MATURE CONTENT

YOU HAVE BEEN WARNED

.

.

Konoha, 1970

"Aduuh, dimana pitaku jatuh sih?" perempuan berambut coklat itu semakin memasukkan tangannya ke dalam semak-semak—tempat pita rambutnya terjatuh. Tapi karena dirinya tetap tidak menemukan pita itu, ia memajukan badannya sampai tidak sadar kalau dia sudah terjatuh ke dalam semak-semak.

Setelah anak berumur delapan tahun itu meringis kesakitan, ia menggeserkan pandangannya ke salah satu lubang besar di tembok—yang dihalangi oleh dedaunan semak bertinggi sedang.

"Eh? Lubang apa ini?" tanya Rin—perempuan pirang itu—ke dirinya sendiri, lalu ia merangkak untuk mendekati lubang disana. Awalnya ia berniat langsung masuk untuk memeriksa, tapi mendadak gerakannya terhenti. Ia berpikir sebentar, mengingat nasihat sang ibu yang melarangnya ke tempat asing, apalagi sendirian tanpa orang dewasa.

Tapi lamunannya buyar saat telinganya mendengar sesuatu, suara yang mirip dengan teriakan girang anak-anak. Dengan cepat ia menajamkan pandangannya ke asal suara tadi—lubang itu—lalu ia terperangah melihat sebuah taman bermain di dalamnya.

Ia merangkak dengan terburu-buru—melupakan nasihat ibunya. Sampai akhirnya sesudah melewati lubang, Rin berdiri dan melihat ke sekitar.

"Wuuaa, taman bermain yang indah!" serunya sambil berlari menelusuri taman, tapi ia berhenti sebentar ketika menyadari tidak melihat anak-anak lain. Hanya ada dia sendiri dan sebuah taman bermain yang kosong.

Ia bahkan baru sadar kalau langit di atas taman ini juga sudah menggelap. Seingatnya kini masih jam 11 pagi dan cerah, tapi entah kenapa disini suasananya sudah seperti magrib. Pemandangannya dipenuhi dengan warna sepia, sepi, gersang dan hening—seperti tidak ada kehidupan.

"Ah, ada tamu!"

Suara tiba-tiba itu langsung membuatnya tersentak. Ditemani oleh degup jantung yang tidak beraturan, Rin berbalik dan menemukan seorang anak laki-laki. Dia tampak sebaya dengannya, tapi lebih tua sedikit. Ditatapnya anak kecil itu.. jabrik, wajah yang ditutupi topeng oranye dan jubah hitam.

"Aku Tobi si anak baik. Ayo main bersama Tobi!" terdengar suara riang dibalik topengnya. Suara yang entah kenapa membuat bulu kuduk Rin merinding.

.

.

.

LOVE IS DEATH

"Cintaku adalah Kematianmu"

By : Sanpacchi

Naruto (c) Masashi Kishimoto

Pairing : Tobi/MadaHina; Hinata and Akatsuki; NaruHina; SasuHina

Genre : Crime, Suspense, Supernatural, Horror

Inspired : Film The Orphan + komik Raising Moe.

Warning : Crack, AU, Typos, Death-chara, Lime, Lemon, Bloody, dll

A/N : Sebenernya ini untuk FFC, tapi karena UN di bulan April aku baru bisa update sekarang, dan kayaknya aku ngga sanggup complete di bulan Mei. Lagian aku juga ngga yakin ini horror. Jadi lanjut aja!

HAPPY READING!

.

.

Love is Death no I.Cinta Baginya

.

.

"Bermain apa?"

"Perang-perangan."

Mendadak tubuh Rin seakan beku setelah mendengar jawaban Tobi, tapi karena perasaan itu muncul dengan tiba-tiba, ia mencoba menepis perasaannya dan tersenyum. "Tapi aku tidak punya senjata. Apa Tobi-kun punya senjata?"

"Punya," bersamaan dengan jawabannya angin berhembus dengan kencang, membuat rambut mereka berantakkan dan jubah hitam Tobi sedikit tersingkap. Dan hal itu membuat kedua mata Rin membulat sempurna.

Ia melihat sebuah kapak kecil, dan kapak itu diselipkan di sabuknya yang tertutup jubah.

Memandang Rin yang terkejut dan mulai berjalan mundur untuk menjauhinya, wajah di balik topeng itu menaikkan sudut bibirnya.

Walaupun tidak melihat langsung seringaiannya, bulu kuduk Rin sudah meremang dan tubuhnya bergetar ketakutan.

"Aa, a-aku mau minta izin Okaasan dulu!" tanpa aba-aba ia langsung berbalik dan hendak masuk ke lubang di tembok lagi, tapi dengan cepat tangan Tobi yang kuat mencengkramnya.

"Kenapa? Kok cepat sekali? Kan kita belum mulai main.." tanya Tobi, masih menggunakan nada ceria ke perempuan yang sudah menangis di depannya. Lalu ia memasukkan tangannya ke dalam jubah dan mengeluarkan kapak tajam yang ditakuti oleh Rin.

"Nah, Ayo kita mulai."

...

Matahari sudah kembali menyembunyikan dirinya, dan langit juga sudah berubah menjadi warna biru keunguan menjelang malam, membuat suasana taman bermain di tempat yang tidak strategis itu menjadi semakin seram

Dan masih ada satu yang masih duduk di kursi ayunan, menikmati gerak angin yang menerpa wajahnya yang tertutup topeng. Anak berambut jabrik itu hanya menggumamkan lagu tidak jelas sambil menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri—tanda ia menikmati lagu dinyanyikannya.

Di sela nanyiannya ia melemparkan sebuah pesawat kertas, benda itu terbang dan menjatuhi sebuah tumpukan lunak. Cairan dari tumpukan lunak itu langsung membuat ujung pesawat yang tersungkur menjadi berwarna merah—merah yang sama seperti benda yang dijatuhinya.

Menyadari pesawat kertasnya sudah berubah warna, ia hanya menggeserkan pandangannya ke sesuatu yang berada di bawah pesawatnya. Diam sebentar lalu tesenyum senang. Tentu ia senang melihat seonggok daging yang sudah tak berbentuk itu. Dengan menghela nafas ia meletakkan telapak tangannya di cuping telinga lalu memejamkan mata—mendengar sesuatu yang ia sebut lagu.

Lagu yang didengarkan oleh Tobi juga sempat didengar oleh Rin sebelum memasuki taman ini. Suara yang mungkin terdengar ramai, riuh dan berisik seperti suara anak-anak yang sedang riang bermain. Tapi bila didengarkan lebih baik, suara itu semakin jelas.. suara jeritan orang minta tolong, kesakitan, penyesalan, meminta ampun, dan menyebutkan namanya.

"Aah.. coba saja ada yang mau mendengarkan lagu indah ini bersama Tobi," lirihnya sedih sambil kembali melihat tumpukan itu—yang ternyata adalah daging tubuh manusia hasil cincangan kapaknya. Bahkan beberapa bagian tubuh si rambut coklat ada yang menyebar ke sisi taman bermain.

Menemani ratusan bangkai manusia lain yang sudah membusuk di sebelahnya.

Tiba-tiba perutnya menjadi geli saat ia melihat kapak kepunyaannya yang masih menancap di ubun-ubun anak kecil yang baru saja bermain dengannya—membelah dan menghancurkan tengkorak dan otaknya.

Lalu dia tertawa, tertawa di tengah malam.

Sendirian.

.

.

-33-

.

.

Konoha, 2010

Keadaan kota yang dulunya kumuh itu sudah menjadi lebih tertata dan jauh lebih bagus, tentu karena adanya faktor pembangunan disana-sini oleh pemerintah. Banyak bangunan-bangunan tak terpakai yang diratakan untuk di jadikan sekolah, kantor, dan pusat perbelanjaan.

Tembok beton yang menjadi penghalang sebuah komplek dan taman bermain itu juga di hancurkan untuk memperluas jalan. Beberapa permainan yang sudah berkarat ataupun rusak parah langsung diperbarui. Jalanan di sekitar yang dulunya rumput juga sudah ditambahkan deretan bata putih—untuk tempat berjalan anak sekolahan ataupun yang pulang kerja.

Tapi hanya satu yang tidak berubah. Sebuah bangunan tua yang berjarak 100 meter dari taman. Bangunan tua yang di setiap paginya terdengar suara anak kecil menangis seperti sedang merutuki sesuatu. Tapi hal itu berhenti di saat magrib, tapi akan kembali terdengar di tengah malam. Masih dengan suara yang sama, tapi suara itu berubah menjadi tawa. Tawa yang seperti sebuah kepuasan karena telah menuntaskan dendamnya.

Dan yang membuat penduduk merinding, bangunan itu adalah bangunan kosong—yaitu tanpa seseorangpun yang meninggalinya. Dan asal suara itu masih tidak ada yang tau asal usulnya.

Dulu, sempat ada yang pernah mengajukan untuk menggusur bangunan angker tersebut, tapi semua itu dibatalkan karena orang yang mengajukan pendapatnya itu sudah terbunuh dengan cara mengerikan. Tubuhnya hancur bersama tulang-tulangnya seperti gudukkan adonan daging, dan hanya bersisa satu dari anggota tubuh yang masih utuh. Lalu entah pembunuh ataupun hantu yang melakukan itu, ia selalu memberikan tanda tangannya di tubuh yang ia sisakan dengan tulisan 'DIED'—yang dihasilkan dengan goresan benda tajam.

Hal itu terus terjadi sampai berulang-ulang. Jadi sampai sekarang bangunan itu tidak akan pernah lagi diganggu gugat keberdiriannya.

.

.

-33-

.

.

Hari ini sudah sore dan gadis remaja berambut biru panjang itu masih dengan tenang menelusuri jalan pulangnya. Sambil menatap ke langit yang mulai berubah menjadi oranye, ia tersenyum senang mengingat baru saja mendapatkan kabar gembira di sekolah.

Dia adalah Hinata Hyuuga.

Ia baru saja diberitahu temannya kalau Naruto—kekasih yang sudah dua tahun mengisi hatinya—akan kembali dari kota sebelah. Awalnya Naruto memang menghabiskan masa kelas satu SMA-nya di Konoha, tapi karena pekerjaan ayahnya yang sering berpindah tempat, ia sempat pergi di awal kelas dua. Dan seperti janjinya, ia kembali di tahun ketiga. Sakura mengatakan kalau Naruto sudah bisa masuk ke SMA Konoha sekitar satu bulan lagi.

Saat sedang memikirkan kenangannya bersama Naruto, lamunannya terpaksa buyar mendengar keributan di taman.

"Anak autis..! Anak autis..! Hahah!" terdengar suara cibiran khas anak kecil yang disertai tawa.

"Tidak! Tobi bukan anak autis! Tobi anak baik!" orang yang diejek mencoba mengelak dengan teriakannya.

Hinata yang penasaran langsung melangkahkan kakinya untuk mendekat. Sewaktu sudah dekat, ia melihat gerombolan anak kecil yang berbadan besar dan terlihat bandel—terbukti dengan dirinya yang sedang meledek satu orang cowok kecil bertopeng oranye dan berjubah hitam. Sisanya, tidak ada anak-anak lagi. Mungkin semuanya sudah dijemput oleh orang tuannya.

"Kalo autis, ya autis aja! Kalo bukan autis, pasti gila! HAHAHA!" teriak salah satunya sambil melemparkan batu yang baru ia pungut ke bocah bertopeng dengan kencang.

Belasan batu kerikil langsung mengenai kepala, tangan dan badannya, membuat Hinata terkesiap khawatir. Anak yang dilempari batu hanya menghindar dengan menunduk.

Melihatnya, Hinata langsung buru-buru berlari ke arah taman dengan khawatir.

Tobi yang sudah berjongkok membelakangi mereka mulai pasrah akan bebatuan menghantam tubuh kecilnya. Sampai akhirnya bocah berumur 12 tahun itu merasakan batu sebesar kepalan tangan dan berat mengenai pelipis kanannya dengan kencang—sehingga terdengar suara mengerikan ditambah bau amis dari cairan merah yang mengalir dari pelipisnya. Tapi bukan hanya itu, bahkan ikatan topengnya melonggar dan akhirnya terjatuh.

Bocah berambut jabrik itu menatap kosong topengnya yang terjatuh ke rumput. Kulit putihnya tampak kusam karena keringat, rahangnya mengeras, dan secara mendadak tubuhnya bergetar menahan marah. Dengan tangan yang sudah terkepal, mata tajamnya yang berbeda warna ia alihkan ke gunting rumput besar yang terletak di sebelahnya.

"Hei! Kenapa dia? Nangis yaa? AHAHA!"

Suara itu masih terdengar mengejeknya, membuat emosinya menyuruh untuk cepat-cepat membungkam mulut mereka dengan benda tajam tersebut.

Lalu tanpa sepengetahuan siapapun, ia menggenggam gunting rumput itu. Seharusnya ia sudah melakukan apa yang seperti dulu sering ia lakukan.. pada saat puluhan tahun yang lalu.

Tapi karena semakin banyak rumah penduduk disana, ia sudah tidak bisa bebas 'bermain' di taman.

Kalau ditanya sedang ingin apa, sudah pasti ia ingin menyiksa mereka menggunakan gunting rumput yang sekarang dipegangnya. Bau anyir yang sudah mulai menyebar jika ia menggunting paksa leher anak gendut itu sampai kepalanya terjatuh seperti bola sepak. Ataupun tubuh yang masih meronta-ronta saat kepalanya menggantung terbalik di leher karena ia tidak menyelsaikan potongannya.

Darah yang muncrat dari pusat robekan atau guntingan di arteri, dan juga darah amis yang merembes ke pakaian mereka semua. Bahkan ia bisa menggunting satu-satu bagian tubuh mereka menjadi potongan puzzle. Lalu yang paling disenanginya, membuat teman-temannya menjerit ketakutan sambil menunggu giliran mereka yang akan diperlakukan sama.

Ingin rasanya seperti itu.. membunuh, menghancurkan, dan membuat mereka menjadi kornet daging siap santap hewan buas..

Pikiran di kepalanya sudah sedikit membuatnya gelap mata. Ia benar-benar akan membuka acaranya yang pernah tertunda selama 10 tahun ini..

Saat ia sudah akan berbalik menghadap mereka untuk melakukan aksi pertunjukkannya. Tiba-tiba seseorang berteriak, "Ka-Kalian! Hentikan!" terdengar suara cemas dari sana.

Ia menunda aksinya, malah hampir melupakan apa yang tadi ingin ia lakukan karena melihat seorang remaja yang sedang berusaha menghentikan batu lemparan mereka.

Kedua matanya membulat sempurna, sedangkan satunya lagi tidak terlihat karena ditutupi oleh penutup mata warna hitam. Ia benar-benar terkejut melihat ada orang yang mau membelanya.

"Ihh! Orang dewasa ikut campur aja sih!" keluh si gendut itu sambil membawa rombongannya pergi dari taman yang sudah gelap itu.

Setelah rombongan anak menyebalkan sudah pergi, Tobi pun terbangun dari lamunannya saat memandang mata khawatir Hinata. Ia langsung memakai topeng oranye-nya yang sempat terjatuh sebelum perempuan itu menghampiri dan menanyakan keadaannya.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan wajah cemas, apalagi saat melihat darah yang baru saja menetes dari ujung topengnya.

"..Aa, iya, Tobi baik-baik saja!"

"Ah, namamu Tobi? Salam kenal ya, Aku Hinata."

Tobi mengangguk dengan gugup lalu merasakan suasana gelap itu semakin hening.

Ia memberanikan dirinya untuk memperhatikan wajah putih manis Hinata dari balik topengnya, dan dengan sangat terasa suara jantungnya berdetak cepat, apalagi saat mata lavender itu menatapnya.

"Tobi-kun tidak pulang? Ini sudah terlalu sore untuk bermain.." tanyanya.

Tobi tersentak, entah kenapa kalimat tadi membuat bibirnya ingin menyunggingkan senyuman bahagia. Baru kali ini juga ada yang menanyakan keadaannya.

"Em.. Tobi sedang menunggu jemputan Otousan dan Okaasan, hehe.." bohongnya dan masih dengan menunduk malu.

"Mau kutemani?"

"Ah, tidak usah.."

Hinata tersenyum melihat bocah yang lebih pendek puluhan senti darinya, lalu mengusap pelan ubun-ubunnya. "Tidak apa-apa kok"

Deg!

Sebuah perasaan yang tidak pernah dirasakannya seperti muncul perlahan. Perasaan yang sangat langka. Hangat dan menenangkan.

Apa itu sebuah perasaan khusus yang diberi nama cinta?

Entahlah benar atau tidak, yang penting hanya ada satu masalah..

Ya, cinta baginya mempunyai arti lain. Arti yang hanya ia simpan untuk orang yang ia cintai. Yang mungkin untuk si indigo yang ada di depannya.

Suasana taman sudah semakin gelap. Hanya ada sinar oranye yang dihasilkan oleh lampu taman, bahkan jangrik dan kodok tidak mengeluarkan suaranya membiarkan angin yang dingin dan hawa yang menyeramkan berkumpul disana.

Tobi menaikkan sudut bibirnya, membentuk seringai yang tak terlihat.

'Sempurna. Persis seperti dulu.'

"Sambil menunggu orangtua Tobi, bagaimana kalau kita bermain perang-perangan?" tanyanya sambil menunduk untuk mengambil gunting rumput yang tergeletak.

Ya, cinta baginya adalah kematian orang itu di tangannya sendiri.

"Hm, bukannya mau mengecewakanmu Tobi-kun—" tolaknya pelan dan hal itu membuat Tobi menunda mengambil gunting itu. "—Tapi sepertinya aku kurang paham bermain perang-perangan. Bagaimana kalau rumah-rumahan?"

Lalu dengan cepat ia menoleh penuh ketertarikan—yang lagi-lagi melupakan niatnya. "Bagaimana mainnya?" tanyanya semangat.

Hinata tersenyum mengingat masa kecilnya, dan mulai menjelaskan. "Aku jadi kakak, dan Tobi-kun jadi adik."

"Haaah?" Tobi langsung cemberut. "Maksudnya apa? Membosankan."

"Itu memang permainan anak perempuan. Tapi waktu kecil, biasanya aku bermain dengan banyak orang, jadi bisa ada yang menjadi ayah, ibu, anak, dan lain-lain.." jelasnya sambil menatap Tobi.

"Baiklah, bagaimana kalau Hinata-chan jadi istri Tobi dan Tobi jadi suami Hinata-chan?"

Hinata tertawa lembut lalu mengusap pelan ubun-ubun bocah yang menurutnya masih polos itu, "Iya iya suamiku, Tobi-kun.."

"Ahahahahah..!" Tobi tertawa renyah sambil memeluk Hinata yang sedang duduk dari samping. Mungkin bila didengar oleh orang lain, suara tawa Tobi terdengar kencang dan riang, tapi di kuping Hinata, ia malah merasa ada keanehan disana.

Lalu ia berhenti tertawa dan mengubah nada suaranya menjadi serius. "Hinata-chan tidak akan pernah selingkuh, kan?" ia bertanya sambil menempelkan sisi topengnya pipi chubby gadis itu.

Nada itu sedikit mengagetkan Hinata. "En.. ya, tentu."

"Lalu Hinata-chan tidak akan sayang ke orang lain selain aku, kan?" lagi-lagi nada seriusnya kembali terdengar, membuat Hinata menjadi takut kalau Tobi menganggap serius permainan itu. Lalu sebelum Hinata menjawab, ia sudah kembali berbicara—kali ini lebih pelan dan penuh dengan penekanan. "Setiap malam kita akan bercinta, kan?"

"Tobi-kun!" dengan cepat Hinata melepas pelukan tangan yang ada di lehernya, dan menatap Tobi dengan pandangan yang seperti bingung dicampur kaget.

"Apa?" nadanya semakin menajam, "Kan Hinata-chan bilang kalau kita suami-istri.." kini nadanya benar-benar berbeda dari Tobi periang yang tadi.

"Tapi tidak seserius itu, Tobi-kun.."

"Masalahnya Tobi selalu serius untuk bermain."

"..Tobi-kun, kamu membuatku takut.."

"Dan satu lagi yang harus dilakukan suami-istri, kan? Mati bersama."

Sekarang Hinata benar-benar ketakutan.

"Hinata-chan, ayo mati bersamaku," perlahan Tobi mengambil telapak tangan putih Hinata, tapi langsung ditepis dengan kasar oleh yang punya.

"To-Tobi-kun, maafkan aku.. Sekarang a-aku benar-benar takut padamu," Hinata pun berjalan menjauh dan akhirnya berlari menjuhi taman dan hilang dari pandangan. Meninggalkan Tobi sendirian di taman.

.

.

-33-

.

.

Bukannya sedih atau merasa bersalah setelah Hinata meninggalkannya, Tobi hanya tertawa.

"..Hinata-chan.. Mungkin aku mencintaimu.. Aku menginginkanmu.."

"Karena itu aku ingin mendengarkan desahanmu saat kita bersatu.."

"Dan aku juga ingin mendengar jeritanmu saat merasakan ribuan benda tajam dariku yang terus menghujani tubuhmu."

"Mulai saat ini, aku akan mengawasimu dan menjagamu," gumamnya sambil melepaskan topeng, menampilkan wajah khas anak kecil berumur 12 tahun dengan satu mata yang tertutup kain hitam. "Karena aku sudah bosan dengan semua.."

"Bosan karena pertumbuhanku berhenti di umur 10 tahun dan menjadi manusia abadi jika tidak mengenal perasaan."

"Dan akan kubuat kau datang kepadaku dengan kemauanmu sendiri.. Hinata-chan."

"Kamu hanya milikku, ya, milik seorang Madara Uchiha."

"Karena cintaku.. adalah kematianmu."

.

.

TO BE CONTINUE

.

.

Author's note :

Aaah gaje banget x_xa. Baru awal sih, horror/supernatural-nya sama sekali belom keliatan. aku juga ngga jamin ini bakal sadis-sadis kok. Baru belajar sih ;p *alesan*. Ohiya, disini perbedaan sifat Madara sama Tobi kerasa, kan? Dan ada yang bisa menebak last pair fic ini? ;D

.

.

Aku menerima pendapat, saran, kritik, dll

Jadi,do you mind to review?

.

.

SANSANKYU