Summary :

Akatsuki adalah kerajaan samurai yang telah menguasai seluruh desa ninja. Karena membutuhkan keturunan, kaisar diwajibkan menikah. Dipilihlah seorang gadis untuk menjadi calon istrinya. Dan ia adalah Sakura Haruno, kunoichi yang sedari awal membenci sang kaisar.

.

.

Akatsuki adalah sebuah kerajaan samurai yang bisa dibilang sangat berkuasa di era Edo—zaman Jepang kuno—karena sudah menguasai kelima desa terbesar para ninja—Ame, Konoha, Iwa, Suna dan Kiri. Dengan tentara yang tak terhitung dan kuat, tidak ada yang berani menentang Akatsuki. Dan perang selama 10 tahun dan jutaan jiwa yang terbuang sia-sialah yang membuktikan kalau Akatsuki memang tidak terkalahkan.

Jadi semua hanya bisa diam ketika tentara Akatsuki—yang biasanya tiba-tiba datang ke desa—berlagak sok berkuasa dan melakukan pelanggaran. Sebenarnya, banyak penduduk yang mau melawan, karena mereka tau hampir semua dari tentara itu adalah orang payah yang kerjaannya cuma dapat mengancam dan mengadu.

Namun ada kalanya mengurungkan niatan itu. Terutama jika ada salah satu dari delapan panglima perang Akatsuki. Kadang, ada satu orang yang memimpin tentara-tentara untuk melakukan sesuatu ke desa. Itulah alasan tidak ada yang berani memberontak.

Disebabkan oleh kecemasan itulah, di desa Konoha yang sekarang tidak ada keadilan, ketentraman dan apapun yang seharusnya menjadi ideologi desa. Semuanya menyisakan kesengsaraan, penghinaan dan ketidakadilan. Sedangkan sang kaisar—pemilik seluruh desa dan kerajaan Akatsuki—hanya berdiam diri di dalam kerajaannya.

. . .

Pagi ini cerah, tidak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Pein, nama dari kaisar Akatsuki, berdiri menghadap jendela. Karena letak kerajaan ini berada di dataran tinggi—yang menyebabkan pemandangan dari sana adalah desa-desa ninja di dataran rendah—Pein dapat melihat secara langsung ke Konoha—desa daun. Seseorang berambut oranye itu menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

.

.

.

KING'S WIFE

"King's Wife" punya zo

Naruto by Masashi Kishimoto

[Pein Rikudou x Sakura Haruno]

Romance, Drama, Friendship

AU, OOC, Typos, Semi-M, etc.

(Setting zaman edo. Pein berwujud Yahiko, tapi punya sifat kayak Nagato)

.

.

FIRST. Calon

.

.

Seseorang pria berambut panjangnya berjalan menuju salah suatu ruangan. Dengan wajah tenang ia membuka pintu geser yang berada di depannya.

Setelah pintu terbuka, dilihatnya dari jauh sebuah punggung yang membelakanginya. Orang itu sedang menatap pemandangan dari jendela besar kamarnya yang terbuka. Menyadari ada orang yang memperhatikannya, pria yang ada di sana sedikit menolehkan wajah, dan melihat kenalannya yang baru masuk.

"Pein..." Panggil pria ber-keikogi hitam, senada dengan iris maupun rambutnya. "Kau sudah dipanggil untuk mencari calon istrimu."

"Ya." Jawabnya singkat. Ia berbalik dan berjalan perlahan, hendak melewati Itachi—pria tersebut.

"Konan..."

Belum sampai ke pintu keluar, langkahnya terhenti ketika mendengar sahabat sekaligus penasihatnya menggumamkan sebuah nama. Hanya satu nama itulah yang membuat Pein berdiri kaku dan terdiam dalam beberapa detik.

"Kau sudah melupakannya?" Itachi melanjutkan kalimatnya.

Beberapa saat kemudian, Pein memejamkan mata dan menaikan salah satu sudut bibirnya. "Aku mendapatkannya lagi, kan? Dia sudah menjadi milikmu. Lagipula, sebentar lagi aku akan menikah." Jelasnya. Lalu, Pein melanjutkan langkahnya dan meninggalkan Itachi sendirian.

Memang, Pein hanya bisa berbeda dari biasanya jika membicarakan atau sedang bersama Konan—seseorang yang sempat dicintai oleh sang kaisar. Tapi sekarang sudah lain situasi. Karena sebulan yang lalu Itachi dan Konan telah menikah.

.

.

~zo : king's wife~

.

.

Namaku adalah Sakura Haruno, warga dari desa Konoha.

Saat ini aku baru saja keluar dari kedai kue—tempat di mana aku kerja paruh waktu. Sewaktu sinar matahari menerpa wajahku, kusunggingkan sebuah senyuman ceria, lalu melihat ke sekitar. Masa-masa pagi menjelang siang seperti inilah yang membuat ramai desa tempatku lahir. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk kumanfaatkan berkeliling desa.

Sambil membuka sebuah payung kecil yang dapat melindungiku dari teriknya sang surya, aku berjalan pelan melihat-lihat barang yang diperdagangkan di pasar. Lalu, saat aku sedang melewati deretan toko buah, tidak sengaja aku melihat seorang anak kecil berambutnya jabrik. Seingatku ia bernama Konohamaru.

Bersama ciri khas syal panjang yang membalut di lehernya, ia terlihat sedang bersembunyi di balik tubuh seorang gadis gemuk yang sedang berjalan.

Dan ketika mereka melewati deretan apel yang lagi dijual, tiba-tiba Konohamaru langsung keluar dari punggung wanita tersebut dan mengambil seraup apel menggunakan kedua tangan kecilnya. Saat ketahuan, cepat-cepat ia berlari sambil menampilkan senyum nakal ke si penjual yang telah merutukinya.

Aku pun menghela napas dan menghampiri paman itu. "Jisan... tadi berapa apel yang dicuri anak itu?"

"Oh! Anak sialan itu? Dia mengambil lima tanpa membayar!" Keluhnya sambil geleng-geleng kepala menahan kesal.

"Akan aku bayar... ini." Kuserahkan beberapa butir koin ke tangan paman itu.

"Eh? Terima kasih, Ojousan!"

Aku tersenyum kecil, lalu pamit agar dapat kembali menelusuri pasar. Di sela lamunan, aku pun mengadah untuk melihat langit biru dan mendesah kecil.

Yah, jangan salahkan anak itu jika mencuri seperti tadi. Berhubung perang ninja dan samurai—antara desa ini dan Akatsuki—berakhir dengan kemenangan di tangan Akatsuki, tidak jarang ada beberapa tentara kerajaan yang datang dan merampas barang-barang milik penduduk.

Karena itulah orang-orang miskin di desa ini menjadi banyak. Dan karena mencuri adalah pilihan terakhir yang dapat membuat mereka bertahan hidup, itulah yang terjadi sepanjang tahun ini. Tingkat kriminalitas meningkat.

Sebenarnya aku ingin menegakkan kembali hukum di desa ini. Menjadi seperti dulu, sewaktu Konoha belum dijajah Akatsuki, dan masih dikatakan ibu kota para desa ninja yang makmur dan sejahtera. Tapi kebiasaan buruk yang sering dicontohkan oleh anggota kerajaan sial itu sudah keburu menempel erat.

Aku meluruskan pandanganku ke arah taman yang lumayan ramai. Aku mendekati bangku kayu dan duduk di sana. Sambil meluruskan kakiku, aku menatap geta—sendal kayu—yang sedang kupakai. Perlahan, tanpa kusadari, aku merenung sesaat.

Desa ini kacau karena Akatsuki.

kemiskinan merajalela karena Akatsuki.

Ayah ibuku meninggalkanku sendiri di dunia ini juga karena Akatsuki.

Naruto, sahabatku yang kini hanya tersisa namanya di nisan batu, itu juga karena Akatsuki.

Secara mendadak pikiranku melayang ke salah satu nama lagi. Hatiku menjadi perih ketika mengingatnya. Tak terasa mataku berkaca-kaca. Buru-buru kuhapus cairan bening yang hendak tumpah itu dengan kain yukata pink-ku.

Sasuke...

Seseorang yang sangat kusayangi dan cintai itu hanya bisa menemaniku sampai berumur 17 tahun, dan beristirahat dengan tenang di sebelah nisan sahabatnya, Naruto.

Tentu saja, itu diakibatkan oleh pembunuhan massal yang dilakukan oleh Akatsuki untuk membumihanguskan ninja-ninja yang ada di sini.

"Kyaaaa!"

Tiba-tiba sebuah jeritan seorang gadis mengagetkanku.

Kutepuk keras-keras kedua pipiku agar tidak lagi menangisi masa lalu. Lalu setelah pikiran tadi hilang, aku pun berdiri dari bangku dan mencari dari mana asal suara tadi.

"Di sana ada Akatsuki! Ja-Jangan ke sana!" Kudengar teriakan seseorang dari pertigaan jalan. Orang itu terlihat cemas dan takut. Disuruhnya orang lain agar tidak mendekat ke daerah yang dia tunjuk tersebut.

Tapi bukannya takut, aku malah menjadi kesal sendiri ketika mendengar nama kerajaan itu disebut-sebut.

Akatsuki?

Untuk apa anggota kerajaan sialan itu kemari!?

Dengan tangan yang terkepal kuat serta mood yang memburuk, kutabrak orang-orang yang menghalangi jalanku. Tanpa berpikir aku langsung berlari ke arah di mana Akatsuki berada. Kuhiraukan beberapa orang yang berniat mencegahku.

Maaf saja, aku ke sana bukan karena iseng semata. Aku ingin membuat perhitungan dengan semua orang yang mengatas namakan Akatsuki! Gara-gara mereka, diriku dan orang-orang desa ini mengalami masa-masa menyedihkan!

Setelah sampai ke tempat yang mungkin dimaksud orang tadi, sekarang aku dapat melihat ada tiga orang berbaju tentara. Mereka sedang menggertak sepasang suami istri agar menyerahkan kunci kandang kuda.

"Kubilang serahkan!"

"Ja-Jangan! Perternakan kuda ini adalah penghasilan satu-satunya yang kami miliki. Tolong jangan diambil..."

"Tidak! Tidak bisa!"

Dari kejauhan, aku sempat terbelalak ketika ada salah satu tentara yang menarik anak mereka agar dapat menjerat lehernya.

"O-Okaasan... Otousan..." Gadis cilik itu hanya bisa menangis di tangan si tentara.

"Cepat serahkan kunci perternakan kuda kalian! Atau kau akan mendengar tulang-tulang patah dari leher kecil ini!" Gertaknya sambil tertawa.

"Le-Lepaskan Moegi!" Sang ayah memohon sembari menyodorkan kunci. "Ini! Kami berikan kunci yang kalian minta, tapi lepaskan dia!"

"JANGAN, JISAN!"

Sebelum kunci itu sampai ke tangan tentara, aku berlari ke sana dan menyambar kuncinya.

Paman tersebut melihatku dengan kedua mata terbelalak. "Sa-Sakura-san?"

Dari nada suaranya, aku dapat mengartikan bahwa ia terkejut. Tentu saja, apa yang kulakukan saat ini adalah cari mati. Tapi aku tidak peduli. Menurutku hal ini benar dan tidak ada salahnya.

"Kau!" Seruku sambil menatap tentara-tentara itu dengan pandangan tajam. "Cepat lepaskan Moegi-chan!"

"Apa-apan kau!? Mau nantang, hah!?" Bentak seseorang tentara di deret belakang. "Kau tidak memikirkan nasib anak ini, ya!? Kau mau melihat dia mati!?"

"Tidak. Siapa bilang?"

Tanpa suara, kulepaskan jepitan yang dari tadi membuat rambut merah mudaku tersanggul, dan membuatnya menjadi tergerai.

"Karena itu... lepaskan Moegi-chan!" Dengan segera, kulemparkan jepitanku tepat ke tangan orang tentara yang menahan Moegi.

Jangan bertanya kenapa aku bisa melemparkan jepitan sebesar kunai itu pas di tangannya. Tentu karena aku adalah seorang kunoichi—ninja perempuan. Salah satu dari 15% kunoichi yang selamat dari pembantaian Akatsuki.

Seperti apa yang kukatakan sebelumnya, Akatsuki memang tidak suka dengan ninja dan berniat melenyapkan mereka dari muka bumi—sehingga samurai bisa semakin merajalela.

"AHK SIAL!" Tentara yang merasa tangannya tertusuk itu berteriak kesakitan. Refleks, ia menjatuhkan Moegi ke tanah. Kugunakan kesempatan itu untuk menggendong Moegi. Namun saat aku berlari menjauh, tidak kusangka yukata yang kupakai ditarik oleh tentara yang menggertakku tadi, sehingga membuatku melepaskan Moegi dan terjatuh kebelakang.

"Moegi-chan, cepat ke ayah ibumu!" Perintahku.

Moegi yang masih menangis menjadi sedikit tersentak kaget. Tanpa banyak tanya, ia mematuhiku.

"Jisan! Basan! Masuk ke rumah! Ini biar aku saja yang hadapi!" Teriakku ke orang tua Moegi yang sudah mendapatkan anaknya kembali.

Awalnya mereka terlihat ragu-ragu meninggalkanku sendiri, tapi mereka berusaha yakin karena mereka sudah tahu bahwa aku adalah seorang kunoichi. Dengan mengangguk pelan, mereka bertiga masuk ke gubuk mereka dan mengunci pintu.

Saat tidak ada lagi orang-orang yang harus kulindungi di dekatku—karena penduduk lain juga tidak ada di sini—aku pun buru-buru memusatkan chakra-ku di tangan, dan kemudian berbalik untuk memukul wajah si tentara.

Saat kepalan tanganku mengenainya, orang itu langsung terpental dan tersungkur ke tanah.

"Brengsek!"

Untungnya mereka tidak menyadari adanya chakra ini—kalau ketahuan aku seorang kunoichi, pasti akan terjadi hal buruk padaku. Kali ini aku langsung menghadapkan tinjuku ke wajah seorang tentara, tapi nyatanya pergelangan tanganku terlebih dulu diambil oleh tentara lain yang ada di belakangku. Dengan satu ayunan, ia berhasil membantingku ke tanah.

Karena rasa sakit yang menyetrum tubuh, aku mengerang. Saat aku mencoba bangun, sebuah sendal kayu menginjak bahuku agar aku tidak bangkit. Kucoba membuka kelopak mata, dan melihat pandangan tentara yang seakan-akan menelanjangi penampilanku dari atas ke bawah.

Sesaat kemudian mereka menyeringai, membuat aku bergidik.

"Dia tidak buruk. Bagaimana kalau kita manfaatkan waktu dengannya sebentar?"

Tiba-tiba tanganku langsung ditarik, menyebabkan punggungku terseret di tanah. Sambil mencoba melepaskan diri, aku melihat arah tarikan mereka yang akan membawaku ke suatu sudut. Mulai muncul perasaan takut di hatiku. Saat aku hendak berteriak, aku merasakan mereka berhenti dan melepaskan tanganku sehingga aku terbebas.

Kupandangi ketiga tentara tadi—yang sekarang sedang tertegun menghadap ke sesuatu hal di belakangku.

Penasaran, aku ikut menoleh mengikuti arah pandangan mereka. Dan ternyata di belakang kami sudah terdapat dua orang yang sedang mengendarai kudanya masing-masing.

"Kalian... sedang apa mengurusi gadis itu? Bukannya kalian sudah diperintahkan oleh Tobi untuk mendapatkan kuda-kuda?"

Suara tersebut mengagetkanku. Cepat-cepat kutatap seorang pria yang baru saja turun dari kudanya yang berwarna coklat. Mataku terbelalak saat melihat kedua mata onyx yang tajam itu sempat menemuiku sekilas. Sesuatu yang dulu sering kulihat. Mata milik keluarga Uchiha.

Dia... Uchiha Itachi.

Aku menggigit bibir bawahku, tidak ingin mengingat semua kenangan yang kujalani dengan adiknya—Uchiha Sasuke.

Saat Itachi berjalan mendekati ketiga tentara tadi, mereka langsung berlutut hormat di depannya. Mempersilahkan Itachi mendekati rumah keluarga Moegi.

"Pein, kau ingin kuda apa?"

"Terserah, aku tidak peduli." Jawab seorang pria yang masih duduk di atas kuda hitam—sebelah kuda Itachi.

Dan di kala itu, semakin terkejutlah Sakura di posisinya.

"A-Apa? Pein? Kaisar ada di sini?" Suara seorang tentara berubah lirih. Tidak heran, aku juga terkejut. Baru kali ini aku mendengar—bahkan melihat secara langsung—kaisar keluar dari kerajaannya.

Eh?

Apa?

Lagi-lagi aku dikagetkan oleh sesuatu yang baru kusadari. Orang yang masih di atas kuda itu adalah kaisar! Orang yang seenaknya memutuskan untuk menjajah Jepang—khususnya di desa-desa ninja. Tiba-tiba saja perasaanku menjadi kesal dan marah.

Aku segera berdiri dan menatap langsung pria ber-keikogi dan hakama hitam itu, serta sebuah topi bambu khas Akatsuki yang ia pakai di kepalanya—yang menutupi kening sampai hidungnya.

"HEI, KAISAR SIALAN!"

Mendadak, semua pasang mata melihat ke arahku yang baru saja menyerukan kalimat tadi. Sampai-sampai Itachi yang hendak mengetuk pintu keluarga Moegi menjadi terdiam. Dengan gerak lambat, aku melihat wajah sang kaisar yang seperti melihat ke arahku dengan malas.

"Jangan hanya duduk saja, sialan! Kau menganggap dirimu seorang kaisar, kan? Urus desa-desamu dengan becus, kuso!"

Hening...

Tidak ada yang berani bersuara atau pun bergerak.

Lalu aku berusaha melanjutkan. "Ka-Karenamu dengan perang yang kau bawa... desaku menjadi seperti ini! Semuanya hancur! Teman-temanku... sahabatku juga!" Nada suaraku memelan ketika mulai ada air mata yang hadir di sudut mataku.

"Terus kenapa?"

Aku terkejut mendengarnya, dan kemudian mengadah. Sebelum aku menjawab, ia kembali berbicara.

"Apa karena ketidakbecusanku, terlahir bocah tidak beretika seperti dirimu?" Tanyanya dengan suara datar yang sangat kuyakini terdengar tidak menaruh peduli.

"Si-Sialan!"

Kesal dengan kalimatnya, aku yang sudah emosi ini langsung melemparnya dengan kunci pertenakan yang dari tadi masih ada di tanganku.

Tapi belum sampai kunci itu mengenai wajahnya, sebuah pedang panjang keburu menyabetnya menjadi menjadi dua bagian. Saking cepat dan mengagetkannya gerakan pedang, kuda yang ia tunggangi sedikit melompat karenanya.

Tidak mungkin...

Aku bahkan sama sekali tidak melihatnya menarik pedangnya...

Aku—yang menyaksikan hal itu—hanya bisa menelan ludah dan melihat Pein memasukkan lagi pedangnya ke sarung pedang yang ada di pinggangnya dengan gerakan lambat.

"Urus dulu dirimu, baru urusi orang lain."

.

.

~zo : king's wife~

.

.

Sesudah pertemuannya yang tidak sangka dengan sang kaisar selesai. Anggota kerajaan Akatsuki meninggalkannya sendiri. Keluarga Moegi yang menyaksikan Sakura dari balik jendela langsung menghambur keluar dan menanyakan keadaan Sakura—berharap gadis itu tidak kenapa-napa.

Setelah mengatakan dirinya baik, Sakura pamit. Ia kembali berjalan sendirian ke arah taman. Sesampainya di taman, Sakura menatap wajahnya dari genangan air yang diciptakan hujan di pagi lalu. Air bening di tanah menampakkan wajah cantik Sakura yang sedang sedih dan kesal. Sambil menghela napas, ia membenahi rambut panjangnya agar dapat tersanggul lagi.

Kalau seperti ini terus, sampai kapan pun desa ini tidak akan bisa kembali seperti semula—batinnya pasrah.

Tapi tiba-tiba saja lamunannya harus terganggu karena mendengar suara langkah kaki yang sepertinya akan mengarah kepadanya.

Saat Sakura menengok, ia melihat wanita berambut hitam pendek yang berdiri di sebelahnya sembari terengah.

"Shi-Shizune-san... ada apa?"

"Sakura... kau harus segera ikut aku!" Tanpa basa-basi, Shizune menarik tangannya. Sakura yang sebenarnya keheranan terpaksa mengikuti langkah orang yang menariknya entah ke mana.

.

.

~zo : king's wife~

.

.

Selama semenit Sakura menatap dirinya sendiri di hadapan cermin—yang dipajang di tembok tipis ruangan bernuansa hijau itu. Rambutnya yang semula lumayan acak-acakan, kini tersanggul rapi dengan kepangan-kepangan lucu yang dijepit oleh hiasan bunga besar. Bibirnya dilapisi pewarna soft pinkmengkilap, wajahnya dibedaki dan ia memakai kimono pink bercorak bunga sakura.

Sakura tentu saja senang saat didandani seperti itu. Ia merasa cantik.

Tapi di sini bukan hanya dirinya sendiri yang didandani mendadak seperti itu. Ada sembilan orang lagi yang bernasib sama dengannya. Diantaranya ada ketiga temannya yang juga selamat dari pembantaian ninja, yaitu Ino, Tenten dan Hinata.

Namun lain darinya, sejak berakhirnya perang di Konoha, ketiga temannya menjadi berubah 180 derajat dan menutup dirinya dari lingkungan. Mungkin karena penderitaan dan juga rasa kehilangan saat mengetahui keluarga mereka meninggal di perang tersebut.

Awalnya Sakura juga seperti itu; menjadi suram. Tapi ia sudah bangkit dan berusaha agar tidak terlalu mengingat-ingat masa lalu.

"Shizune-san, sebenarnya ini ada apa?" Sakura bertanya ke Shizune yang masih sibuk mendandani orang lain.

"Kau lihat saja nanti..." Jawabnya, masih serius mendandani. Lalu, setelah selesai Shizune merapikan alat make up, ia menyuruh kesepuluh gadis muda di ruangan tersebut—termasuk Sakura—untuk duduk berderet di salah satu ruangan sebelah yang besar dan kosong.

"Nanti kalian tenang, ya? Duduk yang rapih dan bersikaplah dengan sopan."

Kebetulan, Sakura ditempatkan untuk duduk di sebelah Hinata—dengan jarak sekitar 1,5 meter. Ditatapnya wajah Hinata yang masih murung, Sakura yang prihatin langsung berniat untuk menyapanya.

Tapi sebelum suaranya keluar, Shizune mendahuluinya. "Ingat! Tolong jaga perilaku di depan para tamu! Kalian semua akan menentukan nasib desa kita! Sebentar lagi mereka datang!"

Mereka? Siapa mereka?—Sakura keheranan. Dilihatnya Shizune yang meninggalkan ruangan dan berbincang-bincang dengan seseorang di depan pintu.

"Ada apa sih sebenarnya?" Gumamnya sambil melihat ke sekitar. Baru ia sadari semua gadis yang ada di sini menekuk wajahnya, tidak tau karena apa. Dan sepertinya hanya dia yang tidak mengerti sama sekali alasan dia bisa di sini.

Lalu terdengar suara pintu geser yang terbuka. Masuklah seseorang ke dalam ruangan, disertai dua yang berjalan di belakangnya.

Sakura terbelalak.

Orang itu adalah Itachi dengan keikogi putihnya, lalu dilanjutkan dengan orang yang ia lebih mengagetkannya lagi.

KAISAR! Dia ada di sini! Di hadapannya lagi!

Dan yang terakhir, barulah Tsunade-shishou—kepala desa Konoha sekaligus guru dari Sakura.

Mereka berdua duduk sejajar di bagian depan ruangan yang menghadap ke mereka—gadis-gadis yang duduk dengan sopan di atas tatami. Setelah semuanya siap, Tsunade-shishou membuka suara. "Semua berdiri..."

Mereka semua langsung berdiri serempak. Dalam hati, Sakura terus menebak-nebak apa yang akan terjadi di sini.

"Saya izinkan kaisar untuk memilih calon istrinya."

APA!?—Sakura menjerit, matanya langsung terbuka selebar-lebarnya karena ia tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.

. . .

Saat kaisar sudah berdiri dari tempatnya, Tsunade menelan ludah. Ia berharap akan ada salah seorang gadis yang diinginkan oleh sang kaisar dari desanya. Karena sesuai perjanjian kaisar, jika ada gadis yang diambil dari salah satu desa, maka desa itu akan dinomorsatukan dan dilindungi oleh kerajaan Akatsuki.

Singkatnya, jika ada gadis yang dipilih oleh kaisar, maka gadis itu akan dikorbankan demi desa.

Kaisar pun turun dari tempatnya dan menghampiri gadis-gadis—yang telah dipaksa oleh Shizune—agar menampakkan senyum terbaiknya. Tapi Pein melewati mereka seolah-olah gadis yang telah dirias secantik mungkin itu hanyalah pajangan, sesuatu yang tidak penting. Seharusnya kaisar mendatangi mereka satu-satu dan menanyakan satu sampai dua pertanyaan kepada masing-masing gadis. Tapi sepertinya ia sama sekali tidak berminat.

Dan ketika Pein berjalan di depan Sakura—satu-satunya gadis yang sama sekali tidak tersenyum sewaktu kaisar lewat di depannya—ia sedikit memperlambat laju langkahnya. Ia bahkan berhenti di depan Sakura. Perlahan kepala kaisar yang masih memakai topi bambu itu menoleh tepat ke arahnya. Tiba-tiba saja jantung Sakura berdetak lebih cepat. Bukan karena malu atau gugup, melainkan takut.

Tapi sedetik kemudian, kaisar mengembalikan pandangannya lagi menjadi lurus ke depan dan berjalan melewati Sakura—menuju Hinata yang ada di sebelahnya. Saat Sakura tidak lagi merasakan sesuatu yang seram memandangnya, ia langsung mendesah lega.

Dan kali ini kaisar kembali berhenti di hadapan Hinata Hyuuga. Sakura langsung menatap Hinata dari ekor matanya. Hinata kini sedang cemas dan berusaha sebisa mungkin agar senyumnya tidak terlihat dipaksakan.

Pein berjalan mendekatinya—suatu kemajuan yang membuat Tsunade menampilkan muka serius. Pein memandangi wajah seputih susu milik Hinata dari dekat, lalu perlahan ia mengulurkan tangan kanannya ke dagu gadis itu. Pein mengangkat wajah Hinata agar dapat mengadah kepadanya. Kemudian ia melepaskan sanggulan di rambut Hinata, sehingga rambut panjang indigo tersebut menjadi terurai. Tanpa suara, ia menyentuh rambut Hinata.

Sepertinya orang itu tertarik dengan Hinata—Sakura merasa sedikit kasihan ke Hinata yang kemungkinan akan dipilih sebagai calon istrinya.

Tapi pikiran Sakura mendadak harus berubah menjadi keterkagetan. Itu dikarenakan melihat kaisar yang mengeluarkan pedang dari sarungnya. Lalu dengan sebuah ayunan cepat ia arahkan pedangnya ke Hinata.

"—!"

Semua orang di sana terkejut oleh kelakuan sang kaisar. Rambut sepanjang 30 cm milik Hinata terjatuh ke dekat kaki Hinata. Membuat rambut Hinata menjadi sebahu.

Orang-orang terbelalak, terutama Hinata yang sekarang sedang gemetaran menahan takut. Dan Pein menaruh kembali pedang itu ke sarungnya.

"Itachi."

"Ya?" Itachi menyahut, sedangkan Tsunade kian berharap Hinata lah yang terpilih.

"Bunuh dia. Ia mengingatkanku dengan seseorang."

"APA!?"

Jeritan itu bukan terdengar dari bibir seorang Hinata, Tsunade, atau pun Itachi, melainkan gadis berambut pink yang ada di sebelah Hinata—Sakura Haruno. Ia benar-benar tidak bisa menerima kalimat 'seenaknya' yang dikeluarkan oleh seseorang bergelar kaisar di hadapannya.

"Meski kau seorang kaisar, bukan berarti kau bisa seenaknya pada Hinata!" Sakura langsung berjalan ke depan Hinata dan mendorong Pein agar menjauh selangkah dari mereka. "Dan orang sepertimu ini sebenarnya tidak pantas diberi sebutan kaisar! Kaisar macam apa kau, hah!? Sama sekali tidak bertindak apa-apa, tapi sering main perintah!"

Tsunade—yang berniat melerai mereka—langsung ditahan oleh Itachi. "Kalau kau ingin selamat, jangan pernah mencoba ikut campur. Biar kaisar sendiri yang menyelesaikannya." Dengan sedikit nada ancaman, Tsunade kembali duduk dan menatap Sakura dengan pandangan khawatir.

Setelah selesai berteriak, Sakura menarik napas. Ia baru sadar ia telah meneriaki kaisar yang paling ditakuti oleh lima negara—untuk yang kedua kalinya; tadi siang dan sekarang. Dengan sedikit cemas, ia perhatikan kaisar yang sama sekali tidak bersuara lagi.

Tep.

Sebuah langkah mendekatkan Pein ke Sakura.

"Apa? Kau mau bilang kalau aku harus mengurusi diriku dulu, hm? Kupikir tidak perlu, karena kaulah yang harusnya mengurusi kerajaanmu dulu!" Tantang Sakura tanpa memperdulikan keresahan semua orang yang ada di sana.

Saat jarak mereka tinggal beberapa senti, Pein terdiam. Tidak ada jawaban yang diterima Sakura. Tapi ketika Sakura akan meneriakinya lagi, mendadak tangannya ditarik oleh Pein dan membuatnya nyaris terjatuh ke arah pria itu. Sengaja atau tidak sengaja, keningnya membentur sesuatu. Pinggangnya ditarik sehingga tubuh Sakura sedikit terangkat.

Di detik itu, Sakura merasakan ada sebuah benda asing yang lembut mengenai bibirnya.

Karena kaget, Sakura langsung membeku dalam posisi itu dengan mata terbelalak. Detak jantungnya berdegup kencang. Sakura hendak memberontak, tapi tangan Pein yang semula-berada di punggung Sakura—telah berpindah tempat mengapit kepala Sakura dengannya.

Dada Sakura sesak. Tangan satunya yang bebas terus mencakar bahu Pein, tapi kekuatannya kurang. Sakura tidak ingin menyerah.

Sebenarnya ia bisa menggunakan chakra-nya untuk mendorong atau pun memukul pria itu. Tapi menunjukkan diri sebagai kunoichi di depan anggota Akatsuki adalah cari mati. Jadi ia hanya bisa mencoba memberontak dan mendorong pria itu dengan kekuatan biasanya.

Sampai akhirnya tangan kuat Pein melepaskan dirinya. Sakura langsung jatuh terduduk dengan napas terengah. Tampang cantiknya saat ini benar-benar berantakan.

"Hm... menarik." Pria yang sedang menatapnya itu menaikkan sudut bibirnya. Sambil membenarkan topi bambu yang masih dikenakannya di kepala, Pein melihat Sakura yang sedang menutup bibirnya dengan punggung tangan. Mau tidak mau Sakura memperlihatkan wajahnya yang merona kepada Pein.

"Itachi, sudah kuputuskan..." Katanya. "Aku memilih dia."

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

Author's Note :

Berhubung aku udah 15 tahun, udah bisa buat rated M deh /ngawur. Nggalah hehe... paling T+ yang menjurus kayak di fict ini. Semoga pada suka, ya? Untuk kata-kata yang mungkin kurang dimengerti, bisa dilihat di bawah...

Zaman Edo: yah, liat aja Hai Miiko Zaman Edo, Inuyasha atau Samurai Deeper Kyo. Itu komik yang berhasil buat aku ngebayangin zaman itu.

Topi bambu: itu topi yang dipakai oleh Akatsuki di animanga-nya. Masih inget, kan? Yang dulu pernah dipake Itachi, Kisame, Deidara dan Sasori pas pertama kali muncul.

Keikogi dan Hakama: Keikogi itu baju atasan, sedangkan hakama itu bawahnya. Aku ngga yakin ini beneran baju samurai sih. Yang penting ini bukan baju perang, tapi kayak baju santai yang dipakai pas Zaman Edo (liat tokoh di Inuyasha atau Samurai Deeper Kyo aja).

.

.

Review kalian adalah semangatku :')

Mind to Review?

.

.

THANKYOU