Disclaimer :
Detektif Conan = Gosho Aoyama, Dia Milikku = Yovie n Nuno.
Catatan Penulis :
Salam hangat buat Airin Aizawa, conanlovers, rin nara seasui, Nachie-chan, Rosaline Phantomhive, Divinne Oxalyth, Lionel Sanchez Kazumi, winter-carnation, Tna Uchiha dan Uzura Norayuki.
conanlovers : wah, senengnya soalnya humornya kerasa. Ran di Beika dan Kazuha di Osaka.
Nachie-chan : soalnya mereka kan sahabatan. Semoga pilihanmu yang terpilih *run*
Rosaline Phantomhive : aku juga nggak tahu kenapa kutulis begitu, mungkin seharusnya kutulis "klubku", trims anyway. Aku pikirin dulu request-nya. Aku paling suka pelajaran OR, it's fun.
Lionel Sanchez Kazumi : Soalnya Shiho minder kalau berhadapan sama cewek polos, lugu, naif dan teman masa kecil. Kalau mereka main bola, Heiji nggak beruntung dong soalnya Heiji kelihatannya nggak suka bola.
Ini dia... chapter terakhir. Ini adalah chapter yang paling sulit buatku untuk menulisnya jadi maaf kalau di chapter ini banyak plot hole.
Ceritaku berikutnya, aku punya HeiShi multichap dan AiCon multichap tapi aku nggak tahu yang mana dulu yang mau kutulis.
Akhir kata, selamat membaca dan berkomentar!
Dia Milikku
By Enji86
Bagian Lima
Kamu
Tak akan mungkin
Mendapatkannya
Karena dia
Berikan aku
Pertanda juga
Janganlah kamu banyak bermimpi oohh
Sampai suatu malam...
"Kamu ngapain di sini?" tanya Shinichi ketika melihat Heiji ada di dapur. Dia menghampiri Heiji kemudian meletakkan barang belanjaannya di meja dapur.
"Kamu sendiri ngapain?" Heiji balik bertanya sambil menoleh ke Shinichi.
Setelah saling berpandangan selama beberapa saat, senyum muncul di bibir mereka. Mereka tadi menerima SMS dari Shiho bahwa dia bakal pulang telat dan menyuruh mereka makan malam di luar soalnya dia nggak bakalan sempat bikin makan malam. Mereka pun segera mengambil kesempatan ini dan menawarkan diri untuk membuat makan malam sehingga mereka bertiga bisa makan di rumah. Mereka pikir jika Shiho memakan makanan buatan mereka yang enak, maka rating mereka akan naik di mata Shiho.
"Emangnya kamu bisa masak?" ucap Heiji dengan nada mengejek.
"Belum tahu ya? Gini-gini aku tuh udah mandiri sejak SMP. Nggak kayak kamu yang tinggal sama ortumu. Kamu pasti nggak bisa masak soalnya yang masak di rumahmu kan ibumu," balas Shinichi.
"Nggak tuh, orang ibuku nggak bisa masak, jadi aku juga udah mandiri dari dulu," sahut Heiji.
Sebenarnya mereka berdua sama-sama nggak bisa masak. Shinichi memang hidup mandiri tapi untuk masalah makanan, dia selalu makan di luar atau makan makanan instan. Sementara di rumah Heiji, ayahnyalah yang memasak setiap hari.
"Lebih baik kamu nggak usah banyak omong. Kita buktikan saja," ucap Shinichi.
"Oke. Siapa takut," ucap Heiji.
Dan acara memasak pun dimulai.
Ketika Shiho pulang, dia menemukan Shinichi dan Heiji sudah duduk manis di ruang tengah dengan masakan hasil karya mereka. Dia menghampiri mereka kemudian duduk di tempatnya yang biasa. Dia memandangi hasil karya mereka berdua. Wajahnya tanpa ekspresi tapi sebenarnya dia merasa sedikit merinding melihat masakan mereka. Masakan mereka terlihat sangat aneh karena warnanya begitu aneh. Selain itu, potongan-potongan sayurnya tidak rapi dan tidak beraturan.
"Ayo, dimakan dong, jangan malu-malu," ucap Heiji sambil tersenyum ketika melihat Shiho hanya memandangi makanan yang ada di atas meja.
"Punyaku juga ya," ucap Shinichi sambil tersenyum juga.
"Siapa yang malu-malu? Aku takut keracunan tahu! Dasar cowok-cowok nggak peka!" seru Shiho dalam hati. "Detektif yang stres sungguh sangat merepotkan."
Namun karena Shiho sudah mengijinkan mereka membuat makan malam maka dia pun harus menanggung resikonya. Akhirnya Shiho menguatkan hatinya untuk mencicipi masakan yang ada di atas meja sambil berdoa semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya setelah makan makanan ini.
"Eh, ternyata rasanya tidak seburuk kelihatannya," pikir Shiho setelah mencicipi makanan buatan Shinichi dan Heiji.
Shiho mengangkat wajahnya dan memberi mereka berdua senyumannya yang paling langka sekaligus paling mempesona sehingga jantung mereka berdua berdetak sangat kencang.
"Dua-duanya enak," ucap Shiho.
Hati Shinichi dan Heiji langsung berbunga-bunga mendengarnya. Mereka bertiga pun makan malam dengan gembira.
"Karena kalian udah masak, biar aku yang mberesin piringnya dan mencucinya," ucap Shiho setelah makan malam sambil mulai membereskan meja.
"Jangan!" teriak Shinichi dan Heiji serempak sehingga Shiho menatap mereka dengan curiga.
"Err, maksudku kamu kan pasti capek karena seharian di kampus, jadi biar kami yang mberesin," ucap Shinichi dengan agak gugup.
"Iya, betul-betul," Heiji menimpali.
"Oh, baiklah kalau begitu. Aku mau ke kamar dulu," ucap Shiho sambil mengangkat bahu kemudian bangkit dan melangkah ke kamarnya.
Begitu Shiho menghilang ke kamarnya, mereka berdua menghela nafas lega. Mereka segera membereskan piring-piring di meja dan membawanya ke dapur. Mereka memandangi dapur, yang biasanya selalu rapi tapi sekarang kelihatan seperti baru saja kena tsunami itu, dengan wajah lesu. Itulah yang akan terjadi pada dapur jika memasak sambil bertengkar. Tiba-tiba bulu kuduk mereka meremang sehingga mereka menoleh ke belakang dengan ketakutan. Mereka menemukan Shiho yang mengeluarkan aura hitam dari tubuhnya dan menatap mereka dengan dingin.
"Apa... yang terjadi... di sini...," ucap Shiho dengan nada penuh ancaman. Kemudian dia melihat piring kesayangannya yang pecah berantakan di tengah dapur dan dia menjadi semakin murka. "Jadi ini sebabnya aku tidak melihat piring kesayanganku saat makan malam tadi?"
"Maafkan kami. Tolong jangan bunuh kami," ucap mereka berdua sambil bersujud pada Shiho.
Shiho akhirnya menghela nafas.
"Aku pikir kita harus bicara," ucap Shiho sambil memberi isyarat pada kedua temannya untuk mengikutinya.
"Jadi ada apa sebenarnya dengan kalian berdua?" tanya Shiho setelah Shinichi dan Heiji duduk di sofa di ruang tengah sementara dia berdiri menghadap mereka.
"Tidak ada," jawab mereka serempak.
"Oh, ayolah guys. Aku bisa melihat kalian bertingkah sangat aneh akhir-akhir ini. Pasti ada sesuatu yang terjadi," ucap Shiho.
Shinichi dan Heiji hanya diam saja, tidak menyahut perkataan Shiho. Mereka berdua adalah cowok-cowok idealis sehingga mereka tidak akan menyatakan cinta pada cewek yang disukainya dengan cara seperti ini.
Melihat kedua orang temannya hanya diam, Shiho memandang mereka dengan tajam. Dia menatap mata mereka dan menemukan rasa takut sekaligus keteguhan hati di sana sehingga dia sadar bahwa mereka tidak akan buka mulut walau harus mati sekalipun.
"Baiklah kalau kalian nggak mau bilang. Kalau dapur sudah kembali seperti semula, aku bakal maafin kalian," ucap Shiho kemudian dia berlalu ke kamarnya.
"Hei Kudo, sepertinya kita harus gencatan senjata untuk sementara," ucap Heiji setelah Shiho masuk ke kamarnya.
"Kamu bener, Hattori. Kita benar-benar mengacaukan semuanya. Kalau kayak gini, kita malah bikin Shiho sebel sama kita," ucap Shinichi.
"Ya udah. Mending kita beresin dapur sekarang," ucap Heiji.
"Oke," sahut Shinichi.
Mereka berdua bangkit dari sofa dan melangkah menuju dapur.
Sementara itu, Shiho berbaring di tempat tidurnya sambil merenung. Dia sedang bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan kedua teman serumahnya itu. Kemudian dia mulai mengingat perilaku-perilaku aneh sahabat-sahabatnya itu sehingga dia mulai menyingkirkan teori bahwa mereka sedang stres dan mencapai kesimpulan bahwa mereka berdua sedang bersaing memperebutkan sesuatu dan sesuatu itu ada hubungannya dengan dirinya.
"Tapi apa yang mereka perebutkan? Jangan-jangan mereka memperebutkan aku..." Shiho tidak bisa meneruskan pikirannya karena dia secara otomatis menampar dirinya sendiri secara mental.
"Bodohnya aku. Itu tidak mungkin terjadi," gumam Shiho.
"Tapi jika aku memakai teori itu, semuanya cocok. Lagian kalau teori itu tidak terbukti, aku hanya perlu mencari teori lain lagi dan membuktikannya," pikir Shiho.
"Yah, hanya ada satu cara untuk membuktikannya tanpa harus menghancurkan rumah," gumam Shiho sambil tersenyum puas.
Beberapa hari kemudian, Shiho pulang dan menemukan kedua orang temannya sedang duduk-duduk di ruang tengah sambil nonton TV. Dia menghempaskan badannya ke sofa dengan kesal dan dengan wajah yang cemberut sehingga menarik perhatian Shinichi dan Heiji.
"Ada apa?" tanya Shinichi.
"Kok mukanya cemberut gitu?" tanya Heiji.
"Semua ini gara-gara Kaitou KID," jawab Shiho kesal.
"Kamu ketemu Kaitou KID?" tanya mereka bersamaan dengan bingung.
"Nggak gitu. Jadi gini, aku kan sedang nyari dana buat acara baksos. Nah, kalian tahu kan besok KID bikin acara di museum Tokyo jadi polisi menutup beberapa jalan untuk melakukan persiapan sehingga jalanan jadi macet. Karena aku dan temenku kena macet di jalan, kami telat ke acara presentasi ke donatur dan proposal kami pun langsung ditolak mentah-mentah karena mereka pikir kami tidak profesional. Aku bete banget. Udah kena macet, uang juga nggak dapet," ucap Shiho.
"Yah, sabar aja," ucap Shinichi.
"Atau cari donatur lain aja" ucap Heiji.
"Iya sih. Tapi tetep aja aku bete. Andai aja ada orang yang bisa nangkep Kaitou KID supaya dia nggak bisa ngerugiin orang lain lagi. Bakalan kujadiin pacar deh tuh orang," ucap Shiho.
Mendengar ucapan Shiho, mereka berdua langsung menegakkan diri dan menatapnya dengan ekspresi tidak percaya.
"Serius?" tanya mereka kompak.
"Emang kenapa?" Shiho balik nanya dan menatap mereka berdua dengan curiga sehingga mereka buru-buru bersikap cuek.
"Nggak, nggak kenapa-kenapa kok," ucap Heiji.
"Iya, cuma aneh aja. Masa' yang nangkep Kaitou KID mau dijadiin pacar?" ucap Shinichi.
"Yah, kalau dia cewek atau udah punya istri atau udah kakek-kakek sih, ya nggak. Lagian orang yang bisa nangkep Kaitou KID itu pasti hebat banget. Kalian aja dari dulu sampai sekarang gagal terus. Jadi kalau dia juga suka sama aku, kenapa nggak?" ucap Shiho.
Mereka berdua hanya diam saja sambil melamun setelah mendengar ucapan Shiho sehingga mereka tidak menyadari senyuman kecil di bibir Shiho.
"Bukti pertama," ucap Shiho dalam hati.
Keesokan malamnya, Shinichi dan Heiji pulang sambil bertengkar. Mereka baru saja kembali dari acara pencurian yang diadakan oleh Kaitou KID. Dan seperti biasa, mereka kembali gagal menangkap pencuri yang satu itu.
"Ini semua gara-gara kamu, Hattori. Coba tadi kamu nggak ngganggu. Aku pasti udah nangkep pencuri sialan itu," ucap Shinichi dengan kesal.
"Enak aja. Kamu tuh yang dari tadi ngegangguin aku. Gara-gara kamu, itu pencuri bisa kabur," ucap Heiji tidak mau kalah.
"Huh, lihat aja nanti. Aku yang bakalan nangkep pencuri itu," ucap Shinichi.
"Mimpi aja terus, karena aku yang bakalan nangkep dia," ucap Heiji.
Dan mereka terus bertengkar sampai akhirnya mereka langsung diam membatu ketika melihat Shiho duduk di sofa ruang tengah.
"Oh, sial! Kenapa dia ada di sini? Biasanya dia kan nggak pernah nungguin kami pulang kalau ada acara dengan KID. Jangan-jangan dia denger lagi," batin Shinichi dan Heiji.
Setelah terdiam sejenak dan mengamati Shiho lebih teliti, mereka melihat bahwa Shiho sepertinya sangat berkonsentrasi dengan buku yang sedang dibacanya dan di telinganya terpasang earphone. Selain itu, Shiho sepertinya tidak menyadari kedatangan mereka sehingga kelegaan mulai merayapi hati mereka.
Mereka saling berpandangan kemudian melangkah menghampiri Shiho dan Shiho mengangkat kepalanya ketika mereka berhenti di depannya. Shiho melepas earphone-nya sebelum membuka mulutnya.
"Baru pulang?" tanya Shiho.
"Iya," jawab Shinichi dan Heiji kemudian mereka berdua ikut duduk di sofa.
"Tumben nungguin kami pulang, biasanya kan nggak pernah?" tanya Shinichi.
"Siapa yang nungguin? Orang aku lagi belajar buat ujian," jawab Shiho.
"Ooo, kirain," ucap Heiji.
Kemudian Shiho menguap dan meregangkan tangannya ke atas.
"Aku udah ngantuk nih. Aku tidur dulu ya. Met malam," ucap Shiho kemudian dia bangkit dari sofa dan melangkah ke kamarnya.
"Menurutmu dia denger perdebatan kita nggak?" tanya Heiji pada Shinichi setelah Shiho menghilang ke kamarnya.
"Kayaknya sih enggak. Dia tadi kelihatannya serius banget baca buku sambil dengerin musik. Dia juga nggak komentar apa-apa waktu ngeliat kita," jawab Shinichi.
"Aku pikir juga gitu," ucap Heiji kemudian dia pun juga menguap dan meregangkan tangannya ke atas. "Kayaknya aku mau tidur juga deh. Capek dari tadi berantem sama kamu terus."
"Aku yang harusnya ngomong gitu. Kamu yang bikin aku capek karena harus berantem sama kamu terus," ucap Shinichi.
Heiji hanya mengangkat bahu kemudian mereka berdua pergi ke kamar mereka masing-masing.
Sementara itu, Shiho tersenyum setelah menutup pintu kamarnya.
"Bukti kedua," ucap Shiho dalam hati.
Tiba-tiba ada yang memeluk Shiho dari belakang sehingga dia berseru tertahan karena kaget. Namun dia sudah tahu siapa orang yang memeluknya sehingga dia langsung tersenyum. Dia menyandarkan tubuhnya pada orang itu dan menikmati kehangatan pelukannya.
"Jadi... gimana acara pencuriannya? Sukses?" tanya Shiho.
"Yah, kayak biasanya. Aku dihalangi sama dua detektif kesayanganmu itu," jawab Kaito dengan agak sinis. "Lagian, permata itu bukan permata yang kucari."
"Nggak apa. Ntar juga ketemu, permata yang kamu cari itu," ucap Shiho.
Kaito menghela nafas kemudian dia melepaskan pelukannya dan duduk di tempat tidur Shiho.
Shiho pun mengikutinya dan duduk di sebelahnya.
"Tahu nggak Beb, kayaknya ada yang aneh deh sama dua detektif itu," ucap Kaito.
"Apanya yang aneh?" tanya Shiho.
"Tadi itu mereka jadi lebih ganas daripada biasanya, tapi anehnya kayaknya mereka nggak kerjasama lagi seperti sebelumnya. Gimana ya... mmm... kayaknya mereka tuh lagi saingan buat nangkep aku," jawab Kaito lalu dia mengalihkan pandangannya ke Shiho.
Shiho hanya tersenyum dan tidak mengatakan apapun.
"Bukti ketiga. Dengan ini semuanya cocok," ucap Shiho dalam hati.
"Jangan-jangan kamu tahu sesuatu ya? Makanya kamu nggak mau mbantuin aku lagi," ucap Kaito sambil nyengir.
"Beb, aku kan udah bilang, aku nggak mau mbantuin kamu lagi soalnya terakhir kali aku mbantuin kamu, kamu bikin mereka basah kuyup dan masuk angin," ucap Shiho.
Cengiran di wajah Kaito langsung lenyap dan wajahnya menjadi cemberut lalu dia mengalihkan pandangannya dari Shiho.
Shiho yang melihat hal ini, meraih pipi Kaito agar Kaito kembali menatap wajahnya.
"Kok tiba-tiba jadi cemberut gitu?" tanya Shiho.
Kaito melepaskan pipinya dari tangan Shiho dan mengalihkan pandangannya lagi.
"Aku tuh cemburu, Beb. Kenapa sih kamu harus tinggal sama mereka? Udah gitu kamu juga masak buat mereka dan ngurusin mereka pas mereka sakit. Terus kamu juga perhatian banget sama mereka. Masa' kamu nggak ngerti sih kalau aku nggak suka semua itu?" ucap Kaito mengomel.
Shiho tersenyum mendengarnya kemudian dia meraih pipi Kaito lagi agar Kaito menatap wajahnya.
"Beb, aku emang sayang sama mereka tapi aku kan cintanya sama kamu. Jadi jangan cemburu lagi ya," ucap Shiho kemudian dia memberikan ciuman lembut dan singkat di bibir Kaito sehingga Kaito kembali tersenyum.
"I love you too, Beb," ucap Kaito.
Kaito melingkarkan lengannya di bahu Shiho dan Shiho pun menyandarkan kepalanya di bahu Kaito.
"Beb, kamu tahu kan kalau aku nggak mau kamu ketangkep?" tanya Shiho setelah hening sejenak sambil menatap Kaito sehingga Kaito menunduk untuk menatapnya.
"Ya, aku tahu," jawab Kaito.
"Awas ya, kalau kamu sampai ketangkep. Aku nggak bakalan maafin kamu dan aku bakal mutusin kamu," ucap Shiho dengan nada mengancam sehingga Kaito nyengir padanya.
"Tenang aja, Beb. Nggak akan ada yang bisa nangkep Kaitou KID sampai kapanpun. Aku janji," ucap Kaito dengan penuh percaya diri sehingga Shiho tersenyum kepadanya lalu menyandarkan kepalanya di bahu Kaito lagi.
"OMG! Aku bener-bener sayang sama mereka bertiga. Andai saja aku bisa milih, tapi aku nggak bisa, jadi biarlah mereka bertiga yang memutuskan dengan cara mereka masing-masing. Detektif dengan cara detektif, pencuri dengan cara pencuri."
Dia untuk aku
Bukan
Dia untuk aku
Tamat.