Memories
© UQ
La Corda D'Oro © Kure Yuki
Ruangan ini bercatkan cokelat muda. Muda dalam arti yang menenangkan. Bau obat-obatan tercium, menyelimuti ruangan yang cukup dingin ini. Ukuran ruangan ini juga lumayan besar karena tak layak untuk dibilang kecil. Sebuah ranjang diletakan tak jauh dari jendela.
Seorang gadis berambut merah memejamkan matanya dengan ekspresi penuh ketenangan. Kedua tangannya berbalutkan perban putih bercampur cokelat. Ia terlihat lemah sekaligus tenang. Tak ada suara lain selain suara mesin pendingin serta suara hembusan nafasnya yang pelan dan lemah.
Perlahan matanya mencoba membuka. Ia terbangun.
Namun kondisinya sangat menyulitkannya untuk melakukan hal kecil seperti itu. Perlahan namun pasti. Ia mencoba membuka matanya.
Seorang wanita dengan rambut yang sama merahnya dengan wanita yang lemah itu kini berjalan didampingi oleh seorang pria berambut hijau di sampingnya. Mereka berjalan dengan gelisah. Ah, bukan. Hanya wanita itu yang gelisah.
"Apa Kahoko sudah bangun ya?" kata Miki sambil berjalan.
"Tenanglah Miki, Kaho-chan akan baik-baik saja." Kazuki mencoba menenangkannya.
"Bagaimana aku tidak bisa tenang Kazuki? Adikku satu-satunya tidak lama ini kehilangan seseorang yang sangat berarti bagi hidupnya. Dan sekarang apa yang menghubungkan mereka berdua juga sudah hilang! Bagaimana kalau dia melakukan tindakan bodoh karena stres? Apa yang harus aku lakukan Kazuki? Apa yang harus aku lakukan nanti?" Miki masih berjalan di depan Kazuki.
"Kamu harus tenang sebelum bertemu Kaho-chan nanti. Bagaimana kalau ia semakin sedih melihat kegelisahanmu ini?" Kazuki menarik tangan Miki, memintanya untuk berhenti.
"Hh... kamu benar..." Miki berhenti melangkah dan mencoba menarik nafas panjang. Setelah menganggap dirinya cukup tenang, ia dan Kazuki kembali berjalan.
Wanita itu mengerjapkan matanya. Ia mencoba mengumpulkan kesadaran yang sedari tadi sulit ia dapatkan. Ia masih terdiam dalam kesunyian. Dia hanya mampu menyimpulkan bahwa saat ini ia tidak berada di rumahnya.
Ia nampak kesulitan untuk menggerakan lehernya. Seperti ada sesuatu yang mengganjalnnya di bagian itu. Namun sebenarnya di sana tak ada benda apapun. Mungkin karena tubuhnya yang masih lemah membuatnya kesulitan.
Ia melirik ke kedua tangannya. Sebuah perban menghiasi matanya. Ia agak terkejut dan bertanya-tanya mengapa perban itu melapisi kedua tangannya.
Pintu cokelat yang cukup besar itu pun terbuka. Miki dan Kazuki masuk ke dalam perlahan. Miki terlihat senang ketika matanya menangkap sosok Kahoko sudah terbangun dari tidurnya yang cukup panjang. Hampir tiga hari Kahoko berada di tempat ini. Bagi seorang Miki itu adalah hal besar dan sangat membuatnya panik.
Miki berjalan cepat mendekati ranjang dimana Kahoko tertidur. Kazuki tetap berjalan pelan dan menyimpulkan senyuman.
"Kaho-chan, apa kamu sudah merasa baikan?" Mata terus menatap Kahoko lekat-lekat.
"N-nee...-chan..." suara Kahoko terdengar parau.
"Ah, sudahlah Kahoko. Lebih baik kamu beristirihat sekarang. Besok kamu pasti akan merasa lebih baik." Miki tersenyum lebar. Kazuki hanya tertawa kecil melihat kelakuan Miki yang berbeda jauh dengan sebelumnya.
Kahoko terdiam sebentar, mengumpulkan tenaga untuk bertanya.
"Nee-chan a..pa yang... terja..di dengan ta..nganku..?" Kahoko akhirnya mampu bertanya.
Senyum lebar tiba-tiba sirna dari wajah sang Hino dewasa. Kazuki yakin, cepat atau tidak Kahoko pasti bertanya. Miki terdiam, begitu juga Kazuki.
"Nee-chan? Doushite?" tanya Kahoko sekali lagi.
"Um... a-aku p-panggil dokter dulu ya!" Miki langsung berdiri dengan gugup. Kazuki memberikan tatapan penuh tanya kepadanya. Miki tak ada waktu untuk beradu tatap dnegan Kazuki. Ia langsung pergi keluar meninggalkan kedua orang ini di dalam ruangan itu.
Miki menutup pintu ruang inap Kahoko. Ia bersandar di baliknya. Tubuhnya bergetar, dingin dan bulir-bulir kecil mengalir pelan dari kedua pelupuk matanya. Ia menggigit bibir bawahnya.
'Gomenasai, Kaho-chan.' Katanya dalam hati.
Di dalam ruangan itu. Kahoko menatap Kazuki dengan bingung. Kazuki sesekali memalingkan pandangannya dari tatapan Kahoko yang begitu intens kepadanya. Kahoko masih menunggu. Kazuki masih berpikir. Dan suasana masihlah sunyi.
"Senpai?" walau Kahoko tak lanjut bertanya, Kazuki mampu mengartikan jelas maksud dari panggilan Kahoko barusan.
Kazuki masih terdiam. Ia duduk di atas kursi kecil di samping ranjang tempat Kahoko tertidur. Ia masih tak mampu bertukar pandang dengan Kahoko.
Kazuki memejamkan matanya. Ia berpikir. Percuma saja ia berkata bohong, Kahoko akan dengan mudahnya menyardari kebohongan seorang Kazuki. Tapi, kalau ia mengatakan yang sebenarnya... Ia benar-benar tidak mau melihat kedua wanita Hino di sekitarnya ini kehilangan kecerian khas milik mereka berdua. Ia menarik napas panjang dan membuka matanya. Ia siap menjelaskan semuanya.
"Kamu tertabrak truk. Pengemudinya mabuk, begitu kata polisi. Untunglah kamu selamat walau bisa dibilang kamu terlambat dibawa ke rumah sakit. Tempat kecelakaan itu begitu sunyi, jarang-jarang ada yang melaluinya." Kazuki terlihat mengingat-ngingat.
'Sama seperti perkataannya.' Kahoko mengangguk.
"Kata dokter tanganmu terluka parah karena mencoba melindungi biolamu. Biolamu baik-baik saja kok, jangan khawatir." Kazuki tersenyum untuk meyakinkan Kahoko yang kelihatan khawatir.
"Kapan tanganku bisa sembuh?" Kahoko bertanya dengan antusias.
Kazuki menarik nafas panjang lagi.
"Mengenai itu, tanganmu memang bisa sembuh. Tapi... karena benturan di bagian kepalamu dan beberapa tulang dibagian lengan retak, kamu..." Kazuki menelan ludah.
"Tanganmu tidak sestabil dulu, kamu mengerti maksudku bukan? Walau kamu sedang tenang, tapi tanganmu tetap bergetar dan tidak bisa stabil." Lanjut Kazuki.
Kazuki diam. Kahoko juga.
"Ah, kalau begitu aku harus berhenti mengajar di Seiso dan mencari pekerjaan lain. Merepotkan sekali..." Kahoko tersenyum masam.
"Kaho-chan?" Kazuki dapat merasakan kepahitan di setiap kata yang terlontarkan dari mulut Kahoko.
"Kok Nee-chan belum kembali ya? Apa dia baik-baik saja? Lebih baik Senpai susul Nee-chan." Kazuki tahu maksud perkataan Kahoko ini apa. Tapi ia tetap duduk terdiam di sana.
Suasana hening. Tak ada suara ataupun gerakan dari kedua orang ini. Kahoko menatap sendu ke arah Kazuki.
"Senpai, kumohon..." katanya.
Deg
Kazuki tak tahu harus melakukan apa. Sesuatu yang tidak ia harapkan terjadi. Kahoko menangis.
"Kaho-chan," Kazuki bingung. Ia tak mau meninggalkan Kahoko sendirian di ruangan ini dan menangis. Keadaannya yang lemah memang tidak memungkinkan Kahoko melakukan hal-nal yang aneh. Tapi tetap saja Kazuki khawatir apabila ia menangis. Itu dapat memperburuk keadaannya sekarang.
"Tinggalkan aku sendiri, onegai." Pinta Kahoko untuk kesekian kalinya.
Kazuki berdiri dari tempatnya. Menyentuh pipi Kahoko perlahan. Ia tersenyum masam dan berkata.
"Istirahatlah, akan kuminta dokter mencari solusinya."
Dengan begitu, Kazuki pergi meninggalkan Kahoko yang terus menangis.
Di tempat lain. Seorang wanita berambut biru muda pendek tampak sedang menyentuh layar ponsel touchscreen-nya. Wajahnya terlihat tidak senang ketika ia menunggu suara balasan yang tak kunjung datang. Sudah berkali-kali, Hamai Misa, mencoba menghubungi anaknya, Tsukimori Len. Entah badai apa yang menerpa Jepang, sehingga Len tidak kunjung menjawab panggilan Misa.
Misa tahu hal apa yang telah menimpa Kahoko baru-baru ini. Ia mendengarnya dari Kazuki. Dan beberapa saat yang lalu ia juga telah menghubungi Kazuki tanpa ada gangguan sedikitpun. Um, maksudnya Kazuki langsung mengangkat saat Misa menelponnya, tidak seperti Len.
Untuk kesekian kalinya, ia menghembuskan nafas.
'Apa salahku sampai-sampai anak ini bersikap dingin?' pikirnya selagi menunggu.
"Moshi-moshi?" akhirnya Len mengangkat panggilannya.
"Len, apa kamu meninggalkan ponselmu sembarang sampai-sampai Ibu harus menelponmu berkali-kali?" Misa terlihat sebal.
"Maaf bu, aku baru bangun tidur." Suara Len yang terdengar lesu menjadi bukti nyata kalau pernyataannya barusan adalah benar.
"Sekarang sudah sesiang ini dan kamu baru terbangun?" Misa yang tak bermaksud menceramahi anaknya kini malah mengomel ria.
"Bu, kalau Ibu menelponku berkali-kali hanya untuk mengomeliku, lebih baik aku pergi mandi sekarang. Aku ada urusan." Len menghela nafasnya.
"Hh, baik-baik. Ada yang ingin ibu minta darimu." Misa akhirnya menjelaskan motif asli mengapa ia menghubungi Len.
"Bu, aku tidak pernah mau berurusan dengan gadis itu." Len meninggikan nada bicaranya.
"Tapi Len, bisa jadi karena kamu meninggalkannya sendirian waktu itu ia jadi kepikiran dan pangling saat truk yang menabraknya melintas. Reputasimu bisa hancur kalau wartawan tahu seorang Tsukimori Len yang perfectionist ini membuat seorang wanita hampir mati dan kehilangan impiannya." Misa terdengar serius walau sebenarnya ia ingin tertawa mendengar perkataannya barusan.
"..." Len sepertinya sedang berpikir.
"Tapi ibu yang menyuruhku untuk meminta maaf ke rumahnya dan aku malah bertemu dnegan di taman." Len membela dirinya.
"Ibu kan hanya menyarankan, bukan menyuruh." Suara Misa terdengar begitu lembut.
"Baik, aku akan menjenguknya tapi aku tidak tahu kapan."
"Semakin cepat semakin baik Len. Jaga dirimu baik-baik ya." Kata Misa sebelum menutup pembicarannya.
"Ya, Ibu juga." Balas Len.
Misa tersenyum puas dan menngingat perkataan anaknya yang telah tiada.
"Ibu, aku ingin Len bahagia walau itu harus mengambil apa yang menjadi milikku."
'Aku sudah mengerti maksudmu itu Ryo.' Pikir Misa dalam hati.
Seminggu kemudian. Len yang sebenarnya malas untuk menjenguk seseorang yang baginya asing kini sedang bersiap-siap. Ia keluar dan menuju garasi tempat mobilnya berada. Ia pun langsung pergi ke rumah sakit dengan kecepatan selambat mungkin. Len benar-benar tidak memiliki niat sedikit pun.
Tapi, saat lampu merah menyala. Di dekat sana ada sebuah toko bunga. Matanya melirik sedikit. Ia mengingat perkataan ibunya.
"Kalau ingin membesuk seseorang, bawalah bingkisan atau bunga untuk menghiburnya."
Len melihat ke arah timer yang ada di lampu merah.
Masih lama.
Ia melirik lagi ke toko bunga itu. Ia menimbang-nimbang keputusan apa yang akan ia pilih.
TINN TINN
Suara klakson mobil di barisan belakang terdengar. Lampu telah hijau ternyata, ia akhirnya melaju lagi dan melupakan niat–kecilnya–untuk membeli sebuket bunga.
Tibalah ia di rumah sakit. Suara tangisan anak kecil benar-benar membuat mood–nya memburuk. Ia percepat langkahnya.
'Selesaikan ini semua dengan cepat dan pulang untuk berlatih.' Pikirnya.
Ia sampai di depan ruangan tempat kahoko berada. Ia ketuk pintu itu. Tapi tidak ada sebuah suara yang membalas. Ia memutuskan untuk membuka pintu itu perlahan dan mengintip ke dalam. Kahoku duduk di atas ranjangnya dan menatap keluar jendela. Ia sedang melamun.
Len melangkah perlahan ke dalam. Kahoko menengok dan melihat Len. Tatapannya hampa.
Len berdiri di samping ranjang Kahoko dan terdiam.
'Apa yang terjadi dnegan tatapan mata gadis ini?' Pikir Len.
Sebenarnya dia tidak mau ambil pusing, tapi sebagian dari dirinya merasa agak janggal.
Len POV
Tubuhnya mengurus, matanya sembab. Rambutnya? Jangan tanya. Acak-acakan. Ia lebih terlihat seperti korban angin topan dibandingkan korban tabrakan.
Ini pertama kalinya aku membesuk seseorang sendirian. Biasanya kalau ada teman yang sakit aku selalu pergi bersama, orang itu. Jangan tanya siapa yang kumaksud. Aku malas menyebutkan namanya.
Kalau tidak bersamanya aku pergi bersama orangtuaku. Dan disaat-saat mereka bercakap-cakap, aku hanya diam atau bahkan berada di luar ruangan.
Ini kegiatan yang menghabiskan waktu.
Normal POV
Kahoko terus memperhatikannya. Matanya tertuju pada jari-jemari milik Len. Ia pindahkan pandangannya ke jari-jemari miliknya. Ia terdiam setelahnya.
Len mengikuti kemana pandangan Kahoko berhenti. Perban masih setia melekat di tangan Kahoko. Len sedikit paham apa yang kini mengusik perasaan Kahoko.
"Tidak bisa digerakan?" Len bertanya langsung.
Kahoko menganggkat kepalanya dan menatap Len.
"Hanya sedikit." jawab Kahoko.
"Biola?" Len mengeluarkan pertanyaan ambigu. Memang sudah menjadi kebiasaan baginya untuk berbicara seperti itu. Tapi, Kahoko memahaminya.
"Belum mencobanya." Kahoko tersenyum masam dan menunduk.
Len memutuskan untuk duduk.
"Ibu bilang semoga cepat sembuh, Ibu sedang ada konser keliling dunia sehingga tidak bisa membesukmu." Jelas Len.
Di luar sana, Kazuki dan Miki berjalan sambil menjinjing makanan.
"Hei Kazuki, makanan ini tidak terlalu banyak untuk Kahoko?" Miki melihat barang bawaan mereka.
"Tidak! Ia harus banyak makan agar cepat sehat. Kalau tidak habis, aku dengan senang hati akan memakannya." Kata Kazuki sambil tersenyum lebar.
Miki mempelototinya. Ia kemudian menghembuskan nafasnya dan menggumam sedih.
"Kahoko tidak berbicara lagi setelah kamu mengatakan hal itu."
"Hm, aku juga merasa bersalah karena telah mengatakannya. Tapi cepat atau lambat ia harus tahu."
"Untunglah dia belum melakukan tindakan aneh." Miki terlihat lega.
"Adikmu masih terlampau waras untuk melakukan hal itu. Kita harus tetap tenang agar ia tidak khawatir. Jadi– tunjukan senyumanmu pada dunia Miki!" Kazuki kembali bersemangat.
"Kau memalukan!" Miki meliriki ke kanan dan kiri. Untung sekarang orang yang berlalu-lalang sepi.
Saat sampai di depan pintu kamar Kahoko mereka berhenti. Kazuki menyuruh Miki diam ketika hendak bertanya apa yang terjadi. Wajah Miki pucat, ia kira Kahoko akan bunuh diri.
"Dia berbicara Miki!" bisik Kazuki saat mengintip ke dalam. Miki langsung menukarkan posisinya dengan Kazuki secara paksa. Kazuki hampir saja terjatuh dibuatnya.
"Benar! Ia sedang bercakap-cakap dengan orang i– Itu siapa?" Miki berteriak histeris. Kazuki langsung membekap mulutnya.
"Ssst, bagaimana kalau mereka dengar? Tenang saja, itu kembarannya Ryo–" Kazuki baru sadar apa yang ia katakan.
"Hah? Kok bisa! Gawat, dia kan kasar pada Kahoko bagaimana kalau Kahoko ingin bunuh diri karena dia? Ayo Miki, kita harus selamatkan Kahoko!" Miki mengangguk setuju.
Mereka berdua langsung masuk ke dalam ruangan itu dan menimbulkan kegaduhan yang luar biasa. Um, dibilang begitu karena sebelumnya keadaannya sangat sepi. Dan ketika dua sejoli ini masuk ke dalam, suasana langsung ramai sekali.
Kahoko dan Len menatap kedua orang dewasa itu dengan bingung. Yang di tatap juga bingung karena keadaan tiba-tiba sunyi. Len berdiri.
"Aku pulang dulu." Katanya pada Kahoko.
"Ya." Kahoko tersenyum. Kazuki dan Miki makin mematung.
Len berjalan melalui mereka berdua dan pergi keluar. Ia juga menutup pintu itu, kembali rapat.
Kazuki dan Miki masih mencoba untuk mencerna tentang keadaan saat ini. Mereka berdua tersneyum bersamaan. Kahoko hanya bingung. Miki dan Kazuki langsung menyerbu Kahoko.
"Kahoko, kami membawa makanan yang banyak loh! Ayo makan!" Seru Miki sambil membuka apa yang mereka bawa.
Suasana kembali sunyi. Miki dan Kazuki sudah kembali depresi tingkat tinggi karena Kahoko terdiam. Tiba-tiba suara tawa riang terdengar.
"Aku tidak bisa membayangkan seramai apa rumah kalian nanti kalau telah menikah." Kahoko tertawa.
"Kyaa! Dia tertawa Kazuki! Dia tertawa!" Miki memeluk adiknya dengan.
"Iya Miki, dia tertawa." Kazuki benar-benar malu karena apa yang tadi ia lakukan.
Intinya, sekarang Kahoko sudah mulai kembali ke dirinya yang semula.
'Apa pengaruh seorang Tsukimori berperan begitu besar bagi Kahoko ya?' tanya Kazuki dibalik senyumnya.
TBC
A/N:
Akhirnya balik lagi~
Maaf update lama. Mungkin untuk seterusnya juga lama dan isinya minimalis. Hontou ni gomenasai!
Gk tau mau ngomong apa lagi.
Oh iya, untuk genre tetep romance dan drama. Kenapa drama? Karena bahasa yang mereka pakai rada lebay untuk berbicara. Angst? Nggak deh, lebih ngena ke drama.
Reviewnya di tunggu.