Kedua kakinya mendadak terhenti. Ia menoleh ke belakang, ke arah Sakura. Tak bisa dihindari—entah atas dorongan apa, ia menghampirinya sekali lagi. Tepat di sebelah Sakura, Sasuke menunduk, menyingkirkan helaian rambut merah jambu yang menutupi keningnya serta mengecupnya lembut, memperlakukannya seperti lapisan es yang rapuh dan ringkih.

"Maaf." Ia berbisik lirih seraya menempelkan dahinya ke dahi gadis itu.

Cukup lama, hingga ia tak sadar bahwa ada sepasang mata lain yang sedang memerhatikannya dengan raut wajah tak terbaca.

.

.

Arrogant is My Middle Name

.

.

Apa yang terjadi jika gadis angkuh bertemu dengan pemuda angkuh? Pilih mana, menahan ego atau mempertahankan harga diri?

.

.

Special thanks to :

.

Rastafaras Uchiha, williewillydoo, Kucing genduttidur, yencherry, syahidah973, zarachan, Guest1, dinauchiharuno, Annis874, name, Kiki Kim, suket alang alang, Frizca A, embun adja1, wowwoh geegee, ayuniejung, ann, Kurochi haru, Hyemi761, arisahagiwara chan, Cherrymerald, uchiha's family, TaeJinJimin, UchiHarunoNanda31, YashiUchiHatake, yechoo, hjhj8866137, Haruno Rani, Noona, KhofitaRenaZalfran, Taraxacum Ratifa, KeylaChan, Chamberline, Ainana, Kanar sasku, Hui-san, Kai-san, pinkyharuno, Tya, CherrySand1, karumiChan, ongkitang, Dewazz, mui-mui, sasakuchiha3, Chanyeolli

.

Disclaimer : Naruto milik Masashi Kishimoto. Saya hanya meminjam karakternya tanpa mengambil keuntungan apapun

Warning : AU, OoC, typo(s), aneh, gaje, & masih banyak lagi...

.

.

Sasuke menjauhkan wajahnya dari Sakura, menatapnya lekat-lekat. Perempuan sombong ini…. Ia tak tahu mengapa ia bisa memiliki kekhawatiran tak biasa pada gadis ini semenjak ia menatapnya menangis di atap sekolah saat mengantarkan kotak bekal. Terlebih ketika ia tahu mengenai seluk beluk dan masa lalu tak menyenangkan tentangnya. Harusnya Sasuke menggunakan kelemahan itu untuk membalas dendam, menjatuhkannya, mengintimidasinya agar ia tak berkutik serta tak melawan dirinya. Tapi tetap saja, ia sama sekali tak memiliki niatan seburuk itu lagi pada Sakura.

Digaruknya surai hitamnya sendiri dengan gemas. "Apa yang aku pikirkan?" Ia bergumam lirih, mengembuskan napasnya panjang-panjang, lalu menyentuh jemari Sakura sekilas, sebelum ia berbalik sepenuhnya, melenggang pergi dari kamar perawatan tersebut sebelum ada yang memergoki keberadaannya di sini. Namun begitu ia melangkah memasuki bilik ruang tamu, kehadiran seorang pemuda berambut merah reflek membuat kedua kakinya terhenti. Ia terhenyak. Sasori telah duduk di sebuah kursi berlengan seraya bersidekap dengan wajahnya yang datar, menyorotnya tajam. Sasuke tak tahu sudah berapa lama laki-laki itu ada di ruangan ini, tetapi dari melihat sikapnya saja, ia sadar bahwa Sasori pasti menyaksikan segala sesuatu yang ia lakukan pada Sakura. Dan jelas, pemuda merah itu terlihat sangat tak suka. Terbukti dari air mukanya yang tergurat kaku, jauh berbeda dari hari-hari biasanya. Tak ramah sama sekali.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Sasori bertanya tanpa basa basi. Intonasinya rendah dan dingin, membuat atmosfer di antara mereka terasa kian canggung dan beku, terutama bagi Sasuke.

Pemuda Uchiha itu hanya bisa terpaku di posisinya, balas menatap Sasori. "Menjenguk," sahutnya pelan. Sangat pelan. Sebisa mungkin untuk tak menimbulkan kesan menantang di hadapan sang Akasuna. Gadis itu sedang terbaring sakit dan tak sepatutnya ia mencari gara-gara terhadap Sasori yang notabene adalah saudara Sakura.

"Menjenguk?" Terdengar dengusan samar dari Sasori. Manik hazelnya pun semakin berkilat tertimpa cahaya lampu. "Ada hal apa kau ingin menjenguknya?"

Kening Sasuke berkerut. Ia tahu ia akan dicurigai lagi sebagaimana Ino mencurigainya kemarin. "Dengar…." Ia mendesah keras. "Aku hanya ingin melihat keadaannya. Kalau kau pikir akulah yang mencelakai Sakura maka kau salah besar. Aku tidak mungkin menolong seseorang yang ingin kucelakai."

Sasori bangkit dari kursi, berjalan mendekati Sasuke, berdiri tegak di hadapannya. "Mungkin memang benar bukan kau yang mencelakainya. Tapi aku yakin semua ada hubungannya denganmu." Sudut bibir Sasori tertarik, agak sinis. "Aku tak pernah percaya padamu. Atas sikap dan perbuatan yang kau lakukan selama ini? Siapa yang bisa percaya pada seseorang yang mampu menghalalkan segala cara termasuk sengaja mencederai aku saat pertandingan basket hanya karena bermasalah dengan Sakura?" Sasori berdeham begitu nada bicaranya meninggi tanpa sadar. Ia menarik napas, mencoba meredam emosi. "Jujur, aku tak membencimu. Tapi jika kau berani mendekati Sakura apalagi macam-macam dengannya, aku tak keberatan bermasalah dengan Uchiha sepertimu."

Sasuke tak bisa lagi menyembunyikan ekspresi gusarnya. Ia mengencangkan kepalan tangannya dan membisu. Tak punya bantahan untuk dilontarkan pada Sasori, ia pun berniat mundur, menyetop segala perdebatan ini. Toh, ia yakin seyakin-yakinnya, semua yang ia utarakan pada pemuda itu tak akan mempengaruhi dan mengubah prasangka buruk Sasori terhadap dirinya. Percuma. Ia juga tak begitu peduli.

Ada jeda sesaat sebelum Sasuke berpaling dan bergumam. "Terserah," ujarnya pendek kemudian bergegas menuju pintu. Namun rupanya kesialannya tak berhenti sampai disitu. Karena baru saja ia hendak memutar kenop, daun pintu tersebut telah lebih dulu dibuka oleh dua orang pemuda yang sontak terkejut atas kemunculannya yang tak disangka-sangka.

Gaara tak berkomentar barang sepatah katapun sementara Naruto tergagap, tak mengerti harus bagaimana menghadapi situasi tak mengenakkan semacam ini. Dan Sasuke? Tak perlu ditanyakan lagi bagaimana gamangnya ia dengan segala tatapan menusuk yang ditujukan kepadanya dan semakin mengukuhkan posisi dirinya sebagai tamu tak diundang.

"Yo, Teme." Naruto mengangkat tangan kanannya untuk menyapa. Sekilas ia melirik kantong plastik yang tergenggam oleh pemuda beriris jelaga itu dan segera memutar otak untuk menyelamatkan keadaan. "Terima kasih sudah mau repot-repot datang. Kau membawa pesananku, kan?" Ia tertawa hambar, lantas mengalihkan mata birunya ke arah Gaara dan Sasori. "Maaf, aku tak minta izin dulu. Sebenarnya aku yang menyuruhnya datang kemari." Ditariknya lengan kanan Sasuke. "Ayo, kuantar ke depan," tukasnya cepat, menuntun paksa sahabatnya agar mengikuti langkahnya.

Sasuke pun tak punya pilihan selain membiarkan dirinya dibawa oleh Naruto menjauhi kamar perawatan tersebut. Pemuda pirang itu terus menggiringnya dengan terburu-buru sampai mereka tiba di lobi rumah sakit.

"Apa yang kau lakukan, Teme?" Naruto berdecak dengan dahi menyatu bingung. "Kenapa kau tak bilang padaku kalau kau ingin ke sini?" Ia menggerakkan dagunya, menunjuk tas plastik putih yang masih saja diremas pemuda itu. "Dan apa itu? Astaga... Sasori dan Gaara akan menghajarku jika kau membawa sesuatu yang aneh." Ia menjambak surai kuningnya frustrasi.

Sepasang onyx Sasuke berputar kesal. "Aku tak berencana membunuh Sakura!" serunya tertahan. Tak habis pikir mengapa dengan kehadirannya selama beberapa menit saja bisa menimbulkan respon semenyebalkan itu dari orang-orang. "Harus berapa kali kukatakan, aku hanya ingin tahu kondisinya. Tak lebih." Ia menyandarkan punggungnya ke dinding dan kontan mendelik saat menjumpai tatapan aneh Naruto telah terlekat padanya. "Kenapa melihatku seperti itu?" tanyanya malas sembari mengalihkan matanya ke arah lain, enggan bertatap muka langsung dengan pemuda cerewet itu.

Naruto mengulurkan tangan, mendaratkan telapaknya di bahu Sasuke, mencengkeramnya halus. "Sekarang jujur padaku. Kenapa kau sampai berbuat seperti ini? Aku sama sekali tak menduga kau bisa datang danoh, Tuhan... kau jauh-jauh menyelinap sendirian kemari hanya untuk bertemu Sakura?" Matanya mengerjap-ngerjap tak percaya. "Dari kemarin aku merasa aneh dengan tingkahmu. Sekarang saatnya kita saling terbuka. Apa kau menyukai—"

"Jangan menudingku yang tidak-tidak." Sasuke menyela dingin, mulai tak suka dengan arah percakapan ini. "Aku tak menyukai siapapun. Paham?" Ia mendecih, membuang plastik dalam pegangannya ke tempat sampah, lalu pergi begitu saja meninggalkan Naruto.

Sambil mendesah berat, Naruto memandangi Sasuke. Ada setitik iba yang terpancar kuat dari kedua saphire jernihnya.

"Yeah... memang sebaiknya kau tak menyukainya, Teme."

Ia bergemam lirih, membalikkan tubuhnya setelah sosok yang ia amati lenyap di tengah keremangan malam.

.

.


.

.

Sasori tersenyum saat mendapati gadis bunga itu sedang duduk di tepi ranjang dengan pendangan mengarah ke luar jendela. Angin sepoi-sepoi yang berdesir halus menerbangkan beberapa helaian merah muda miliknya hingga menutupi sebagian wajah damainya.

"Hey." Ia menyapa, mendekati Sakura, dan sedikit tertegun begitu melihat gadis itu memeluk boneka beruang putih berhias pita biru pemberian Naruto. Atau Sasuke? Ia tak tahu lagi benda mungil tersebut dihadiahi oleh siapa. "Bagaimana? Kau merasa baikan?"

Bibir Sakura tersungging tipis. "Agak lemas. Tapi aku baik-baik saja." Diangkatnya boneka dalam dekapannya ke depan hidung Sasori. "Terima kasih, ya. Ini lucu sekali." Ia mengendus beruang berbulu halus itu dan terkekeh. "Wangi pula. Kau menyemprotkan sebotol parfum kepadanya?"

Sasori mendesah dan menggeleng. "Itu dari Naruto." Ia mendudukkan diri di kursi besi yang terletak di hadapan Sakura. "Ada yang kau inginkan? Makanan? Buku? Film? CD musik? Apa yang bisa kubawakan untukmu?"

"Tak perlu. Kulihat di dalam rak ada macam-macam komik. Di kulkas juga banyak makanan." Alis Sakura terangkat geli. "Maaf, kurasa kau berlebihan, Sasori. Bunga dan aroma terapi? Kau ingin aku pindah ke rumah sakit selamanya?"

Sasori tak menyahut dan hanya kembali tersenyum. Sekarang ia semakin ragu bahwa benda-benda asing tersebut berasal dari pemuda seperti Naruto. "Boleh aku bertanya sesuatu?"

"Apa?"

Ia diam sejenak seperti sedang mempertimbangkan ucapannya sendiri. "Menurut satu-satunya saksi mata," Ia lebih memilih menyebut Sasuke sebagai saksi mata. "Ada tiga orang tak dikenal yang masuk ke dalam kolam renang dan sengaja membuatmu tenggelam." Irisnya menyorot Sakura lurus-lurus. "Apakah itu benar? Umm... maksudku, apa kau sempat melihat pelakunya?"

Gadis itu menerawang dengan kedua alis bertaut, berupaya mengingat kembali rentetan peristiwa yang nyaris membuatnya meregang nyawa beberapa hari yang lalu. Cukup lama hingga akhirnya ia menggeleng pelan. "Aku tak tahu. Maaf." Ia memalingkan wajahnya ke jendela, merenung. "Ngomong-ngomong, siapa yang telah menolongku kemarin? Aku tak bisa mengingat dengan jelas, tapi aku yakin ada seseorang yang membantuku. Entah siapa."

Sasori mendengus, memaksakan sebuah senyuman. "Mungkin penjaga kolam. Aku tak tahu pasti."

Sakura menatap Sasori selama beberapa detik, menyadari perubahan ekspresi dan nada suara pemuda itu. "Oh…. " Ia mengangguk bimbang, tak berusaha untuk mendesaknya dengan sebuah pertanyaan lagi. Ia mengedikkan bahu dan kembali mengamati pemandangan gedung di luar sana.

Tak berapa lama, sisi kosong di tempat tidurnya tiba-tiba berderit dan bergerak. Ia menoleh sekilas. Sasori telah berpindah dan ikut duduk di sampingnya.

"Aku belum mengabarkan hal ini pada kakekmu. Aku menunggu persetujuanmu." Pemuda itu menopang dagu. "Kita harus menghubungi kakekmu secepatnya. Tindakan merekasiapapun itu, sudah kelewatan dan membahayakan." Ia merogoh saku celananya, meraih ponsel, dan bersiap mengontak Haruno Hiruzen namun lekas dihentikan Sakura.

"Jangan. Biarkan saja. Yang penting aku tidak apa-apa." Ia menahan sebelah tangan Sasori. "Kalau kakek tahu, aku akan dipulangkan ke Suna." Sakura menunduk. Deru napasnya terdengar panjang dan berat. "Aku belum siap untuk pulang."

Pernyataan Sakura spontan menimbulkan tanda tanya besar dalam benak Sasori. Apa yang terjadi? Dulu ia sangat menentang keputusan kakeknya ketika akan dihukum dan dipindahkan ke kota ini. Kini, saat ia memiliki peluang untuk kembali ke Suna ia malah menolak kesempatan tersebut. Bukan berarti Sasori ingin agar gadis itu dipulangkan ke kota asalnya. Namun ini terlalu aneh dan mendadak. Ganjil untuk ukuran Sakura.

"Kenapa?"

Sakura bungkam sesaat, mengulas senyum pahit. "Kau tentu masih mengingat penyebab kenapa sampai aku dikirim ke sini." Ia mengelus boneka dalam rengkuhannya, menumpukan kepalanya pada benda lembut itu. "Aku bahkan melakukan hal yang jauh lebih buruk dari apa yang mereka lakukan padaku. Kau tahu..." Ia menoleh ke samping, memandang Sasori. "Saat aku tenggelam, tiba-tiba aku terpikir mengenai semua hal lampau yang telah aku perbuat. Ah... aku rasa aku akan mati waktu itu." Ia menarik udara dalam-dalam, mengeratkan lingkaran lengannya pada bonekanya. "Aku tak bisa membayangkan jika aku kembali ke Suna Gakuen. Aku akan menjadi murid brengsek di mata siswa-siswa di sana lagi. Apalagi jika bertemu dengan anak-anak yang aku siksa dulu. Apa yang harus aku lakukan? Aku tak mau meminta maaf." Ia menggigit bibir, tertunduk lemas. "Aku ingin menjalani hukumanku sampai selesai. Banyak yang harus kupelajari di sini. Lagipula aku belum berniat untuk meninggalkan teman-temanku. Teman yang benar-benar teman. Yang merepotkan dan menerima aku apa adanya. Bukan pesuruh macam Suigetsu, Juugo, atau Tayuya." Ia menyikut pinggang Sasori. "Bagaimana menurutmu? Kau sepakat denganku?" tanyanya dengan netra membulat.

Pemuda berambut merah itu tergelak, tak kuasa membendung tawa. Ia menempelkan punggung tangannya ke jidat Sakura. "Tidak demam. Kenapa kau meracau tak jelas? Apa jangan-jangan kau terbentur pinggir kolam renang." Ia bergegas menyambar sebuah bantal kecil yang tersusun rapi di dekatnya untuk menangkis serangan cubitan Sakura.

"Jangan menertawakan aku. Memangnya apa yang lucu dari ucapanku tadi?" Sakura memberengut sebal.

"Aku sungguh tak mengira kau mampu mengakui kesalahanmu. Yah... walau tetap saja gengsi meminta maaf. Lumayanlah…." Sasori terkikik menahan geli, membiarkan cubitan Sakura meluncur lagi ke perutnya.

"Dasar setan merah."

Sakura baru saja akan memukul pelan punggung Sasori begitu suara khas dan datar itu menginterupsi perang mereka.

"Jangan memanggilnya setan merah. Aku juga tersinggung."

Mereka berdua menoleh. Menemukan Gaara dan Naruto telah berdiri menyaksikan kegiatan konyol mereka dengan alis terangkat. Sakura langsung menyambutnya dengan gembira. Matanya berbinar-binar.

"Panda! Kitsune! Aku merindukan kalian."

Naruto berlari memeluk hangat Sakura. Disusul oleh Gaara. Ia hanya mengusap kepala Sakura dengan lembut, duduk di kursi, dan menendang pelan kaki Naruto ketika pemuda bermanik biru terang itu menjulurkan lidah usil dan mengerling padanya di saat Sakura berada dalam dekapannya.

"Apa kami mengganggu?" Ia melirik Sasori yang terpaksa harus pasrah tersingkir oleh kemunculan Naruto yang hyperaktif.

"Tentu saja tidak." Sasori tersenyum. "Aku justru berterima kasih jika kalian bersedia menjaga gadis gulali ini selagi aku pergi menjemput Chiyo-baasan."

"Serahkan pada kami." Naruto cengengesan. "Aku membawa ramen instan, Saku-chan." Ia beralih ke arah Sakura dan praktis mendapat teguran tegas dari Gaara.

"Jangan bodoh, Naruto. Dia harus memakan makanan rumah sakit."

Naruto memajukan bibirnya, mencibir. "Kaku seperti biasa." Ia lantas tertawa renyah bersama Sakura. Gaara pun mau tak mau turut tersenyum mengikuti keceriaan mereka. Sudah lama. Sudah terlalu lama sejak mereka bertiga terpisah, ia tak pernah lagi merasakan suasana seperti ini. Pun dengan Sasori. Ia ikut bahagia jika Sakura bisa kembali tersenyum seriang ini setelah bertahun-tahun menjalani hidup bak seorang antisosial yang selalu berperilaku buruk.

Ia menyentuh lengan Sakura, pamit pada gadis itu. "Aku pulang sebentar. Jangan lupakan obatmu."

Ia lalu memalingkan wajahnya, menatap Naruto dan Gaara bergantian, menepuk pundak mereka sekilas. "Tolong jaga dia. Awasi jika dia tak meminum obatnya dan pastikan dia menghabiskan seluruh makan siangnya jika sudah diantarkan."

Kedua pemuda itu kompak mengangguk seraya mengiringi kepergian Sasori dengan lambaian tangan.

Segera setelah sosok berambut merah darah itu lenyap dan pintu depan berbunyi singkat, Naruto sontak menghembuskan napas dari bibirnya. "Cerewet juga dia ternyata." Ia menampikan cengiran, mencomot segenggam cashew nut dari dalam toples dan dimakannya satu persatu. "Apa kabarmu, Sakura-chan?" tanyanya dengan mulut bergerak pelan. "Kapan kau akan keluar? Kami ingin mengajakmu rekreasi."

Sakura menelengkan kepala dan memegang dagunya, berpikir. "Mungkin beberapa hari lagi." Ia tiba-tiba tersenyum begitu menyadari sesuatu. Sekali lagi, ia mengangkat boneka yang ia rengkuh. "Terima kasih. Ini lucu." Ia tertawa. "Dan sangat wangi."

"O-oh... itu bukan apa-apa." Naruto meringis, tekekeh canggung, menggaruk tengkuknya dengan rikuh. Tentu saja ekspresi kakunya tersebut tak luput dari pengamatan jeli Gaara. Pemuda itu diam saja namun air mukanya berubah lebih datar, berbeda dari sebelumnya.

"Jangan merendah, Baka. Aku serius. Boneka ini bagus sekali. Aku suka. Seperti boneka pemberian ibuku yang kutinggalkan di Suna." Senyuman di wajah Sakura kian cerah dan gelak tawa Naruto semakin kikuk. Pemuda itu buru-buru mengalihkan pembicaraan karena merasa Gaara selalu memerhatikan tingkahnya. "Apa Sasori tak meninggalkan gitar di sini? Aku ingin memamerkan skill baruku pada kalian." Maniknya sibuk menyapu seluruh sudut kamar sampai suara Sakura kembali menyapanya dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang spontan membuat dirinya kembali tergugu.

"Ngomong-ngomong soal Sasori, kenapa responnya sangat aneh begitu aku bertanya padanya tentang siapa yang menolongku saat aku tenggelam?" Area di antara alis Sakura berkerut. "Apa kalian tahu siapa yang menolongku waktu itu?"

Naruto bungkam sesaat, mencuri kesempatan guna melirik ke samping. Gaara tampak enggan menjawab serta tak melihat balik ke arahnya meski ia yakin, pemuda itu pasti menyadari tatapan yang ditujukan padanya. Ia mendesah. "Yang menolongmu sebenarnya"

"Apa itu penting? Siapapun yang membantumu, entah itu penjaga atau guru, yang penting kau selamat sekarang." Gaara meraih wadah pil dan segelas air putih dari atas nakas dan menyerahkannya pada Sakura. "Ayo, minum obatmu."

Naruto langsung menyorot Gaara lekat-lekat saat kalimatnya dipotong begitu saja. Ia mengatupkan mulut dan tersenyum samar pada Sakura, tak menyanggah maupun mengiyakan ucapan Gaara. Ia mengamati dua sahabat semasa kecilnya ini baik-baik dalam hening. Perlakuan Gaara terhadap Sakura. Orang bodoh juga tahu bahwa perasaannya pada gadis itu tak pernah berubah meski sempat terpisah selama bertahun-tahun.

Ia lantas beringsut mundur, bangkit, dan pamit turun ke lobi untuk beberapa saat pada Gaara dan Sakura, sengaja membiarkan mereka berdua untuk berbincang dan mulai membangun komunikasi dan hubungan yang lebih baik. Sembari merenung, ia pun berjalan keluar ruangan sambil terus memikirkan seseorang.

Uchiha Sasukesahabatnya yang lain.

.

.


.

.

Tepat hari ini, Sakura berulang tahun.

Jangan tanyakan dari mana seorang Sasuke bisa tahu. Entah mengapa, walau ia telah berupaya keras untuk tak ambil pusing lagi atas segala sesuatu mengenai Sakura, nyatanya ia tak beranjak dan tetap mencuri dengar percakapan Ino, Tenten, dan beberapa anggota klub karya ilmiah saat mereka mendiskusikan ulang tahun gadis merah muda itu di atap sekolah, tempatnya biasa menyepi seorang diri. Para siswa kutu buku pinggiran itu (begitu cara Sasuke dan geng penguasanya dulu menyematkan nama pada murid-murid tak populer) tak menyadari bahwa ia telah duduk tak jauh dari tempat mereka berkumpulterhalang oleh palang dan saluran udarasehingga memberinya peluang untuk mendengar semua rencana yang telah mereka susun sedemikian rupa.

Sasuke reflek memicing saat tiupan angin tiba-tiba berembus kencang, memainkan ujung rambutnya hingga nyaris menyentuh matanya. Sejak setengah jam yang lalu, gerombolan kawan Sakura telah hengkang dari tempat tersebut, meninggalkannya sendirian. Ia merebahkan punggungnya ke tembok berlapis cat pudar di belakangnya, termangu. Ia sudah tahu bahwa hari ini adalah hari kelahiran gadis itu, sahabat-sahabatnya akan merayakannya bersama, dan apa yang ia harapkan? Membesuk ke rumah sakit dan ikut bergembira bersama mereka? Yang benar saja. Terakhir kali ia berkunjung untuk mengecek kondisi Sakura, ia malah terpojok oleh duo kepala merah yang selalu bertindak bak pengawal dan penjaga. Terlebih atas kecurigaan Naruto yang berlebih tentang kemungkinan ia menyukai Haruno Sakura. Ia menyukai gadis pembangkang itu?

"Mana mungkin aku suka padanya," gumamnya pelan, lalu membisu. Sedetik kemudian ia berdiri dengan kesal dan langsung melangkah pergi.

Ia benci jika mulut dan hatinya mulai berseberangan satu sama lain.

.

.


.

.

"Kau ingin membawaku ke mana?" Cemas, Sakura bertanya dan mengulurkan tangan, berniat membuka selembar scarf yang melingkar dan menutupi pandangannya namun lekas dicegah oleh Gaara.

"Jangan khawatir. Tak lama lagi kita sampai." Pemuda itu mengulum bibir, menahan senyum seraya terus mendorong kursi roda Sakura melewati koridor rumah sakit.

"Jika ada kunjungan dokter bagaimana?"

Gaara mencondongkan tubuhnya, agak menunduk, berbisik tepat di sebelah telinga gadis yang sedang ia bawa. "Aku sudah minta izin pada perawat. Tenang saja."

Lidah Sakura berdecak malas tetapi tak membantah. Ia membisu, menerka-nerka kemana kiranya ia hendak digiring oleh pemuda ini. Tak ada sedikitpun bayangan yang terlintas dalam benaknya. Meski ia pun mengakui, hari ini memang terasa agak janggal dibanding hari biasanya. Sejak semalam, Sasori telah pergi entah kemana dan tak kembali lagi hingga sekarang. Beruntung, Gaara datang menjenguknya lengkap dengan seragam sekolah, menemaninya selama beberapa waktu, kemudian mendadak meminta izin untuk menutup matanya dan mengajak dirinya ke suatu tempat.

Terdengar suara gesekan putaran roda kursi yang beradu pelan dengan pavin block. Sakura mengernyit. Embusan angin semakin nyata menyapa kulitnya. Selain itu, ia dapat pula merasakan kursi roda yang ia tumpangi telah beberapa kali berguncang, seperti melewati undakan tangga dan dibawa ke suatu tempat dengan lantai berpasir. Sudah bisa dipastikan, Gaara membawanya pergi ke ruangan terbuka.

"Hey, kau mau melarikan aku dari rumah sakit, ya?"

Gaara tersenyum, mengacak rambut merah muda Sakura dengan gemas. "Sabar, Nona."

Pemuda berkulit pucat itu terus berjalan, mendorong kursi roda Sakura lantas memberhentikannya di sebuah tempat perjanjian yang telah ditentukan.

"Oke, kita sampai." Ia membuka ikatan scarf di kepala Sakura. "Buka matamu."

Sakura menunduk, mengusap wajahnya yang silau. "Apa yang kau laku—"

"SURPRISE!"

Sakura mendongak dan kontan terbelalak sambil menutup mulutnya dengan satu tangan begitu melihat Sasori telah berdiri di hadapannya dengan membawa sebuah cake strowberry berhiaskan lilin kecil berbentuk angka. Di belakang pemuda itu tampak rekan-rekan sesama anggota klub karya ilmiah, beberapa teman sekelas, dan tak lupa, Nenek Chiyo beserta keluarganya pun tak lupa hadir untuk turut memeriahkan kejutan ini. Bahkan tiga bocah; Konohamaru, Moegi, dan Udon, terlihat malu-malu berdiri di samping Rin.

Disekanya sudut matanya yang lembab lantas tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala takjub. Ia menengadah, menatap sekeliling. Mereka rupanya sudah berencana untuk memberinya kejutan dengan cara membawanya ke taman yang letaknya berada tepat di samping gedung rumah sakit. Ada beberapa pohon sakura di sekitar sini dan kebetulan yang sangat indah, kembang-kembang pink itu baru saja bermekaran. Satu tikar berukuran besar bahkan telah digelar di bawah pohon sakura dengan berbagai macam kudapan serta minuman yang sudah dipersiapkan dengan rapi.

"Halo, Birthday girl." Sasori maju selangah, menyodorkan cake tersebut kepadanya. "Silakan."

"Kalian ingin mengadakan hanami?" Ujung bibir tipis Sakura tertarik pelan. Ia kemudian memejamkan kelopaknya, menyampaikan beberapa permohonan dalam hati, dan langsung meniup lilin dengan embusan kecil. "Terima kasih, semuanya. Aku sangat terkejut."

Naruto dan Ino menghampirinya. Gadis pirang itu mengecup kedua pipinya, sementara sang Rubah merangkul hangat pundaknya sembari berkata. "Kami menyayangimu, Sakura-chan. Siapa yang akan kau berikan potongan kue pertama?"

Sakura sumringah. "Sebenarnya aku ingin memberikan pada kalian semua. Tapi akan kudahulukan anak yang lebih muda." Ia memberi isyarat pada tiga bocah yang berdiri tak jauh darinya. "Kalian, kemarilah. Kenapa hanya diam saja?" Ia pura-pura mendelik.

Mereka bertiga mendekatinya takut-takut, saling dorong. "Selamat ulang tahun, Sakura-sama."

Sakura langsung memeluk kencang para bocah itu. "Sudah berapa kali kubilang panggil aku nee-chan, Anak nakal. Potong sendiri kuemu. Jangan lupa untuk Chiyo-baasan dan ibumu."

Konohamaru cemberut, Udon dan Moegi tergelak riang, semua kawan-kawannya berbahagia dan bergantian menghaturkan sebuah ucapan selamat pada Sakura, sedangkan gadis itu telah ikut duduk bersama di atas tikar seraya mencomot seiris sandwich dan sesekali mengusili Sasori dan Gaara.

Pemandangan tersebut praktis menciptakan kelegaan luar biasa dalam batin Chiyo. Wanita paruh baya itu tersenyum lembut. Jika Haruno Hiruzen menyaksikan sendiri bagaimana proses perubahan cucunya ke arah yang lebih baik, ia pasti akan dengan senang hati mencabut hukuman dan segera memulangkan Sakura kembali ke Suna.

"Nak," Chiyo merangkul dan membelai kepala gadis itu dengan sayang. "Semoga selalu diberi keberkahan. Cepat sembuh."

Sakura mengangguk, balas mendekap wanita tua itu erat-erat. "Terima kasih, Obaa-san." Ia menenggelamkan dirinya dalam pelukan orang yang telah ia anggap seperti orang tuanya sendiri, menggali rasa nyaman yang sudah lama ia rindukan.

Senyum yang terpatri di wajahnya pun kian berkembang namun selang beberapa detik kemudian, ekspresinya tiba-tiba berubah heran. Senyumnya meluruh, berganti dengan kerutan dalam di dahi. Disipitkan emeraldnya demi menatap lebih jelas siluet pemuda yang buru-buru beranjak pergi ketika tak sengaja bertemu pandang dengannya.

Rambut hitam, onyx, raut datar.

Sedang apa Uchiha Sasuke di tempat ini?

.

.

.

TBC