A/N : Heyaaa! Fast update dari saya! Mumpung masuk kuliah siang, mending saya update sekarang aja biar tanggungan saya lunas, nas, nas! Muahahah! Tapi, mendadak saya mager sangat, nih, buat belajar akustik. Gimana, dooong?

Disclaimer : Karakter kepunyaan Hidekazu Himaruya. Kecuali Rangga. Dia masih punya saya! #peluk

Warning : THRESOME YAOI LEMON! Dan... hati-hati buat yang gak mau baca lemon. Kali ini gak saya kasih warning sebelom masuk adegannya. Jadi, waspadalah! Kan biasanya saya kasih tau kalo udah mau muai lemonan, tapi disini gak dikasih , ya. Ehehe. Pairnya? NETHEREXINDOXSPAIN!

Listening to : Masih mendengarkan "Meet Me In The Red Room" by Amiel. Ohohoho.


Tepat saat Rangga akan berbalik badan, pagar kayu yang menjadi sandarannya mendadak patah karena lembab terkena air hujan. Dengan bunyi yang mengerikan, batangan kayu itu patah dan jatuh ke bawah tebing.

Bersamaan dengan seorang pemuda berambut hitam yang semula bersandar padanya.

"RANGGA!" jerit Willem dan Antonio berbarengan ketika melihat rekan mereka jatuh dari tebing. Dengan ekspresi ketakutan, keduanya berlari ke tempat dimana Rangga semula berdiri dan melongokkan kepala ke tepi jurang. Terdengar sayup-sayup di tengah deburan ombak dan ganasnya deru angin suara sesuatu yang berat tercebur ke laut hitam di bawah sana.

"Kita harus panggil seseorang untuk menolongnya!" seru Antonio panik. Ia segera membalikkan tubuhnya, berniat untuk kembali ke dalam hotel dan memanggil bala bantuan untuk menyelamatkan teman mereka yang tercebur ke laut.

"Kelamaan!"

Dan tanpa sempat Antonio cegah, Willem sudah meloncat dari bibir tebing demi menyelamatkan Rangga yang jatuh ke laut. "WILLEM!" seru Antonio panik ketika melihat rekan polisinya itu menghilang dari pinggir tebing. Ia bergegas ke bibir tebing, namun itu semua sudah terlambat. Pemuda Belanda itu sudah menyeburkan diri ke lautan hitam yang luas di bawah sana. "SIAL!" rutuk Antonio sebelum ia ikut terjun demi menyelamatkan dua orang temannya.

Ombak menggulung dengan ganasnya diiringi hujan deras. Kilatan petir saling sambar menyambar di langit hitam yang tak berbatas dengan laut. Terombang-ambing di tengah laut, terlihat seorang pemuda berjaket putih bersusah payah untuk terus berada di permukaan. Pekerjaan yang cukup sulit, mengingat ombak tinggi berkali-kali menghantam tubuhnya dan menenggelamkannya ke bawah permukaan laut selama beberapa detik sebelum kepalanya kembali keluar ke permukaan, napas tersengal-sengal.

Rangga mencoba berenang ke tepian, namun ombak yang begitu besar selalu berhasil menghalau tubuh kurusnya kembali ke tengah laut, bahkan nyaris ke dasarnya. Sehebat apapun ia berenang, mustahil untuk bisa bertahan dari badai mengerikan seperti ini.

Air laut kembali menimpanya dari atas, menguburkan tubuh Rangga sementara waktu ke dasar laut, membuatnya merasakan rasa asin air laut. Kembali Rangga dengan susah payah menggerak-gerakkan tangan dan kakinya untuk kembali ke permukaan. Kali ini butuh waktu lebih lama untuk sampai ke permukaan karena tenaganya yang sudah habis. Baru saja kepalanya menyumbul dari air, kembali ombak besar menghantamnya, menggiringnya ke dasar laut.

Rangga menggelegap kehabisan napas. Tak cukup oksigen di paru-parunya untuk mendukung kerja tubuhnya. Mata abu-abunya menatap kabur di tengah hitam, tak fokus.

'Jadi ini akhirnya...' pikirnya sedih sambil merasakan paru-parunya mulai menjerit meminta suplai oksigen. 'Jadi ini akhir hidupku...'

Tepat sebelum mata abu-abu itu terpejam sepenuhnya, sepasang tangan meraih pinggang dan pundaknya, menariknya ke permukaan laut.

"Kau tak apa-apa?" tanya Willem khawatir sambil menepuk-nepuk pipi Rangga. Tangan kanannya melingkar protektif di sekitar pinggang Rangga. Sementara itu, Antonio berenang di sisi satunya, memegangi pundak Rangga untuk menyeimbangkan sang pemuda bermata abu-abu. "Rangga, kau tidak apa-apa?" Kembali Willem menepuk-nepuk lembut pipi Rangga.

Rangga terbatuk-batuk dan menarik napas dalam-dalam. Mata abu-abunya menatap kedua penyelamatnya, bingung. "... Bagaimana...?"

"Pertanyaannya nanti saja!" seru Antonio lantang di tengah deburan ombak tinggi. "Kita harus segera menepi kalau tak mau mati tenggelam."

Mengangguk setuju, Willem mulai berenang menuju daratan yang terdekat. Cukup sulit untuk melihat keberadaan pantai dari tengah-tengah laut seperti itu, ditambah lagi badai deras. Air hujan dan laut menghalangi pandangan ketiganya dan langit malam luar biasa gelap, membuat mereka bertiga buta akan lingkungan sekitar. Beruntung kilat terkadang muncul, memberikan mereka pencahayaan alami walau hanya untuk sementara.

"Willem! Di sana!" ucap Antonio antusias sambil menunjuk sebuah titik kejauhan di sebelah kanan mereka. "Tadi aku melihat ada daratan. Ayo, kita berenang kesana."

Dengan susah payah, tiga orang itu berenang ke arah yang ditunjuk oleh Antonio. Tak percuma usaha keras mereka menerjang ombak dan berkali-kali ditenggelamkan gulungan air laut ketika mereka akhirnya sampai ke daratan. Rupanya, tempat mendarat mereka adalah sebuah anak pulau dari pulau utama tempat hotel mereka menginap. Deretan bungalow berjejer rapi di tepi pantai dengan pemandangan yang cukup indah bila tidak sedang badai seperti ini.

Antonio membuka pintu salah satu bungalow yang tak dikunci. Mereka beruntung bisa menemukan satu bungalow yang tidak terkunci di antara beberapa bungalow yang berdiri di pantai tersebut. Berhubung ini bukanlah waktu yang tepat untuk liburan ke pantai, bungalow-bungalow tersebut tak ditempati dan kosong melompong. "Ayo, masuk! Kita harus segera menghangatkan badan."

Tanpa pikir dua kali, Willem—sambil membopong Rangga yang masih terbatuk-batuk—ke dalam bungalow. Mata cokelatnya menatap berkeliling bungalow yang kosong dan gelap itu. "Beruntung kita berhasil menemukan bungalow kosong di tempat seperti ini."

Bungalow kayu itu tampak tak terlalu besar. Ruang pertama yang mereka masuki begitu kosong dengan beberapa kursi dan meja kayu terdapat di sana. Salad bar dengan stove kecil tampak di pojokan. Dua pintu tampak berjejer tak jauh dari dekat dapur, dimana salah satu pintu baru saja dibuka Antonio. "Kamar mandi." gumamnya. Sang detektif Spanyol—basah kuyup akibat hujan dan air laut—berjalan menuju pintu satunya. "Hei, kalian berdua. Coba cari cara untuk menghangatkan badan kita. Kalau terus dibiarkan begini, bisa-bisa kita mati kedinginan."

"Tak ada apa-apa disini." sahut Willem sambil melemparkan pandang ke sekeliling bungalow. "Tak ada perapian—tentu, mengingat ini digunakan hanya pada musim panas. Orang bodoh macam mana yang butuh perapian di saat musim panas?"

"Hei, aku menemukan satu buah selimut!" kata Antonio gembira saat keluar dari kamar terakhir yang ia jelajahi. "Dan ternyata di dalam kamar juga ada tempat tidur masih dengan seprei."

"Kau menemukan selimut lainnya?" tanya Willem.

"Uuuh..." Antonio kembali ke dalam kamar untuk mencari selimut tambahan. Tak butuh waktu lama bagi Antonio untuk keluar lagi dari dalam kamar dengan berita buruk. "Tidak. Aku tak menemukan selimut lagi. Hanya tinggal satu ini. Dan sebuah handuk ukuran sedang."

Willem mendesah pelan. Satu selimut—meskipun cukup lebar—tak mungkin cukup untuk menghangatkan tubuh mereka bertiga. Kalaupun iya, itu berarti tiga orang polisi itu harus meringkuk di bawah selimut yang sama. Berdekatan. Basah. Kedinginan.

Tunggu. Basah? Kedinginan?

"Kita harus melepas pakaian kita."

Antonio dan Rangga menatap tak percaya apa yang baru saja keluar dari mulut Willem. Keduanya lebih tak percaya lagi ketika melihat Willem mulai melucuti pakaiannya satu demi satu. Mulut keduanya menganga lebar saat jemari Willem mulai berkutik untuk melepaskan ikat pinggang celananya dan menarik turun—

"HENTIKAN!" seru Antonio dan Rangga, kompak. Sudah tidak bisa dibedakan wajah mana yang lebih merah; Rangga atau Antonio.

Jeritan keduanya sukses membuat Willem terhenti, tepat sebelum ia menurunkan celananya. Ia sudah setengah jalan dalam melucuti pakaiannya. Polo shirt basah yang ia kenakan sudah tergeletak di atas lantai kayu bungalow. Sepatu ketsnya juga sudah ia lepaskan dan tendang entah kemana.

"Apa yang kau lakukan, dasar vampir mesum!" jerit Rangga histeris. Mata abu-abunya berusaha sebisa mungkin untuk tidak menatap langsung ke tubuh setengah telanjang Willem.

Willem mengedip-ngedipkan matanya, bingung. "Apa maksudmu?"

"Uuh... Mungkin maksud pertanyaan Rangga adalah begini: Untuk apa kau membuka pakaian di tengah-tengah kami... berdua?" gumam Antonio ragu. Wajah sang Spaniard juga bersemu merah, sama seperti Rangga.

"Oh. OH!" Willem yang akhirnya menyadari bahwa tindakannya itu memang agak-agak aneh. Tanpa ba-bi-bu, ia langsung membuka pakaian di depan dua orang temannya seolah-olah ia siap untuk memperkosa dua orang temannya itu. Tindakan main buka baju sembarangan ini memang sangat bukan dirinya, kecuali dia ganti kepribadian dengan Francis. Tanpa terasa, rona merah mulai tampak di wajahnya. "Um... Begini. Pakaian kita basah, kan? Rasanya akan mustahil kalau kita akan bisa menghangatkan badan jika masih mengenakan pakaian basah kita. Bagaimana kalau kita lepaskan pakaian kita—tak ada maksud terselubung sama sekali, sungguh—dan menjemurnya, sementara kita menghangatkan badan dengan selimut itu. Dengan demikian, pakaian kita akan cukup kering hingga besok pagi untuk kembali ke hotel. Bagaimana?"

Rangga dan Antonio masih menatap Willem dengan pandangan curiga. Siapa yang tidak curiga setelah melihat seorang pria yang beberapa detik lalu begitu antusias untuk melanjangi dirinya sendiri di tengah udara dingin? Apalagi ada dua orang pria yang sangat menarik dengan kondisi pakaian yang sangat menggoda—basah, dengan kain sedikit menerawang dan pas di tiap lekuk tubuh—terkurung di tengah badai bersama sang eksibisionis?

Willem mengerang pelan, menyadari pandangan curiga dua orang tersebut. "Hei, kalian serius mencurigaiku mau berbuat macam-macam? Di saat kita terjebak badai dan tak bisa pulang ke hotel seperti ini?"

"... Justru di saat-saat seperti ini kemungkinan pemerkosaan terjadi..."

"Oh, ayolah, Antonio!" jerit Willem frustrasi. "Kau tahu, kan, kalau tindakan rendah di kala kepepet seperti itu hanya akan dilakukan oleh Francis?"

Dan seorang Prancis di ujung belahan laut lainnya bersin dengan tidak elitnya.

Antonio dan Rangga saling bertukar pandang, masih tampak keraguan pada mata masing-masing. Namun, akhirnya sang detektif berambut cokelat mendesah panjang dan mulai membuka kaus berwarna oranyenya untuk berikutnya diikuti dengan sepatu dan kaus kakinya, meninggalkan Rangga yang melotot panik. Rona merah di mukanya sekarang berubah menjadi lebih merah.

"Tu—Tunggu dulu!" jerit sang pemuda Indonesia panik. Ia menatap panik Antonio dan Willem yang sekarang hanya berbalut boxer masing-masing. "Kenapa kalian tiba-tiba buka baju seperti ini!"

"Kan alasannya sudah dijelaskan tadi oleh Willem, Rangga." sahut Antonio santai. Ia sekarang sedang sibuk memunguti pakaiannya dari lantai dan menggantungnya berdampingan dengan pakaian Willem pada seutas tali yang ditemukan Willem di laci counter dapur. Sang Spaniard kemudian mengulurkan tangannya ke arah Rangga setelah menjemur pakaiannya sendiri. "Ayo, sekarang buka pakaianmu supaya aku bisa menjemurnya disini."

Mulut Rangga membuka dan menutup tanpa mengeluarkan suara, bingung harus merespon apa. Buka baju? Di tempat super dingin seperti ini? Masih dalam keadaan berpakaian penuh saja sudah membuatnya mengigil, apalagi tanpa busana! Dua orang ini sinting! Ditambah lagi ia harus bertelanjang ria bersama dengan dua orang polisi dengan tubuh atletis, tampan, menggoda iman...

Oke. Pikiran Rangga sepertinya mulai rusak setelah terombang-ambing di tengah lautan terlalu lama. Ingat, Rangga! Kau sudah punya Razak! Itu namanya selingkuh kalau sampai berpikiran yang iya-iya mengenai laki-laki lain!

"Rangga, ayolah." bujuk Antonio. "Kalau kau terus memakai baju basahmu itu, kau malah akan semakin kedinginan."

Ragu, akhirnya sang pemuda berambut hitam ikal itu melepas jaket putihnya. Dengan tangan yang gemetar, ia menyerahkannya kepada Antonio sebelum mulai menarik lepas kaus merahnya. Rangga bergidik kedinginan ketika kausnya telah terlepas dan menyerahkan kaus tersebut dengan tangan gemetar karena kedinginan. Ia kemudian melepaskan sepatunya dan membiarkannya tergeletak beberapa senti di dekat kakinya, sementara ia semakin mengigil setelah menjejakkan kaki di atas lantai kayu bungalow yang dingin luar biasa.

"Rangga, celanamu."

Dua kata pendek yang terucap dari mulut Antonio sukses membuat Rangga pucat. Dengan penuh kengerian, ia melirik ke celana jins basah yang ia kenakan. Haruskah ia melepaskan ini? Kalau ia lepas artikel pakaian kedua sebelum akhir yang melekat di tubuhnya ini, ia akan resmi setengah telanjang di depan Antonio dan Willem. Padahal, selama ini Rangga tidak pernah telanjang—bahkan bertelanjang dada saja belum pernah—di depan laki-laki lain selain Razak. Atau mungkin kedua orang tuanya dulu ketika mengasuhnya sewaktu bayi.

"Rangga, semakin cepat kau selesaikan, semakin cepat kau bisa meringkuk nyaman di bawah selimut."

Diiringi satu anggukan pelan—dan wajah merah padam, tentunya—Rangga mulai membuka kancing dan retsleting celananya. Perlahan-lahan ia menurunkannya, sangat berhati-hati supaya boxer yang ia kenakan tidak ikut tertarik turun. Bisa bahaya kalau sampai benda dibalik boxer-nya itu terekspos. Setelah melepaskan celananya itu, Rangga segera menyerahkan celana itu kepada Antonio. Kedua lengannya yang gemetaran ia lipat di depan dada, berusaha sebisa mungkin menghangatkan diri dan menutupi tubuh polosnya.

Mata abu-abu Rangga masih menatap Antonio yang sibuk menjemur pakaian-pakaian itu. Kerutan di dahinya tampak semakin dalam dan gemeretuk giginya terdengar semakin keras. Ia sangat kedinginan dan seluruh tubuhnya menggigil luar biasa.

Sampai sepasang tangan melingkarkan selimut tebal yang hangat ke pundaknya.

Rangga memutar tubuhnya kaget ketika merasakan kehangatan dari selimut tersebut. Mata abu-abunya beradu dengan sepasang mata cokelat milik Willem serta senyum simpul sang pemuda berambut pirang. "Kau menggigil." ucapnya lembut. Ia kemudian berbicara pada Antonio yang telah selesai menjemur pakaian basah mereka. "Lebih baik kita juga segera berselimut. Udaranya semakin dingin."

"Tunggu. Kita mau duduk di lantai ini saja atau bagaimana?" tanya Antonio sambil mengerenyitkan kening. "Lantainya dingin begini..."

"Kau benar, Antonio." gumam Willem sambil menggosok-gosokan kakinya ke lantai kayu. "Lantai ini terlalu dingin. Kau ada alternatif tempat lain selain lantai dingin ini?"

"Umm... Kalau tak salah, aku melihat ada tempat tidur dan masih berseprei saat mengambil selimut itu. Tempat tidurnya cukup besar untuk memuat kita bertiga."

"Bagus! Ayo, kita kesana. Paling tidak, tempat tidurnya pasti lebih hangat daripada lantai kayu ini." kata Willem antusias sambil melingkarkan tangan di sekitar pundak Rangga, menggiring sang pemuda berambut hitam itu ke tempat tidur.

Benar kata Antonio. Sebuah queen size bed terbuat dari kayu tampak berdiri kokoh di tengah ruangan. Kasur per yang tampaknya empuk itu terbungkus rapi oleh seprei putih yang sedikit kusam. Beberapa buah bantal dari bulu angsa tampak bersandar pada headboard tempat tidur.

Willem naik ke atas tempat tidur terlebih dulu dari sebelah kiri tempat tidur, sementara Rangga berjalan dengan ragu di sebelah kanan tempat tidur. Ia menatap ragu Willem yang sedang memposisikan dirinya, sehingga dua rekannya masih muat di tempat tidur tersebut. Kedua tangan Rangga mencengkeram ujung selimut yang masih melingkar di pundaknya dengan kencang. Masih ragu untuk naik ke tempat tidur.

"Hei, Rangga." panggil Willem. Mata cokelatnya menatap dengan sedikit rasa kesal pada pemuda Asia yang masih mematung di depannya itu. "Akan lebih baik kalau kau segera naik ke tempat tidur, jadi aku bisa menghangatkan badan dengan selimut ynag kau kenakan itu."

Rangga melirik selimut berwarna abu-abu tua yang menyelimuti tubuhnya, membungkus tubuhnya yang kedinginan dalam kehangatan yang nyaman. Namun, entah kenapa, mendadak rasa hangat yang semula ia rasakan runtuh ketika Willem mengingatkan bahwa ia harus tidur bersama dengan dua orang temannya itu.

Tidur. Bersama. Berbagi tempat tidur dan selimut.

Dan sudahkah dikatakan bahwa ketiganya setengah telanjang? Dengan boxer sebagai penutup satu-satunya bagian paling privat milik mereka?

"Rangga, kalau kau tidak cepat naik ke tempat tidur dan berbagi selimut dengan Willem, dia bisa mati kedinginan." bisik Antonio dan mengedikkan kepala ke arah Willem yang sudah berbaring pada sisi kanan tubuhnya, menanti sambil sedikit gemetar. "Dan aku juga akan mati kedinginan kalau begini terus caranya..."

Kembali mata abu-abu Rangga berpaling dari selimut yang menyelimuti tubuhnya, tempat tidur, Antonio, dan Willem. Tidak, tidak. Rangga terlalu polos untuk ditiduri oleh dua orang sekaligus! Satu-satunya laki-laki yang pernah menidurinya hanya adiknya! Tidak! Rangga tipe orang yang setia! Dia tidak akan berpaling dari Razak, meskipun godaan begitu berat berupa dua orang seksi setengah telanjang ini terus memaksanya ke tempat tidur.

Tidak. Rangga orang yang setia. Ia tidak akan mengkhianati Razak, selamanya.

... Iya, kan?

"Ah, kau kelamaan, Rangga."

Dan tanpa basa-basi, Antonio mendorong Rangga hingga tubuh kurus sang pemuda Asia itu terjatuh tepat ke atas tempat tidur, bahkan nyaris menimpa tubuh Willem. Belum sempat Rangga pulih dari rasa terkejutnya, kedua tangan Antonio mendorongnya lebih dekat pada Willem. Begitu dekatnya, sampai-sampai wajah Rangga bersentuhan dengan dada bidang dan polos milik Willem.

"Geser, geser~" kata sang Spaniard ceria sambil terus mendorong Rangga semakin merapat pada Willem. Setelah merasa tubuhnya cukup untuk berbaring di atas tempat tidur, Antonio mengambil ujung selimut dan menyelimuti tubuhnya sendiri. Sang detektif berambut cokelat itu kemudian mendesah panjang, nyaman dengan kehangatan yang disumbangkan oleh selimut itu dan juga tubuh Rangga yang berbaring di sampingnya. "Aah~ Hangat." gumam Antonio sambil tersenyum. Ia kemudian menumpangkan dagunya ke pundak Rangga sementara tangan kanannya bergerak memeluk Willem dan Rangga sekaligus. "Kalian kebagian selimutnya, kan?"

Satu anggukan singkat diiringi cengiran lebar dari Willem menjadi jawaban atas pertanyaan Antonio. Rangga sendiri masih terlalu kaget untuk bisa memberikan balasan. Wajahnya sudah merah padam dan matanya membelalak lebar ketika merasakan tubuh Willem bersentuhan secara langsung dengan pipi kirinya tanpa penghalang apapun. Tubuhnya kaku ketika Antonio semakin menekan tubuh kurusnya dari belakang, menempelkan dada polos sang detektif dengan punggung Rangga yang juga dalam keadaan tak tertutupi benang sehelaipun.

Oh, Rangga tak yakin ia bisa bertahan satu malam ini. Ia pasti akan mati.

Bukan, bukan mati karena kedinginan. Bukan juga mati ditembak karena identitasnya sebagai Brighella terungkap. Bukan juga mati dirajam oleh Razak ataupun Il Dottore dengan tuduhan selingkuh di balik punggung mereka.

Rasanya ia akan mati karena kehabisan darah karena keintiman di antara mereka bertiga.


Malam semakin larut dan meskipun badai mulai mereda, udara semakin terasa dingin. Di sebuah bungalow kecil, tiga orang tampak meringkuk saling menghangatkan di atas sebuah kasur berbalut satu selimut. Pakaian-pakaian mereka masih tergantung di ruang depan bungalow, meneteskan air yang kemudian menggenangi lantai kayu.

Di tengah keheningan malam—selain suara desir angin dan rintik hujan serta ombak yang menghantam karang—terdengar satu suara. Suara gemeretuk, sesuatu yang beradu.

Willem adalah orang pertama yang menyadari suara gemerutuk tersebut. Ia mengerenyitkan keningnya, mencari-cari asal suara gemeretuk itu. Ternyata, sumbernya tidak terlalu jauh, melainkan tepat di depannya.

"Rangga? Kau kedinginan?" tanyanya dengan nada suara penuh kekhawatiran. Ia menyentuh pipi Rangga yang terasa begitu dingin seperti es. "Kau... Kau tidak apa-apa?"

Rangga hanya mengangguk pelan. Ia menekuk tubuhnya, bentuk bola untuk lebih menghangatkan tubuhnya. Ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak mendekat ke arah Willem ataupun Antonio, meskipun kehangatan tubuh mereka berdua sangat menggoda bagi Rangga untuk terus mendekat.

"Ada apa?" tanya Antonio yang baru saja terbangun. Ia mengucek-ucek matanya yang masih setengah mengantuk dan menatap Willem serta Rangga. Dahinya berkerenyit ketika menyadari ada suara aneh yang cukup keras. "Suara berisik apa itu?"

"Rangga sepertinya kedinginan, Antonio." jawab Willem, menggantikan Rangga yang masih kedinginan. "Sepertinya ia tidak biasa dengan udara sedingin ini..."

"Oh..." Antonio menatap tubuh menggigil Rangga dari belakang dengan penuh kekhwatiran. "Kau tidak apa-apa, Rangga?"

Dengan susah payah, Rangga mengangguk. Sayang, dua orang polisi yang mengapitnya itu tidak terlalu yakin dengan jawaban sang pemuda Asia. Bagaimana mereka mau diyakinkan kalau gemeretuk serta gemetar tubuh Rangga semakin hebat. Ia bahkan mulai terlihat merah padam dan keningnya membara. Tanda-tanda ia mulai sakit.

"Antonio, kalau Rangga terus kedinginan seperti ini, ia bisa benar-benar sakit..." gumam Willem setelah merasakan hangatnya kening Rangga. Ditatapnya rekan polisi bermata hijaunya itu dengan penuh raut kekhawatiran. "Apa yang harus kita lakukan?"

"Kita tidak mungkin kembali ke hotel sekarang." gumam Antonio. "Pakaian kita belum kering, dan hujan juga belum reda. Kita sama saja bunuh diri kalau mau jalan sekarang. Tahanlah sampai matahari terbit."

"Tapi kalau ia sakit begini..."

Antonio menatap tubuh gemetaran Rangga dengan kedua bola mata hijaunya. Ia tampak berpikir keras bagaimana caranya untuk membuat pemuda berambut hitam itu menjadi sedikit lebih hangat. Hanya sedikit saja. Namun sayangnya ia tak melihat ada selimut tambahan di dalam bungalow. Pakaian mereka belum kering. Cara lain untuk menghangatkan diri selain dengan selimut itu hanyalah saling berpelukan, bertukar panas tubuh.

Atau...

Rangga menjerit pelan ketika merasakan Antonio mulai menciumi tengkuknya, sementara tangan sang Spaniard sibuk menggerayangi perut dan dadanya. Mata abu-abu Rangga membelalak lebar ketika lidah dan gigi Antonio mulai memainkan daun telinganya, menghembuskan napas lembut yang menggelitik seluruh indera perasanya. Sebuah erangan pelan keluar dari mulut Rangga ketika Antonio mengigit lembut pundak Rangga.

"Kau ini apa-apaan, Antonio?" tanya Willem panik. Semburat merah tampak jelas di wajahnya; entah karena cemburu atau malu. "Kenapa tiba-tiba—"

"Rangga kedinginan, kan?" gumam Antonio tak jelas. Mulutnya masih sibuk menciumi, menjilati, dan mengigit pelan leher sampai pundak Rangga. "Berhubung kita tidak punya selimut lagi atau apapun untuk semakin menghangatkan kita, aku memilih cara ini untuk membuatnya hangat."

"Tapi..." Kalimat Willem terputus oleh erangan keras yang keluar dari mulut Rangga. Rupanya, jemari sang detektif Spanyol mulai memainkan putingnya. Tubuh Rangga menggeliat diiringi napas memburu dari sang pemuda sementara Antonio terus menelusuri tiap lekuk tubuhnya dengan mulut dan tangan.

"Will," desah Antonio di antara kecupannya di sekujur leher jenjang Rangga. "Kau mau ikut? Kita hangatkan Rangga bersama."

Willem tertegun melihat Antonio yang tengah menciumi bibir ranum milik Rangga dengan begitu penuh hasrat. Ia menelan ludah ketika melihat lidah keduanya saling beradu mengeksplorasi mulut masing-masing. Wajahnya semakin panas saat mendengar erangan dan desahan penuh nikmat keluar dari mulut Rangga. Mungkin ada baiknya kalau ia tidak melewatkan ajakan Antonio.

Kembali jeritan pelan keluar dari mulut Rangga ketika ia merasakan Willem menjilati puting kirinya, menyelimuti organ tersebut dalam mulutnya yang hangat. Mata abu-abunya yang setengah tertutup, terbayangi oleh kabut kenikmatan, melirik ke bawah dimana Willem masih sibuk menjilati dadanya. Sungguh ia tak habis pikir dengan apa yang ada di pikiran dua orang ini. Kenapa mereka mendadak menyerangnya seperti ini? Alasan untuk menghangatkan tubuhnya itu cukup tidak masuk akal kalau ia mau jujur...

Rangga mengeluarkan erangan tertahan ketika tangan kanan Antonio menyusup ke balik boxer milik Rangga. Sang pemuda Asia bisa merasakan jemari handal Antonio menyentuh organ privatnya yang setengah menegang. Ia tak sempat protes, karena Willem segera meraih dagunya, mendongakkan kepalanya, lalu menciumnya telak di bibir. Antonio sendiri menyibukkan diri pada bagian privat Rangga seraya menciumi pundak mungilnya.

"Tu... Tunggu...!" desah Rangga setelah ia berhasil mendorong Willem dan Antonio menjauh. Wajahnya merah padam karena malu. "Apa yang kalian lakukan!" bentaknya dengan suara gemetar dan napas tersengal-sengal.

"Antonio sudah bilang, kan?" ucap Willem dengan suara yang rendah. Ia menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi mata abu-abu Rangga sambil tersenyum. "Kau kedinginan, makanya kami ingin menghangatkanmu." Ia kemudian mengecup kening Rangga dengan penuh rasa sayang, diikuti oleh Antonio yang memberikan kecupan kecil di pundak Rangga.

"Tapi... Tapi tak ada cara lain untuk—OH!" Rangga mendesah panjang ketika jari-jari Antonio kembali bergerak menyusuri organ privatnya. Dalam sekejap, Rangga sudah melupakan kalimat protes apa yang akan ia lontarkan pada kedua polisi ini.

Dari sudut mata Rangga, ia bisa melihat sudut bibir Willem yang tertarik membentuk cengiran kecil. "Sudahlah, Rangga." desis sang pemuda berambut pirang. Ia kembali menarikan jemarinya di dada Rangga, tak lupa untuk bermain sejenak dengan dua puting Rangga. "Nikmati saja untuk malam ini." lanjutnya di sela-sela ciumannya.

Rangga sendiri tak tahu mau membalas apa. Mata abu-abunya sudah tak begitu fokus dan kabur. Berkali-kali ia mendesah dan mengerang ketika jari-jari handal dua orang dari depan serta belakangnya itu memainkan bagian-bagian tubuhnya. Tubuhnya yang hangat menggeliat penuh kenikmatan, mencoba untuk menahan beberapa waktu hasrat yang tak terbendung.

"Kau sudah hangat, Rangga?" tanya Antonio dengan suara cerianya. Tangannya terus menelusuri tubuh gemetar Rangga dengan tangan kanannya tetap bermain-main di bagian bawah tubuh Rangga.

Tak bisa membalas. Otak dan mulutnya saat ini sedang teralihkan oleh kehandalan mulut Willem. Harus ia akui kalau pemuda Belanda itu sangat sangat sangat handal dalam hal berciuman.

"Mm~ kau manis sekali, Rangga." gumam Willem sambil menarik tubuh Rangga dan Antonio semakin mendekat kepadanya.

Sebuah desahan napas menggoda menerpa telinga kanan Rangga, berbisik. "Jeritkan nama kami berdua saat kau sudah tak sanggup menahannya lagi nanti."

Tangan Rangga mencengkeram selimut dengan begitu kencang sampai buku-buku tangannya memutih. Mulutnya membuka lebar dalam desahan tanpa suara.

"Jeritkan nama kami berdua, Rangga."

Tubuhnya menggeliat semakin hebat di atas tempat tidur diiringi napas tersengal-sengal.

"Kami tahu kau sudah tak tahan lagi."

Sebuah anggukan pelan menjadi jawaban. Erangan pelan diikuti ketika lidah-lidah handal kembali menari di atas kulitnya yang hangat.

"Lepaskan sekarang, Rangga. Lepaskan, dan jeritkan nama kami."

Detik berikutnya begitu kabur bagi Rangga. Yang ia rasakan hanya rasa hangat dan sedikit basah di bagian selangkangnya sementara ia mendengar seseorang berteriak kencang. Suara yang begitu familiar meneriakan dua nama yang sama familiarnya. Ia masih merasakan sentuhan-sentuhan sensual Willem dan Antonio ketika suara itu dilontarkan, beriringan dengan kegelapan yang menghampirinya.

Dalam balutan kenyamanan dan hangatnya dekapan dari dua orang di depan dan belakangnya, Rangga kembali tertidur pulas.


"Rangga?"

Rangga mengerang pelan dan membuka matanya perlahan-lahan. Ia memicingkan matanya ketika sinar matahari menerpa wajahnya.

"Rangga, ayo bangun."

Dengan susah payah, Rangga mendorong tubuhnya untuk tegak. Kejadian semalam betul-betul melelahkan. Rona merah kembali merambati wajahnya yang manis bila teringat adegan kemarin. Semburat merah muda muncul di kedua pipinya bila ia teringat bahwa ialah satu-satunya orang yang memperoleh semua perhatian. Apalagi ketika tangan Antonio bermain di bagian selangkangan, membuat boxer-nya basah oleh—

Tunggu. Kenapa boxer-nya terasa kering?

Panik, Rangga menyingkapkan selimut tebal yang masih menutupi bagian tubuh bawahnya. Ia menatap dengan penuh kebingungan bahwa tanda-tanda fourplay yang dilakukan mereka bertiga tidak ada sama sekali. Ia tidak salah ingat, kan, kalau ia sudah... bermasturbasi dibantu oleh tangan Antonio?

"Oh, kupikir kau belum bangun."

Rangga menoleh ke arah datangnya suara dan melihat sosok Antonio yang berpakaian lengkap berdiri di ambang pintu. Setumpuk artikel pakaian ia bawa di tangan kanannya. Sepertinya pakaian milik Rangga.

Rangga sendiri terus memperhatikan Antonio yang berjalan semakin mendekat dengan pandangan bingung. Dahinya berkerenyit, berusaha berpikir keras untuk mengingat-ingat apa yang terjadi tadi malam. Kerutan di dahi Rangga semakin dalam ketika ia tidak melihat adanya perubahan ekspresi di wajah Antonio. Pemuda Spanyol itu masih saja tersenyum ceria sambil menyerahkan pakaian Rangga yang sudah cukup kering, memintanya untuk segera berpakaian.

"Antonio... Tadi malam..." Rangga menelan ludah, tak yakin mau meneruskan pertanyaannya. Tapi, kalau tak ditanya, ia bisa mati penasaran. "Kau masih ingat apa yang terjadi tadi malam?"

Antonio mengedip-ngedipkan matanya dan kedua alis matanya terangkat. "Tadi malam?"

Rangga hanya bisa mengangguk pelan sambil menelan ludah gugup.

"Tadi malam?" ulang Antonio sambil mengusap-usap dagunya dengan jari telunjuknya. "Tadi malam memangnya ada apa? Hei, Willem! Kau ingat?"

"Tadi malam?" ulang Willem. Sang pemuda Belanda melongokkan kepalanya ke dalam kamar sementara kedua tangannya sibuk mengancingkan polo shirt yang baru saja ia kenakan. Dahinya berkerenyit bingung ketika mendengar pertanyaan Antonio. "Semalam memangnya ada apa?"

"Heeeii... Justru aku yang tak tahu, makanya aku bertanya padamu." gumam Antonio sedikit kesal sambil memutar bola matanya. "Soalnya, Rangga menanyakan apa yang terjadi tadi malam."

Willem mengangguk mengerti. Mata cokelatnya menatap bingung ke arah Rangga yang masih duduk di atas tempat tidur. "Tadi malam, ya... Selain kau yang mendengkur dengan suara cukup keras, tak ada peristiwa aneh lainnya. Iya, kan, Anotnio?" sambungnya diiringi anggukan dari Antonio.

"Me... Mendengkur?" ulang Rangga, bingung. "Jadi... Jadi apa yang terjadi waktu itu hanya mimpi? Aku cuma mimpi?"

"Mimpi? Memangnya kau mimpi apa, Rangga?" tanya Antonio polos.

Semburat merah langsung menghiasi wajah Rangga. Sang pemuda berambut hitam menundukkan kepalanya begitu dalam, malu untuk melihat langsung Antonio ataupun Willem. "Bu... Bukan apa-apa, kok." gumamnya tak jelas. Ia berjalan mendekati Antonio yang masih membawa pakaiannya, merebut secara kasar pakaian-pakaian miliknya. "A... Aku mau ganti baju! Kalian jangan lihat!" serunya panik seraya mendorong Willem dan Antonio keluar kamar sebelum membanting pintu kamar.

Mimpi? Apa yang terjadi tadi malam hanya mimpi?

Tapi... Kenapa terasa begitu nyata?


Akhirnya Willem, Antonio, dan juga Rangga berhasil kembali ke hotel. Rupanya pulau terpencil, tempat yang semula mereka terdampar, masih merupakan satu pulau yang sama dengan hotel tempat mereka menginap. Bedanya, bungalow tempat mereka menghabiskan malam bersama terdapat di sisi barat pulau sementara hotelnya terletak di sisi timur pulau. Rupanya badai kemarin malam hanya membawa mereka memutari pulau.

Setelah berjalan selama satu setengah jam dan bertanya pada beberapa turis serta penduduk asli pulau mengenai keberadaan hotel mereka, sampailah mereka di hotel. Mereka bisa melihat Francis dan Gilbert berjalan berputar-putar di lobi dengan gelisah. Keduanya menanti kabar yang tak kunjung datang mengenai tiga teman mereka.

Tapi, ada satu sosok yang membuat Willem, Antonio, dan terutama Rangga mengerenyitkan kening penuh kebingungan. Sesosok pemuda berambut hitam ikal dengan mata cokelat yang sekarang sedang marah-marah dengan seorang penjaga pantai serta pengelola hotel.

Seorang pemuda yang mereka kenal betul sebagai adik Rangga.

"Razak?" panggil Rangga, bingung. Ia menghampiri adiknya yang masih bersitegang dengan para penjaga pantai dan juga pengelola hotel untuk segera mencari kakaknya yang hilang di laut. "Apa yang kau lakukan disini?"

Razak memutar tubuhnya dan menatap kakaknya dengan matanya membelalak lebar. "... Rangga...?" gumamnya, ragu kalau kakaknya yang telah hilang semalaman sekarang berdiri di depannya. "... Kau sudah kembali?"

"Ya. Ternyata aku tidak terdampar terlalu jauh dan—"

Belum sempat Rangga menyelesaikan kalimatnya, Razak memeluknya erat, menenggelamkan wajahnya di atas pundak Rangga. "Syukurlah!" seru Razak gembira. Ia semakin mempererat pelukannya pada pinggang Rangga. "Syukurlah kau tidak apa-apa!"

Rangga hanya tersenyum melihat sikap Razak. Wajar saja kalau ia khawatir. Ia juga pasti akan khawatir bila adiknya yang jatuh ke laut dan tak jelas kabarnya sepanjang malam. "Aku tak apa-apa, kok. Sungguh."

Razak menjauhkan tubuhnya dan menatap Rangga dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia menyadari kalau baju sang kakak sedikit lembab dari air dan sedikit bau laut. Mata cokelatnya kemudian melirik tajam ke arah Willem dan Antonio yang sekarang berdiri berdampingan sambil terus dibombardir pertanyaan oleh Francis serta Gilbert. "Kamu tidak diapa-apakan oleh mereka, kan?"

Mendengar pertanyaan Razak, tak terasa rona merah mulai nampak di kedua pipi Rangga. Ia masih tak yakin kalau kejadian tadi malam itu mimpi. Atau itu memang mimpi?

Razak yang melihat rona merah Rangga mulai naik pitam. "DUA ORANG BRENGSEK ITU MEMPERKOSAMU?" jeritnya kaget. Dicengkeramnya lengan Rangga dengan begitu keras. "Astaga, Tuhan! Ternyata aku sudah terlambat! Kau tahu, sewaktu aku membaca pesanmu kau akan pergi berlibur dengan EMPAT ORANG BRENGSEK ITU, aku segera menyusulmu. Aku takut kalau hal buruk akan terjadi padamu! Dan begitu aku sampai kesini, aku malah menerima berita dari si ALBINO SIALAN kalau kau jatuh ke laut bersama dengan DUA ORANG MENJIJIKAN itu! Dan sekarang kau membawa berita kalau kau DIPERKOSA OLEH MEREKA? Astagaaaa!"

Sebenarnya kata 'pemerkosaan' tidak benar. Pertama, tak satupun dari Willem atau Antonio memasukkan... kalian-tahu-apa-itu ke dalam kalian-tahu-apa-itu milik Rangga. Kedua, sejauh yang Rangga ingat, kejadian itu terjadi dengan suka rela. Tak ada satupun di antara mereka yang merasa dipaksa untuk berhubungan intim, termasuk Rangga. Agak sedikit memalukan untuk mengakuinya, tapi itu memang kenyataannya. Bahkan Rangga cukup menikmatinya. Kapan lagi ia bisa mendapatkan perhatian penuh dari dua orang super seksi di atas ranjang? Dan yang ketiga... Rangga masih tidak yakin kalau kejadian itu benar terjadi. Kejadian yang terjadi tadi malam terlalu nyata untuk disebut mimpi, tapi juga tak meninggalkan bukti apapun untuk bisa disebut sebagai kenyataan.

Mana yang benar? Mimpi, atau kenyataan?

Untuk sekarang, Rangga tidak mau ambil pusing. Ia lebih memikirkan nyawa Antonio dan Willem yang berada di ujung tanduk. Apalagi ketika ia melihat Razak mulai mendekati keduanya dengan tatapan membunuh.

Ya. Biarkan apa yang terjadi di dalam bungalow itu tetap misteri.

"KUBUNUH KALIAN!"

... Untuk sekarang, lebih baik Rangga segera mengamankan adiknya yang mengamuk, dibutakan oleh cemburu.

THE END


EPILOGUE

Willem dan Antonio berjalan berdampingan menuju kamar masing-masing. Wajah keduanya masih keruh setelah mengalami kejadian tadi di lobi. Siapa yang tidak kaget ketika melihat seorang pemuda mendadak marah-marah sambil mengancam akan membunuh keduanya? Tuduhannya pun tak kalah tolol, yaitu pemerkosaan. Seumur hidup mereka, tak pernah satupun dari mereka memperkosa siapapun atau apapun. Kecuali tuduhan itu diarahkan kepada Francis.

"... Kejadian tadi di lobi agak aneh, ya..." gumam Antonio sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal. "Mendadak ada Razak, dan ia langsung menuduh kita memperkosa kakaknya."

Willem hanya bisa mengangguk pelan dalam bisu.

"Padahal, seingatku Rangga tidak melawan waktu kita bertiga melakukan itu."

"Uuh... Dia mendorongmu dan aku menjauh dari tubuhnya."

"Hanya sekali, Willem. Hanya sekali. Dan begitu kau melanjutkan ministrasimu, ia kembali jinak."

Kembali anggukan pelan menjadi jawaban.

"Jadi... Agak melebihi batas kalau Razak bilang kejadian itu sebagai... pemerkosaan. Karena Rangga sendiri juga mau."

"Ya..."

Kembali keheningan menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara langkah kaki di koridor hotel yang sepi itu.

"Ngomong-ngomong, Antonio." Kembali Willem mengeluarkan suaranya. Mata cokelatnya masih enggan untuk memandang langsung sang detektif berambut cokelat. "Setahuku, kau sudah membuat Rangga... Kau tahu." Ia menggerak-gerakkan tangannya di udara, gugup.

"Oh."

"Ya, yang itu." Willem berdeham sebentar sebelum kembali melanjutkan. "Umm... Bagaimana bisa tempat tidurnya masih kering sewaktu pagi hari? Boxer-nya juga?"

"Kau ingat sewaktu aku mencari lagi selimut di dalam kamar dan malah menemukan handuk? Aku menggunakan handuk itu untuk membersihkan... kau tahu apa. Makanya, sepreinya masih bersih karena sudah kualasi dengan handuk itu."

"Dan handuknya?"

"Sudah kulempar ke luar bungalow sebelum Rangga menemukannya."

"Padahal kalau kau biarkan begitu saja juga tidak masalah..."

"Ya... Dan kita berdua akan benar-benar dibunuh oleh Razak. Paling tidak, kalau kita membuat itu seolah-olah tak pernah terjadi, tak ada alasan bagi Razak untuk membunuh kita. Aku menyelamatkan nyawamu, Will."

"... Kau benar juga..."

THE END


A/N : Hyaaaa... sampah dunia sekali endingnya. Maaf, yaa. Maaf banget. Uhuhuhu... Oiya, maaf juga kalo gak sempet bales review. Ntar kalo saya sempet, saya bales, deh. Hehehe.

Ada yang mau review? :D