SOULMATES

Chapter 1

Disclaimer : J.K Rowling

Pair : Draco M. & Harry P.

Rate : M

Genre : Romance / Angst

Warning : SLASH, MPREG, OOC, Modifiate Canon.

.

#

.

1998

Perang telah berakhir setahun yang lalu, seperti yang banyak diberitakan bahwa Voldemort hancur di tangan si anak yang terpilih, Harry Potter. Semua keluarga, kerabat dan orang-orang yang memberikan perlindungan padanya gugur sebagai pahlawan, meninggalkan pemuda itu kembali dengan kesendiriannya.

Severus Snape, sang guru ramuan yang melindunginya di balik sikap kejinya pun memilih meninggalkan Hogwarts setelah dia selamat dari bisa racun ular Voldemort yang menggigitnya. Pria yang identik dengan hitam itu menolak tawaran Minerva McGonaggal untuk kembali menjabat sebagai kepala sekolah Hogwarts, dia memilih pergi ke suatu tempat dan tinggal sendiri, hidup dari ramuan-ramuannya yang terus dipakai oleh dunia sihir. Hanya surat lah yang menghubungkan mereka.

Dan saat ini Harry terpekur sendiri di tepi danau, menatap sinar bulan yang terpantul di permukaan. Besok adalah hari terakhirnya di Hogwarts, dia akan lulus dan meninggalkan sekolah yang selama delapan tahun ini telah menjadi rumahnya. Ribuan bayangan berkelebat di kepalanya, dan dia tenggelam dalam lamunan.

Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah sinar terang yang terbang mendekat dari arah danau. Tubuh Harry membeku disaat menyadari kalau sinar itu ternyata adalah kumpulan dari sinar-sinar kecil yang diciptakan oleh sayap perak para peri.

Pemuda berambut hitam itu tetap tak bergerak saat para peri itu mengelilinginya, menciptakan cahaya terang di sekitarnya, sampai akhirnya mata emeraldnya menangkap satu sosok kecil yang menyalakan sinar paling terang diantara semuanya. Kulit makhluk itu begitu putih, entah lelaki atau perempuan tapi parasnya begitu cantik, juga tampan.

Makhluk itu tersenyum padanya dan dari bibir kecilnya mengeluarkan sebuah suara yang begitu merdu di telinga Harry, "Selamat untukmu, Harry Potter, sang pemenang, kau berikan kami kebebasan lagi untuk menghirup udara segar dan menikmati cahaya bulan yang indah di bumi penyihir ini setelah sang kegelapan kau kalahkan. Perlu waktu setahun bagi kami untuk mengumpulkan para keluarga untuk kembali di danau dan hutan ini, dan inilah kami, kembali ke rumah kami," kata peri itu seperti melagukan sebuah melodi yang indah.

Harry tetap tak mampu bereaksi apapun, mata emeraldnya tetap fokus pada makhluk yang berbicara di depannya.

"Sebelum kau pergi, wahai sang pencerah, terimalah hadiah dari kami, cinta kami dalam hidupmu," kata peri itu lagi. Lalu dia merentangkan tangan kecilnya yang disambut oleh peri lainnya dan membentuk sebuah lingkaran yang mengelilingi tubuh Harry.

Harry memejamkan matanya saat rasa hangat menyelimuti jiwanya, dan dia tersenyum saat suara kecil yang sejak tadi didengarnya mengucapkan kata 'terima kasih'. Setelah itu hening, tak terdengar lagi suara apapun, dan saat Harry membuka matanya hanya kegelapan yang dilihatnya.

"Apakah aku tadi bermimpi?" bisiknya pada diri sendiri.

"Bukannya kau memang selalu tenggelam dalam lamunanmu, Potter?" kata suara di belakangnya yang cukup membuat Harry terlonjak kaget.

"Malfoy..." desisnya, "Jangan mengejutkanku seperti itu."

Pemuda yang ternyata adalah Draco Malfoy itu tak menjawab, dia duduk di samping Harry, mantan musuh besarnya, lalu keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Sejak perang berakhir hubungan mereka tak seburuk sebelumnya, bahkan mereka tak lagi bertengkar dan saling adu mantra. Sesekali tanpa sengaja mereka bertemu disini, tak bicara panjang lebar, hanya saling diam dan melamun. Kesaksian Harry lah yang memperbaiki hubungan buruk itu.

Harry memberi kesaksian pada pihak kementrian tentang pertolongan yang diberikan oleh keluarga Malfoy saat perang terjadi, dan hukuman dihapuskan dari keluarga mantan pengikut Voldemort tersebut.

"Kemana kau setelah ini?" tanya Harry memeecah keheningan.

Draco terdiam sebentar sebelum menjawab, "Mengikuti pekerjaan ayahku," jawabnya singkat. "Kudengar kau diminta pihak kementrian sebagai Auror?" tanya Draco, lebih mendekati pernyataan.

Harry mengangguk, "Ya, aku akan mencoba untuk bergabung dengan mereka."

Lalu mereka kembali terdiam, keheningan ini menjadi obat penenang untuk mereka. Riak air yang tertiup hembusan angin menjadi pandangan terindah yang mereka lihat. Banyak yang terjadi selama ini, tapi rasa benci dan kesal kalau diingat sekarang justru terasa lucu. Pertengkaran mereka setiap harinya seperti suatu hiburan yang mewarnai masa remaja dan menghapus rasa bosan saat kegiatan sekolah berlangsung.

Harry terkekeh pelan saat mengingat betapa kekanakannya mereka dulu.

"Kenapa?" tanya Draco sambil memandang pemuda itu heran.

Harry menggeleng, "Tidak, hanya mengingat masa lalu saja," jawabnya.

Draco tersenyum tipis, "Kita seperti dua anak idiot yang bertengkar tak jelas."

Harry tergelak, "Tidak, Malfoy, kau yang idiot, bukan aku," jawabnya bercanda dan mampu membuat pemuda berambut pirang disampingnya itu tertawa pelan.

Draco menatap wajah Harry yang tampak bahagia itu, mata kelabunya seperti terhipnotis oleh kemilau emerald Harry. Pemuda ini selalu mampu mengajaknya tersenyum saat dia tersenyum, mampu membuatnya tertawa saat dia tertawa, dan mampu membuatnya terdiam saat dia bersedih.

Tak ada ikatan dalam hubungan mereka, hanya karena terbiasa bersama melewatkan waktu di tepi danau inilah yang membuat mereka dekat.

"Potter," panggil Draco menghentikan tawa pemuda Gryffindor itu.

"Yes," jawab Harry sambil menatap Draco. Dadanya berdetak kencang saat dilihatnya kilau kelabu itu memandang lurus pada matanya. Mata yang biasa memandang rendah orang lain itu tampak begitu ramah dan hangat, sesuatu yang tak pernah dilihat Harry ataupun orang lain.

"Ini malam terakhir kita disini, ditempat yang kita tempati bersama selama delapan tahun," kata Draco pelan.

Harry tak menjawab, dia hanya mendengarkan dengan baik kata-kata yang keluar dari bibir tipis itu. kata 'kita' yang diucapkan Draco terdengar seakan ada sesuatu yang intim diantara mereka dan itu cukup membuat Harry berdebar. Tak dipungkiri kalau saat dia menyendiri disini dia berharap Draco akan segera datang dan menemaninya, karena berada di sisi pemuda ini selalu mampu membuatnya nyaman.

"Maafkan aku," lanjut Draco.

Harry tersentak, "What?" tanyanya tak yakin, "Maaf untuk apa, Malfoy?"

Draco memandang tajam mata hijau yang berkilau sempurna itu, "Maaf telah menyakitimu selama ini, semua pasti terasa tak adil untukmu."

Dada Harry berdebar kencang, dia tak kuasa mengalihkan pandangannya dari mata Draco, bahkan membeku saat pemuda itu mendekatkan wajahnya padanya.

"Maafkan aku untuk semuanya, dan terima kasih telah mengijinkanku untuk menemanimu disini, di banyak malam kita selama setahun ini," bisiknya pelan.

Harry tercekat saat bibir Draco menyentuh bibirnya, hanya sentuhan, seakan takut untuk melakukan yang lebih. Barulah bibir itu menciumnya utuh disaat mata hijaunya terpejam dan memberi ijin pada Draco untuk meneruskannya.

Perlahan Draco merebahkan tubuh Harry diatas rerumputan, terus mencumbu bibir merah Harry dalam kecupan demi kecupan yang mampu melumpuhkan fungsi otak. Tak ada penolakan, keduanya tenggelam dalam pusaran gairah yang mulai menggulung akal sehat mereka. Desah nafas semakin memburu saat dua tubuh melekat tak tercelah seincipun, logika terlempar jauh saat kedua tangan mencoba mengenali tubuh masing-masing.

"Malam ini, biarkan malam ini aku memilikimu, Harry," desah Draco di telinga pemuda yang bergetar di bawahnya.

Mata hijau Harry terbuka, dia melihat kilau kelabu itu menyorot dengan penuh keyakinan akan apa yang diucapkannya, dan sekali lagi Harry tak mampu menolak pesona pemuda itu. perlahan dia menganggukkan kepalanya.

Dengan menggigit bibir bawahnya Harry mencoba menikmati rasa perih dan panas yang perlahan mulai mengoyak tubuhnya, dia mencengkeram erat pundak Draco yang telah basah oleh keringat disaat rasa perih itu semakin menjadi, dan satu lengkingan tertahan terlontar dari bibir Harry saat mereka telah sempurna.

Draco menciumi pundak Harry saat dia bergerak perlahan, membisikkan kata-kata lembut yang menenangkan di telinga pemuda itu. membelai sekujur tubuhnya yang bergetar dan terasa panas agar segera mengikutinya mencecap kenikmatan.

Nafas harry tersengal saat Draco semakin erat memeluknya, mengajaknya menuju suatu tempat yang tampak abstrak dengan jutaan warna, debaran jantung yang berdentam seakan menabuhkan genderang dikala jutaan warna itu meledak menjadi putih bersih dan begitu terang saat mereka membaur menjadi satu.

Masing-masing merintihkan nama pasangannya, saling mendekap erat untuk menahan getaran yang nyaris melontarkan jiwa mereka saat gelombang terdahsyat menyapa. Menikmati sentakan-sentakan kecil yang semakin menghilang dan mereda.

.

Draco membuka matanya, entah berapa lama dia tertidur. Dia terkejut saat tak mendapati Harry di sisinya, padahal tadi dia ingat tengah mendekap erat pemuda itu dalam pelukannya, "Kemana dia?" tanya Draco pelan.

Draco beranjak duduk, dia melihat pakaiannya telah rapi membungkus tubuhnya, pasti tongkat sihir Harry lah yang bekerja. Diusapnya rambut pirangnya yang tak beraturan dan dia mendesah lesu, ada yang hilang saat dia tak mendapati Harry sewaktu dia terbangun barusan.

Dengan malas dia melangkah kembali ke asramanya.

.

Di sisi lain Harry juga tengah gelisah di kamarnya, matanya tak mampu terpejam mengingat apa yang baru saja dilakukannya bersama Draco di tepi danau tadi. Dia sengaja tak membangunkan Draco karena dia tak tahu apa yang harus diperbuatnya kalau pemuda itu bangun.

Terngiang kembali kata-kata Draco padanya saat mereka berpelukan tadi, 'Malam ini, biarkan malam ini aku memilikimu, Harry'. Harry mendesah pelan sambil mengusap wajahnya, 'Dia hanya menginginkanku malam ini, hanya malam ini', batinnya kecewa.

Harry mendekap tubuhnya sendiri, 'besok semua akan kembali seperti semula, ini hanya ucapan perpisahan antara aku dan Draco', bisiknya dalam hati. Ada rasa perih menggores di dadanya saat dia memikirkan itu, rasa sakit yang melebihi apa yang barusan dirasakannya saat bersama Draco.

.

#

.

Dua bulan berlalu, dan sekarang Harry tengah mempersiapkan diri untuk bergabung bersama anggota Auror di kementrian. Sejak malam itu dia sama sekali tak pernah bertemu dengan Draco dan dia mencoba melupakan semua yang telah terjadi diantara mereka.

Pemuda berkacamata itu bangun dari tidurnya dan saat itu juga dia mengerang keras, sudah satu minggu ini Harry merasa ada yang aneh dengan kondisinya, kepalanya terasa begitu pusing dan ada yang bergolak di perutnya saat bangun tidur di pagi hari. Pandangannya seakan berputar dan membuatnya semakin mual.

"Kenapa ini? Apa yang terjadi padaku?" gerutu Harry pelan sambil memijat keningnya. Dengan memaksakan diri diapun berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.

.

.

Siang ini begitu terik, mau tak mau Harry harus pergi ke Diagon Alley untuk membeli perlengkapan sebelum mulai bekerja di kementrian. Setelah semuanya didapat diapun memutuskan untuk beristirahat di sebuah restoran kecil. Dia menyesal menolak ajakan Ron dan Hermione untuk menemaninya berbelanja.

Dia terkejut saat seseorang menepuk bahunya dari belakang, dan lebih terkejut lagi saat melihat mantan guru ramuannya lah yang menepuk bahunya, "Sir," sapanya gugup, "Tak kusangka bertemu anda disini."

"Sejak tadi aku duduk disini, tapi sepertinya kau tak tahu," jawabnya datar.

Harry tersenyum dan mempersilahkan Severus untuk duduk di depannya, "Bagaimana kabar anda, Sir?" tanya Harry sambil menatap pria berwajah dingin di depannya tersebut. Ada rasa rindu saat melihat pria yang selalu menyimpan rasa cinta untuk ibunya itu, pria yang mengubur sisi baiknya demi melindungi Harry dari Voldemort.

"Seperti yang kau lihat, Potter," jawabnya singkat.

"Panggil aku 'Harry', Sir," pinta Harry dengan sangat.

Severus tak menjawab, dia hanya memandang lurus kilau emerald Harry yang begitu serupa dengan milik Lily, ibu pemuda itu, wanita yang selalu dicintainya bahkan sampai saat ini. Sesal mendalam lah yang dia rasakan saat memandang pemuda ini, sesal karena dulu dia harus menyakitinya. Tapi apa yang dilakukannya semata hanyalah demi keselamatan Harry.

Harry mengernyit saat dirasakan kepalanya kembali pusing dan tubuhnya melemas.

"Kau sakit?" tanya Severus.

Harry menggeleng, "Entahlah, Sir, sejak pagi rasanya kepala dan perutku bermasalah."

"Kemarikan tanganmu," pinta Severus sambil mengulurkan tangannya.

Harry terkejut, dan dengan gugup dia mengulurkan tangannya pada Severus. Ada rasa nyaman saat tangan pria setengah baya itu menyentuh telapaknya, terasa hangat dan melindungi, 'beginikah rasa tangan seorang ayah?' batinnya.

Raut bingung tampak pada wajah Severus Snape, seorang Poison Master yang tak diragukan keahliannya dalam mendeteksi dan mengobati penyakit.

"Sir?" tanya Harry pelan karena pria di depannya itu tampak tak percaya dengan apa yang ditemukannya.

"Kau tinggal dimana sekarang?" tanya Severus cepat.

Kali ini Harry yang bingung akan pertanyaan Severus, "Grimmauld Place," jawabnya.

"Bersama siapa?" tanya Severus lagi, tetap pertanyaan yang aneh menurut Harry tapi raut wajahnya tampak begitu serius.

"Kreacher…" jawab Harry lagi tak yakin.

Severus berdecak kesal mendengar nama yang disebutkan Harry, "Aku tidak bertanya tentang peri rumahmu, Harry," katanya tak sabar.

Harry tersenyum mendengar pria itu memanggil nama depannya, "Sendiri, Sir."

Severus kembali memandang tak percaya pada pemuda di depannya, "Kau yakin?"

Harry semakin bingung, "Tentu," jawabnya tegas.

Severus menghela napas panjang, "Aku butuh bicara pribadi denganmu, tidak di tempat seramai ini, dan aku… ingin memastikan sesuatu."

Harry terkejut melihat keraguan di mata hitam mantan guru ramuannya tersebut, "Anda berkenan ke rumahku?" tawar Harry, dadanya berdebar, ada perasaan tidak enak di dadanya, dia menebak sesuatu yang buruk akan terjadi.

Pria berhidung bengkok itu menganggukkan kepalanya.

.

#

.

Harry berbaring di tempat tidur saat severus memeriksa sekujur tubuhnya dengan tongkat sihirnya, dia tercekat saat tongkat yang digenggam Severus berhenti pada perutnya.

"Sir?" tanya Harry pelan, "Apa terjadi sesuatu padaku?"

Severus memasukkan tongkat sihirnya ke dalam jubah hitamnya dan melangkah keluar kamar. Dengan bingung Harry mengikuti langkah pria itu dan duduk di depan perapian.

Cukup lama mereka berdiam diri, bahkan Harry mulai merasa takut untuk menanyakan sesuatu.

"Sejak kapan kau merasa seperti ini?" tanya Severus akhirnya.

Harry mencoba mengingat-ingat, "Sekitar seminggu ini, Sir," jawabnya pelan.

"Kau pernah berhubungan dengan seseorang?" tanya Severus yang membuat Harry memucat.

"A-apa maksud anda, Sir?" tanyanya gugup.

Severus berdecak kesal dengan kelambatan anak didiknya itu, "Kau tahu maksudku, Harry. Kau pernah berhubungan sex dengan seseorang?" tanyanya lagi dengan lebih tegas.

Harry menelan ludah dengan susah payah, "Yes, Sir," jawabnya lirih.

Severus menghembuskan napasnya dengan keras, "Kau hamil, Harry," katanya pelan tapi terdengar bagai gemuruh halilintar di telinga Harry.

"Ini tidak mungkin, anda bercanda, Sir?" tanya Harry dengan nada bergetar.

Severus tak menjawab tapi matanya menatap lurus pada kilau emerald Harry.

"Aku laki-laki, Sir, bagaimana bisa aku hamil? Ini tidak mungkin," bantah Harry sambil tertawa getir.

"Apa yang terjadi sebelum kau berhubungan?" tanya Severus.

Harry terdiam sambil mencoba mengingat sesuatu, "Tak ada, Sir."

"Mungkin kau meminum atau memakan sesuatu, atau bertemu seseorang?" tanya ahli ramuan itu lagi.

Harry tercekat, dia ingat saat para peri yang menghampirinya di tepi danau. Lalu perlahan dia menceritakan hal itu pada Severus.

.

"Peri hutan," desis Severus setelah Harry selesai menceritakan kisahnya. "Dulu mereka hidup di hutan terlarang, tapi saat Voldemort mulai mencemari dunia sihir mereka pergi mencari tempat yang layak."

Harry terdiam, dia masih bingung akan hubungan kejadian ini dengan peri hutan yang disebutkan Severus.

Pria bermata hitam itu kembali menatap Harry, "Mereka peri hemaprodith, atau berkelamin ganda. Tak ada yang bisa mendeteksi jenis kelamin mereka, karena mereka semua bisa berkembang biak," jelas Severus. "Dan aku curiga saat mereka menemuimu malam itu… mereka memberimu keistimewaan yang mereka punya, Harry."

Harry terdiam, kepalanya dipenuhi hal-hal yang tidak mungkin dan terasa ganjil, "Maksud anda… aku benar-benar hamil, Sir?" tanya Harry lirih.

Severus mengangguk mentap, "Ada kehidupan lain di tubuhmu, Harry."

Pemuda berambut hitam itu menutup wajahnya yang memucat, "Apakah ini anak dari peri tersebut atau…"

"Tidak, para peri hanya memberimu keistimewaan mereka, dan tentu saja faktor nyata lah yang menjadi penyebab utama," potong Severus, "Ini anak dari kekasihmu."

"DIA BUKAN KEKASIHKU!" teriak Harry, "Tidak, Sir, ini pasti salah, ini bukan anaknya dan aku tidak mungkin hamil… kumohon ralat pernyataanmu."

Dada Severus terasa begitu sakit melihat betapa putus asanya pemuda ini, pemuda yang begitu disayanginya dalam diam, putra dari wanita yang begitu dicintainya. "Siapa dia, Harry?" tanya Severus.

Harry menggeleng, "Tidak, anda tidak perlu tahu, Sir," jawab Harry gemetar sambil terus memeluk tubuhnya sendiri.

Severus tak tega melihatnya seperti itu, dia berdiri dari duduknya dan mendekati Harry, menyentuh pundak pemudada itu dengan lembut. Tanpa sadar sebutir air mata mengalir dari mata hijau Harry, dia menangis tanpa suara, "Apakah dia memaksamu, Harry?" tanya Severus hati-hati.

Harry menggeleng keras, "Tidak, Sir," jawabnya singkat.

Severus kembali menghela napasnya, "Itu kenyataannya, Harry, aku tidak membohongimu."

Harry tercenung, dia tak tahu harus berkata apa, "Apa yang harus aku lakukan, Sir?" tanyanya pelan.

"Keputusan ada di tanganmu, yang pasti saat anak itu lahir dia akan memiliki keistimewaan lebih dibandingkan penyihir biasa," jawab Severus.

Harry diam, tanpa sengaja dia menyentuh perutnya dan saat itu juga dia merasakan rasa hangat menyebar keseluruh tubuhnya, membuatnya merasa nyaman dan tenang… dan tanpa sadar dia tersenyum diantara air matanya.

"Pikirkan kembali baik-baik, setelah kau dapat keputusannya segera hubungi aku," kata Severus menyadarkan Harry, "Aku akan membantumu, Harry."

Setelah mengatakan itu Severus pun ber-apparate.

oOo

a/n.

Haloo… aku balik lagi dengan cerita baru dan tiba-tiba aku tertantang untuk ngebikin MPREG. Agak takut juga sih, tapi mudah2an ga menyecewakan ya… jadi saya mohon ripiunya #mukamelas