim semi.
Haruno Sakura baru saja tiba di gedung olahraga saat ia mendengar sorakan teman-teman sekelasnya. Ternyata ada satu penyebab pemicu sorakan tersebut. Yaitu pertandingan basket tiga lawan tiga antara kelompok Sasuke, Gaara dan Kiba melawan kelompok Sasori, Sai dan Shikamaru. Sakura tak terlalu memperhatikan pertandingan tersebut sampai dia menduduki salah satu kursi di tribun, bergabung dengan teman-temannya. Hari ini memang pelajaran olahraga berlangsung tanpa adanya guru, jadi para murid bebas untuk memilih olahraga apa yang mereka suka atau bahkan hanya duduk menonton temannya yang lain bertanding, seperti yang Sakura lakukan saat ini.
Untuk sesaat, Sakura benar-benar terhanyut dalam pertandingan yang memang para pemainnya adalah para siswa menonjol di sekolahnya. Bahkan ia sempat nyaris ikut bersorak seperti yang lainnya, namun hal tersebut urung dilakukannya kala ia mendapati sosok berambut kuning tengah berdiri di depan pintu gedung olahraga. Sosok tersebut juga sedang memperhatikan pertandingan basket. Hingga Sakura menyadari satu hal. Yaitu kenyataan bahwa laki-laki tersebut tidak benar-benar menyaksikan pertandingan itu melainkan terkesan seperti melamun. Mungkin tatapan sakura benar-benar intens hingga cowok bernama Naruto tersebut sadar bahwa kini ada sepasang mata yang mengamati dirinya. Tatapan mereka pun bertemu hanya dalam sepersekian detik lalu si cowok pergi meninggalkan gedung olahraga tersebut setelah melemparkan sebuah senyuman, seolah dia tidak berniat mengikuti pelajaran saat ini mengingat tadi dia juga tidak mengenakan seragam olahraganya.
"Naruto..." gumam Sakura yang hanya mampu ia dengar sendiri.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Naruto tidak mengikuti pelajaran olahraga? Padahal dulu ia selalu bersemangat jika menyangkut soal olahraga. Dan... Tatapan itu... Sakura terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri dan tentu tak akan mendapatkan jawabannya jika ia tak bertanya langsung kepada yang bersangkutan.
Segera ia berlari keluar dari gedung olahraga, bermaksud mengikuti pemuda jabrik itu. Sudah tak dihiraukan lagi tujuan utamanya untuk mengikuti mata pelajaran pertamanya. Sakura mempercepat langkahnya saat ia sudah tidak melihat sosok yang dicari, yang sudah dipastikan telah berbelok arah menuju satu-satunya jalur menuju lantai teratas. Dan sepertinya ia terpaksa menghentikan langkahnya, karena sekarang pergelangan tangan kirinya telah dicengkeram erat oleh siswa yang barusan bermain basket. Siapa lagi jika bukan Sasuke.
"Mau kemana?" tanyanya gusar dengan keringat masih menetes di dahinya.
"A—aku..."
"Kau ingin menemuinya kan?" cecarnya diiringi tatapan menyelidik, setelah beberapa saat ia mengetahui jawaban yang akan dilontarkan gadis Haruno itu dari gerak-geriknya.
Bukannya menjawab, Sakura malah berusaha melepaskan genggaman tangan Sasuke, dan tentunya membuat alis laki-laki berkulit putih tersebut dengan sendirinya terangkat, sedikit terkejut. Pasalnya baru tadi pagi gadis itu memeluknya saat membonceng, dan sekarang ia malah berusaha menghindarinya.
"Aku mohon, biarkan aku menemuinya sendiri," pinta Sakura berusaha meyakinkan Sasuke bahwa semua akan baik-baik saja.
"Tch! Bagaimana bisa aku membiarkan kaubertemu dengan orang yang telah membuatmu menderita selama ini sendirian, hah!?"
Membentak. Sebuah perlakuan yang belum pernah Sasuke lakukan pada Sakura selama ini. Dan tentu setelah Sasuke melakukannya barusan, dapat dilihat kini mata beriris hijau milik gadis dihadapannya melebar, tak percaya atas perlakuan cowok yang selama ini selalu berbicara lembut padanya bisa berbicara seperti itu. Walaupun merasa bersalah, kalimat yang Uchiha bungsu lontarkan berikutnya bukanlah suatu permintaan maaf, seolah dirinya tak menyesali apa yang barusan ia perbuat.
"Jangan kautemui dia sendirian!" terdengar seperti sebuah perintah. "Biarkan aku menemanimu..."
"..."
"...aku tak akan ikut campur," lanjutnya.
"Sasuke... mengapa kau lakukan ini semua?"
"Karena aku peduli padamu. Aku tak'kan biarkan dia menyakitimu lagi," dengan nada yang sedikit bergetar Sasuke mengucapkan salah satu alasan mengapa ia tak rela membiarkan Sakura menemui Naruto seorang diri, hampir saja Sasuke mengatakan alasan utamanya.
Merasa diperhatikan, Sakura tanpa sadar tersenyum manis sebagai tanda terima kasihnya, "Terima kasih untuk semuanya, Sasuke-kun. Tapi aku harap, kaujangan anggap Naruto adalah orang yang jahat, dia tidak seperti itu."
Sasuke menahan napas sesaat berharap tak ada segarispun rona tipis di wajahnya akibat ulah Sakura yang tersenyum tanpa perintah. Dan untungnya Sasuke sukses menampakkan wajah datarnya. "Entah dia orang yang seperti apa sebenarnya. Tapi itu tidak akan merubah keinginanku untuk terus mengikutimu," ucapnya, masih dengan nada memaksa.
Haruno Sakura hampir tidak mempercayai apa yang disaksikannya sekarang. Pasalnya setelah sekian lama, baru kali ini ia menghadapinya dengan sifat pemaksa dan keras kepala—biasanya Sasuke selalu mengalah pada Sakura. Akan tetapi Sasuke yang selalu memanjakannya ataupun Sasuke yang menuntut dirinya, bagi Sakura keduanya sama saja. Karena apapun perlakuan pemuda berkulit pucat ini selalu mampu membuat dirinya merasa nyaman berada di dekatnya. Seperti perasaannya saat di dekat Naruto, dulu.
"Selama ini saat aku terpuruk kau selalu ada bersamaku. Sekarang aku telah bangkit, dan aku tidak pernah sekalipun berpikir untuk menjauh darimu. Jadi... aku tidak keberatan jika kauingin mengikutiku," akunya dengan perasaan sedikit geli saat ia melontarkan kata 'mengikutiku'.
"Benarkah kau tidak ingin menjaga jarak denganku? Walaupun..." dengan menekan emosinya, Sasuke berusaha mengucapkan kalimat selanjutnya, "...walaupun Naruto menginginkanmu kembali padanya?" tanpa sadar, dikepalkan tangannya dengan erat.
"A—aku..." terdengar sarat akan keraguan.
"Tch! Aku sudah tahu kauakan bimbang," sahut Sasuke setengah mendesis. "Meski aku telah menunjukannya dengan sikap, tapi aku belum pernah mengatakannya secara langsung padamu bahwa..." diambilnya napas perlahan dan dengan nada naik satu oktaf lelaki berambut hitam itu melontarakan pernyataannya yang selama ini masih ditahannya, "...AKU BENCI DIA YANG TIDAK BISA KAUBENCI!"
Beruntung saat ini koridor tempat mereka berada benar-benar sepi dan jauh dari kelas maupun ruang guru, jika tidak, tentu suara Sasuke barusan bisa menyita banyak perhatian orang. Dan itu bukanlah hal yang baik karena berpotensi menghilangkan SEDIKIT image Sasuke yang selalu tenang.
"Maaf—"
"..."
"Maaf Sasuke-kun. Aku tidak bisa membohongimu bahkan diriku sendiri, bahwa aku juga rindu dia, aku juga masih—"
"Cukup!" sergah Sasuke tidak ingin mendengar lebih pengakuan Sakura. "Baiklah. Cepat kautemui dia, tapi aku akan tetap mengikutimu. Tapi sebelum itu, kita ke kantin dulu."
"Eh!?"
Langit cerah menandakan bahwa cuaca hari ini benar-benar bersahabat. Tak ada segores awan gelap pun di atas sana mengusik keberadaan sang surya yang sepertinya akan terus bertengger hingga senja tiba. Benar-benar cuaca yang menyenangkan bagi kebanyakan orang, termasuk Uzumaki Naruto. Hampir lima belas menit pemuda tersebut menikmati kesendiriannya menikmati indahnya awan-awan abstrak yang berarakan dengan perlahan, melewati jam pelajaran olahraga yang seharusnya menjadi mata pelajaran yang menyenangkan untuk siswa laki-laki pada umumnya.
"Naruto...!" seru seorang gadis bermata emerald saat tiba di atap, menjumpai pemuda yang sedang menatap langit berwarna senada dengan iris matanya. Diambilnya langkah demi langkah untuk mengurangi jarak dengan pemuda tersebut.
Sadar ada yang menyerukan namanya, sontak Naruto mengalihkan pandangannya menuju asal suara tersebut berada—tepatnya pada satu-satunya pintu menuju tangga.
"Sa—Sakura-chan..." balas Naruto dengan ekspresi tak percaya namun tersirat kebahagiaan di sana. "...dan Sasuke," dan eksperesi bahagia itu hilang dalam sekejap berganti dengan tatapan kurang suka ketika matanya menemukan sosok lain di belakang Sakura.
"Yo, Naruto!" sapanya acuh tak acuh tanpa bergeser sedikitpun dari posisinya yang bersandar pada tembok samping pintu.
Hampir saja Naruto melontarkan ketidaksukaannya terhadap Uchiha ini karena keberadaaannya memang benar-benar tak diharapkannya. Tetapi hal itu urung dilakukan mengingat keberadaan Sakura di hadapannya kini lebih berharga dari apapun.
"Apa kabar Naruto?" Sakura mulai membuka suara.
"Seperti yang kaulihat," jawabnya dengan senyum yang dipaksakan. "Dan apa maksudnya? Mengikutimu seolah kauakan bertemu dengan seorang pembunuh," sindirnya dengan tatapan tajam mengarah ke Sasuke yang malah terlihat bermain game dari ponselnya.
"Sudahlah. Aku kesini juga ada urusan denganmu, tapi sekarang selesaikan dulu masalahmu dengan Sakura," ucap Sasuke sekenanya tanpa berpaling dari smartphone-nya.
Hening. Tak ada yang bersuara sedikitpun kecuali tiupan pelan angin musim semi. Hingga pada akhirnya Naruto, orang yang paling tidak suka suasana kecanggunganlah yang memulai menggetarkan pita suaranya dengan kalimat yang entah sesuai atau tidak.
"Kau tahu Sakura, kami sangat merindukanmu. Kaa-san, tou-san, setiap hari mereka selalu menanti kabar darimu, berharap kaupulang ke rumah berkumpul bersama-sama lagi. Tapi aku sadar, dirikulah yang membuatmu menghilang dari kami semua. Aku yang salah, aku yang jahat karena telah melukaimu. Maafkan aku Sakura-chan. Mungkin kata maaf tidak akan cukup untuk menebus kesalahanku ini, tapi aku akan berusaha untuk—"
Grep!
Sebuah pelukan dari Sakura sukses membuat pemuda Uzumaki tersebut menghentikan rentetan kalimat panjangnya.
"Tak apa...lupakan semua itu," ucap Sakura semakin mengeratkan pelukannya pada orang yang selama satu tahun menyisakan kenangan buruk sekaligus orang yang dirindukannya.
"Sakura-chan, arigatou."
"Um," balasnya seraya melepas pelukannya, dan detik berikutnya dia mulai menanyakan hal yang membuatnya penasaran, "Tapi mengapa kaupindah ke Konoha?"
Bukannya langsung menjawab pertanyaan gadis di hadapannya, Naruto malah terlihat sedang berpikir sesuatu, seolah ada suatu hal yang disembunyikan olehnya sebelum akhirnya menjawab.
"Entahlah. Tapi apapun alasannya pada akhirnya aku menemukanmu di sini," jawabnya dengan senyuman.
"Hei! Sepertinya jam pelajaran olahraga akan berakhir. Bukankah waktu olahraga anak perempuan lebih dulu selesainya daripada anak laki-laki?" sela Naruto saat ia menyadari Sakura akan bertanya hal yang lain padanya, berusaha mengalihkan perhatiannya.
"Astaga, kaubenar Naruto. Lagipula hari ini adalah tugasku yang merapikan ruang peralatan olahraga. Jaa—" jawab Sakura sambil menatap ngeri jam tangannya—yang tentunya hanya berpura-pura–
'Aku tahu Naruto. Kau menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi aku yakin suatu saat kauakan bercerita padaku,' batinnya diiringi langkah kaki yang bergerak menuju tangga. Namun sebelum ia mulai menuruni anak tangga, gadis tersebut berhenti di depan Sasuke untuk mengucapkan kalimat yang mungkin tidak akan pernah cukup untuk membayar segalanya pada Uchiha bungsu tersebut, "Terima kasih, Sasuke-kun."
Dan tinggalah Naruto dan Sasuke di atap yang terlihat semakin panas karena pengaruh cuaca.
"Ambilah."
Terlihat Naruto mengamati benda pada genggaman Sasuke yang disodorkan padanya, "Roti? Aku tidak lapar."
"Aku hanya ingin membayar hutang," ditariknya dengan paksa tangan yang berwarna lebih gelap darinya, dan tanpa basa-basi ia berikan roti tersebut—yang dia beli di kantin bersama Sakura sebelumnya—pada si pemilik tangan di hadapannya.
"Haha... Kau sungguh manis sekali ternyata. Baiklah, hutangmu lunas," ditunjukkannya cengiran khas Naruto yang sebenarnya, lalu tangannya bergerak membuka bungkus roti itu lalu melahapnya.
Sasuke hanya menatap datar makhluk –yang menurutnya—aneh di hadapannya sebelum akhirnya kembali berkata lagi, "Ternyata kau menyembunyikannya."
Seketika putra tunggal keluarga Uzumaki tersebut menghentikan acara makan rotinya, "Menyembunyikan apa?"
"Entahlah. Tapi kurasa itu semua hakmu untuk menceritakannya atau tidak pada Sakura."
Alih-alih menanggapi perkataan Sasuke, lelaki berambut jabrik tersebut malah tiduran, sambil melanjutkan memakan rotinya yang sempat terinterupsi hingga selesai. Sedangkan si rambut emo hanya menatap datar lawan bicaranya yang nampak tidak terlalu menanggapi kata-katanya sebelum akhirnya melangkahkan kaki untuk meninggalkan si spike.
"Memang benar, itu semua hakku. Tapi kurasa sekarang bukanlah waktu yang tepat."
Sukses kalimat tersebut membuat lelaki Uchiha terlihat menghentikan langkahnya sejenak. Dan berikutnya ia dapat mendengar sang Uzumaki mengucapakan sebuah kalimat yang bahkan tak pernah terbesit dalam benaknya.
"Arigatou, Sasuke."
Untuk kedua kalinya, Sasuke mendapatkan ucapan yang sama dari orang yang berbeda.
Waktu telah menunjukkan pukul 3 sore. Itu adalah waktu berharga bagi Sasuke untuk mengendurkan ototnya hingga satu jam ke depan sampai saatnya dia pergi kembali ke sekolah untuk berlatih basket. Ingatkan bulan depan ada pertandingan basket antar kota.
Mungkin kesadaran Sasuke akan terbawa oleh arus bernama mimpi jika saja telepon genggamnya tetap membisu.
Tertera nama Itachi di layarnya dan ternyata hanyalah sebuah pesan. Dalam pesan tersebut Itachi meminta Sasuke untuk membawakan berkas yang tertinggal di ruang kerjanya. Dan ia membalas pesannya dengan kata singkat namun menjanjikan.
Dan dengan sekejap pula bungsu Uchiha itu menuju ke kamar mandi mempersiapkan diri untuk meninggalkan kamarnya yang nyaman.
Bahkan Sasuke tidak mengetahui bahwa di rumah sakit tempat Itachi bekerja nanti ia akan menemukan fakta yang dapat mengusik batinnya.
"Arigatou otouto," ucap Itachi seraya mengambil berkas di tangan Sasuke.
"Hn. Aku pergi sekarang."
Dan tanpa berlama-lama kembali Uchiha bungsu tersebut menuju pintu keluar dari ruangan kakaknya.
Perjalanan melewati lorong rumah sakit terasa biasa saja. Sesekali ia tersenyum untuk membalas sapaan dari petugas rumah sakit yang mengenalnya. Mengingat dirinya adalah adik dari pemilik tempat itu.
Mungkin Sasuke akan terus berekspresi datar jika saja tak ada sosok yang menarik perhatiannya. Sosok berambut spike pirang berjalan dari arah yang berlawanan sebelum akhirnya masuk ke salah satu ruangan yang diketahui Sasuke adalah ruangan dokter Kabuto Yakushi, spesialis ortopedi dan traumatologi.
Entah dorongan darimana hingga dia rela duduk di kursi depan ruangan dokter Kabuto, menanti pemuda bermarga Uzumaki. Padahal ia sadar bahwa dirinya terlambat ke sekolah untuk berlatih.
Dan Sasuke masih memaku di tempat kalau saja pintu di sampingnya tak terbuka. Menampakkan orang yang ditunggunya sejak lima belas menit yang lalu.
"Sasuke...!?"
"Hn."
Dengan raut kebingungan namun ekspresi terkejut yang lebih dominan, Naruto menghampiri rival yang merangkap sebagai temannya -meskipun ia enggan mengakuinya-
"Ada urusan apa kau dengan dokter Yakushi ?" langsung pada intinya. Tipikal Uchiha.
"Tch! Segitu penasarankah kau ?" bukannya menjawab pemuda tersebut malah melontarkan pertanyaan yang memang fakta.
Sedangkan lawan bicaranya masih bergeming di tempat. Tak berniat sedikitpun untuk menyangkal.
Hanya helaan nafas berat yang terdengar dari si pemuda beriris biru sebelum akhirnya mulutnya mengambil alih menggetarkan gendang suara di dalam telinga, "Baiklah. Tak ada gunanya aku menutupi segalanya darimu," seperti de ja vu.
Tanpa menunggu respon ia melanjutkan, "Aku mengalami kecelakaan tahun lalu. Sesaat setelah Sakura-chan pergi aku berniat untuk mencarinya. Tapi seakan takdir memang harus memisahkanku darinya. Bukannya aku membawanya kembali, yang terjadi adalah mobilku yang tertabrak truk."
"..."
"Dan akibatnya tulang tangan kananku patah hingga beberapa syaraf ototku juga rusak dan harus dirawat untuk beberapa waktu sebelum akhirnya aku dikatakan membaik."
Sasuke masih enggan menanggapi, menanti pemuda di hadapannya melanjutkan.
"Enam bulan aku menghabiskan waktuku untuk pengobatan. Aku benar-benar kehilangan duniaku yang dulu. Tanpa teman, tanpa Sakura-chan dan tanpa basket."
"Jadi itu sebabnya kau terlihat murung saat pelajaran olahraga ?"
"Begitulah. Tapi sekarang aku mulai berpikir, mungkin aku bukan ditakdirkan menjadi atlit," selorohnya.
"Dan mengapa kaupindah ke Konoha ?"
"Orang tuaku bercerai, sebulan setelah aku kecelakaan. Dan aku mengikuti Kaa-san ke sini. Meskipun pada akhirnya kami tetap tinggal terpisah," terbesit kegetiran di dalamnya. "Apa kausudah selesai denganku ? Aku lelah ingin tidur ttebayo !"
"Tch ! Dasar Dobe !"
Hilang sudah rasa prihatin Sasuke padanya.
Sementara di tempat lain...
Sakura baru saja selesai dengan urusannya berbelanja di pasar sore dekat komplek perumahan milik keluarga Uchiha. Terlihat ia membawa paper bag berukuran besar yang berisi sayuran untuk persediaan beberapa hari ke depan. Hal yang selalu gadis musim semi lakukan.
Tak perlu membawa kendaraan karena jarak antara pasar dan rumah dekat sehingga hanya cukup berjalan kaki saja sehingga Sakura benar-benar menikmati aktifitas sore yang dirasanya menyenangkan tersebut.
Hanya beberapa blok lagi dirinya akan tiba di rumah dengan selamat. Namun sebelum tujuan itu tercapai, Sakura mendengar seseorang menyebutkan namanya dengan sedikut nada keraguan.
"Sakura ?"
Merasa tak asing dengan suara dan rupa sosok cantik di hadapannya, Sakura membalas panggilan itu dengan emerald yang membulat sempurna.
"Shion ?"
Pemuda berambut emo terlihat gusar di ruang ruang keluarga kediamannya.
Teringat kembali apa yang telah dialami Naruto saat ini. Dan dirinya yakin apa yang akan Sakura lakukan jika gadis itu mengetahui keadaan pemuda berambut spike yang sebenarnya. Dan Sasuke benar-benar takut jika itu terjadi.
Ya. Sosok bermata onyx itu takut jika gadis yang mulai mengisi hatinya kembali pada lelaki di masa lalunya.
Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Namun Sakura masih belum pulang. Sungguh mengkhawatirkan.
Diambilnya kunci motor sport yang jarang dipakainya-jujur, ia lebih suka bersepeda- bergegas pergi mencari Sakura. Tetapi niatnya batal karena orang yang ditunggunya telah tiba.
"Sakura. Kemana saja kau ? Aku sungguh khawatir. Apa terjadi sesuatu ?" cecar Sasuke dengan nada cemas tanpa ia tutupi.
Sang gadis hanya menggeleng menjawab pertanyaan sosok di hadapannya. Tanpa berkata dilangkahkan kakinya menuju meja dapur meletakkan belanjaan di sana lalu ditariknya kursi makan untuk ia duduki. Dan tanpa perintah Sasuke mengikuti duduk di sampingnya.
"Maaf membuatmu khawatir Sasuke-kun... Tadi aku bertemu teman lama, Shion."
"Hn."
Iris onyx itu dapat menangkap gerakan tangan Sakura yang saling meremas. Hal yang selalu dia lakukan tanpa sadar jika merasa tak enak.
"Shion... Dia..."
"..." Sasuke masih menajamkan pendengarannya.
"Dia menceritakan semua tentang Naruto."
Fakta yang sungguh tak ingin ia ketahui setidaknya untuk saat ini.
"Lalu ? Apa keputusanmu?" bahkan suaranya tercekat. Entah mengapa dari sekian banyak pertanyaan hanya pertanyaan sialan itu yang terlontar dari mulutnya.
Sepasang tangan putih itu masih meremas satu sama lain dengan sang empunya masih membisu.
Tanpa mengetahui dorongan itu datang, tangan lelaki pucat meremas sepasang tangan di hadapannya, "Kau... kau akan tetap di sini kan ? Bersamaku ?" takut. Seorang Uchiha Sasuke takut mendengar keputusan gadis si hadapannya.
"Maaf Sasuke. Aku akan kembali pada Naruto. Dia lebih membutuhkanku. Maaf."
Bersamaan dengan kata maaf terakhir ditariknya kedua tangannya sebelum akhirnya beranjak pergi menuju kamar. Meninggalkan si lelaki dengan tatapan nanar memandang sepasang tangannya yang kini telah kosong.
Hampa.
Seperti rongga dadanya. Seolah hati ditarik paksa dari sana.
-This Fict is Not Over-
A/N :
Umm... Hai semua !
Entah bagaimana saya harus menjelaskannya. Ini sungguh bukan hal yang patut saya banggakan. Mengabaikan semua tanggung jawab selama 3 tahun lebih. Dan fatalnya saya tidak punya alasan untuk itu semua. Maafkan saya yang telah mengecewakan. Dan jujur, saya yang sekarang beda dari yang dulu, dimana berimaji dan menulis dapat berdampingan di samping saya, tapi kemampuan itu sekarang nyaris hilang. Percayalah. 50% dari chapter ini saya ketik di tahun 2012, satu minggu setelah update chapter 4.
Berkat kalianlah saya kembali. Saya tidak berharap akan selalu mendapat dukungan, karena saya juga tidak bisa menjajikan. Terima kasih kalian yang masih bersedia review atau menjadikan fave fict. Terima kasih. Kalian Luar Biasa ! ^^b