Arrogant Is My Middle Name

Summary : Haruno Sakura, gadis yang sarat dengan keangkuhan, harus rela diberi hukuman setelah membuat salah satu siswa di sekolahnya melakukan percobaan bunuh diri. Ia dipindahkan ke Konoha dan memulai kehidupan barunya sebagai siswa biasa dan bertemu dengan pemuda angkuh yang berkuasa di sekolah. Bagaimanakah nasib Sakura selanjutnya?

Disclaimer : Naruto is Masashi Kishimoto's

Rate : T

Pairing : Sasusaku

Genre : Romance & Hurt/comfort

Warning : AU, OOC, Typos, Aneh, Lil' bit Mary sue, and many more...

Enjoy the fic ^_^

Gadis manis itu kini berjalan dengan anggunnya. Dagunya sedikit terangkat. Langkah kakinya menggema di sepanjang koridor sekolah. Sakura nama gadis itu. Haruno Sakura. Siapa tak kenal dia. Seorang primadona sekolah. Cucu tunggal Haruno Hiruzen, pemilik salah satu perusahaan terbesar di Jepang, sekaligus ketua yayasan dan pemilik sekolah terbaik di Suna yaitu Suna Gakuen, sekolahnya sekarang.

Langkah kakinya tiba-tiba terhenti demi menatap sinis siswa siswi yang terus memandanginya semenjak ia menginjakkan kaki di sekolah ini tadi pagi. Ditatap seperti itu, kontan siswa siswi tadi sibuk mengalihkan pandangannya. Sakura menyeringai, kemudian melanjutkan perjalanan menuju kelasnya.

Begitulah yang terjadi setiap pagi. Siapa yang meragukan kecantikan gadis itu. Siapa pun pasti setuju. Cantik, berotak cemerlang, serta kekayaan melimpah yang diwarisi dari kakeknya. Hidupnya sempurna. Begitu kata orang-orang. Mereka tak tahu, bahwa di balik kesempurnaan itu, tersimpan kerapuhan di hatinya. Kerapuhan yang ia sembunyikan rapat-rapat di balik topeng bernama keangkuhan.

'Brakk.'

Pintu digeser dengan kasar. Gadis itu -Sakura- melangkah ke bangkunya, membiarkan siswa di kelasnya memandangnya.

"Ohayou, Sakura-sama," Suigetsu menyapanya.

Sakura hanya memandangnya datar. Suigetsu tersenyum. Mengartikan pandangan datar sakura sebagai 'Ohayou juga suigetsu'. Karena tak jarang Sakura tak menggubrisnya walapun ia berkali-kali menyapanya.

Tak berselang berapa lama, Asuma sensei memasuki kelas. Bersiap mengajarkan kekekalan momentum linear yang membuat sebagian besar siswanya menghela nafas panjang.

OoO

Bel istirahat berbunyi. Semua siswa di Suna Gakuen menghentikan sementara kegiatan belajarnya.

"Sakura-sama, ayo kita ke kantin," ajak Tayuya riang sambil menggamit lengannya.

Sakura mengernyitkan dahi sambil melepaskan tangan Tayuya di lengannya.

"Gomen, Sakura-sama," Tayuya berkata sambil mengerucutkan bibir. Suigetsu, Juugo, dan Hidan yang berada di belakangnya tersenyum mengejek, membuat Tayuya memelototi mereka.

Tayuya bodoh. Seperti tak tahu Sakura saja. Mana mau nona besar itu berakrab-akrab ria dengan orang lain, meskipun itu dengan temannya sendiri. Meskipun Tayuya, Suigetsu, Juugo dan Hidan berstatus sebagai 'teman' Sakura, mereka tak lebih seperti pengawal yang bisa diperintah kapan saja. Tapi mereka tak ambil pusing dengan hal ini. Toh berstatus sebagai teman Sakura membawa keuntungan juga untuk mereka. Bersama Sakura, otomatis 'kedudukan' mereka di sekolah lebih tinggi. Dan itu membuat mereka bisa dengan seenaknya mengintimidasi siswa lain. Sakura memang ditakuti dan disegani di sekolahnya. Semua siswa tahu kalau bermasalah dengan si nona besar beserta antek-enteknya, urusannya bisa panjang. Satu-satunya cara mencegah hal itu terjadi hanya dengan menghindari urusan dengan mereka.

'Brukk.'

Mata semua siswa yang berada di kantin sontak tertuju pada arah suara itu berasal. Pemandangan yang barusan terjadi di depan mata mereka, tak ayal membuat bola mata mereka semua hampir meloncat dari tempatnya.

Gadis berambut coklat itu menunduk setelah menabrak dan menumpahkan minumannya pada seragam seseorang. Seseorang yang hampir semua siswa di sekolahnya tak mau berurusan dengannya. Gadis itu tak mampu memandang orang yang ditabraknya. Tubuhnya gemetar.

"Ma-maaf.. Sa-Sakura-senpai. A-aku s-sungguh tak sengaja," susah payah gadis itu berkata. Berusaha menahan bulir-bulir air matanya yang hampir jatuh.

Sakura menatap tajam gadis yang barusan menabraknya. Perlahan telunjuknya memegang dagu gadis itu untuk mengangkat wajahnya yang menunduk. Memaksa wajah gadis berambut coklat yang malang itu menatapnya.

"Siapa namamu?" Sakura bertanya sambil terus menatap tajam gadis di depannya.

"Ma-matsuri, senpai."

"Sudah berapa kali kau menabrakku dalam 2 minggu ini?"

"2 ka-kali s-senpai. Ma-afkan a-aku," air mata gadis itu mulai mengalir.

"Di mana kelasmu, Matsuri?" Sakura makin menatapnya tajam.

"K-kelas X B, senpai," Matsuri makin gemetar.

"Bagus. Anak kelas X berani menabrakku hingga 2 kali. Kau pasti sengaja, kan?" Sakura berkata begitu sambil menyeringai.

'Plakk.'

Matsuri terduduk sambil memegangi pipinya yang panas. Air matanya makin deras mengalir. Sementara siswa lain yang ikut menyaksikan adegan itu menahan nafas.

"Sampai bertemu lagi, Matsuri," datar sekali Sakura berkata. Kemudian melenggang pergi diikuti Suigetsu, Tayuya, Juugo, dan Hidan. Siswa lain menatap kepergian mereka. Tampak teman-teman Matsuri membantu Matsuri untuk berdiri, Semua siswa menghela nafas panjang sembari berpikir tentang kata-kata Sakura sebelum pergi. Mereka sadar akan hal itu. Satu yang penting, Matsuri harus hati-hati. Karena selama beberapa waktu ke depan Matsuri akan dijadikan bulan-bulanan oleh Sakura.

OoO

Gadis berambut coklat itu berjalan dengan gontai menuju lokernya. Wajahnya kusut tak bercahaya. Tak dipedulikannya tatapan siswa lain yang memandang kasihan padanya. Ya.. Gadis itu Matsuri. Gadis yang beberapa hari lalu berurusan dengan Haruno Sakura. Batinnya tertekan. Semenjak insiden di kantin, ia mulai merasakan siksaan baik fisik maupun batin yang dilakukan oleh Sakura beserta gerombolannya. Dikurung di gudang, disenggol, buku catatannya disobek, belum lagi tatapan-tatapan sinis dari mereka yang membuatnya semakin frustasi. Baru 2 bulan ia mengecap statusnya sebagi siswi sekolah paling bergengsi di Suna, ia harus mengecap pahitnya berurusan dengan cucu pemilik sekolah ini, Haruno Sakura. Ia tahu ia salah karena telah dua kali menabrak Sakura plus menumpahkan minuman ke seragamnya. Tapi ia tak sengaja. Ia bahkan beribu-ribu kali meminta maaf sambil meneteskan air mata. Jika bukan dengan Sakura ia berurusan tentu masalahnya takkan serumit ini. Tapi, ini dengan Sakura. Masalah sekecil apapun bisa jadi runyam jika berurusan dengannya. Dan Matsuri sangat menyesalkan hal itu.

"Semangatlah, Matsuri. Kau seperti tak punya nyawa saja," Shion, sahabat Matsuri mencoba sedikit menghiburnya.

Matsuri hanya menoleh. Ia tak punya kekuatan lebih untuk menyapa balik sahabatnya. Ia tetap berjalan menuju lokernya.

"Kau dikerjai lagi olehnya?" tanya Shion lagi sambil mensejajarkan langkahnya dengan Matsuri. Ia sudah tahu jawabannya. Tapi tetap ditanyakannya demi memancing gadis disampingnya agar mau sedikit berbicara.

Matsuri mengangguk pelan. Shion menatap iba sahabatnya. Semenjak insiden beberapa hari lalu, Matsuri lebih banyak diam. Dan itu membuatnya khawatir. Ia ingin membantu, tapi apa yang bisa ia bantu. Haruno Sakura tak bisa ditentang. Bahkan gurupun seolah menutup mata dengan apa yang dilakukan oleh Sakura. Selama tak ada siswa yang tewas, intimidasi Sakura dianggap wajar. Selesai.

"Aku tertekan Shion. Ia sungguh membuatku frustasi," Matsuri akhirnya buka suara. Nampaknya ia juga tak tahan jika harus memendam perasaannya sendirian.

Shion menyenderkan punggungnya di loker. Tangannya memegang kepala Matsuri. Membelai lembut sekedar mencoba menenangkan sahabatnya ini.

"Aku mengerti Matsuri. Ini berat. Tapi bersabarlah. Kau tahu, Sakura tidak hanya mengintimidasi dirimu saja. Banyak siswa yang menjadi bulan-bulanannya. Bahkan lebih parah dibanding dengan yang ia lakukan padamu," Shion tersenyum kemudian melanjutkan kata-katanya.

"Ini memang tak membuatmu lebih baik. Tapi ketahuilah, kau tidak sendiri Matsuri. Kau hanya perlu adaptasi dengan sikapnya yang.. err.. menyebalkan itu," Shion memelankan suaranya saat menyebut kata 'menyebalkan'. Takut jika Sakura atau gerombolannya mendengar. Jujur, ia tak ingin menjadi bulan-bulanan Sakura seperti Matsuri.

"Aku tak bisa! Ia menyiksaku kau tahu!" nada bicara Matsuri mulai meninggi. Air matanya mulai menggenang di pelupuk mata.

"Aku tahu itu. Tapi..."

"Kau pikir aku bisa tahan jika terus terusan disiksa seperti itu. Aku bisa gila. Cobalah kau posisikan dirimu sebagai aku. Apa kau tahan huh?" Matsuri mulai emosi. Air matanya mulai mengalir.

"Apa sebaiknya kau pindah?" Shion mencoba memberikan solusi.

Matsuri menggeleng. "Aku sudah mencobanya. Tapi ayahku mana mau memindahkanku hanya karena sesuatu yang dianggapnya sepele," Matsuri menghambur di pelukan sahabatnya. Shion balas memeluknya dan mengelus kepala gadis berambut coklat itu.

" Pulanglah. Tenangkan dirimu. Biar aku yang meminta izin pada Yamato-sensei."

"Arigatou," Matsuri berucap lirih.

"Kau mau ku antar pulang?"

"Tidak usah. Lagipula ini sudah bel masuk. Bukankah kau harus memintakan izin untukku? Aku tak apa-apa. Terima kasih telah mengkhawatirkankanku," Matsuri mencoba tersenyum. Senyuman kecil, namun cukup membuat Shion lega.

"Kalau begitu aku duluan masuk Matsuri. Hati-hati di jalan," Gadis itu kemudian berlari kecil menuju kelasnya. Meninggalkan Matsuri sendirian di depan lokernya.

Gadis itu mengambil kunci loker dari tas hijaunya dan perlahan membuka lokernya. Dada Matsuri berdegup kencang. Sebuah kertas yang dilipat. Tangannya perlahan menjulur mengambil kertas itu. Mencoba membaca kata demi kata yang tertera di dalamnya. Jantungnya berdetak lebih kencang. Matanya mulai memanas. Perlahan tapi pasti, air matanya mulai jatuh lagi membasahi pipinya. Makin lama makin deras. Ia meremas kertas itu dengan kuat dan menutup matanya. Wajahnya memerah karena emosi. Surat itu. Surat kaleng yang penuh dengan ancaman.

'Aku tak kuat. Aku tak kuat lagi. Aku harus mengakhiri ini semua.'

Gadis itu melempar kertas yang telah diremasnya begitu saja dan berlari berlawanan arah dengan pintu keluar sekolahnya. Entah apa yang dipikirannya sekarang.

OoO

Shion membereskan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas. Yamato-sensei ternyata hanya masuk untuk memberikan tugas. Selanjutnya ia pergi karena ia akan mengikuti seminar guru sebagai perwakilan dari Suna Gakuen. Setelah ini, Shion berencana untuk menjenguk Matsuri di rumahnya. Entah mengapa ia tetap khawatir terhadap keadaan gadis itu. Ia masih sibuk memasukkan buku-bukunya sampai terdengar seseorang menggeser pintu kelasnya dengan kasar. Membuat Shion dan siswa lain di kelasnya menatap orang yang kini berada di depan kelas. Nafasnya tersengal-sengal. Nampaknya ia habis berlari.

Masih dengan nafas yang tersengal, orang itu berbicara. Pandangannya menuju ke arah Shion.

"Matsuri... Shion, Matsuri," orang itu berkata sambil menunjuk entah ke arah mana.

"Ada apa Kankurou? Kenapa Matsuri?" Shion mulai khawatir.

"Matsuri di atap gedung sekolah. Ia ingin bunuh diri."

Sontak seluruh mata penghuni kelas Shion melotot tak percaya. Shion segera berlari ke luar kelas. Siswa-siswa di kelasnya juga mengikutinya. Penasaran dengan apa yang dikatakan Kankurou.

Shion berlari ke arah tangga menuju atap sekolah. Namun langkahnya terhenti. Nampak seorang guru menghalanginya untuk menaiki tangga.

"Sensei, biarkan aku naik. Aku sahabatnya."

"Maaf. Tak ada murid yang boleh ke naik ke atas. Keadaannya tidak memungkinkan."

"Tapi-" belum selesai Shion berbicara, guru itu langsung memotong.

"Sudah ada beberapa guru yang berada di atas untuk membujuknya," kata-katanya tegas seolah tak ingin lagi mendengar murid di hadapannya berbicara.

Shion mendengus kesal. Ia kemudian berlari ke arah halaman depan sekolahnya. Berharap melihat Matsuri dari bawah sana.

'Ku mohon, jangan bertindak bodoh Matsuri.'

TBC

OoO

Fiuhh.. Akhirnya fic ke-2 saya publish juga…

Agak aneh ya ceritanya… Soalnya ini masih terhitung prolog sih *cari2 alesan*… Oh ya, ada beberapa adegan yang terinspirasi dari BBF. Salah satunya, surat-surat kaleng di loker itu sama adegan bunuh diri di atap…

Sebenarnya, saya sempat ragu juga sih, mau publish apa nggak… Tapi daripada kesimpen terus, saya beraniin aja deh buat nge-publish ni fic…

Jadi, gimana Minna?

Keep or Delete…?

Akhir kata…

Mind to review? ^_^