Di antara hujan kau berjanji ke padaku
Di antara hujan—kau mengingkari janji itu
Dan, di antara hujan—
Kau pergi meninggalkanku..
.
.
.
Black Abyss Present
A PANDORA HEARTS FANFICTION
DISCLAIMER: Jun Mochizuki
[ The Name I Loved – SHINee ]
[ hujan menjadi saksi segalanya ]
Story: THE NAME I LOVED
© BloodStained B-Rabbit
Warning(s): OOC. AU *full* OOW. Death chara. Semi-poetry. ABAL-GAJEness.Typo (jaga-jaga) misstypo (jaga-jaga)
Fic yang terinspirasi dari lagu SHINee – The Name I Loved, meskipun sebenarnya tidak nyambung dengan artinya!
DON'T LIKE? DON'T READ!
.
.
.
Retrace 1: Prologue
Hujan mengguyur kota Tokyo dengan deras. Tidak berhenti. Hujan sama sekali tidak berhenti untuk berbagi air bening miliknya. Hujan yang terbilang deras ini membuat kota Tokyo terselimuti oleh embun dan hawa dingin yang sangat menusuk kulit.
Kau berdiri di depan salah satu pintu café—kau berusaha untuk mencegah hujan mengenai pakaianmu dengan cara berteduh dari rinai hujan, tapi percuma, pakaianmu tetap basah karena hujan. Kau hanya diam termangu menatap tiap titik air hujan yang turun dari atap café itu. Dingin. Cuaca yang terbilang tidak bersahabat kini mencekik tubuhmu dengan hawa dingin—membuat kau berupaya untuk mengingkar hawa dingin itu dengan memeluk dirinmu sendiri. Gigimu bergemelutukkan tak berhenti. Sekiranya, memeluk tubuh sendiri bisa menyingkirkan hawa dingin yang menggerogoti tubuhmu sendiri.
"Kapan hujan berhenti? Sudah jam empat, nih." gumammu sambil memasang wajah khawatir. Kau khawatir jika nanti kau pulang terlambat—memasuki waktu malam. Pulang di malam hari? Ya, kau pasti akan dipukuli lagi oleh Ayahmu jika kau pulang larut. Matamu menerawang jauh menatap jalan yang kosong akan pejalan kaki, namun masih diramaikan dengan pengendara mobil maupun motor.
Kau memejamkan matamu sejenak—menikmati hawa dingin hujan. Kau kemudian membuka ponsel flip-flop milikmu. Matamu meneliti setiap list contact yang tertera di layar ponsel milikmu. Jemarimu ingin menekan tombol call pada salah satu kontak yang ada, namun niatmu kau surutkan. Kau tidak ingin mengganggu siapapun yang mungkin sekarang sedang menikmati secangkir hot chocolate dan bersandar di depan perapian untuk menghangatkan diri.
"Ng," kau mendesah kesal. Perasaan bosan melanda dirimu. Hanya dengan melihat hujan yang turun membuatmu kesal sendiri. "Membosankan," gerutumu.
"Eh? Benarkah?"
Kau membulatkan iris violet –mu—kaget. Kau mencari asal suara yang sepertinya berbicara dengan sosok dirimu. Kau kemudian membuang muka begitu melihat sosok pemuda berambut emas dengan mata green-turqoise melangkah keluar dari dalam café tempatmu berteduh.
"Kau bilang membosankan? Apakah melihat hujan membuatmu bosan? Padahal itu 'kan adalah kejadian alami yang hebat." ungkapnya. Kau dibuat bosan dengan ungkapan pemuda itu. Ucapan pemuda itu dapat membuktikan jika dia tergolong manusia kutubuku.
Kau hanya mengernyikan dahi—pertanda jika kau kurang mengerti akan apa yang dia bilang. Terlalu puitiskah? Tidak. Ucapan pemuda itu tidak tergolong puitis, hanya saja kau malas untuk menguras otakmu sendiri.
"Di luar dingin, lho! Kau tidak mau masuk ke dalam?" tanyanya agak khawatir. Kau sedikit terbelalak mendengarkan ucapan pemuda itu, namun—hatimu mengatakan agar tetap berada di luar. Menikmati rinai hujan yang mengguyur Tokyo.
"Tidak. Hujan ini terlalu indah," gumammu tanpa melepaskan matamu dari guyuran hujan. Kau menikmati setiap irama yang ditumbulkan oleh hujan itu. Berisik, namun menenangkan.
Kali ini pemuda itu yang mengernyitkan dahi. Dia tidak mengerti apa yang kau ucapkan kali ini. "Apa maksudmu? Indah?" tanyanya. Kau hanya mengangguk.
"Di Tokyo jarang terjadi hujan. Yang banyak adalah musim panas, semi dan dingin tanpa hujan." jawabmu. Wajahmu benar-benar menandakan kalau kau menikmati irama tak beratur yang disusun hujan. "Menyenangkan. Sebuah irama yang tidak teratur, namun—membuat perasaan kita meluap-luap. Aku suka hujan," lanjutmu. Terdengar seperti curahan hati darimu, sedangkan pemuda itu mulai tersenyum.
"He.." dia berjongkok, "Begitukah? Tapi tidakkah kau tahu, kalau hujan itu melepaskan kepergian seseorang?" mulai mengikutimu, dia juga terlihat mulai menikmati alunan musik yang dibuat oleh hujan yang turun tanpa henti. "Yaah, aku baca di buku, sih!" lanjutnya terkekeh.
"Tidak." kau menjawab singkat. "Setiap detik dan di setiap waktu pasti akan ada nyawa yang pergi meninggalkan raganya. Tanpa hujanpun, kita akan mati juga," desismu. Kau mulai merasa kalau kau seperti sedang beradu kecerdasan dengan pemuda itu.
"Benar juga, sih," pemuda itu terkekeh, "Tapi.. bukankah hujan dapat turun di musim lain juga? Hujan turun untuk menangisi kepergian orang yang dikenal baik—yah, dibuku yang kubaca, sih begitu.." ungkapnya dengan tatapan kosong.
Kau mengernyitkan dahi. Kau mulai kesal dengan pemuda yang berada di sampingmu itu. Ungkapannya yang menurutmu takhayul membuatmu ingin segera untuk meninggalkan tempat itu, namun sayang sekali, tidak ada lagi tempat berteduh selain di café ini.
"Huh, kau percaya cerita takhayul? Memalukan sekali," ejekmu dengan tatapan sinis. Pemuda itu menatap manik violet milikmu lekat-lekat—seakan-akan dia ingin kau membaca apa yang dia pikirkan sekarang. Dia menatapmu dengan dalam, menyebabkan darahmu mengalir kencang hingga membuat wajahmu memanas sendiri. Kau salah tingkah.
"Tidak juga," balasnya yang kembali melemparkan pandangannya menuju ke hujan. "Aku tidak mempercayainya sebelum aku mengalaminya dan membuktikannya sendiri." ucapnya sambil memainkan tetasan air hujan. Dia menikmatinya. Segala titik hujan yang turun terlihat dia nikmati dengan perasaan senang dan takjub. "Ah, maaf aku lupa tanya, siapa namamu?" tanyanya ke padamu.
Kau beralih menatapnya. Sebuah pertanyaan memaksamu untuk menguluarkan jawaban dari bibirmu. Kemudian kau kembali menatap hujan, "Alice." jawabmu singkat.
"Namaku Oz Vessalius, salam kenal, ya, Alice!" dia berdiri dan menghadapkan tubuhnya ke padamu. Kalian berdiri saling berhadapan di antara hujan. Hujan. Hujan seakan-akan menjadi saksi pertemuan kalian saat itu—di tengah rinai hujan. Hujan yang menimbulkan melodi hangat maupun menyentuh hanya membisu dan tetap terdiam memperhatikan kalian. Atmosfir seakan-akan dikendalikan oleh pertemuan kalian ini. Seakan-akan pertemuan kalian ini adalah takdir untuk kalian masing-masing.
Merasa bosan, kau berpaling dan tetap menatap hujan—namun di sudut matamu, kau memperhatikan lika-liku pemuda berparas tampan itu. Setiap detik berlalu dengan senyumannya yang hangat. Sampai-sampai kau mulai merasakan kehangatan jika melihat senyumannya itu. Nyaman. Hingga kau mulai tidak ingin melepaskan pandanganmu dari senyumannya.
"Ah, hujan sudah berhenti!" serunya. Kau mulai sadar dari lamuman sementaramu. Hujan telah berhenti dan kini berubah menjadi gerimis kecil. Sudah saatnya kau dan dia berpisah dan kembali ke kediaman kalian masing-masing. Tapi entah mengapa, kau mulai merasa sedih.
"Yah, aku mau pulang," kau berlalu meninggalkan sosoknya. Di depan café itu, kau meninggalkan dirinya—membiarkan dirinya sendiri dalam gerimis hujan.
"Ya! Nanti kita ketemu lagi, ya, Alice!" serunya. Kau tidak berbalik padanya, namun indra pendengaranmu dapat menangkap suaranya. Sedikit berharap. Itulah yang kau dengar dari ucapannya itu. Kau sedikit tersenyum, namun tetap memunggungi sosoknya yang tidak lelah melambaikan tangannya ke padamu.
Mulai hari ini, hidupku berubah karenanya..
+ THE NAME I LOVED +
Dua hari berlalu. Hujan yang sebelumnya setia menemani kota Tokyo kini berubah dan berganti dengan langit cerah yang berselimut dengan awan berwarna putih suci. Cerah. Tidak ada tanda-tanda jika hujan akan kembali bercengkrama dengan kota Tokyo lagi.
Kau berjalan di sekitar trotoar jalan. Langkah kakimu membawa tubuhmu hingga sampai ke salah satu toko di kota. Berbagai aksesoris gadis terpajang di dalam tokoh yang menjadi sumber pengamatanmu itu. Kau menginginkannya. Ya, kau menginginkan semua aksesoris mungil dan cantik itu. Alangkah menyenangkannya jika kau memiliki semua barang manis itu. Pikirmu. Pikiran itu selalu muncul saat kau menemukan segala bentuk aksesoris gadis.
Matamu masih terpaku menatap toko yang memamerkan berbagai aksesoris gadis itu. Toko itu seakan-akan menggoda dirimu agar kau dapat masuk dan memborong semua barang yang dijajahkan di toko tersebut, namun kau bukanlah gadis gampangan. Meskipun semua toko di dunia ini menggodamu dengan berbagai diskon yang mencapai delapan puluh persen sekalipun, kau tidak akan tergoda—meskipun sebenarnya kau menginginkannya. Kau seperti ini—egois. Itulah kau. Semua kecuekanmu itu kau dapatkan dari lingkungan tempat hidupmu sendiri. Lingkungan yang membuatmu frustasi hingga hampir gila dan bunuh diri.
Sepatu milikmu menggesek aspal yang berdebu. Kau kemudian memilih untuk duduk bertengger di salah satu kursi di sebuah taman. Kau duduk dan menikmati oksigen yang disumbangkan oleh berbagai jenis pohon di sana—terlalu lelah dirimu menerima berbagai gas kotor dari pabrik-pabrik besar di kota besar ini. Gas-gas kotor yang hanya mengganggu pernapasanmu.
"Taraaa! Mau soda?" seseorang menyodorkan sebuah minuman kaleng untukmu. Kau masih terdiam. Kau sangat malas untuk meladeni orang yang sepertinya akan mengganggu acara pertukaran oksigen antara kau dan pohon besar yang berdiri kokoh di dekatmu. Namun, setidaknya kau harus meladeninya, untung-untung kau dapat gratis minuman kaleng.
"Kau?" kau tersentak kaget. Seorang pemuda berambut emas yang telah bertemu denganmu dua hari yang lalu muncul dan mengambil tempat tepat di sampingmu. Dia tersenyum alias cengar-cengir ke padamu. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyamu ketus, namun kau menerima minuman kaleng yang dia sodorkan padamu.
"Eh, aku suka ke sini, kok! Setiap hari malah!" jawabnya cengesan, sedangkan kau hanya ber'oh' ria saat mendengarkan jawabannya.
"Begitu." kau meneguk minuman kaleng yang dia berikan padamu. Habis. Minuman kaleng yang berukuran sebesar kepalan tangan itu kau habiskan dalam sekali teguk. Cuaca yang kali ini terasa menyengat memang membuatmu dehidrasi. "Arigatou, Oz Vessalius." ucapmu seraya berterima kasih. Ucapan terima kasihmu yang terdengar tulus itu sukses membuat wajah pemuda beriris green-turqoise itu menjadi merah.
Sedikit senang karena kau masih menghafal betul namanya, pemuda itu—Oz Vessalius menghela nafas ringan. "He, kau beru ke sini, ya?" tanyanya. Kau sedikit menaikkan sepasang alis milikmu—heran. "Yaaah, aku selalu ke taman ini setiap pulang sekolah, tapi aku baru melihatmu, tuh!" lanjutnya sambil meregangkan sedikit tangannya yang mungkin terasa pegal itu.
"Begitulah. Aku tidak pernah berbaur dengan aroma kota," jawabmu dengan tatapan kosong. "Bukannya aku anak yang baru tinggal di kota, sih, tapi aku tidak pernah sekalipun menyinggahkan diriku di kota. Aku lebih memilih di rumah saja." kau berucap kaku. Kau memang tidak terlalu cakap dalam hal 'berbohong', hingga pemuda itu dapat menebak jika kau berbohong ke padanya.
"Bohong." ucapnya yang berhasil membaca kebohongan yang kau bangun sendiri. "Kau berbohong 'kan, Alice?" tanyanya. Alice? Pikirmu saat kau menerima tatapan fokus darinya. Baru pertama kalinya ada yang menyebut namamu sendiri. Nama yang bahkan jijik diucapkan oleh kedua orangtuamu yang tidak mengingkan kelahiranmu di dunia ini—yang menganggap jikalau kelahiranmu adalah malapetaka buatnya yang meninggalkan dunia karena keselamatan hidupmu.
Wajahmu merah morona. Kau mulai merasa takut dan rapuh sendiri. Setidaknya satu orang saja yang menyebut namamu dengan lembut membuatmu seperti di ambang mimpi indah.
"Menjijikkan." ungkapmu yang menatap sinis pemuda berambut emas itu. "Tidakkah kau merasa jijik jika menyebut nama itu?" tanyamu. Manik indah violet –mu memandang penuh kesedihan di setiap lekukan pemuda berparas tampan di sampingmu ini.
"Menjijikkan? Tidak. Nama itu adalah ungkapan dan do'a yang orang tua persembahkan untuk kita. Karenanya, sejelek apapun nama yang kita punya, setidaknya do'a orang tua yang memberikannya ke pada kita adalah keunggulan tersendirinya." dia menjelaskan panjang lebar. Memang benar, nama adalah do'a dari orang tua yang melahirkan dan membimbing kita, namun—
—tidak untuk orang tua yang menyanggah do'a dari nama itu.
Kau merasakan hujan tersendiri yang melanda dirimu. Dari sudut matamu, terlihat hujan kecil yang melukiskan segala penderitaanmu. Kau merasa dipermalukan oleh pemuda di sampingmu itu. Hanya dengan satu penjelasan darinya, kau mulai ambruk dalam kesepianmu selama ini.
Sedikit demi sedikit matamu mulai basah. Kau menangis. Dinding ketegaran yang selama ini kau bangun agar kau tidak terluka akhirnya dihancurkan dengan mudah olehnya.
Tenggelam dan semakin tenggelam. Kau mulai hanyut dalam kerapuhamu. Terlalu tegar. Selama ini kau terlalu tegar hingga hatimu membeku dan hancur perlahan-lahan dengan sendirinya. Ingin rasanya kau menendang pemuda yang berada di sampingmu itu dengan sepatumu, namun—kau tak tega. Mana mungkin kau mampu menyakitinya yang merupakan satu-satunya orang yang menyebutkan satu kata saja—yaitu namamu. Alice. Nama yang dikatai dan ditatap sinis oleh orang tuamu sendiri.
"Hei, hei, kau kenapa, Alice?" tanyanya sedikit khawatir. Kau hanya terdiam dalam tangismu. Matamu memerah dan mulai kosong. Kau mulai merasa kalau pemuda di sampingmu itu—istimewa.
GLUDUK! GLUDUK!
Langit yang tadinya cerah kini mulai berwarna kelabu. Berbagai titik air hujan mulai kembali menghampiri Tokyo dengan santainya. Meski hujan, kau masih tetap duduk mematung di taman itu—tentu saja dengan pemuda berambut emas tampan itu.
Semakin deras. Hujan yang turun semakin deras hingga pemuda itupun tidak mampu untuk membedakan yang mana air matamu dan yang mana air mata langit. Terlalu sulit dibedakan, hingga pemuda itu merengkuh dirimu dan memasukkanmu ke dalam dekapannya. Kau sedikit terbelalak, namun kau menikmatinya. Di antara hujan yang menyebabkan suhu menjadi menurun itu tidak dapat kau rasakan lagi dampaknya. Kau hanya terdiam dalam dekapannya yang hangat. Di sela-sela dekapannya, kau dapat merasakan deru nafasnya yang hangat—memecah melodi hujan yang memburu waktu. Semuanya dapat kau rasakan, hingga merasuki seluruh aliran darahmu. Deru nafasnya, suaranya dan bahkan kehangatannya dapat membuat jantungmu berdegup dua kali lebih kencang. Kau menyayanginya? Tentu. Sebuah pertemuan singkat, namun dapat menarik perhatianmu yang merupakan gadis penyendiri ini.
"Alice," dia berbisik di telingamu. Nafasnya yang hangat membuatmu sedikit termangu dalam utopiamu sendiri. "Aku tidak tahu apa yang membuatmu seperti ini, tapi—bagaimanapun, aku sangat suka namamu itu.." lagi. Kali ini ini dia berhasil membuat wajahmu merah padam. Hatimupun yang terus terselubungi awan kelam kini mulai berisi pelangi yang indah. Pelangi yang turun setelah hujan berhenti mengguyur suatu wilayah dan digantikan nantinya oleh langit yang cerah untuk kisah baru, yaitu cinta.
Terhanyut. Kau terhanyut dalam dekapan itu. Kau tidak memberontak sedikitpun seperti yang biasa kau lakukan saat orang tuamu menyentuh setitik saja ujung jarimu. Yang kau lakukan hanyalah ikut mengangkat tanganmu dan membalas pelukan hangatnya. Hal yang sangat tidak pernah kau dapatkan maupun sangat nihil untuk kau raih.
Masih dalam kehanyutan, pemuda itu melepaskan dekapannya darimu. Kau merasakan ada yang hilang saat dia melepaskan pelukannya darimu. Kehangatan. Ya, kau seakan-akan kehilangan kehangatan yang menjadikan hatimu kembali diguyur hujan.
Melepaskan pelukannya bukan berarti dia meninggalkanmu. Kau menatap manik green-turqoise miliknya, begitupula dengannya yang juga menatap dalam manik violet indah milikmu. Seakan-akan kau dan dia terhanyut dalam beningnya keindahan bola mata milik kalian. Dan kau mulai merasakan nafasnya yang mulai menyentuh pori-pori kulit wajahmu sendiri, dan tanpa kau duga sedikitpun, dia menciummu.
TBC
A/N: Fic GAJE abisss! Romance garing dan hancur! *jedukin kepala* Maaf kalau yang keluar lagi-lagi fic GAJE ala Nona B-Rabbit ini T.T *ditendang*
Yay! Memang fic ini hancur benar, tapi entah kenapa saya kepingin publish dif fn ^^ *smile*
Um.. pendaftaran reviews di buka! XDD *plak!* maksudnya terima masukan dan kritikan kecuali flame -_-
.BloodStained Black Rabbit.