.

NARUTO © Mashasi Kishimoto

So Kina Uta © 73777778910

WARN: boyxboy!
Slice of life, AU, Naruto POV

.


.

Aku menyukai saudara tiriku. Kakak angkatku yang berusia tiga tahun lebih tua dariku. Aku sangat mengaguminya. Ya, aku, Naruto Namikaze, mengaku menyukai kakak perempuan tiriku, Sakura Haruno.

Kalian pasti bertanya kenapa aku berbeda marga dengan Sakura, yaitu Namikaze bukan Haruno. Yah, karena aku yang menginginkannya. Ayah tiriku—ayah kandung Sakura—memperbolehkanku untuk tetap memakai marga ayah kandungku, Minato Namikaze. Beliau mengetahui bahwa Ibuku masih mencintai ayahku, walaupun dia sudah meninggal.

Sakura adalah seorang gadis yang sangat cantik. Tapi bukan itu yang membuatku jatuh hati padanya. Dia selalu tegar dan pantang menyerah. Ayah kami—ayah kandung Sakura—meninggal beberapa bulan lalu. Kini aku, Sakura, dan Ibu yang harus bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan kami. Aku dan Sakura tidak mungkin membebankan itu semua kepada Ibu. Beliau sudah sangat menderita karena ditinggal mati suaminya dua kali, dan juga Ibuku sedang sakit-sakitan. Jadilah kami bekerja sambilan di sebuah kafe yang dikelola oleh tetangga dekatku, Jiraiya. Kafenya cukup ramai dan terkenal, kafe Kyuubi. Menjadi pelayan disana tidak buruk juga.

Semenjak aku memiliki perasaan ini, aku tahu bahwa itu adalah hal yang tabu. Mengingat kami adalah saudara—meski bukan saudara kandung—tapi hal itu tetap saja mustahil. Dan lagi aku ini hanya seorang remaja laki-laki yang baru beranjak ke usia lima belas tahun. Bisa apa aku ini untuk membahagiakan Sakura?

Aku tahu bahwa cepat atau lambat Sakura pasti akan menyukai orang lain. Itu hal yang wajar-wajar saja sih, mengingat usianya yang sudah tujuh belas tahun. Ketertarikan pheromon itu tetap tak bisa dihindari oleh remaja yang sudah puber. Tapi aku tetap tidak terima bila harus berpisah dengan Sakura dan menyerahkannya kepada pemuda lain.

Dari kecil aku selalu bersama Sakura. Aku selalu bermain, tidur, dan makan bersamanya sejak usia lima tahun sampai kini, hingga membuat perasaan ini timbul. Perasaan yang menyuruhku untuk memonopoli Sakura sendirian. Aku tahu bahwa aku ini egois, tapi egoku mengalahkan akal sehat. Dan yah, aku cemburu pada sosok pria yang sudah merebut hati Sakura dariku.

Dia, pemuda itu, aku tahu dia telah membuat Sakura memiliki perasaan lain padanya. Awalnya aku tidak curiga ketika untuk pertama kalinya Sakura mengajak beberapa teman perempuan dan laki-lakinya untuk kerja kelompok dirumah kami. Tetapi pandanganku berubah ketika aku melihat wajah Sakura bersemu merah setiap kali dia bertemu pandang dengan mata onyx tajamnya. Kekhawatiranku itu pun mulai terwujud ketika pemuda itu sering ke rumah bersama Sakura sehabis pulang sekolah, seperti bertamu ke rumah sang pacar. Meski aku tahu Sakura tidak berpacaran dengan dia sih, setidaknya belum. Namun itu membuatku gelisah.

.

.

Hari ini adalah Minggu pagi. Seperti biasa, aku, Sakura, dan Ibu makan bersama di meja makan. Ini memang sudah menjadi rutinitas kami untuk menikmati kehangatan sebuah keluarga yang sudah jarang kami rasakan. Tetapi hari ini aku melihat ada yang aneh.

Di sebrang meja aku melihat Sakura sudah berpakaian rapi. Sakura sekarang terlihat lebih cantik dari biasanya, dan itu yang membuatku resah. Ini kan hari Minggu, hari libur sekolah dan kerja sambilan sebagai pelayan di kafe Kyuubi. Jadi untuk apa Sakura sudah rapi sepagi ini? Ditambah lagi, sikap aneh Sakura yang tersenyum-senyum sendiri sambil memakan sarapannya dengan pipi merona—yang makin membuatnya terlihat semakin cantik. Terkadang juga matanya melirik ke arah jam dinding yang terpasang manis tidak jauh darinya.

Aku mengernyitkan alisku, heran.

"Ne, Sakura-nee ingin kemana pagi-pagi sekali?" aku bertanya ketika Sakura beranjak dari tempat duduknya sesudah menghabiskan sarapan.

"Nee-san ada janji dengan teman nee-san, Naru-chan," kata Sakura tersenyum sambil mencubiti pipiku dan mengacak-acak rambut pirangku.

Aku menggembungkan pipiku kesal. "Jangan memanggilku dengan embel-embel –chan. Aku ini laki-laki tahu!"

Sakura hanya tersenyum geli mendengar perkataanku, "Iya-iya, adikku yang manis."

"Hati-hati Sakura," kata Ibuku, tersenyum menatap kami.

Sakura berhenti mencubiti pipiku dan menoleh menatap Ibu. "Pasti, Kaa-san," sahutnya sambil tersenyum.

"Apakah teman Sakura-nee itu…" aku menggantungkan ucapanku, rasanya aku tidak kuat untuk bertanya. Aku meneguk ludah sebelum melanjutkan berbicara, "...Sasuke-senpai?" tanyaku dengan nada sedikit getir.

Sesudah aku menanyakannya, perlahan aku menghembuskan nafasku yang terasa sangat berat. Ukh, bahkan menyebutkan namanya saja terasa berat keluar dari kerongkonganku. Bibirku sangat kelu.

"Iya," dan ucapan itu kembali membuatku terhempas. Sakit. Cemburu. Emosi itu bercampur menjadi satu. Bodohnya aku menanyakannya. Aku sudah tahu akan jawabannya itu. Yah, setidaknya sedikit berharap tidak ada salahnya juga kan?

Aku hanya menatap Sakura sedih. Senyuman yang aku balas juga senyuman palsu. Entah Sakura menyadarinya atau tidak, aku tidak peduli.

Hatiku semakin terkoyak ketika Sakura menjawab pertanyaanku tadi dengan pandangan yang melembut. Aku tidak bisa lagi berbuat apa-apa.

"Aku berangkat dulu ya. Jaa!" selesai mengucapkan itu, Sakura pergi setelah sebelumnya mengecup pipi Ibuku.

Aku menundukkan kepala. Menatap sarapanku yang masih tersisa sedikit.

"Naruto, kau tidak apa?"

Aku mendongak melihat Ibuku yang juga menatapku dengan pandangan penuh perhatian dan kasih sayang.

"Kaa-san tahu kalau kau sebenarnya menyukai Sakura kan?"

Aku membelalakkan mata. Terkejut? Jelas. Sedari dulu aku sudah memendam dan merahasiakan perasaan ini kepada semua orang, termasuk Ibuku. Tapi… kenapa dia bisa tahu?

"Kaa-san tahu apa yang kau rasakan dan kau pikirkan. Karena kau adalah anakku, Naruto," Ibuku berucap sambil tersenyum. Sepertinya perkataan Ibuku benar. Buktinya dia berkata seperti itu seakan tahu apa yang tadi aku tanyakan dalam hati.

Aku kembali menundukkan kepalaku. Poni pirangku menutupi sekitar mataku. Saat ini aku tidak berani menatap Ibuku. Aku belum siap. Karena aku tahu kalau perasaanku ini adalah sesuatu yang terlarang.

Sekarang kami masih terdiam. Tidak ada satupun yang beranjak dari ruang makan. Bahkan untuk melanjutkan makan saja tak ada. Hening melanda kami.

"Tapi Naruto, kau tahu kan, bahwa Sakura adalah saudara mu? Usiamu bahkan lebih muda darinya. Kaa-san tahu, Sakura hanya menganggapmu sebagai adiknya yang harus dijaga. Sebelum kau tenggelam dalam perasaan ini, Kaa-san harap kau dapat menghilangkan perasaan itu. Bukannya Kaa-san kejam, tapi Kaa-san melakukan ini semua demi kebaikanmu, untukmu, dan juga Sakura. Kaa-san tidak ingin kau nantinya menyesal, Naruto."

Aku kembali mendongak menatap Ibuku. Disana aku melihat dia tersenyum padaku. Senyuman tulus yang selalu bisa membuat hatiku nyaman. Aku pun membalas senyuman itu dengan senyuman yang aku bisa. Yah, hatiku sekarang tidak dalam keadaan bagus.

Aku mengangguk pelan. "Ya, aku tahu itu Kaa-san," kataku pelan sambil beranjak dari tempat dudukku.

Aku melangkah menuju kamar tidurku. Hari ini aku ingin menenangkan perasaanku. Samar-samar aku mendengar suara Ibu.

"Maafkan Kaa-san, Naruto."

.

.

Sasuke, Uchiha Sasuke.

Pemuda itulah yang beruntung bisa mendapatkan hati Sakura. Kalau dipikir-pikir, tidak heran juga Sakura bisa menyukainya. Yah, kalau hanya di segi luarnya, dia memang sempurna. Tapi kalau dari dalam, jangan di tanya!

Setiap manusia pasti tidak ada yang sempurna. Mereka semua pasti memiliki kekurangan. Termasuk Uchiha—teme—Sasuke. Aku akui bahwa dia memang hampir sempurna. Yah, hampir. Kalau saja dia tidak mempunyai sifat yang menjengkelkan itu, yang selalu membuatku kesal. Beberapa pertemuan kami dari pertama memang tidak ada obrolan. Tegur sapa pun tidak. Tapi suatu ketika untuk pertama kalinya kami berbicara, tiba-tiba dia menyebutku 'dobe'? Yang benar saja! Mana ada orang yang pertama kali berbicara dengan seseorang yang merupakan adik dari temannya langsung mengatainya 'dobe'? Kurasa tidak ada (kecuali dia tentunya). Entah dia punya dendam apa padaku, aku tidak tahu.

Dirinya sangat sempurna. Dia tampan, kaya, pintar, tinggi, dan berasal dari keluarga terpandang. Wanita mana yang tidak ingin menjadi pendamping hidupnya? Aku tidak heran kalau dia memiliki banyak penggemar, termasuk Sakura tentunya. Mungkin jika aku wanita, aku juga akan terpikat oleh pesonanya. Hah? Kenapa tiba-tiba wajahku memanas saat mengingatnya? Hell no! Mana mungkin aku menyukai si teme itu? Lagi pula aku ini masih N-O-R-M-A-L.

Huh, lupakan... lupakan...

Aku menarik nafas dalam-dalam. Perasaanku menjadi aneh ketika aku mengingat si teme itu. Entahlah, aku tidak mau memikirkannya lagi. Sudah cukup aku pusing dengan perasaanku ini.

.

.

.

"Naruto, selamat ulang tahun, ya!" Sakura memberikanku dua buah kado sambil tersenyum. Aku membalasnya dengan senyuman cerahku.

Hari ini adalah hari ulang tahunku. Tanggal sepuluh Oktober, kini aku resmi menjadi remaja berusia lima belas tahun.

"Arigatou, Nee-san," kataku sambil mengambil kedua kado tersebut dari tangannya. Satu kado berwarna oranye cerah dan kado lainnya berwarna biru muda. Tapi kenapa Sakura memberikanku dua kado? Kalau kado dari Ibu sih, sudah aku terima tadi pagi.

Aku mengangkat sebelah alis, menatap Sakura bingung.

Sepertinya Sakura mengerti arti tatapan yang aku berikan padanya. "Ano, kado yang berwarna biru muda itu dari Sasuke-kun, dia menitipkannya padaku. Sebenarnya hari Minggu kemarin kami janjian untuk memberikanmu hadiah, Naru-chan."

Aku mengangguk mendengar penjelasan Sakura. Tapi aku masih bingung. Buat apa si teme repot-repot memberikanku hadiah? Memang sih akhir-akhir ini hubunganku semakin dekat dengannya. Tapi itu kan tidak lama. Aku saja baru mengenalnya tiga bulan lalu, jadi dia tidak perlu memberikanku hadiah. Ah, sudahlah, mungkin saja hadiah ini sebagai ucapan minta maaf atas semua tingkahnya yang menjengkelkan itu kepadaku.

Tak sengaja mataku melihat sesuatu terselip di antara bungkus kadonya yang berwarna biru muda. Sepertinya itu surat. Tanganku lalu mengambil surat itu dan membukanya. Mataku terus menelusuri kata-kata yang tertera di sana, semakin ke bawah, kurasakan wajahku makin memanas.

Sial sekali si teme itu. Apa maksudnya dia menulis surat seperti ini untukku?

Setelah aku selesai membacanya, aku langsung berlari ke lantai dua, menuju kamarku, meninggalkan Sakura yang masih bingung dengan tingkahku tadi.

.

.

.

.

.

.

.


To. Dobe Usuratonkachi.

Apakah kau sudah menerima kadoku, Dobe?

Pasti kau menyangka aku memberimu kado itu sebagai permintaan maaf atas semua ejekkan yang kuberikan untukmu, benar kan, Dobe?

Heh, jangan salah sangka. Panggilan 'dobe' itu memang cocok untukmu, Usuratonkachi. Dan aku tidak berniat meminta maaf sedikitpun kepadamu.

Kau tahu kenapa aku memilih warna biru muda sebagai sampul kadomu? Karena aku menyukainya. Mengingatkanku pada warna langit yang selalu kukagumi, yang juga terdapat didalam matamu.

Dan..

Happy Birthday, Naruto.

Uchiha Sasuke.


So Kina Uta—To Be Continued..


please, give me some Review..