Hetalia Gakuen adalah tempat berkumpulnya pelajar terbaik dari seluruh dunia. Siswa dan siswinya memiliki kemampuan melebihi para pelajar biasa. Fasilitas yang terbaik juga diberikan kepada mereka.

Seperti sekolah pada umumnya, pelajaran akademis dan non-akademis diberikan kepada siswa dan siswinya. Hetalia Gakuen memiliki kegiatan-kegiatan klub yang wajib dipilih dan diikuti oleh para siswa.

Menjelang liburan musim panas, sebuah klub mendapat tugas. Mereka pergi ke suatu tempat untuk menyelesaikan tugas itu.

Dan satu persatu anggota mereka lenyap.

.

.

.

MYSTERIOUS PARK

PART 11

Disclaimer: Hetalia Axis Powers © Hidekaz Himaruya

.

.

.

"Maaf Feliciano-kun."

Tongkat yang tajam itu mulai menusuk punggung Kiku. Pemuda itu tahu, tak lama lagi tongkat itu akan menembus tubuhnya. Dan setelah itu mungkin ia tak akan bisa bangun lagi. Ia tak akan bisa menjaga Feliciano lagi.

Namun…

Praaakk!

Gerakan kakek itu berhenti. Tongkat kakek itu juga terlempar entah kemana. Lalu seseorang berlari dan mendekap Kiku erat-erat.

"Kiku!" Orang itu berteriak.

Pemuda Jepang itu pun membuka mata perlahan. Pandangannya kabur. Namun samar-samar ia dapat melihat wajah Feliciano yang berurai air mata.

"Feli…ciano-kun?" Kiku agak terkejut. Apakah Feliciano yang telah menolongnya barusan? Apakah ia yang menghentikan kakek itu dan membuatnya melempar tongkatnya?

Feliciano terisak-isak. "Maaf," katanya. "Maaf Kiku…Aku bodoh Aku tak bisa apa-apa… Aku…aku minta maaf!"

"Jangan menangis." Ingin sekali Kiku mengucapkan kata-kata itu. Tapi suaranya tak bisa keluar. Malah pandangan matanya semakin meredup.

"Kiku!" Feliciano semakin panik. Cepat-cepat ia membaringkan pemuda Jepang itu, kemudian memeriksa keadaannya.

"Veee…" Feliciano tertunduk. Tubuh sahabatnya itu penuh dengan luka. "Kenapa jadi begini?" tanyanya dalam hati. Perlahan ia menarik sisa kain putih di sakunya. Hanya tinggal dua lembar saja. Ukurannya pun tidak besar. Kain itu tidak akan cukup untuk membalut semua luka itu. "Kalau tetap begini… Kiku akan…"

"Pengganggu…."

Tiba-tiba suara yang berat terdengar di belakang Feliciano. Lalu mendadak sesuatu menusuk punggungnya

"….harus mati!"

Kemudian terdengarlah suara tawa yang keras. Suara tawa yang menakutkan. Kakek yang tadi telah berdiri di belakang Feliciano dengan penuh rasa haus ingin membunuh.

"Vee…." Feliciano tak bergerak. Ia hanya gemetar jetakutan. Tongkat kakek itu menusuknya, walaupun tidak dalam. Hanya saja sebentar lagi pastilah ia akan berakhir…

"Matilah!" Kakek itu mulai bergerak. Ia berniat melenyapkan Feliciano sekarang juga.

Akan tetapi Kiku mengulurkan tangannya. Ia menarik Feliciano hingga terbebas dari tongkat sang kakek. Lalu sebuah katana menerobos udara, mengenai si hantu kakek tepat di kepalanya. Terdengar suara jeritan yang memekakkan telinga. Lalu suara orang tua yang perlahan menghilang.

"Pengganggu…..harus…mati"

CLAAANGG

Sosok tua renta itu lenyap, meninggalkan katana yang terjatuh di atas tanah.

"V-ve…." Feliciano melihat lenyapnya sosok itu dengan tubuh gemetar. Kemudian ia menoleh pada Kiku, sahabat yang telah menolongnya dari sosok itu.

Pemuda yang terbaring itu tersenyum tipis, penuh kelegaan. Lalu ia memejamkan matanya.

.

.

.

"Bloody hell…" Arthur bangkit perlahan sambil memegang bahunya. Darah yang mengalir dari lukanya menetes ke lantai. "Ck," keluhnya dalam hati. "Luka ini cukup dalam-"

"RAWWWRR"

Di depannya, sepasang mata tampak menyala dalam kegelapan. Pemiliknya menatap dengan kebencian dan rasa haus. Haus akan nyawa.

"Sial!" Keluh Arthur sekali lagi. "Tidak seharusnya ini terjadi!" Pemuda beralis tebal itu mulai mengutuki kebodohannya. Ia telah begitu lengah. Musuh menyerang dan mengacaukan mereka dengan begitu mudah. Dan sekarang….

Pandangan pemuda itu kini teralih ke luar bangunan. Melalui jendela, dilihatnya Feliciano sedang menangis, mengguncang tubuh Kiku. Sekali lagi Arthur menyumpah. Seharusnya hal ini tidak terjadi.

"RAAAWWRR"

Suara geraman tadi terdengar lagi. Makhluk yang wujudnya menyerupai kucing itu mengambil ancang-ancang. Kelihatannya ia siap menyerang lagi.

"Sial!" Arthur menatap makhluk itu dengan waspada. "Sepertinya aku harus membereskan yang ini dulu!" Ia pun menarik pistol dari balik bajunya.

"Iggy!" Mendadak Alfred berteriak lagi. Pemuda Amerika itu tampak masih sangat terkejut melihat apa yang telah terjadi. Serangan mendadak di malam hari. Mereka telah memprediksi semua ini bisa terjadi. Tapi kenapa….

"Oi, git!" Arthur berteriak tanpa menoleh pada Alfred. Mendengar suaranya barusan, Arthur tahu bahwa ia harus memutuskan sesuatu. "Kalau kau sedang tidak ada kerjaan, cepat kau jaga kedua teman kita di luar!"

"Eh?" Alfred terkejut. "Tapi bagaimana denganmu?" Ia tampak tak setuju. Arthur sedang terluka, jelas ia tahu hal itu. Ditambah lagi ia masih harus menghadapi makhluk yang terlihat berbahaya.

"Aku akan mengalahkan monster sialan ini lebih dulu. Sekarang kau cepat keluar dan jaga mereka!" sahut Arthur.

"Tapi kau-" Alfred hendak membantah lagi.

"Diam dan pergilah keluar!" seru Arthur cepat. "Aku masih punya senjata rahasia untuk mengalahkan monster jelek ini. Tapi kau lihat sendiri kan? Feliciano dan Kiku tak ada penjagaan sama sekali. Musuh lain bisa datang kapan saja. Kau harus menjaga mereka!"

"Uh…" Alfred terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, Arthur benar. Ia harus menjaga kedua orang yang kini berada di luar itu. Tapi bagaimana dengan Arthur? Alfred bisa melihat tetesan darah di lantai…

"Bloody git, kukatakan sekali lagi pergilah keluar!"

Alfred tersentak. Namun akhirnya ia mengepalkan tangannya. "Baiklah!" sahutnya. "Sang Hero akan menjaga mereka!" Ia pun berlari ke pintu keluar.

"Huh, dari tadi dong!" kata Arthur setelah melihat Alfred keluar dari gedung itu. Pandangannya kembali terfokus pada makhluk tadi.

Makhluk itu mulai melompat, menyerang ke arah sang pemuda.

"Baiklah," Arthur angkat suara lagi. "Aku akan menyelesaikan ini dengan cepat."

.

.

.

"Veeee! Kiku, bangun! Kiku!" Feliciano terus berteriak. Air matanya mengalir deras. Ia mengguncang tubuh temannya itu. Tubuh itu semakin dingin.

"Veeee, buka matamu!" seru Feliciano lagi. "Bu-bukannya Kiku berjanji akan keluar bersama-sama? Kiku berjanji tak akan ada yang mati lagi! Jadi…."

Feliciano mulai kehilangan kata-kata. Apa lagi yang bisa ia ucapkan? Yang dipanggil tak lagi menjawab. Bahkan mungkin tak akan bisa menjawab lagi….

"Feliciano!"

Pemuda Italia itu mendengar suara panggilan Alfred di belakangnya. Namun ia hanya diam dan menggigit bibirnya. "Apakah….sudah tak ada harapan lagi?" pikirnya.

"Feli…" Ragu-ragu Alfred menepuk pundak pemuda Italia itu. Feliciano tak menjawab, hanya terisak. Alfred pun akhirnya hanya duduk dan melihat keadaan Kiku.

"Tidak mungkin…." Jantung pemuda Amerika itu berdegup kencang. Ia segera melepas jaketnya kemudian mengikatnya pada tubuh pemuda Jepang itu, berharap darah yang keluar berhenti mengalir , walaupun ia tahu mungkin usahanya sia-sia. "Lalu setelah ini bagaimana…" Yang Alfred tahu, mereka harus keluar dari taman itu saat ini juga.

"Sial!" Alfred kemudian menoleh ke arah bangunan tempat mereka beristirahat tadi. Dari jendela, ia bisa melihat Arthur yang tengah berusaha menembaki si kucing aneh. Namun melihat keadaan Arthur, Alfred tak yakin ia bisa menghadapinya tanpa kesulitan.

"Kh.…" Alfred mengepalkan tangannya erat-erat dan menunduk. "Seandainya saja tadi aku berjaga dengan baik!" batinnya, penuh penyesalan. "Seandainya aku tidak tertidur, tentu Kiku dan Iggy tidak akan begini. Seandainya.…"

BLAAARRR!

Suara ledakan terdengar, mengagetkan Alfred dan Feliciano yang tengah berada di luar. Kedua pemuda itu langsung menoleh ke arah sumber suara. Bangunan tempat Arthur menghadapi makhluk berwujud kucing itu telah dipenuhi oleh nyala api yang berwarna merah.

"I…" Wajah Alfred memucat. Bangunan itu terbakar seutuhnya. Sepertinya sudah tidak ada lagi bagian yang tidak terkena nyala api. Lalu bagaimana dengan…

"IGGY!" Alfred berteriak kencang. Kenapa bangunan itu meledak? Arthur tadi masih berada di dalam bangunan itu. Bagaimana kalau ia tak sempat lari? Semua itu memenuhi pikiran Alfred.

"Iggy!" Alfred kembali memanggil. Kemudian tanpa sadar kakinya mulai bergerak. Setengah berlari, ia hendak memasuki bangunan itu. Memang bangunan itu telah nyaris seratus persen terbakar habis. Namun kalau Arthur masih di dalamnya, maka ia harus menyelamatkannya. Tapi…

"Bloddy git, hentikan teriakanmu itu!" Mendadak sebuah suara menghentikan langkah Alfred. "Dan jangan dekati bangunan itu lagi! Kau lihat sendiri bukan? Bangunan itu berbahaya. Sebentar lagi pasti rubuh karena habis terbakar."

Alfred menoleh ke arah pemilik suara. Dilihatnya Arthur sudah berdiri cukup jauh di luar bangunan. "I…" Mata Alfred berkaca-kaca. Ternyata Arthur selamat, sudah berada di luar bangunan. Dan dilihat dari situasinya, sepertinya kucing aneh tadi sudah berhasil dikalahkan.

"Iggy!" Alfred tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Ia segera berlari dan memeluk sahabatnya itu erat-erat.

"Agh! Jangan memelukku, Bodoh!" Arthur mengeluh kesakitan.

Alfred segera melepas pelukannya. "Maaf, aku jadi terlalu senang!" katanya. "Syukurlah Iggy…" Alfred tak jadi menyelesaikan kata-katanya. Matanya terbelalak kaget. Dilihatnya kedua telapak tangannya kini penuh noda merah. Bukan hanya tangannya, baju Alfred pun kini dipenuhi bercak darah. Tapi itu bukan darahnya. Itu adalah darah…

"Iggy!" Alfred berteriak. Mendadak pandangan Arthur terlihat tidak fokus. Sepertinya ia hendak jatuh. Alfred buru-buru menangkap tubuh Arthur. Dengan terangnya nyala api di depan mereka, Alfred bisa melihat goresan-goresan yang cukup dalam pada tubuh pemuda Inggris itu.

"Iggy, kamu…"

"Berisik kau, git!" Arthur menyahut. Perlahan ia mencoba melepas pegangannya pada Alfred dan berusaha berdiri tegak. Namun tubuhnya terasa sangat lemah. Ia hanya bisa pasrah, membiarkan Alfred kembali menopang tubuhnya.

"Lebih baik kita segera bersembunyi." Setengah memaksa, Arthur kembali angkat suara. "Kita tidak tahu kapan mereka akan menyerang lagi. Bahaya kalau kita tetap ada di sini."

"I-iya." Alfred segera menjawab. Kemudian ia menoleh ke arah Feliciano. Pemuda Italia itu masih duduk di tempatnya semula.

"Feliciano…"

Yang dipanggil mencoba menghapus air matanya. "Ma-maaf. Veeee," katanya. "Aku tahu. Kita harus lari kan? Tak ada waktu untuk menangis terus. Kiku juga masih hidup. A-aku akan menggendong Kiku… V-vee… Jadi Alfred bisa membawa Arthur…"

"Feli…" Alfred tak menjawabnya lagi. Ia membiarkan Feliciano mengangkat tubuh temannya itu.

Namun tiba-tiba…

Sraaakkk. Sraaak

Gerakan Feliciano berhenti. Ia menoleh. Begitu pula dengan Alfred dan Arthur. Ada suara dari semak-semak. Seseorang, mungkin lebih, tengah berjalan mendekati mereka

Sraaakk

Alfred terdiam. Suara apakah itu? Kawan atau lawan? Kalau mereka lari sekarang, apakah si pembuat suara itu akan mengejar? Tapi jika mereka diam saja, tidakkah itu berbahaya?

"Tenang saja." Mendadak Arthur angkat suara. Tampaknya ia bisa merasakan siapa si pembuat suara itu. Dan dedaunan di depan mereka pun tersibak.

"Aru?"

"K-kalian?" Alfred terkejut. Namun dalam sekejap ia menjadi sangat tenang. Ya, Ivan dan Yao muncul dari balik semak-semak. Kini mereka yang tersisa telah berkumpul semuanya.

"Kalian baik-baik saja, da?"

"Apa yang terjadi, aru?" tanya Yao. "Kami mendengar ledakan keras. Dan kami segera berlari ke sini aru."

Yao melihat ke sekitarnya. Sebuah bangunan kini mulai runtuh akibat dilalap api. Yao pun mengerti, pasti bangunan itulah yang meledak tadi. Ia kembali melihat sekeliling. Alfred dan Arthur berdiri di depannya. Sepertinya Arthur terluka cukup parah, Yao bisa melihatnya dari pakaian mereka yang penuh darah. Lalu ternyata selain Arthur dan Alfred, masih ada orang lain di sana. Pandangan Yao tertuju pada Feliciano. Lalu ia melihat Kiku.

"Ki….ku, aru?" Yao tak bisa lagi berkata-kata. Jadi karena inikah tubuhnya sempat gemetar tadi? Karena ia merasakan sesuatu telah terjadi pada adik sepupunya?

"Kiku!" Yao mendekati adik sepupunya itu. Dengan cepat ia membuka kotak obat yang dibawanya. Gemetar, tangannya meraih obat-obatan yang ada. Ia harus menolong Kiku sekarang juga.

Sayangnya semua itu terlambat. Saat Yao memeriksa keadaan Kiku, ternyata pemuda itu telah menghembuskan napas terakhirnya.

"Tidak aru…." Yao semakin gemetar. Mendadak tangannya berhenti, tak tahu harus melakukan apa lagi.

Dan tiba-tiba tubuh Kiku mengeluarkan sinar aneh.

"I-itu…" Feliciano tersentak. "Sinar itu…"

Alfred melihat mereka dengan kebingungan. "Apa…" Ia mencoba bertanya. "Apa yang sedang terjadi?"

"Ada apa dengan Kiku, da?" Tanya Ivan.

"Vee…" Bibir Feliciano bergetar. "Sinar itu…sama seperti Gilbert…"

Sama seperti saat Gilbert tewas. Sinar berwarna kemerahan itu menutupi tubuh Kiku. Tak lama setelahnya tubuh itu menghilang.

"Veee!" Feliciano berusaha meraih tubuh Kiku. Akan tetapi percuma. Tubuh itu lenyap, menyisakan jaket milik Alfred yang tadi menutupinya.

"Tidak…" Feliciano berbisik. "Mereka juga mengambil tubuh Kiku…"

"Veee...tidak…"

.

.

.

"Seorang pengganggu lagi telah dilenyapkan." Sesosok wanita berpakaian putih melihat mereka dari kejauhan. Sosok yang tak terlihat kakinya itu menatap ke arah api yang berkobar dengan senyuman lebar.

"Begitu?" Seseorang dari balik pohon menyahut.

Sang wanita menoleh ke arah pohon itu. "Tenang saja," katanya. "Sebentar lagi kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan."

"Aku berharap hal itu akan cepat terwujud," sahut sosok di balik pohon itu.

"Tenang saja." Sang wanita menjawab dengan cepat. "Pasukanku telah siap."

Sang wanita pun mengulurkan tangannya, menunjuk ke arah api yang berkobar. "Bunuh mereka!" perintahnya kemudian.

Sosok-sosok lain muncul dari balik rerumputan. Mereka melesat, menuju ke arah bangunan yang terbakar.

.

.

.

Terdiam, hanya itu yang dilakukan Alfred sekarang. Feliciano akhirnya tertidur setelah menangis terus-terusan. Yao baru saja selesai mengobati luka-luka Arthur. Mata pemuda itu tampak memerah, dan ia tak berbicara sepatah kata pun. Ivan hanya mengamati mereka, sambil mengawasi keadaan di sekitar. Sebuah pipa tergenggam erat di tangannya. Sementara Arthur, walau awalnya enggan, akhirnya tertidur juga. Awalnya ia ingin berjaga, untuk mengawasi kemunculan makhluk aneh. Namun dengan kondisi tubuhnya yang sekarang, ia tak akan bisa berbuat banyak.

Alfred melihat ke arah Arthur. Ia masih bertanya-tanya bagaimana sebenarnya pertarungan Arthur dengan makhluk berbentuk kucing tadi itu. Luka-luka pada tubuh Arthur itu pastilah akibat pertarungan itu. Tapi apa yang terjadi? Kenapa bangunan tadi meledak? Bagaimana cara Arthur meloloskan diri dari ledakan? Hanya saja, walaupun lolos, keadaannya…. Alfred kembali menyesali dirinya. Kalau saja waktu itu dia bisa menolong Arthur, mungkin keadaannya tidak separah ini.

"Kenapa aku tidak bisa menjadi hero bagi mereka semua?"

Dung!

Mata berwarna biru itu terbuka lebar. Sebuah suara tak biasa kembali terdengar. Posisi mereka saat ini berada di antara rerumputan dan pepohonan di luar bangunan, tak jauh dari bangunan yang terbakar tadi. Atas usul Arthur mereka ingin membuat musuh menyangka mereka telah pergi jauh, tanpa menyadari bahwa sebenarnya mereka masih berada di sekitar sana. Tapi…

Dung dung dung!

Suara aneh kembali terdengar. Kali ini bersahut-sahutan. Datangnya dari sebuah bangunan kosong lain, tak jauh dari posisi mereka.

Dung dung dung!

Alfred menahan napas. Apakah musuh sudah mengetahui keberadaan mereka? Kalau tidak mengingat apa yang tengah mereka hadapi, mungkin ia sudah lari sekarang. Ia mengaku-ngaku sebagai pahlawan, akan tetapi selalu tak siap menghadapi hal-hal menakutkan. Suara aneh di bangunan kosong…

"Suara gamelan." Ivan angkat suara.

"Oh…" Alfred akhirnya mengingat suara apa itu sebenarnya. Ia sering mendengar suara itu saat acara televisi menayangkan tentang kebudayaan Indonesia. Tapi kenapa ada di tempat seperti ini?

"Jangan-jangan…." Yao berbisik pelan. "…mereka, aru?"

Alfred menoleh pada Yao, lalu kembali melihat bangunan itu. Yah, siapa lagi? Pasti itu ulah mereka, bukan? Mereka yang menakutinya dan teman-temannya. Mereka yang menyerangnya. Mereka yang membunuh dan merebut Kiku, Francis, Gilbert dan Ludwig. Mereka yang melukai Arthur…

Mendadak Alfred berdiri. Sebelum Yao sempat mencegahnya, ia telah berlari. Alfred berlari ke arah bangunan dengan suara gamelan yang nyaring itu.

"Sang hero akan memusnahkan kalian!" seru Alfred. "Dan aku akan membawa teman-temanku pulang!"

.

.

.

TO BE CONTINUED