A/N : Halo, minna-san aku kembali memaksakan diri buat bikin fic baru lagi, meski ide bener-bener dadakan bahkan mepet dan serba maksain, aku berusaha untuk bisa publish. Ini semua DEMI NaruSaku Day tentunya. Sebagai NS lover aku ingin memberikan sesuatu buat para pecinta NaruSaku lainnya. Pokoknya fic ini spesial buat para NaruSaku lovers.^^

Warning : Canon, Typo, OOC, alur ngebut dan loncat-loncat. For Challenge Masahiro 'Night' Seiran. Don't like? don't flame!

Disclaimer : Naruto belong to Masashi Kishimoto

Story by. Rinzu15

:: ::

Puzzle of My Heart

Chapter 1

:: ::

"Apa? Anda mengirimkan Naruto untuk misi kelas S di Kumogakure? Bukankah itu sangat berbahaya, Tsunade-shisou?"

"Aku tahu, Sakura. Tapi aku tidak punya pilihan lain untuk mengirim shinobi selain dirinya. Mereka semua sedang menjalankan misi dan belum kembali. Hanya Naruto saja yang sedang tidak ada misi. Aku juga sempat melarangnya, tapi kau tahu sendiri bagaimana sifat Naruto seperti apa. Dia terus memaksa walaupun tidak ada izin dariku." Tsunade menopang dagunya dengan kedua punggung tangannya dan menghela napas panjang.

"Lalu, kenapa shisou tidak memberitahu apa-apa padaku? Kenapa tidak mengirimku juga bersama Naruto untuk membantunya?" tanya Sakura mulai kesal.

"Maaf, Sakura. Tapi Naruto sendiri yang memintaku untuk merahasiakannya darimu. Dia tidak mau kau sampai ikut misi. Dia tidak ingin kau sampai terluka."

"Tapi siapa yang akan menyembuhkannya kalau dia terluka saat pertarungan dengan shinobi Kumo? Ini sudah lima hari dan sampai sekarang belum juga ada kabar darinya 'kan, Shisou?" Air muka Sakura berubah menjadi campur aduk, antara marah, kesal dan cemas.

"Aku mengerti, Sakura. Aku sudah mengirim Anbu ke Kumo untuk mencari tahu keadaan Naruto. Kau bersabarlah sebentar lagi. Percayalah kalau dia akan kembali."

Sakura menghela napas, mencoba menenangkan diri. Lagi-lagi Naruto berbuat seenaknya sendiri dan membuat kunoichi itu cemas.

"Baka!" umpat Sakura pelan sebelum akhirnya mohon diri dari kantor Hokage dan kembali menuju Rumah Sakit Konoha.

(Sakura)

Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan pandangan menerawang. Langkahku kemudian terhenti di depan sebuah kamar rawat dengan nomor 67 di atas pintunya. Aku memandang sosok berambut raven dari balik pintu itu. Di sana, dia tengah terjaga dengan perban yang membalut tubuhnya ditemani oleh Karin, yang ikut bersamanya saat dia dibawa kembali ke Konoha. Dia, Uchiha Sasuke, cinta pertamaku yang… entahlah, aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat ini padanya.

Uchiha Sasuke yang sempat menghilang dari Konoha, dari tim kami selama bertahun-tahun itu akhirnya telah kembali setelah pertarungan hebatnya dengan Naruto beberapa hari yang lalu. Tentu saja, Naruto lebih cepat pulih dari yang lainnya karena bantuan chakra Kyuubi. Tidak heran kalau dia begitu cepat keluar dari rumah sakit. Kondisi Sasuke juga semakin hari semakin baik. Dalam waktu dekat, mungkin dia sudah bisa keluar dari rumah sakit.

Aku senang dan bersyukur karena akhirnya Sasuke kembali. Permohonan seumur hidupku pada Naruto dan janji konyol yang membuatnya menderita sudah ditepatinya. Namun, entah kenapa aku masih tidak berani untuk berbincang banyak dengan Sasuke seperti dulu. Ada sedikit rasa canggung untuk sekedar bertatap muka dengannya.

Aku pun beranjak dari sana dan berbalik menuju ruangan kerjaku. Shift-ku sudah selesai, namun aku merasa enggan untuk pulang.

Angin pagi yang berhembus melewati jendela ruang kerjaku yang terbuka membelai kulit dan rambut soft-pink-ku yang kini telah kembali memanjang. Berkali-kali aku menghela napas lalu menatap langit biru cerah yang menghias langit Konoha dari balik jendela. Warna cantik yang serupa dengan bola mata itu. Mata yang selalu meneduhkan hati yang memandangnya. Mata yang selalu dipenuhi kesungguhan dan tekad kuat.

Naruto selalu berusaha lebih keras dari yang lain. Kelapangan hatinya mampu melunakkan hati orang lain, bahkan musuh sekalipun. Dan sepertinya aku termasuk ke dalamnya.

Aku sangat terkejut ketika tahu bahwa Naruto menjalankan misi untuk melenyapkan shinobi buron pembunuh Raja Negara Hana yang diketahui bersembunyi di Kumogakure. Yang aku kesalkan adalah, dia pergi mengambil misi berbahaya itu sendirian! Aku tahu dia telah berhasil mengalahkan shinobi sekuat Pein sebelumnya, tapi tetap saja tindakan nekadnya itu benar-benar bodoh! Semua shinobi sudah tahu kalau shinobi buron itu sangat kuat, mungkin sedikit lebih kuat dari Pein. Dan yang lebih menyebalkannya lagi dia merahasiakan semua itu dariku.

Ini sudah menginjak hari kelima sejak kepergiannya, dan dia masih belum juga kembali. Aku percaya padanya, sangat percaya. Namun, tetap saja aku tidak bisa merasa tenang. Bahkan aku merasakan perasaan tidak enak dalam hatiku.

Lima hari sebelum kepergiannya ke Kumo, aku sempat menghabiskan waktu dengannya di jembatan tempat kami selalu berkumpul untuk latihan dulu bersama Kakashi-sensei. Saat itu aku hanya berdiri di sana dan memandang riak air yang tenang di bawah jembatan. Malam itu cukup dingin dan sunyi. Hanya suara katak yang bersembunyi di balik rerumputan yang terdengar cukup nyaring saling bersahutan seperti orkestra yang mencoba menghibur diriku yang entah kenapa merasa kesepian.

Flashback

"Sakura-chan, apa yang sedang kau lakukan di sini sendirian?" tanya seseorang saat dia mendekat ke arahku dan menepuk pundakku pelan.

Aku menolehkan wajahku ke arahnya dan bisa kulihat senyuman ―lebih tepatnya sebuah cengiran dari ninja penuh kejutan nomor satu, teman se-timku yang tidak lain dan tidak bukan, Naruto.

Untuk sejenak, aku terdiam memandang iris birunya yang bersinar terkena cahaya bulan. Baru kali ini aku merasa terpesona denga keindahan mata itu. Mata yang memancarkan ketulusan. Hei, apa yang baru saja aku katakan?

Aku tersenyum kecil dan menggeleng pelan lalu kembali mengalihkan pandanganku pada riak air di bawah kami.

"Entahlah, aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya aku lakukan."

Naruto tampak kebingungan dan menatapku seolah mencari jawaban.

"Aku hanya teringat hal dulu," lanjutku.

Naruto terlihat menganggukan kepalanya. "Boleh kutemani?" tanyanya kemudian.

"Hah?"

"Um… maksudku, berbahaya seorang gadis cantik berdiam sendirian saat malam seperti ini," jawab Naruto sambil tersipu malu.

"Hei, apa kau lupa kalau aku ini juga seorang ninja? Kau meremehkanku, Naruto." Aku tersenyum hambar dan meletakkan tanganku di tepian jembatan.

"Bukan begitu, Sakura-chan. Aku sama sekali tidak meremehkanmu. Tentu saja aku tahu kalau kau seorang kunoichi yang kuat, tapi tetap saja sendirian di malam hari itu berbahaya."

"Hh~, terserah kau saja, Naruto."

"Ehehe… terima kasih, Sakura-chan."

"Apa maksudmu dengan terima kasih? Aku tidak melakukan apa-apa untukmu."

Sesaat, Naruto menggaruk rambutnya pelan dan mulai kembali tersenyum. "Karena sudah mengizinkanku untuk menemanimu tentu saja."

Aku terdiam menatap pemilik blue sapphire itu. Sebegitu berharganyakah baginya untuk sekedar menemaniku? Aku tahu selama ini aku tidak pernah memperlakukannya dengan baik, bahkan dulu aku sama kejamnya dengan mereka yang memandang sebal padanya. Aku selalu membentak dan memukulnya dengan kasar.

Dia yang telah berulang kali menyelamatkan nyawaku dan selalu ada di sisiku. Dia yang berhasil merubah diriku dan memberiku alasan untuk menjadi kuat.

"Sakura-chan… tidak menjenguk Sasuke-teme?"

Sasuke? Benar juga. Dia telah menepati janji bertahun-tahun lalu yang aku mohon padanya. Padahal, aku sudah menyuruhnya untuk melupakan janji itu dan berusaha mencegahnya untuk mengejar Sasuke. Tapi Naruto memang keras kepala. Bahkan saat Sasuke berniat untuk membunuhku dan juga dirinya, dia tidak menyerah sampai akhir.

Perlahan, aku mengangkat tanganku dan membawanya ke leherku. Jika dia tidak dating saat itu, saat Sasuke mencekikku dengan sekuat tenaganya, mungkin aku sudah mati.

Tapi, lagi-lagi dia menolongku.

Sama seperti saat dia menyelamatkanku dari Shukaku milik Gaara, juga serangan dari Sora yang saat itu berubah. Dia selalu melindungiku.

Dia selalu ada. Naruto….

"Aku sudah menjenguknya sebelum kemari. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kondisi Sasuke-kun semakin membaik. Aku yakin dia akan segera pulih."

"Kau benar, Sakura-chan."

"Lagipula… sudah ada Karin yang menjaganya. Semua akan baik-baik saja," ucapku pelan tanpa memandang Naruto.

"Sakura-chan…."

"Bukan begitu, Naruto?" Aku mencoba tersenyum sebaik mungkin. Entah kenapa ada sisi hatiku yang merasakan sebuah kelegaan. Aku bersyukur baik Sasuke maupun Naruto kembali dengan selamat. Dadaku terasa sesak saat Naruto bersikeras melawan Sasuke. Aku merasakan ketakutan luar biasa. Rasa takut kehilangan yang begitu menyesakkan dibanding saat Sasuke meninggalkan Konoha. Rasa yang sama saat Naruto dengan nekadnya melawan Pein sendirian.

Aku tidak mengerti kenapa seperti itu. Mungkin Sai benar kalau aku terlalu bergantung pada Naruto. Padahal aku sudah bertekad untuk menjadi kuat, tapi lagi-lagi aku menyusahkan orang lain. Apalagi saat Sai mengatakan bahwa janji yang telah aku buat menjadikan penyebab dirinya menderita selama bertahun-tahun lalu. Aku semakin merasa bersalah padanya.

Aku tidak bisa sekuat Naruto. Jika kuingat kehidupan masa kecilnya yang kelam, sampai sebesar ini dia hidup sebatang kara, bertahun-tahun menerima ejekan, cemoohan dan hinaan dari penduduk desa tidak menjadikannya seorang yang menyedihkan. Bahkan tidak ada yang menyangka kini dia menjadi pahlawan Konoha. Usahanya untuk bisa mendapat pengakuan dari penduduk desa telah berhasil karena kesungguhannya. Ketulusan dan kesederhanaannya itu menjadikannya berhati lapang.

Naruto… seorang yang penuh cinta meskipun dia dulu hidup tanpa cinta.

"Kau tidak apa-apa, Sakura-chan?" Naruto berubah panik saat tanpa aku sadari air mataku sudah jatuh begitu saja membasahi pipiku.

Dengan cepat, aku menghapus air mataku dan memalingkan wajah darinya. Apa yang sebenarnya terjadi denganku?

"A-aku tidak apa-apa…. Ada debu yang masuk ke mataku."

"Sakura-chan…." Naruto menatapku dan memegang pundakku dengan cemas. "Coba kulihat!"

Aku terkejut saat Naruto mendekatkan wajahnya ke arahku lalu membuka kelopak mataku dan meniupnya pelan.

'Apa yang dia lakukan?' batinku.

Tiba-tiba saja wajahku memerah dan jantungku berdegup kencang. Aku tidak pernah sedekat ini dengannya, bahkan deruan napas Naruto terasa panas menerpa wajahku. Karena panik, dengan cepat aku mendorongnya menjauh dariku, dan tentu saja Naruto jadi terjatuh.

"AWW! Kenapa tiba-tiba mendorongku, Sakura-chan? Aduh, sakit…." Naruto meringis sambil memegangi pantatnya.

"Maaf, Naruto… aku tidak sengaja!" Aku pun membantunya untuk berdiri.

Aku benar-benar kehilangan kendali. Habis, kenapa tiba-tiba saja dia berbuat seperti itu?

"Kau tega, Sakura-chan…."

"Hei, aku sudah bilang tidak sengaja. Aku juga sudah minta maaf 'kan?"

Aku kebingungan saat Naruto tidak menjawab dan justru malah menundukkan wajahnya. Aku menaikkan sebelah alisku tidak mengerti. Apa dia marah padaku?

"Naruto?" Aku mencoba memanggilnya pelan, namun dia tetap menunduk. "Naruto? Huh, masa begitu saja kau marah?" Kedua tanganku terlipat di dada, menunggu respon dari Naruto. Namun, aku mulai berubah cemas saat Naruto masih terdiam dan tidak mengatakan apa pun. Apa aku terlalu keras mendorongnya tadi?

Aku pun mendekatkan wajahku ke arahnya, mencoba melihat wajahnya. "Naru―"

"Sakuraa-chaaann…."

"KYAAA…!"

BAAAMMM!

Naruto memegangi pipinya yang memar akibat tonjokan super Sakura. Kini dia duduk di bawah pohon besar yang rindang. Chakra hijau Sakura mengalir dari telapak tangannya, mencoba menyembuhkan luka lebam itu.

"Dasar baka! Apa-apaan tadi menakutiku dengan wajah jelek begitu! Menyebalkan sekali!"

"Gomen, gomen…. Aku tadi hanya bermaksud untuk membuatmu terkejut, Sakura-chan. Tapi kau malah memukulku…."

"Tentu saja! Siapa yang tidak takut dengan henge menyeramkan begitu! Itu adalah henge terburuk yang pernah aku lihat!"

"Tapi ekspresi wajahmu saat ketakutan tadi lucu sekali, Sakura-chan, hehehe…."

"Kau mengejekku?" Aku memajukan bibirku kesal.

"Tidak. Maksudku lucu dalam arti imut."

"Huh!"

"Jangan marah begitu, Sakura-chan! Ayo senyum…." Naruto menarik kedua sudut bibirku, memaksaku untuk tersenyum.

"Aahh, lehasshkaann!"

"Hehehe…." Naruto hanya tersenyum. Aku memukul lengannya pelan, dan sedetik kemudian aku ikut tersenyum bersamanya.

"Akhirnya kau tersenyum juga, Sakura-chan. Syukurlah…."

Mendengar hal itu, tawaku sejenak berhenti dan wajahku sepertinya mulai memerah karena malu. Dia selalu saja bisa membuatku tertawa, menyebalkan!

"Memangnya kenapa?" Aku memalingkan wajahku dan mencoba untuk menyembunyikan wajahku yang memerah.

Naruto hanya terkekeh pelan sebelum akhirnya dia kembali tersenyum. "Tidak apa-apa, Sakura-chan. Aku hanya tidak ingin melihatmu sedih. Aku tahu, mungkin kau sedih karena teme ditemani Karin. Tapi kau jangan menyerah, Sakura-chan! Kalau kau punya masalah, aku selalu siap untukmu!"

Aku agak terkejut mendengar penuturannya. Dari mana dia punya pikiran seperti itu? Seenaknya saja menebak pikiran orang. Dia masih sempat memikirkan kebahagiaanku padahal aku tahu, dia butuh lebih banyak kebahagiaan dibandingnkan dengan diriku. Tapi lihatlah, dia berbicara seperti itu padaku seperti tanpa beban. Lagi-lagi menyebalkan!

"Kau ini seenaknya menyimpulkan, Naruto. Kau tidak tahu apa yang kupikirkan saat ini, jadi jangan menebak sembarangan seperti itu."

"Lalu kalau begitu, apa yang sedang kau pikirkan?"

Aku kembali menatap Naruto yang memasang wajah lucu. Kalau kukatakan padanya kalau aku tengah memikirkannya, dia pasti tidak akan bisa diam dan terus bertanya.

"Aku sedang memikirkan seseorang yang bodoh, yang selalu saja mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri," jawabku, mencoba memancingnya untuk sedikit berpikir.

Dan seperti dugaanku, ekspresi wajahnya langsung berubah. Sepertinya Naruto penasaran, dia tampak berpikir dengan bibir manyun. "Hhmm, siapa dia? Ayo katakan padaku!"

"Kau tidak tahu, Naruto? Sama sekali?"

"Aku tidak tahu. Sama sekali. Apa dia seorang laki-laki?"

"Hn."

"Siapa? Siapa? Katakan padaku siapa, Sakura-chan!"

"Hmm… bagaimana, ya?"

"Ayolah, Sakura-chan! Ah, jangan-jangan, dia akan menjadi sainganku setelah Teme! Tapi, mana mungkin kau menyukai orang bodoh seperti itu 'kan, Sakura-chan? Pasti masih jauh lebih buruk kalau dibandingkan denganku, iya'kan?"

Aku terkikik mendengar penuturan polosnya itu. Ya, ampun… dia tidak sadar sama sekali kalau yang tengah kubicarakan ini adalah dirinya. Benar-benar tidak peka!

"Kau cari tahu saja sendiri, Naruto," ucapku seraya perlahan beranjak dari tempatku.

"Apa? Huh, curang! Kau main rahasia-rahasiaan denganku. Itu sama sekali tidak lucu, Sakura-chan."

"Terserah kau saja, Naruto. Aku pulang duluan, ya! Bye!"

"Eh? Hei, Sakura-chan jawab dulu pertanyaanku!" teriak Naruto.

Aku tidak menghiraukan pertanyaannya, tapi dia terus berteriak. "Sakura-chan, kalau aku berhasil menebak orang itu, kita makan ramen sama-sama, ya!"

Aku mengangkat tanganku sambil terus berjalam dan tidak menolehkan wajahku padanya. Baiklah, aku setuju dengan taruhannya kali ini. Aku tersenyum kecil dan berjalan menuju rumahku.

End of Flashback

Aku memejamkan mataku sejenak dan menghirup udara pagi yang hangat sebelum akhirnya aku kembali memandang langit biru itu.

Tiba-tiba aku teringat akan pernyataan cintaku padanya waktu itu. Naruto… aku tidak menyangka sama sekali kalau dia akan menolakku. Dia bilang kalau aku membohongi diriku sendiri, padahal aku menyadari ada sisa ruang di hatiku yang terisi olehnya.

Aku masih bisa mengingat dengan jelas ekspresi wajah Naruto saat itu. Mimik wajahnya terlihat begitu serius. Dia mengatakan 'benci' padaku tanpa keraguan. Dan hal itu terasa lebih sakit dibanding saat Sasuke mengacuhkanku.

Mungkinkah aku terlambat untuk menyadari perasaanku sekarang?

"Naruto… cepatlah kembali, Baka! Kau bilang kau selalu siap untukku. Mana janjimu itu?" gumamku pelan. Aku menundukkan wajahku frustasi, kedua tanganku menumpu kepalaku.

.

~R.I.N.Z.U.1.5~

.

Keesokan harinya…

"Sakura, Naruto berhasil ditemukan! Sekarang dia sedang dalam perjalanan menuju Konoha!" Kabar Shizune yang tiba-tiba itu langsung menghancurkan semua kecemasanku selama ini.

Untuk sesaat, aku tertegun, berusaha untuk memercayai kabar yang telah kunanti berhari-hari. Tanpa membuang waktu lagi, aku langsung meninggalkan pekerjaanku dan berlari menuju pintu gerbang Konoha bersama Shizune yang mengikutiku dari belakang.

Sesampainya di pintu gerbang, aku bisa melihat Tsunade-shisou, juga Kakashi-sensei, Sai dan Yamato-taichou yang baru kembali dari misi mereka masing-masing. Ternyata mereka juga langsung menuju kemari saat tahu kabar ini.

Masih dengan napas terengah, aku mengarahkan pandanganku ke depan. Aku menyipitkan mataku, menanti sosok berambut kuning itu dari kejauhan dengan perasaan berdebar.

Tak lama kemudian, terlihat dua orang Anbu yang mendekat ke arah kami dengan seseorang yang berada di punggung salah seorang dari mereka dengan tubuh yang terkulai lemah tak sadarkan diri dan penuh luka.

Aku menatapnya tak percaya. Segera aku berlari menghampiri mereka. Dan aku semakin terbelalak saat melihat kalau orang itu benar-benar Naruto. Air mata perlahan jatuh satu-persatu dari emeraldku.

"NARUTO!"

~ To Be Continued… ~

Huaaa… maaf kalo gaje dan abal minta ampun #jedot-jedotin kepala ke bantal. Ini fic Canon pertamaku! Sueerr, bikin fic Canon jauh lebih membingungkan dibanding AU! Sebenernya aku bener-bener gak pede dan gak yakin buat publish fic ini mengingat persiapannya yang amburadul, tapi ini demi NS Daaayy…! #nangis lebay ala Gai dan Lee.

Chapter 1-nya emang pendek banget, karena udah aku bilang sebelumnya semuanya bener-bener dadakan, udah kepepet banget waktunya. Tapi, insya Allah buat chapter 2-nya bakal aku persiapkan dengan matang.

Aku juga nggak yakin, ini bisa dibilang canon atau nggak, hehe…

Maaf buat segala kekurangannya, yang pasti untuk chapter depan aku akan lebih berusaha lagi.

Arigatou for reading…

Doomo arigatou for review…

HAPPY NARUSAKU DAY!

Ja ne!^^

Rinzu15