Murciélago

(FINAL ACT)

Fanfiksi berbahasa Indonesia ini © Fayiyong (fb: Aline Yong / FFn: fayiyong)

Sementara seri komik Jepang BLEACH © Kubo Tite (terbitan M&C di Indonesia)

Tidak dipublikasikan ke dalam bentuk atau situs lain.

Tidak diperbolehkan untuk dikopi dan disadur dalam bentuk apa pun.


MURCIÉLAGO

sebuah kisah yang hampir hilang,

lantas ditemukan oleh matahari,

sebelum lenyap dihancurkan oleh bulan.


SATU

Las Noches, 1 Desember 1900

"Kau benar-benar serius mau pakai baju itu, Hime?"

Orihime menoleh, tiaranya bernandak. Di pintu berukir dedaunan eboni sudah berkacak-pinggang Nelliel. Calon kakak ipar Ulquiorra itu kelihatan cukup kalem dengan rambut dijalin mutiara sebening bintang dan gaun merah darah tanpa renda berbahan kasmir. Wajah Nel hampir murung, benar tidak suka. Orihime tidak heran. Sudah seminggu ini Nel ogah bertukar kata dengan Ulquiorra. Alasannya sepele: gaun Orihime jelek, ngapain kau milih gaun itu? Ulquiorra, sama-sama kepala batu sungai yang digerus ombak pun sulit hancur, memutuskan untuk mengabaikan Nel.

Tidak ada yang lebih menghancurkan diri selain pengabaian untuk Nel.

Orihime, bagaimana pun, dirancang untuk selalu nyengir matahari. "Neeeel," katanya, dan dia menubruk perut Nel. "Aku senangggg sekali Nel datang. Tadinya kupikir nggak akan datang karena Ulquiorra sudah bikin Nel murka." Dia mendongak untuk memantik mata dengan mata Nel.

Nel berdecak. "Seleranya payah, kautahu? Gaunmu"—satin putih tak berlengan, panjang seperti gaun pengantin, menghabiskan ratusan keping emas untuk membuatnya terutama di bagian bordir-bordir kecil bermotif kelelawar-matahari, dan memang cukup kuno—"benar-benar gaun pernikahan nenekku."

Orihime tertawa senang.

"Aku serius. Lihat gaunku." Nel mundur, berputar seperti angsa, lalu merentangkan tangannya yang jenjang. Gaunnya seperti kobaran mawar sekaligus cipratan darah. Orihime agak ngeri juga. "Lihat, cantik? Inilah seharusnya gaun. Liar, mencengangkan, menarik perhatian. Inilah yang harus dipakai gadis-gadis 1900. Bukan gaun kuno seperti gaun nenekku di pertengahan abad lalu. Si Ulquiorra memang bukan kakek-kakek, tapi seleranya lebih parah dari kakekku. Grimmjow—"

"Yang mau bertunangan dengan dia itu aku, bukan abangku yang tak berotak."

Nel langsung mendelik galak. Ulquiorra masuk dengan setelan putih-putih salju. Ada binokuler di dada kiri pakaiannya. Orihime bersemu malu, Nel bersemu marah. "Kamu ini nggak sopan, lho, sama abangmu sendiri."

"Kamu sendiri kan sudah sama-sama dia hampir sepuluh tahun. Tak sadar kalau dia tidak cukup berotak?"

"Apa?"

"Tertutup cengir bodohnya atau bisep kokohnya, mungkin?"

"Tidak juga. Aku memang benci bisep langsing—semacam punyamu, mirip cewek."

Ulquiorra melirik galak. "Bisa keluar, Nel? Kau sudah semenyebalkan kekasihmu."

Nel tidak perlu disuruh dua kali. Dia juga sudah bete. "Kau membawa kesialan untuk Hime. Camkan itu." Dia berputar, meniup ciuman jauh untuk Orihime yang garuk-garuk leher. "Kau cantik, Hime. Cepatlah muncul di podium." Kemudian perempuan jangkung itu lenyap di balik pintu.

Orihime nyengir cerah usai Nel pergi. "E he he he he…"

"Menertawakan apa? Tidak ada yang lucu dari adegan pertengkaranku dan Nelliel."

"Ehh…" Perempuan ayu itu termenung. "Kurasa itu menyamankan hati. Kalian seperti saudara saja."

"Dia memang akan jadi kakak iparku."

Bicara soal kakak, Orihime teringat Tia, kakak sulung Ulquiorra. "Apakah Kak Tia juga tidak akan datang?"

"Tidak tahu." Ulquiorra tidak pernah menyukai topik ini. "Tia selalu bilang kalau dia akan datang—dia tidak bicara apa-apa sejak aku dan kau menjadi kekasih."

Tia, perempuan pirang berkulit sawo matang dan berkepala dingin. Sulung dari empat bersaudara. Satu-satunya perempuan. Tia kakak yang baik, yang protektif, yang sangat melindungi keluarga. Setengah mati dia berusaha menjaga nama baik dan reputasi keluarga. Dia juga kerap menitah adik-adiknya, Grimmjow, Ulquiorra, dan Ggio, untuk lepas dari cinta-cintaan dengan non-mutan seperti mereka. Grimmjow menyanggupi, dia berkekasih Nel, mutan lain hasil kreasi ayah mereka; Ggio juga memilih perempuan mutan lain, Soi Fon, yang dikreasikan Paman Gin, adik angkat ayah mereka; tapi Ulquiorra, yang disangka Tia tidak sebengal Grimmjow atau tidak senekat Ggio, justru mencampur-adukkan dunianya dengan manusia normal. Tia bilang, terakhir kali kekasih Orihime itu ingat, bahwa dia lelah, dan setelahnya Tia mogok mengeluarkan suara bila ada Ulquiorra.

Orihime jadi sedih. "Yaah…"

Tangan Ulquiorra terulur untuk mengelus pipi perempuan terkasihnya itu. "Tidak apa-apa. Tia tidak datang, tapi bukan berarti dia tidak suka kau." Tia tidak pernah membenci apa-apa selain ketidakseimbangan alam. "Aku tunggu di luar."

"Tidak menciumku?" Orihime merajuk.

"Kau sudah mengenakan gincu."

"Upacaranya sudah dimulai."

Kepala Tia berdenyut mendengar monolog Paman Gin yang sendu. Dilarikannya jemari langsingnya ke kening, lalu dipijatnya perlahan bagian yang nyeri. Upacara pertunangan. Ulquiorra ternyata masih waras dengan tidak segera melancarkan upacara pernikahan. Tia bisa mati kejang sampai-sampai adiknya itu betul menikahi manusia.

Di sudut ruangan, minum dengan anggun dari sebuah cangkir kaca bergagang emas, adalah Rangiku, istri Paman Gin, sekaligus wali Tia dan adik-adik sejak mereka kecil—sejak ayah mereka menelantarkan mereka semua di pinggir jalan seperti gerombolan anak anjing tak bertuan. Rangiku tidak ambil pusing dengan Ulquiorra atau Orihime. Beda dengan Tia, dia pikir tidak ada salahnya mutan berakhir dengan manusia. Perempuan secantik bilah pedang dan semengilap berlian itu asyik saja membaca lembaran bukunya.

"Ulquiorra juga sudah besar," Paman Gin berkomentar dengan nada seorang ayah. "Pertama kalian ke rumahku, dia baru enam tahun. Kau sebelas, Tia."

Tia ingat itu. Ayah mereka mengenakan setelan cokelat kayu yang harumnya menusuk hidung. Rambutnya disisir begitu rapi. Dia menggandeng tangan Tia, di belakang mereka Grimmjow yang masih delapan tahun, Ulquiorra enam, juga Ggio empat. Ayah bilang mereka akan pergi ke sebuah toko. Mereka berjalan menuruni kastel. Rumpak-rumpak rok hitam Tia menari diterpa angin. Mereka sampai di kota, dan Paman Gin muncul di sana, menggandeng seorang anak perempuan lain yang kiranya sama besar dengan Grimmjow, walau lebih tinggi. Namanya Nel, kata Ayah. Tia masih ingat. Mereka semua pergi ke toko roti milik laki-laki tunanetra kenalan Ayah. Hujan sudah turun. Paman Gin pamit karena Bibi Rangiku, kekasihnya, menunggu. Mereka masih duduk di dalam toko, bahkan Grimmjow dan Ggio masih meminta susu lagi. Kemudian ayah mereka bilang dia butuh udara untuk mengisap pipa. Semua anak mengiyakan—mereka tidak paham. Ayah mereka keluar. Dan tidak pernah kembali. Tia masih ingat bagaimana paman tunanetra bernama Tousen itu menggusur mereka semua ke jalanan dan menutup tokonya dengan bantingan kejam.

"Ulquiorra sekarang enam belas. Usia yang matang untuk menikah, eh? Dulu aku bertemu Rangiku umur sepuluh, lalu menikahinya umur lima belas," Paman Gin hampir berdendang.

Tia masih ingat semua yang terjadi waktu itu—tepat saat mereka semua sudah besar dan sudah bisa paham apa yang terjadi hari itu sampai-sampai Ggio nyaris mati karena salju.

Kepala-kepala terpotong rapi dengan tetes merah begitu minim sampai-sampai dia mengira darah mereka diperas lebih dulu dan disiangkan di bawah matahari sebelum dipatrikan ke lantai.

Tia masih ingat semua.

Dia menjerit, memohon Ulquiorra dan Grimmjow supaya berhenti. Dua adiknya tidak mendengar. Tia meraung-raung dan melempar barang. Mayat ayah mereka teronggok di bawah kursi, di depan perapian. Paman Tousen juga di atas meja, tanpa napas. Tia menangis. Ulquiorra dengan mata seperti emas meleleh, mata setan. Grimmjow dengan mata biru yang jahat. Tia menangis.

"Sudahlah," gusah suara yang membasuh pikiran Tia. Rangiku bangkit dari kursinya seperti kucing betina. "Jangan banyak celoteh, seperti bukan kamu saja, Gin." Dia melirik Tia dengan matanya yang cantik. "Kau menggigil, Tia, sudah kubilang tidak usah kaupikirkan."

Tia mendekap lengan kurusnya. "Tidak," dia berbohong. Mata Rangiku mengawasi seperti borgol. "Benar, kok."

Tia ingat semua.

Suara tepuk tangan di luar semakin kejam dan keras.

Tia seperti ingin mati.

Baru dua minggu lalu Ulquiorra mengguyur kepercayaannya dengan upacara pertunangan, sore ini Grimmjow dan Nel merengek ke pangkuannya untuk meminta restu menikah. Tia pusing. Kenapa anak-anak ini? Harusnya dia yang bertunangan, harusnya dia sudah menikah. Bukan adik-adiknya. Dia perempuan solo, sulung, dan sudah terlalu banyak bersedih. Tia ingin bilang itu, tapi rengekan Nel mengalahkan berisiknya pikiran Tia.

"Tiaaaaaa…" Nel melagu, bergelindingan di atas paha Tia, "boleh yaaaaa aku nikah sama Grimmjowwwww…"

Tia menghela napas. "Terserah, deh."

"Ah, tuh, kannnnn…" Gelinding lagi. "Tia sih, nggak ikhlas."

"Aku ikhlas." Tia betulan ikhlas kalau ada yang sudi membawa Grimmjow pergi. "Aku hanya kasihan kalau kalian terbebani. Kalian masih sangat muda." Dan Nel yang menceraikan Grimmjow bukan merupakan cita-cita yang ingin Tia capai.

Grimmjow, sedari tadi dibacoti mentah-mentah, menggerung kesal di sisi Tia. "Kalian semua brengsek, pakai acara maki-maki aku. Heh, Nelliel"—Nel melotot—"nggak usah bawa-bawa aku, kan kamu yang kebelet kawin."

Kurang ajarnya Ulquiorra jelas turunan dari mahkluk ini. Nel bangun seperti kucing, lalu menendang Grimmjow sampai yang ditendang hampir terjungkir. "Nggak jadi, Tia, aku nggak mau nikah sama sampah ini." Terus, dia pergi.

Grimmjow pergi menyusul, tapi marah-marah.

Saat ini, Tia tidak sangka kalau dua mutan itu benar-benar akan menikah sebulan kemudian.

Ini bukan berita baik, tapi jauh lebih baik daripada Ulquiorra menikahi Orihime.

Pestanya kecil-kecilan. Tia duduk kaku di salah satu kursi. Grimmjow mencium Nel yang cekikikan. Ulquiorra dan Orihime bertepuk tangan, sesekali saling berbisik dan mengelus tangan atau punggung pasangannya. Paman Gin menjadi wali Nel, Rangiku menyiapkan mulai dari kain bahan gaun hingga kue yang mereka makan. Tia duduk sendiri. Ggio mengobrol riang dengan kekasihnya yang blasteran, Soi Fon, di kursi terakhir. Tia seorang diri. Arak-arakan bunga memenuhi aula dan suara Nel terdengar. Seseorang menarik lengannya. Tia menolak. Musik mengalun.

Tia sendirian.

Ulquiorra datang sore menjelang malam itu. Saat hujan kecil terjadi dan burung-burung sudah merasa lega karena besok mereka bisa bebas mandi di setiap kobakan taman. Pintu rumah diketuk. Paman Gin memanggang pai dan Rangiku menyiapkan susu. Tia membelit tubuh dengan jubah satin gadingnya sebelum memutar daun pintu. Adiknya di depan mata. Ulquiorra setampan biasanya dengan rambut eboni dan kulit susu. Dia mengenakan jubah secokelat pohon, setelan hitam bergaris, dan sepatu runcing hitam legam.

Tia berfirasat buruk.

"Tia," panggilnya, dan sadarlah Tia kalau di belakang Ulquiorra ada perempuan manis dengan semu kemerahan di kedua pipi. Orihime memang cantik, Tia sukar membantah, dan malam ini dia seperti boneka dengan rambut senja yang digelung dengan sirkam, gaun pendek berwarna pastel, serta jubah bulu serigala. Tambahkan tiara dan dia sudah menjadi ratu negara ini. "Tia," kata Ulquiorra lagi. Tia menatap mata hijau adiknya. "Biarkan kami masuk. Anginnya dingin. Aku mencium bau pai."

Tia mengalah dan minggir untuk mempersilakan dua orang itu masuk. Ulquiorra masih lebih pendek darinya. Orihime lebih pendek lagi. Tuhan, Tia membatin, anak-anak ini hanya termakan cinta remaja. Tapi dia diam saja dan menutup pintu usai Orihime mencopot sepatu berkepala tumpulnya.

Rangiku menjerit saat melihat Ulquiorra. "Ya ampun! Monster pai, kau datang kalau ada pai saja!" Dia tetap ibu yang baik. "Duduk! Kamu juga, Orihime! Kita makan pai. Tiaaaaa—ayo sini."

Tia tidak mencopot jubah satinnya dan duduk bersebrangan dengan Orihime.

"Painya sudah matang," Paman Gin mengumumkan. Dia menaruh loyang besar itu di tengah, lalu pergi lagi ke balik kayu-kayu dapur untuk mencari pemotong. Rangiku luwes menyiangkan susu dalam gelas-gelas, lalu menaruh botol besarnya di tengah meja. Paman Gin kembali, nyengir seperti selalu. "Yuk, dimakan. Pai lemon, lho."

"Buatan Paman Gin paling enak," Ulquiorra berkata pada Orihime yang kentara sekali lapar. "Dan susu Rangiku paling gurih."

Itu ambigu sekali sampai-sampai Paman Gin dan Tia tersedak.

Rangiku menjitak kepala Ulquiorra. "Bilang, 'susu racikan Rangiku', bukan susuku!" Dia menatap Orihime yang gusar. "Aku nggak mungkin memerah susuku demi kalian, kan? Gin saja bosan." Itu hampir meledakkan Orihime.

Tia mengambil beberapa selai buatan dia dan Rangiku. Selai stroberi, blueberry, kesukaannya. Ulquiorra suka pai tanpa selai, tapi Rangiku penggemar selai stroberi. Paman Gin fleksibel saja. Tia suka blueberry.

Orihime membuka percakapan saat semua sudah mengunyah, "Eh, anu… Boleh saya bertanya?"

Rangiku berdecak. "Ih, kamu ngomong seperti dengan raja-ratu. Bilang, 'aku'! Jangan saya. Aku merasa tua, seperti ibu-ibu."

"I-iya—aku. Aku penasaran, kenapa Kak Tia dan Ulqui memanggil Paman Gin dengan 'paman', tapi tidak dengan Rangiku dengan 'bibi'?"

Belum sempat Rangiku bicara, Ulquiorra menyambar, "Dia tidak mau terdengar tua."

"Ohh…"

Tia sudah capek dengan embel-embel makan pai ini. Dia menaruh garpu dengan lelah. "Ulquiorra, katakan saja kau bermaksud apa dengan datang di waktu ganjil begini," katanya.

Orihime tersedak susu. Ulquiorra menatap kakaknya. Kontes memandang, kemudian kekasih Orihime itu menjawab jujur, "Kami ingin meminta izin menikah." Orihime menyembur.

Paman Gin terus mengunyah pai, berharap ada tontonan gratis; istrinya tampak seserius menekuni opera.

"Ah, tidak," kata Tia, mendesah capek. "Tidak kau juga."

"Maafkan kami, Tia."

Jangan bawa-bawa 'kami'. "Aku tidak tahu harus bilang apa." Dia seperti ditinggalkan. "Grimmjow, lalu kau. Tak lama Ggio." Tia tidak sadar saat dia terkikih miris. "Kau membunuh Ayah, menghancurkan rumah, mengirimku sebagai yatim ke rumah ini, lalu kau tinggalkan aku seperti sampah."

Rangiku mencengkram lengan jubah Tia. Api berpendar di matanya. "Kau tidak yatim, Tia—kau punya aku dan Gin. Jangan tolol. Jangan tangisi laki-laki bangsat seperti Aizen." Itu nama yang sudah bertahun-tahun tidak Tia dengar.

Ulquiorra nyaris mencebik. "Jangan dramatis, Tia, aku benci."

"Kau memaksaku," dia membuyarkan pertahanannya.

"Kau mengizinkan Grimmjow yang otaknya tak lebih dari setengah otakku."

"Dengan Nelliel!" Tia tidak tahu dia kerasukan apa sampai bersikap brutal begini.

"Lantas masalahnya ada di kekasihku?" cecar Ulquiorra. Orihime memutih. Bibirnya terkatup rapat seperti ingin menangis. Ulquiorra bangkit. "Kau keterlaluan, Tia. Aku datang baik-baik dan kau berkata kejam."

Tia ikut bangun. "Kau tidak tahu kau bermain-main dengan apa, Dik."

"Cukup." Ulquiorra meraih siku merona Orihime. "Paman, Ran, kami pulang. Painya sangat lezat, terima kasih. Kami akan sangat senang kalau kalian bisa hadir seminggu lagi."

"Kami pasti datang," janji Paman Gin.

Begitu saja.

Ulquiorra dan Orihime keluar dari rumah itu.

Tia datang ke pesta pernikahan Ulquiorra dan Orihime.

Dia adik Tia. Lahir sesudah Tia. Dia menyaksikan Aizen menggendong bayi Ulquiorra, dengan rambut lebat dan gelap serta kulit susu dan pipi bersemu. Dia lihat. Anak laki-laki itu adiknya. Tia tidak suka dengan pilihan adiknya, tapi itu tetap adiknya.

Orihime di sana, bersisian dengan Ulquiorra, lebih cantik dari biasanya. Perempuan itu seperti matahari pagi. Gaunnya seputih kapur, sehalus satin. Berenda di ujungnya. Tidak perlu gincu tambahan karena bibir dan pipinya sudah berona seperti stroberi. Suaranya lantang saat meneriakkan terima kasih kepada hadirin, lalu dia memeluk Tia kuat-kuat sambil menangis.

"Kak Tia, terima kasih," Orihime terisak pelan. "Terima kasih, Kak Tia."

Tia mengelus dan mencium kepala anak perempuan itu.

Ulquiorra memeluk Tia begitu kuat. Sampai Tia ingin remuk redam. "Terima kasih, Kak," bisiknya, dan dia mencium pipi Tia. "Kau cantik sekali." Mata hijau itu pakem di mata Tia, dan Tia hanya tersenyum rapuh. Dia meraih tangan Ulquiorra dan Orihime, lalu menyatukannya, dan mencium dua tangan itu. Orihime menghambur memeluknya lagi.

Grimmjow di belakang Tia, merusak suasana. "Heeei, awas kalian kalau malam pertama gila-gilaan," katanya usil. "Cuma Nel sama aku yang boleh mecahin rekor tujuh ronde."

Nel menjerit, "GRIMMJOW!"

Orihime tertawa, lalu tiba-tiba dia tersentak saat pinggangnya diraih Ulquiorra dan bibir mereka bertemu lagi. Ciumannya inosen sampai Tia berpikir apakah mereka benar remaja. Kemudian, ciuman itu memanas saat Ulquiorra meraup-raup bibir Orihime dan perempuan itu menggeram pelan, memasrahkan diri dalam pelukan suaminya.

Grimmjow bersiul dan hampir melempar mereka ke kamar.

Tia tersenyum dan menyesap tehnya lagi.


DUA

Las Noches, 1 Desember 1910

Jantung Orihime hampir putus berdetak saat Ulquiorra masuk ke rumah sambil membanting pintu. Dia menghambur ke pintu, menyaksikan suaminya terbatuk dan ternoda bubuk mesiu. Orihime mencelos. "Bagaimana?"

"Kuda-kuda sudah disiagakan. Gotei 13 sudah tidak waras," jawab Ulquiorra seraya menggeprak lantai dapur dan menggeser kayu itu. Dia merogoh ke dalam, mengeluarkan dua senapan laras panjang, lalu beberapa amunisi. Orihime hampir tidak percaya. "Kita butuh itu. Mereka benar-benar kesetanan."

"Gotei 13 itu pemerintah, Las Noches juga kawasan mereka, tidak mungkin mereka gegabah segala memusnahkan kita," debat Orihime. Nadanya justru kepada diri sendiri.

"Kau belum tahu mereka berbuat apa dengan mayat ayahku dan temannya. Kalau bukan karena koneksi Paman Gin, keluargaku mungkin sudah dipancung dan diarak keliling negara oleh prajurit-prajurit berkuda mereka." Dia menyerahkan satu senapan yang lebih kecil pada istrinya. "Ambil, Hime. Sudah terisi."

Orihime menerima senjata itu, tapi masih tidak yakin. "Aku yakin kita masih bisa berkonsiliasi dengan mereka."

"Jangan muluk-muluk." Suaminya terdengar keji dan sebal. "Byakuya lebih keras kepala dariku."

"Dia punya istri dan adik perempuan."

"Dia bangsawan, bisa apa rakyat seperti kita kalau dia sudah bertitah? Hime, buka lemari makan."

Orihime membuka lemari tempat dia menyimpan rempah-rempah dari Timur. Pekerjaan Grimmjow sebagai pelayar sering membuahkan hadiah berupa rempah-rempah dan kain bernilai mahal. Di belakang rempahnya, Orihime juga menyimpan senjata Ulquiorra. Ada dua belati dan satu pencungkil di sana. Ulquiorra mengambil semua dan memasukkan ke dua gesper berbeda—satu untuk dia, satu untuk Orihime.

"Grimmjow akan menaikkan Nel dan Tia ke kapal sore ini. Kau ikut. Rangiku sudah naik, dia sudah memastikan kalian bertiga akan dapat tempat." Ulquiorra tidak bisa melanjutkan ucapannya. Orihime melihat mata suaminya merapuh, melemah. Dia menghembuskan napas. "Jangan menangis. Kau istriku."

"Kau yang jangan menangis." Tapi dia menghambur ke pelukan Ulquiorra dan menangis tersedu-sedan di dada bidang suaminya.

Perang itu neraka.

Rangiku terbatuk, lalu meminta maaf saat beberapa orang menegurnya dengan mata. Orihime mengangkat wajah dari lutut. Nel masih memandangi lantai kotor berbau urin di bawah mereka dengan kosong. Sembilan belas hari di kapal tanpa tujuan—mereka tidak bisa berlabuh, mereka tidak bisa bahkan memprotes. Nahkoda kapal menceburkan diri kemarin saking tidak tahannya, dan sekarang mereka hanya punya seorang gadis marinir satu-satunya, Shutara Senshumaru, sebagai kapten. Kalau Sensumaru menceburkan diri juga, tamat sudah nasib kapal mereka.

Kabin sudah berbau kematian.

Sejak seminggu lalu, bahan makanan menipis. Banyak orang tua dan anak-anak sembarangan muntah dan buang air kecil. Ibu-ibu mereka pun tidak peduli dengan kloset atau semacamnya. Badai yang sering terjadi mentraumakan beberapa orang, dan hampir sebagian besar mereka tidak mau lagi naik ke atas dek. Hanya Senshumaru dan Nel—juga Orihime, beberapa kali—yang bertugas di atas. Rangiku berfungsi sebagai petugas penertib dan penyemangat. Istri Gin itu tangguh dan ceria. Tiga hari lalu seorang anak terkena flu, dan Rangiku merawat anak itu menggantikan ibunya yang depresi karena memikirkan suami, hingga Rangikut terjangkit juga. Senshumaru kemarin dapat menyambungkan sonar dengan jaringan Gotei 13, dan sempat ada laporan bahwa seorang pelayar sipil bernama Grimmjow tengah ditangkap atas tuduhan pencurian dan penganiayaan terhadap prajurit Gotei. Nel tidak menangis, tapi tidak bisa tidur sejak itu.

Kapal mereka sudah seperti truk sampah sekarang.

Ada dua laki-laki di geladak, dan mereka semua tidak berguna. Mereka menyelinap masuk kapal yang tadinya dikhususkan untuk perempuan ini, lalu di hari keempat belas seenaknya memaksa dua gadis untuk tidur dengan mereka. Nel dan Rangiku menyikut rusuk mereka sampai pingsan. Dua laki-laki itu bersumpah bakal memerkosa mereka plus Orihime sampai mati. Menyeramkan, tapi tidak semenyeramkan bayangan Ulquiorra yang mati terkena peluru atau bacokan.

Orihime jadi gelisah lagi.

Seorang bayi menangis.

"Cup, cup…" hibur ibunya. Lentera geladak berkelotak saat ombak menggoyang kapal ini. "Mau apa? Pipis? Keluarkan saja…" Ada bunyi 'cur' lama, dan Orihime sudah tidak bisa jijik lagi.

Dia rindu Ulquiorra. Dia rindu Las Noches mereka yang aman. Dia rindu pai Gin, susu racik dan selai Rangiku, buah-buahan dari kebun Tia, candaan Nel yang ceria, Grimmjow yang kasar tapi baik, Ggio yang masih anak-anak dan selalu bersemangat, juga Soi Fon yang judes tapi sebenarnya sensitif. Dia sangat, amat rindu dengan suaminya yang bermata hijau zamrud. Orihime mendekap lutut lebih erat. Dia rindu Ulquiorra dengan sangat. Dia ingin menangis, ingin lari ke pelukan Ulquiorra yang kuat dan melindungi. Dia ingin mengadu soal betapa jijiknya dia hidup di geladak bau dan najis ini, ingin mengadu kalau dia rindu bagaimana tangan Ulquiorra menengadahkan dagunya sebelum mereka berciuman, ingin mengadu tentang mimpi-mimpinya selama perang berlanjut. Ia ingin memasak bersama Ulquiorra lagi. Ingin membasuh badan Ulquiorra sembari membiarkan suaminya mengeramasi rambutnya dan menciumnya setelah setengah basah. Ingin tidur bergelung berselimut dekapan hangat Ulquiorra. Orihime jadi sedih.

Rangiku batuk lagi.

Hari ketigapuluh, dan resmi kesepuluh tanpa makanan.

"Jangan ada yang kencing di sini lagi!" Rangiku meraung kesal. "Kabin ini sudah bersih, sudah disikat dan dipel olehku dan Nelliel, sampai ada yang mengotori, kutendang dari kapal!" Dan dia benar ditakuti, karena semua mata menatapnya takut. "Bagus."

Senshumaru ada di balik kemudi, sementara Nel sibuk menyuling air laut. Orihime bertugas memeriksa kabin makanan, lalu dia sendirian mengumpulkan beberapa makanan yang tersisa—benar-benar hanya ada dua buah roti jamuran, sekaleng besar keju, dan beberapa biji ceri. Orihime mengaduh. Tidak akan cukup ini semua dibagi hampir seratus penumpang kapal. Demi kenyamanan, lebih baik anak-anak dan orang tua saja yang makan keju dan ceri. Yang lain yang sangat lapar boleh mengonsumsi roti jamuran itu, tapi Orihime memilih terus minum air laut sulingan saja.

Nel menggesek kening dengan lengan. Pagi ini dia sudah menyuling dua belas ember sendirian. "Air ini untuk minum!" katanya tegas. "Tidak usah mandi dan buang airlah langsung ke laut! Dek belakang kosong, jadi itu akan digunakan untuk toilet. Empat ember ini untuk basuh-basuh habis buang air. Sisanya air minum! Ayo, bantu aku suling supaya dapat lebih banyak." Ajakan itu berbuah cukup manis sampai-sampai ada delapan perempuan lain ikut menyuling air di sekeliling Nel.

Orihime tersenyum melihat itu. Badannya agak panas atau hanya perasaannya saja? Dia tidak tahu, tapi matahari sudah terik dan dia sudah tiga hari tidak makan. Orihime duduk di dek, di bawah layar, dan memejamkan mata.

Saat perang usai, yang dilihat Ulquiorra pertama kali dari kapal yang berlabuh bersama istrinya adalah delapan belas peti anggur yang digunakan sebagai peti mati.

Para perempuan itu berteriak, melompat turun dan menandak-nandak histeris melihat suami, ayah, atau saudara mereka menyambut di pelabuhan Las Noches. Grimmjow di samping Ulquiorra menunggu dengan dada bertalu-talu, Paman Gin terus mencari sosok istrinya dengan awas. Ulquiorra menunggu dan menunggu. Sampai kapten kedua kapal itu, Senshumaru, turun, dia tidak juga melihat Orihime atau Nel dan Rangiku.

Perempuan tinggi bernama Senshumaru itu melangkah mendekati mereka bertiga. Wajahnya suram dan auranya kusam. Senshumaru berkata pedih, "Maafkan aku. Kami turut berduka cita." Dia tidak menyebutkan nama, tapi entah kenapa Ulquiorra sudah tahu.

Ulquiorra memanjat tangga dan naik ke atas kapal. Satu pintu menuju kabin terbuka. Dia turun, menyaksikan Nel dan Rangiku dengan wajah sembap dan merah, lalu melihat istrinya terbaring di sana.

Orihime sudah meninggal.


(Murciélago Final Act – Bagian I TAMAT)

(bersambung ke Bagian II).


Sebelumnya saya ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya untuk para penikmat fanfiksi ini yang sudah dibuat menunggu bertahun-tahun lamanya.

Saya sudah merampungkan fiksi ini (walau tadinya tidak berniat mempublikasikan di situs ini lagi) dan akan sangat berterima kasih bila Anda masih menyukai jalan ceritanya.

TERIMA KASIH!

Final Act ini akan berlangsung dalam III bab, jadi silakan dinantikan kelanjutannya!

-Fayiyong.