Standart warning applies : TOTALLY AU, Fantasy, Adventure, Humor, a lil bit—haha, I mean… a lot of Romance. This story is dedicated to FFC—even I do not know how far this story would be deserve to compete with other amazing story. I warn you: there's dark Jiraiya, there's annoying Naruto, there's tomboyish Sakura, there's a kingdom, and other ridiculous plot. LAST CHAPTER!
DON'T LIKE DON'T READ ! Rate T for language.
Terimakasih sebesar-besarnya untuk yang telah memfavoritkan fiksi satu ini: Asakura Echo Yume-chan, Azumika Rinako, blue polkadot, Deidei Rinnepero13, Hana Arny, jelena-chan sasori, Kataokafidy, Kirio Himexa 96, Kugutsu si Kinjutsu, Lillya Hozikawa, Meli teh Eumel mah Me-mel, Mugiwara 'Yukii' UzumakiSakura, Nerine 'Jie, Risuki Taka, sacchiko, uzusabauci mei-chan, dan Yori Fujisaki
Yosh! Hope you like it!
DISCLAIMER : MASASHI KISHIMOTO-sensei and also: WALT DISNEY Pictures
.
THE LOST PRINCE
.
Sakura sadar betul ia bukan gadis yang cukup waktu untuk tidur. Dua puluh empat jam yang ia miliki tiap hari lebih sering ia lalui dengan terjaga. Ia berlari, ia menyusun strategi dengan dua sahabatnya, atau opsi lainnya, ia memikirkan Sasori sekaligus mengenang kedua orang tuanya—yang akhirnya lamunan panjang itu berakhir menjadi obat tidurnya.
Karena mimpinya yang selalu menyesakkan, ia selalu bangun lebih cepat.
Terakhir ia tidur tanpa mimpi adalah saat ia berada di gua bersama Naruto. Itu pun karena ia pingsan. Namun kali ini, tidur tanpa satu pun beban mimpi itu terulang lagi. Tidurnya benar-benar nyenyak. Kalau ia boleh memilih, ia ingin selamanya tidur saja. Tubuhnya merasakan lembut dan nyaman. Rasanya seperti berada di rumah—meski tidak ada wangi pancake yang biasa dibuat ibunya di pagi hari di masa lalu. Tapi rasanya, wewangian yang saat ini membuatnya terbangun dari tidurnya mampu membuatnya merindukan rumah.
Wangi perempuan—yang mengingatkannya pada ibunya.
"Kau sudah sadar?"
Sakura langsung beranjak duduk dengan cepat. Matanya berkedip beberapa kali untuk memastikan apa yang ada di hadapannya.
Ranjang yang besar yang kini ia duduki. Kamar yang luas, terang, juga angin sore hari yang berhembus hangat dari arah balkon. Sakura terkesima.
"Kau baik-baik saja, Sakura?" Tsunade melambaikan tangannya di depan wajah Sakura.
"Aku akan menghukum Inoichi karena membius gadis ini dengan obat yang terlalu kuat. Kau lihat kan, Kak? Sakura jadi linglung. Awas saja Inoic—"
"RA-RATU?" Sakura dengan keras berteriak memotong ucapan Kushina. Ia terlalu kaget saat ini. Gadis itu buru-buru membungkuk dan bersiap memberi hormat dengan turun dari ranjang sebelum akhirnya ia malah terpeleset jatuh ke lantai.
"ASTAGA, SAKURA!" Dua orang ratu itu justru mendekat pada Sakura yang terduduk ke lantai. "Kau tidak apa-apa?" tanya Kushina buru-buru.
"Kau terluka?" sahut Tsunade meraih lengan Sakura.
"Apa kau bisa berdiri?"
"Apa kepalamu masih pusing?"
Sakura justru kebingungan mengapa dua orang ratu di hadapannya malah berjongkok dan membantunya berdiri. Keduanya saling bersahutan menanyakan keadaannya—yang ujungnya justru tak satu pun ia jawab. Ia lebih ingin bertanya, mengapa ia berada di dalam istana, dengan pakaian berlapis-lapis khas kerajaan yang membuatnya sulit bergerak.
"Aku… Aku—"
"Sakura…"
Sakura menoleh dan mendapati Jiraiya tersenyum di ambang pintu.
"Maaf ya, sepertinya aku gagal menyampaikan pesanmu."
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
Saat Sakura melangkah memasuki sebuah kamar yang tak kalah luasnya dengan yang pertama ia lihat tadi, ia tak mendapati apapun. Kamar itu begitu sepi. Terlebih setelah Jiraiya mendorongnya masuk dan menutup pintu kamar itu dari luar.
Balkon dalam kamar itu terbuka lebar. Kain tipis di tepi balkon melambai-lambai tertiup angin. Di luarnya, langit terlihat berubah warna kemerahan. Sinarnya yang hangat menyinari hampir seluruh penjuru kamar.
Sakura melangkah. Dan saat itulah ia melihat sosok seseorang di atas ranjang yang tengah tertidur. Sakura mendekat, hingga gadis itu cukup jelas menatap paras Naruto.
Wajahnya pucat. Kantung matanya terlihat menebal—seperti lelah, seperti menangis.
"Naruto," bisik Sakura pelan.
"Kenapa kau berbohong, Sakura?"
Baru saja Sakura bersiap melangkah mundur, nyatanya tangan Naruto telah terulur di pergelangan tangannya terlebih dahulu untuk menahan langkahnya. Iris sewarna langit pagi itu terbuka, menengok padanya.
"Kau bilang akan menemuiku kan?"
Sakura bungkam.
"Kenapa kau tak datang?"
"Orang kerajaan menemuimu kan…," desah Sakura pelan. "Maaf, Naruto. Aku tak bisa…."
"Karin… kemudian Sakura… dari awal kau senang sekali berbohong padaku. Aku memang lelaki menyedihkan. Kau yang mengajariku untuk tak menganggap bahwa wanita adalah penyihir, tapi kau sendiri yang—"
Mata Sakura memanas. "Apa tak ada yang memberitahumu bagaimana posisiku saat itu, Pangeran?"
Naruto beranjak bangkit tepat saat Sakura mengibaskan genggaman tangannya.
"Kau tidak pernah merasakan bagaimana aku menjalani hidupku selama ini. Aku adalah buronan. Aku tahu aku pembohong. Aku tak memberitahumu tentang siapa aku dari awal!" teriak Sakura. "Aku bahkan tak mengungkapkan kecurigaanku bahwa… bahwa laki-laki bodoh yang merengek padaku ingin melihat pelangi itu adalah pangeran yang hilang!"
Naruto memandang gadis itu nanar.
Sakura terus melangkah mundur. "Hanya karena aku tak menemuimu kemarin, itu artinya aku tak ingin menemuimu. Aku tak bisa!"
Naruto melangkah pelan—maju mendekat pada Sakura sementara gadis itu terisak dan terus melangkah mundur.
"Aku tak bisa menemuimu… meski aku ingin." Sakura tak bisa mencegah suaranya yang goyah.
"Sakura…"
"Aku harus lari bersama kakakku. Aku punya tanggung jawab, Naruto. Sama seperti kau sekarang atas kerajaan ini." Sakura menunduk—menggeleng sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menangis hebat.
"Kalau begitu, kau harus bertanggung jawab padaku."
Isakan Sakura terhenti. Gadis itu menjauhkan kedua tangannya dari wajah cantiknya. Yang ia lihat sekarang hanyalah Naruto, berdiri di hadapannya, dengan raut wajah yang justru bisa membuat Sakura ingin terus menangis.
Dalam hitungan detik, Naruto merengkuhnya.
"Jangan pergi," bisik Naruto tepat di telinga Sakura—kemudian menciumnya. "Kau belum menepati janjimu yang lain. Kau bilang akan membawaku ke tempat ini. Tapi kau tak benar-benar melakukannya dengan baik."
Sakura terdiam, membiarkan Naruto mencium pipi dan dahinya berulang-ulang.
"Jangan pergi, Sakura."
"Kenapa? Kenapa…."
"Aku tak membutuhkan kebebasan kalau orang yang mengajariku tentang hal itu justru tak ada di sampingku."
"Kenapa aku, Naruto?"
"Karena kau gadis pertama yang kulihat…."
Sakura tertegun, "Hanya itu?"
Naruto menggeleng. "Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Naruto sembari mendekatkan wajahnya, hingga ujung hidung keduanya bersentuhan. Napas keduanya memburu.
Sakura mendongak.
"Saat ada seseorang yang mencium dahi kita, kau bilang ia menyayangi kita. Saat ada yang mencium pipi, artinya ia menyukai kita…," ucap Naruto. "Apa artinya saat kau menciumku kemarin di bibir."
"It means…," Sakura berbisik pelan, memejamkan matanya sedetik, "aku mencintaimu, Naruto."
Naruto mengeratkan pelukannya. Ia tak ingin Sakura pergi. Dan jika gadis itu menanyakan alasan mengapa Naruto menahannya untuk tetap berada di sisinya, jawabannya hanya satu.
Naruto akan mencium bibir Sakura.
"Aku mencintaimu."
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
T H E E N D
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
Hei, hari ini adalah hari yang besar. Peresmian Naruto sebagai putra mahkota yang resmi di kerajaan ini. suasana berlangsung meriah. Berkali-kali aku melihat Raja Minato dan Ratu Kushina tersenyum bahagia, terlebih tiap rakyat bersorak untuk Naruto. Sementara kulihat Jiraiya, lelaki baik itu masih menempel pada Ratu Tsunade. Hm, aku dengar dari Naruto, keduanya akan menikah beberapa bulan lagi.
Sama seperti ucapan paman Shikaku, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali kan?
Suigetsu dan Juugo? Oh, mereka sudah bebas dari penjara. Aku tak menyalahkan mereka saat Inoichi menangkapku. Justru aku yang sempat khawatir dan kasihan pada keduanya. Mereka sekarang menjadi pengawal khusus kerajaan, tepat di bawah bimbingan Inoichi.
Lelaki itu?
Jangan tanya. Aku masih kesal padanya karena membiusku dulu. Tapi kurasa ia hanyalah seorang prajurit yang patuh—meski semena-mena. Tapi aku senang padanya karena ia mau rela-rela pergi ke Suna untuk menjemput Chiyo-baasama untuk datang ke kerajaan Hi demi menyembuhkan kakakku dengan sihir dan ramuan buatannya.
Kakakku sekarang masih dalam proses penyembuhan. Tapi ia bilang padaku akan melanjutkan sekolah seninya. Sasori-nii benar-benar membuatku rindu.
Kerajaan ini sekarang tentram. Aku betah berada di sini, meski kadang aku merindukan kehidupanku yang serba bebas. Tapi asal ada Naruto, aku tak keberatan.
"Hei, sedang melamun?"
Aku menggeleng. Kulihat ia memandangiku terus. Aku mulai merasa kikuk dan ingin memukulnya. Aku benar-benar tak tahu mengapa ia akhir-akhir ini memandangiku cukup lama. Seolah ada yang aneh dengan wajahku. Oh, aku berlebihan. Tapi sungguh, tiap ia selesai mengobrol dengan Jiraiya, ia selalu datang padaku sembari tersenyum aneh.
"Sakuraaa…."
Aku menyipitkan mata. "Kenapa, Pangeran?"
"Aku teringat sesuatu."
"Apa?"
"Kau mencintaiku ya?"
Tunggu, pertanyaan macam apa itu?
"Ayah bilang aku harus memastikan kalau kau memang mencintaiku."
"Apa maksudmu?"
"Ibu bertanya padaku apa aku kesepian akhir-akhir ini."
Memangnya kenapa? Aku tak habis pikir dengan apa yang diucapkan Naruto. Berbelit-belit. "Lalu?"
"Aku bilang sih aku tak kesepian asal ada kau di sampingku."
Wajahku memerah mendengarnya.
"Lalu aku ingat dulu aku pernah bilang padamu kalau aku kesepian dan cuma ditemani Kyuubi."
Aku mengangguk lalu melirik sekitar, mencari sosok Kyuubi yang hilir mudik bersama Akamaru, anjing kerajaan yang terkenal cerdas.
"Kau ingat tidak?"
Aku mengernyitkan dahi sementara kulihat wajah Naruto mulai merona.
"Memang dibutuhkan lelaki, tidak hanya perempuan."
Mataku melebar seketika. Aku tahu arah pembicaraannya.
"Ayah menjelaskan padaku bagaimana cara membuat anak."
"Apa?" tanyaku tak percaya.
"Sepertinya aku paham. Ayah menjelaskannya dengan rinci sekali, hahaha." Naruto masih sibuk tertawa saat aku sibuk mengedarkan tatapan membunuhku untuk mencari sosok Jiraiya—atau malah Raja Minato? Naruto melingkarkan kedua lengannya di pinggangku. "Jadi… apa kau mau membuatkanku seorang anak?"
Wajahku merah padam saat ia mengatakannya. Sebenarnya aku ingin sekali memukulnya. Tapi entah mengapa aku malah mencium bibirnya. Aku mencintainya. Dan saat Naruto membalas ciumanku, aku tahu ia mencintaiku dengan sangat.
Oh, aku adalah Sakura. Dulu aku adalah pencuri ahli, buronan kerajaan yang sulit ditangkap. Ini bukan kisahku. Ini adalah kisah seorang pangeran yang diculik dari kerajaan sejak bayi, hingga akhirnya bertemu denganku dan kami berdua melakukan sebuah perjalanan dari hutan menuju kerajaan orang tuanya. Di perjalanan itu kami jatuh cinta.
Ini adalah kisah milik Naruto. Dan aku yang kini menjadi pendampingnya .
Ini adalah kisah pangeran yang sempat hilang. Dan karena sekarang pangeran itu telah kembali ke kerajaan, kurasa kisah lain akan bergulir.
"Sakura…."
Oh, Tuhan. Aku mencintai pangeran bernama Naruto ini.
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
TAMAT… BAYANGKAN! NIGHT BERHASIL NAMATIN CERITA INI!
Hehehe, nggak ada yang ingin Night sampaikan selain terimakasih sebanyak-banyaknya pada pihak event FFC. Maaf karena memenuhi tugas kalian dengan fic aneh satu ini. Cerita ini memang berbasis film Tangled, tapi dari awal memang Night nggak serius bilang kalau plotnya akan sama semua.
Kalo boleh sedikit curhat, awalnya ini 2 chapter. Chapter 3 sebanyak 4500 kata dan chapter 4 7000 kata. Thanks to Debo yang mengingatkan night kalau batasnya 4000 kata perchapter, jadilah night potong jadi chapter 3 sampai chapter 6 :D Maaf kalo pemotongannya gaje sekali.
Kisah yang berakhir bahagia. Fantasi, dongeng, sedikit petualangan.
Maaf kalau kisahnya rush. Maaf sekali. Night tak sempat membuat yang lebih bagus dari ini. terimakasih sudah membaca…. Sila review kalau sempat^^
.
R E V I E W
I
I
V