Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Warning: AU, OOC, typos dan sederet kesalahan lain

Second warning: Crack fic!

.

.

"HINATA!" jerit Itachi.

Tubuh Gaara dan Hinata semakin melayang dan bergerak turun. Itachi terkulai lemas di tepi tebing. Ia tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi pada calon istrinya.

Syuut!

Olala! Sebuah parasut terkembang dari punggung Gaara, menyusul sebuah parasut cadangan.

"Wow!" Kata itu refleks keluar dari mulut Hanabi. "Gaara-nii keren!"

Hinata membuka matanya takut-takut saat merasa tubuhnya tak kunjung berbenturan dengan tanah. Ia membulatkan matanya takjub saat melihat pemandangan di bawahnya. Areal persawahan yang menyerupai karpet tebal, air terjun di sebelah kiri, lalu hijaunya pepohonan di sebelah kanan. Ini… luar biasa. Seperti inikah rasanya terbang?

"Menurutmu bagaimana?" tanya Gaara.

"I-indah sekali," jawab Hinata takjub.

Sayangnya semua hal menakjubkan yang disaksikannya harus terhenti dalam waktu kurang dari setengah menit. Singkat, tapi benar-benar pengalaman yang membuat adrenalin muncrat. Kiba dan Naruto sudah menanti mereka dengan mobil dinas mereka, VW kodok warna hijau kebanggaan Naruto.

"Hai." Oh, jangan lupakan Temari kawan! Ia bersama Shikamaru menanti mereka di sisi lain lokasi pendaratan Gaara dan Hinata.

"Ga-Gaara…" ucap Hinata perlahan setelah berhasil menormalisasi ritme pernapasannya.

Plakk!

Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi si bungsu Sabaku. Tetes demi tetes air mata mulai terlihat di sudut mata lavender itu.

Bloody hell! Aksi heroik begini kok dikasih tamparan sih? Padahal Gaara mengharapkan pelukan hangat atau ciuman di pipi.

"Ka-kau benar-benar kejam! Pe-pembunuh!" tuding Hinata.

"Aku memang pencuri, tapi aku bukan pembunuh! Ayahmu hanya akan pingsan selama dua belas jam," kata gaara, "Jadi sekarang beri aku pelukan agar kutahu kau milikku."

"Kau salah," setetes air mata kembali jatuh, "Aku milik Itachi."

Seketika itu juga emosi Gaara langsung menggelegak. Ya ampun! Dia sudah mati-matian seperti ini, masih saja tidak dihargai. Cih! Kenapa sih perempuan suka banget menyiksa diri. Padahal demi rencana itu, Gaara udah bela-belain nggak tidur, nggak makan bahkan nggak mandi.

Ya pantes aja Hinata ogah meluk, Gaar!

Daripada sakit hati lebih baik sakit gigi ini biar tak mengapa

Rela… rela… rela… aku relakan

Hape Kiba emang canggih. Tau aja backsound yang pas. Untuk melengkapi rasa sakit hati yang diterima, Gaara mengeluarkan sebungkus bunga dan menyerahkannya pada Hinata.

Emang sebungkus kok, bukan sekuntum. Buat hal-hal seperti ini, author se-a(w)sem Nerazzuri nggak akan salah ketik kok. Nyatanya emang isi bungkusan itu adalah mahkotabunga mawar merah dan putih kayak bendera Jepang. Bahasa paling simpe sih bunga tabur.

What?

Belum ngerti juga? Ckckck… indikasi nggak pernah nyekar ke makam nih.

Kembali ke tokoh utama di sini, Gaara memasang wajah sendu yang bisa banget menggerakkan hati para dermawan untuk menyisihkan sekeping koin lima ratus perak untuk si rambut merah ini. Barangkali wajah sendu nan eksotik Gaara mengingatkan mereka pada icon WWF berwujud panda imut.

"Kalau begitu, kembalikan hatiku," ucap Gaara.

Hinata terkesiap. Ia menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Sesekali matanya melirik bungkusan berisi mahkota bunga. Ia merasakan kekecewaan yang teramat dalam dari mata kekasihnya.

"Kau pencuri," kata Gaara, "Pencuri paling tamak yang kuketahui."

"Ka-kau yang pencuri!" elak Hinata.

"Kamu!" tuding Gaara, "Kau mencuri hatiku, tahu! Membuatku tak berdaya seperti ini. Kau juga mencuri separuh jiwaku, membuatku amat bergantung padamu. Seolah tak cukup, kau bahkan mencuri semua pikiranku. Kepalaku ini penuh dengan dirimu. Aku tak lebih dari orang tolol yang mengejar-ngejar cinta calon Nyonya Uchiha!" Kali ini Gaara benar-benar meledak.

"Ga-Gaara-kun…" Hinata menatap Gaara tak percaya. Antara tersinggung karena dituding sebagai pencuri dan rasa bersalah karena membuat Gaara terjatuh sedemikian dalam. "Maaf." Kata itulah yang akhirnya diucapkan Hinata.

"Kuterima maafmu hanya dengan cintamu," tukas Gaara dengan nada dingin.

"Gaara, kumohon mengertilah. Pernikahanku dengan Itachi tidak hanya melibatkan kami berdua. Sebuah pernikahan tentunya melibatkan dua keluarga. Tidak masalah jika aku batalkan pernikahan lalu keluarga Uchiha hanya membenciku. Tapi sungguh sulit bagiku membayangkan Uchiha membenci Hyuuga," jelas Hinata.

"Sesukamu saja. Pergilah kalau memang hatimu ada di sana," tukas Gaara.

Hinata tak menjawab. Ini jelas pilihan yang sulit. Jika hanya mengikuti kehendak hati, tentu ia sudah melompat memeluk Gaara. Ah, seandainya masalah ini tak berkaitan dengan Uchiha-Hyuuga, mungkin segalanya akan menjadi lebih mudah.

.

.

.

Itachi menatap selembar foto yang terpajang di kamarnya. Foto dirinya dan Hinata tiga tahun lalu, saat mereka belum memiliki ikatan apa pun selain. Kala itu, Hinata masih menganggapnya kakak karena memang gadis itu teman baik adiknya.

Segalanya mungkin takkan berubah andai ia tidak menyatakan cinta pada Hinata dan memulai status baru yang akhirnya dikukuhkan oleh ikatan pertunangan beberapa bulan lalu. Itachi masih menganggap semuanya baik-baik saja.

Sampai ketika Gaara menghancurkan semuanya.

Tidak.

Gaara tidak menghancurkan apa pun. Sungguh picik jika ia beranggapan begitu. Gaara justru memberikan tamparan keras padanya betapa selama ini ia lalai menjaga cinta Hinata. Bukan salah Gaara jika ia datang saat pertunangannya dengan Hinata rapuh.

Ya! Itachi sadar sepenuhnya. Ambisinya memberikan kehidupan yang layak untuk Hinata kini menjadi bumerang. Ia larut dalam ambisinya hingga seringkali melupakan Hinata yang tentu membutuhkan bukti konkrit bahwa cinta itu masih ada. Bukan salah Hinata jika ia tertarik pada pesona Sabaku Gaara yang begitu memikat.

Tapi… sanggupkah Itachi melepas Hinata agar meraih kebahagiaannya?

"Nii-chan." Suara Sasuke terdengar mengagetkan Itachi, "Hina-chan sudah kembali. Sebaiknya nii-chan ke sana untuk melihatnya."

"Apa dia baik-baik saja?" tanya Itachi.

Sasuke mengiyakan, "Neji bilang dia baik-baik saja. Temari dan adiknya mengantarnya pulang. Dia hanya sedikit shock."

"Aku akan melihatnya nanti. Kurasa Hinata ingin menenangkan diri dulu," kata Itachi.

Sungguh, kalimat itu lebih pantas Itachi tujukan untuk dirinya sendiri. Nyatanya dirinya lah yang masih merasa bimbang.

"Hai," sapaannya terdengar sedikit kaku saat ia mendatangi Hinata keesokan harinya. Gadis Hyuuga itu tengah menikmati teh sore harinya di balkon kamar bersama Hiashi. Pria berumur pertengahan empat puluh itu terlihat segar setelah insiden kemarin.

"Duduklah, Itachi." Hiashi bangkit untuk memberi kesempatan bicara untuk putri dan calon menantunya.

"Ji-san, setelah ini saya juga ingin bicara dengan ji-san," kata Itachi.

"Baiklah." Hanya itu reaksi Hiashi sebelum meninggalakan mereka.

Pandangan Itachi kini beralih ke arah calon istrinya. Sulit baginya untuk menerka bagaimana ekspresi Hinata saat ini. Raut wajah itu terlihat diliputi kebimbangan.

"Memikirkan Gaara?" Itachi tak percaya, kalimat itu meluncur juga dari bibirnya.

Hinata mendongak, membalas tatapan calon suaminya. Ia menghela nafas sebelum mejawab, "Tidak adil kalau aku bilang tidak."

"Benar dugaanku," kata Itachi, "Dan itu artinya, kita sudah kehilangan pondasi penting untuk membangun sebuah keluarga. Aku benci harus mengatakan ini, tapi kurasa aku memang harus melepasmu dari hidupku."

Hinata tak bisa memercayai pendengarannya. Benarkah… Itachi baru saja melepasnya?

"Ta-tapi…"

"Ini keputusan yang berat untukku. Ayahku sendiri pun menentangnya." Itachi menghela napas, "Anggap saja ini konsekuensi atas kelalaianku menjaga cintamu. Jadi sekarang, ku lepas dirimu. Jemputlah kebahagiaanmu, Hinata-hime," ucapan Itachi terdengar getir.

"Itachi-kun, be-benarkah itu? A-aku…"

Itachi membungkam Hinata dengan bibirnya sendiri. Satu tangannya merambat ke tengkuk gadis Hyuuga itu untuk mempermudah mencium Hinata. "Satu ciuman saja. Aku tak meminta lebih. Hanya sebagai bukti bahwa aku pernah singgah di hatimu," ucapnya di sela-sela ciumannya.

Hinata tak kuasa menolak. Kali ini saja, ia membalas ciuman Itachi. Bagaimana pun, Itachi juga pernah bertahta di hatinya.

.

.

.

"Udah deh, Gaar. Nggak usah lebay gitu. Kayak anak SMA putus cinta aja," tukas Kankuro. Sepertinya abang Gaara yang satu ini lagi amnesia, Gaara kan emang masih SMA. Ia hanya bisa ber-sweatdrop ria melihat Gaara dalam kondisi yang memprihatinkan. Memprihatinkan di sini nggak berarti Gaara ngabisin belasan botol vodka, tequilla, kahlua, f*nta, s*rite, coca-col*. Disebut memprihatinkan di sini karena Gaara meringkuk di pojok kamar, memeluk boneka shukaku, dengerin orkes patah hati plus mogok makan.

"Cewek di dunia ini nggak cuma Hinata doang, Gaar. Tinggal nyari cewek lain apa susahnya sih?" tukas Kankuro.

Bletak!

Satu jitakan gratis diterimanya dari Temari.

"KANKY! Payah banget sih. Cinta mana bisa diatur-atur seenak jidat begitu. Ngertiin dikit dong, Gaara kan cuma cinta sama Hinata," gerutu Temari.

Kankuro menggerutu. Ia melayangkan pandangan yang kurang lebih bermakna 'nggak-usah-jitak-juga-kali'. Tapi dasar Temari kurang peka, ia justru berkata, "Gimana sih. Kamu kan yang udah nikah. Kirain lebih pengalaman, ternyata malah lebih parah."

"Berisik!" protes Gaara keberatan.

KankuTema saling sikut dan memandangi jelmaan panda berambut merah itu. Sedikit merasa bersalah karena mengganggu semedi Gaara. Disaat seperti ini, kemana perginya Naruto dan Kiba sih? Seenggaknya kalo ada mereka, bisa sedikit menghibur Gaara yang gundah gulana.

"Gaara!" Panjang umur banget. Naruto muncul di ambang pintu. Wajahnya berseri-seri kayak orang menang lotre. "Hyuuga Hinata dan Uchiha Itachi…"

"Jangan sebut-sebut nama itu lagi!" sambar Gaara dengan cepat.

Naruto mengerjap-ngerjapkan matanya. "Beneran nih? Padahal berita bagus untukmu lho. Hinata udah jomblo. Kalo kamu nggak mau, ya udah buat aku aja."

"UAPPA?" Gaara berteriak dengan sangat out of character.

"Tuh kan. Makanya dengerin dulu," kata naruto, "Uchiha Itachi baru aja mengumumkan pembatalan pernikahan mereka." Naruto mengacungkan sebuah tabloid ibukota yang memajang ItaHina sebagai sampul muka.

Gaara mengernyit melihat judul tabloid yang klise abis. ITAHINA LAST KISS: Perpisahan yang Romantis. Cepat-cepat direbutnya tabloid itu untuk membaca isinya. Tak sampai lima menit, ia sudah beranjak pergi.

Kankuro, Temari dan Naruto hanya bisa cengo melihat perubahan sikap Gaara yang terbilang cukup drastis. Sementara yang bersangkutab udah lari menyambar kunci mobilnya. Mudah diduga,si Sabaku yang lagi dijajah feromon ini mau nyamperin kekasih tercintanya.

Dalam waktu kurang dari setengah jam, ia sampai di fashion show yang diperkirakannya dihadiri oleh Hinata. Entah karena emang jodoh atau karena ada campur tangan dari salah satu author fanfiksi, mata sehijau pete Gaara menangkap siluet Hinata yang kali ini tengah memeragakan busana musim dingin.

Ah, kapan sih Hinata nggak terlihat cantik di mata Gaara? Pakai baju apa pasti cocok. Nggak pake baju apalagi. Gaara nyaris nosebleed membayangkan pemikirannya yang terakhir. Arrgghh… bergaul dengan Naruto ternyata menularkan virus-virus hentai juga ternyata.

Gaara menyelinap ke dressing room. Tujuannya jelas untuk menemui sang pujaan hati.

"Hinata, aku…"

"Kyaaa! Hentai!" Bukannya dapat pelukan hangat, Gaara justru disambut hantaman tas, sepatu dan kawan-kawannya. Pelakunya jangan ditanya. Sudah pasti rekan-rekan seprofesi Hinata. Satu pelajaran penting buat Gaara. Jangan sekali-kali masuk dressing room tanpa permisi. Akibatnya ya begini.

Untungnya Hinata segera tanggap. Ia melangkah keluar untuk menemui Gaara.

"Gaara-kun, kau datang untuk menemuiku?"

Nggak, Hin. Gaara datang untuk memelukmu, menciummu, meraepmu, me… baiklah, baiklah. Tidak usah disebut satu persatu inner Gaara. Toh, kenyataannya si bungsu Sabaku malah speechless di depan Hinata.

"Sekarang udah bisa jadi pacarku kan?" Untunglah ia masih bisa berkoar.

"Aku…"

"Aku nggak terima jawaban nggak mau!" potong Gaara.

"Y-ya, Gaara-kun. Aku…"

Satu pelukan erat diterima Hinata. Tersangkanaya sudah pasti Sabaku no Gaara. Ia tak menolaknya. Toh, ini juga yang diinginkan Hinata. Menikmati cinta tanpa sebuah gerilya. Dan inilah lembaran pertama kisah cinta mereka. Sebuah awal yang baru bagi mereka berdua. Semoga suatu saat nanti, Tuhan benar-benar mempersatukan mereka.

"Ga-Gaara-kun, ka-kau belum mandi, ya?"

Sungguh sebuah pertanyaaan jujur yang merusak suasana.

.

.

Omake

"Haah… sudah kuduga akan jadi begini." Kiba melipat tabloid yang dibawa Hanabi. Kisah cinta Gaara-Hinata menjadi headline berbagai pemberitaan di media. Memang menimbulkan pro dan kontra, tapi pasangan ini siap menghadapinya.

"Tapi aku senang Gaara akhirnya punya pacar," ucap Kiba, "Aku kapan ya?"

Di sofa tua yang sudah agak lapuk dengan cover warna hijau, Hanabi menjerit dalam hati. Rasanya ia ingin menunjuk dirinya sendiri, tapi mengingat ia seorang perempuan Hyuuga dengan gengsi setinggi lapisan eksosfer bumi, sudah pasti ia takkan melakukannya.

"Makanya nyari dong. Nggak usah jauh-jauh deh." Naruto melirik Hanabi, "Jaman sekarang punya pacar yang tsundere sepertinya menarik, ya."

"Siapa yang tsundere?" Hanabi berjengit, "Aku tidak tsundere."

"Eh, kamu naksir Hanabi, Nar?" tanya Kiba kaget.

"Gundulmu," sambar Naruto, "Kecenganku tuh moe banget tau. Agak tsundere sih emang. Tapi disitulah tantangannya. Dapetin cewek itu jadi menarik kalo ada tantangannya. Coba aja liat Gaara."

"Membicarakan aku?" Gaara muncul di ambang pintu. Ia sengaja datang untuk bernostalgila dengan dua temannya. Kiba langsung terlonjak gembira saat melihat kaset-kaset Maggy Jet dan Rhoma Kelapa di tangan Gaara.

"Yeah! Dangdutan, Gaar? Asyik aye!"

Gaara mengangguk sebelum akhirnya tos bareng Kiba. Naruto cuma geleng-geleng kepala. Daripada dangdutan, mending nonton Ultraman aja deh. Si rambut duren ini bergumam lirih di dekat Hanabi, "Sedikit agresif tidak akan membuatmu jadi gadis nakal, Hanabi. Kecenganmu itu memang nggak peka, jadi kau yang harus berusaha. Ngerti?"

"O-oke," ucap Hanabi gugup. Sungguh, malu banget ternyata perasaannya diketahui Naruto.

Yah, namanya cucunya novelis romansa. Wajar saja kan? Yah, mungkin saja Hanabi bisa belajar banyak padanya. Kalau perlu minta dibikinin panduan 100 cara mendekati Kiba.

.

.

Owari

.

.

Thank's to: ichsana-hyuuga *Bukan pistol mainan kok. Pistol beneran, tapi pakai peluru khusus. Pernah nonton xXx-nya Vin Diesel? Pelurunya kira-kira seperti di film itu*, kyu's neli-chan *Ah, iya. Gomen atas ketidaknyamanan itu. Saya berusaha memperbaikinya di chapter ini*, Himeka Kyousuke *Udah tau jawabannya kan, Hime-chan?*, Zaskey-chan, Zialicious *Imouto-kun, kau utang fic sama Mas Aa mu ini lho*, Dhinie minatsuki amai, Lollytha-chan, Ai HinataLawliet, Azalea Ungu, Marineblau12 *Ah, iya. Emang saya contek dari mereka kok #kicked by America n Prussia*, Kazuki NightFlame47 *Kazuki-san nggak telat kok* , attachan , L. Riona, mayraa, Park Hye Lin, uchihyuu nagisa, OraRi HinaRa, Asha BlackAngel, Thi3x, Rena Shimizu, dan Mei Ana27 *salam kenal juga ^^*

Akhirnya… fic ini selesai juga. Terima kasih untuk yang sudah meluangkan waktu untuk mengikutinya. Sungguh, sebuah penghargaan untuk saya mendapatkan atensi dari kalian semua dalam bentuk review, favorite dan alert. Maaf kalo endingnya hanya begini.

Soal peluru dan pistol itu, saya contek dari xXx-nya Vin Diesel. Ada yang pernah nonton filmnya? Fil action kok, bukan yang ehem ehem. Dan soal bunga tabur itu, juga saya ambil dari Ryuzaki Toph a.k.a cakeberry-senpai. Gomen senpai, saya main comot aja tanpa bilang-bilang dulu.

Nggak keberatan kan kalo saya minta review?

Molto grazie