Disclaimer: Naruto and all of its character belong to Masashi Kishimoto, i dont take any material profit from it.

Warning: chapter 2 ditulis 2tahun setelah chapter 1. Jadi gaya penulisannya pasti agak jomplang. Saya udah sebisa mungkin memiripkan dengan gaya saya nulis dua tahun lalu, tapi masih beda banget. Mohon maaf untuk itu. orz

.

"A-aku menyukai Sasuke-kun. To-tolong jauhi d-dia. Tentu kau ma-mau, kau kan sahabatku. Bukan b-begitu, Sakura-chan?"

.

.

WATEPAK!(baca: what the fuck!)

.

.


Roman Picisan

Oleh LuthCi


Pagi cerah, banyak awan di langit dan senyuman di bibir. Oke, pagi ini diawali dengan sangat baik. Sekolah dengan mood ini sangatlah membantu dalam menyerap pelajaran. Belum lagi nanti akan di awali dengan kelas dari Kakashi-sensei, si guru ganteng namun hijau-jrenk-jronk-jrenk itu. Oke, tenang wahai Sakura, harimu kini akan berjalan dengan sangat lancar. Lupakan insiden kemarin, lupakan manusia bernama Sasuke Uchiha. Ayolah, kau bahkan sudah lupa nama pemuda Sasuke Uchiha itu!

Krik.

Bodoh, bagaimana bisa kau bilang kau lupa padahal kau menyebutkannya?

Hh, ya sudahlah, yaa. Terima saja nasibmu, diriku tercinta. Kau jatuh cinta pada pemuda yang salah.

Aku melangkah dengan santai (kalau tidak ingin dibilang segan). Faktanya, aku melangkah dengan menyeret kakiku paksa. Oke, cerahnya pagi, awan di langit, dan senyuman di bibir sama sekali tidak dapat merubah mood-ku yang kacau ini, s-s-s-s-s-s-samsek (berasa nge-rapp ).

Kalau aku bisa gelundungan ke dalam kelas, akan aku lakukan, karena aku benar-benar malas berjalan.

"Sakura."

Ohsmyshithellzhajfgrectnym.

Bulu kuduk-ku berdiri. Tanpa harus menoleh aku pun tahu siapa yang memanggilku, siapa lagi kalau bukan pemuda yang aku lupa namanya itu, ya dia adalah Sasuke Uchiha. Tanpa basa-basi (anggap kalimat sebelum kalimat ini tidak ada dan anggap pernyataan dalam tanda kurung ini tidak ada) aku berlari menjauh dengan cepat.

Wuzzzzzzzz!— suara kecepatanku saat berlari.

(Tunggu, emang ada suaranya? Oke, ini tidak penting)

Setelah memastikan sudah cukup jauh dari Sasuke dan tak dapat terlihat-terjangkau-tersentuh-terdengar oleh Sasuke, aku segera merapatkan diri pada tembok terdekat.

Yak, Sakura. Angkat kedua tanganmu, saatnya kita garuk tembok.

Grrrrrrrrk!—suara tembok kugaruk.

Duak duak!—suara yang keluar saat aku headwall (iya, headwall, adiknya headdesk)

Oke, Author-chan, sepertinya dua kalimat di atas itu tidak penting.

Lari dari Sasuke pagi hari itu sangatlah menyesakkan. Rasanya bagaikan naik hiu sirkus raksasa, terbang ke lapisan awan ke tiga, dan dan—

stop. Fiksi ini bukanlah sebuah fiksi kerja sama antara sang Author-chan dengan produsen kopi manis instan.

Intinya, rasanya ingin mati saja.

Kau tahu, Sasuke justru sangat tampan ketika pagi hari, di mana dia masih bersih karena baru mandi, dan bukannya saat siang-siang panas saat dia berkeringat karena matahari yang menyengat. Walau aku tidak menolak sama sekali jikalau Sasuke yang berpeluh itu mau memelukku. Ayolah, keringat badannya bahkan sangat cantik, setidaknya jauh lebih cantik dibanding keringat anak-anak kelasku lainnya yang bau itu.

Aaaaa! Mamaaa! Aku jatuh cintaaa!

Tapi mengapa pemuda yang aku sukai malah disukai oleh—

"Sa-Sakura-chan?"

"—HINATA!"

Aku menoleh dengan cepat menatap Hinata. Tanganku dengan cepat menghapuskan darah di kepalaku karena headwall yang tadi aku lakukan. Oke, lebay. Aku hanya menghapuskan peluh (halah) keringat di kepala.

Keringat dingin.

Bahkan kini keringatku dingin sekali, bahkan bahkan bahkan (no typo) kini di mataku Hinata lebih menyeramkan di bandingkan Sumantoe (nama disamarkan sedikit) si pemakan manusia dari negara yang ada di Asia Tenggara itu.

"A-ano, maaf mengganggumu pagi ini, tapi aku ingin meminta tolong sesuatu." Hinata terlihat gugup dan memainkan kedua jarinya.

"Mi-minta tolong apa?" tanyaku ikut-ikutan gugup.

"A-ano, nanti siang aku ingin menyatakan cintaku p-pada Sasuke di kantin. Bisa kau menemaniku?"

AJEGILE! KANTIN?

MAMAMAMAMMAMAYUKERO—

"—HAH?" Aku berteriak sekencang mungkin, untung saja koridor sepi sehingga tidak ada yang memelototiku sampai mati. "Na-nanti siang? Ka-kau yakin?"

"Hu-uh, te-temani aku y-ya... a-aku malu kalau sendirian," ucap Hinata dengan kepala tertunduk malu.

Aduh, Hinata, kau malu, kan? Kalau malu ya gak usah sekalian—Sak, itu jahat.

"Ngg..."

"Ka-kau mau, kan?" Hinata mendongakkan kepala, menatapku dengan mata penuh harap. Hey, diriku yang ketiban sial, Hinata temanmu, kan? Kau tega meninggalkan dia, hah?

"Ino?"

"Ino ju-juga menemaniku, aku butuh kalian berdua sekaligus agar berani... maaf merepotkan." Hinata menunduk dalam menambahkan rasa bersalah dalam hatiku kalau tega menolak.

"Err... baiklah," ucapku yang tiba-tiba segera dipeluk Hinata erat.

"Aku tahu kau memang sahabatku, Sakura-chan."

...yeah... sahabat, sahabat yang sakit hati—

—ingatkan aku untuk menggali kubur sendiri sepulang sekolah, lalu menyemplung ke dalamnya.

.

.

Aku berjalan dengan langkah gontai, terseok-seok seperti suster ngesot. Mari berdoa tidak ada satpam yang akan menendangku sampai ompong. Ha... ha.. lucu kau, Sakura. Bukan satpam yang menendangmu, yang menendangmu justru adalah takdir. Tepat di wajah. Ibaratnya film disney, ini itu namanya sad ending ever after, saudara tirinya happily ever after.

Bayangkan kau adalah seorang putri dan Sasuke adalah pangerannya. Kalau pangerannya tidak sama putri, berarti putrinya tidak akan menjadi putri disney, jatuhnya malah putri-putrian yang gagal. Seperti Barbie cemong muka menor dengan baju glitter norak yang murahan. Iya, itu aku.

Hhh…

...yaudahlah, kalau Sasuke sama Hinata, Aku dengan guru Guy saja. Toh setelah dia buka topeng juga (katanya) ganteng, kan? Bahkan katanya lebih tampan dari Kakashi-sensei. Hell, kalau bukan Sasuke atau Guy-sensei juga dengan Kakashi-sensei saja. Walau hijau-hijau lumut, dia kan tetap imut.

AAAAAAAAAAAAA AKU SEDIH MAMAAA—

bruk!

Oh, nice. Lagi sedih-sedihnya malah ketabrak sebuah badan berbau parfum yang sangat familiar—yeah, parfumnya Sasuke yang berarti baru saja menabrak Sasuke. Penasaran kenapa aku tahu parfum Sasuke? Tentu saja karena aku sering mengendusnya (dalam arti yang sebenarnya) secara diam-diam. Fanatik? Bisa dibilang begitu, tapi terus kenapa? Elo gak suka? GAK SUKA LOE, HAH?

Krik!

Apapula.

"Lo kenapa, sih?" Dan Sasuke pun bertanya dengan ketus.

"Elo yang kenapa dateng-dateng tiba-tiba sinis gitu nanyanya," ujarku dengan menatapnya tajam. Niat semula untuk segera pergi ke kelas gagal ketika aku menyadari tanganku ditahan oleh si pangeran disney. "Ihhh!" Melotot nyolot pada si mantan calon suami, ia pun melepaskan pegangan tangannya pada tanganku dengan sebuah helaan napas kesal. Mungkin kesal karena aku menolak bicara dengannya? Mungkin juga kesal karena aku pelototi. Sebodo. Aku juga jadi kesal setengah mati sekarang—kesal karena Sasuke melepaskan pegangan tangannya padaku. Harusnya tidak ia lepaskan, kan? Harusnya ia tahan sekalipun aku berontak.

Ugh!—melangkah ke kelas dengan menghentakkan kaki ke tanah, aku pun menggigit bibir bawahku dan menahan tangis. Tangis karena kesal. Kesal pada si pangeran yang tidak menahanku cukup keras. Sialan, ah.

.

.

Istirahat.

Sengaja di-bold agar menekankan betapa aku benci istirahat. Benci istirahat itu tidak wajar untuk gadis SMA, kan? Harusnya cinta istirahat secinta mereka pada boyband SM*SH atau secinta para lelaki pada AKB48. Sampai mau langsung lari ke kantin karena lapar, atau simply karena bosan di kelas. Tapi sumpah, deh. Sumpah se-sumpah-sumpahnya sumpah, istirahat kali ini benar-benar menyebalkan. Lebay? Nggak, kok. Kali ini beneran.

Kenapa?

Karena temanku (yang sekarang berdiri di sebelah kananku) sedang memegang dadanya karena hampir jantungan—beberapa menit lagi ia akan mengungkapkan cintanya pada Sasuke di kantin. Ah, kok sial!

Bunuh aku sekarang. Bunuh pakai pentungan, kek, pakai garpu, kek, pakai pengapus, kek. Hapus keberadaanku dari muka bumi ini DEMI TUUUHAAAANNNN! *gebrak meja* (nggak gitu, thor).

Bibirku kini sudah mencong seperti keripik kentangnya Chouji. Hanya tinggal menunggu masuk mulut, kunyah, masuk perut, lalu keluar lewat lubang lain. Artinya? Takdirku sudah busuk.

Hhh…percaya, deh, kalau Sasuke pasti menolak Hinata. Yaiya, lha, Sasuke kan sukanya sama gue. SAMA GUE. SAMA GHUUEE. HUK! Pede banget lo, Sak.

Huhuhuhuhu…kok sedih, ya, aku jadi jahat begini… Masalahnya Hinata sepertinya sudah cinta mati sama Sasuke, walau aku masih ingat persis tiga bulan lalu Hinata sukanya pada Naruto. Tapi harus bagaimana sekarang? Hinata mau nembak Sasuke, pakai minta bantuan aku, pula.

Yang lebih menyebalkan lagi adalah Ino yang sekarang sedang menyisir rambut Hinata supaya Hinata makin cantik. Duh, pig! Nggak usah disisir juga rambut Hinata nggak akan kusut. Rambut iklan begitu, mana bisa kusut. Disisir pakai sisir bersihin kutu juga nggak akan ada yang nyangkut.

Merasa tanganku dipegang, aku pun menoleh untuk melihat Hinata dan memaksakan senyuman. "A-ayo, Sakura-chan," ujarnya dengan senyuman elegan manisnya plus rambut iklan anti kusut bergaransi lima puluh tahun.

Kuburan mana kuburan? KUBURAN MANA KUBURAN? AKU MAU NYEMPLUUUNGG!

.

.

Tarik napas! Huh hah huh hah! Yak! Sudah siap, Haruno Sakura? Kisah cintamu akan berakhir sekarang. Mimpi jadi Uchiha? Jangan, setelah sahabatmu menyatakan cinta pada lelaki tampan yang sedang makan beberapa langkah di depanmu, maka tidak akan ada tempat untukmu. Oke? Apa yang disukai temanmu tidak boleh kau suka! Dilarang teman makan teman! TMT adalah sebuah perbuatan yang diharamkan! Belum lagi tak akan butuh waktu lama bagi Sasuke untuk menyukai Hinata, si gadis cantik penuh pesona. Jadi, pegangi hatimu baik-baik, jangan biarkan hatimu hancur seperti biskuit yang terinjak kaki. Jaga baik-baik hatimu, setidaknya beli lem di supermarket sepulang sekolah nanti, lalu cari nomor telepon Gai-sensei, calon suamimu kelak. (huhu, kok ngenes)

"Sasuke," panggil Ino pada Sasuke yang sedang menyantap makanannya. Lihat, pundak berkemeja putih itu terlihat tegap dan nyaman sekali, seandainya bisa kupeluk. Hhh... "Ada yang Hinata mau bicarakan padamu," lanjut Ino saat Sasuke menoleh padanya.

Kedatanganku cukup membuat Sasuke terkejut, tentu. Ingat, kan, tadi pagi betapa aku menolak untuk bertemu dia? Sekarang malah aku yang menghampiri. Ha. Lucu. Takdir ini lucu sekali.

"Kenapa?" tanya Sasuke dengan nada hati-hati pada Hinata. Iya, hati-hati, lha. Hinata adalah tipe perempuan yang ingin dijaga semua anak laki-laki. Tidak sepertiku yang terkesan bisa menjaga diri sendiri. Padahal aku bahkan tidak bisa menjaga hatiku yang sekarang sudah remuk tidak karuan.

"A-aku..."

Dear, Sakura. Ayo menggelinding nangis di lantai, bolak balik, ngepel lantai kantin sekalian. Tangisku akan banyak, kan, cukup lah untuk ngepel. Ha. Melucu untuk menghibur diri. Nggak mempan, sayang sekali. Masih ngenes, tuh.

"Aku..."

Duh! Hinata. Jangan lama-lama menyatakan cintanya bisa? Makin lama begini hati ini rasanya makin hancur, tahu. Sekalian saja ancurin hatinya dalam sekali tonjokkan, jangan kelamaan.

Aku merasa tanganku ditarik oleh Hinata—aku pun menoleh, menatap Hinata yang kini menatapku dengan tatapan gelisah. Hinata sedikit berjinjit untuk berbisik ke telingaku.

...maksudnya?

JANGAN JANGAN HINATA NGGAK JADI NEMBAK? ATAU DIA SADAR KALAU AKU SAKURA HARUNO JUGA SUKA DAN DIA MAU NGALAH? IYA GITU? BENERAN NIH SUMPAH—

"..S-Sakura-chan, m-maaf, bantu a-aku menyatak-kan cinta. B-bisa?"

ngarep.

...ya nggak bisa, lha. Dengar pernyataan cintanya aja aku sudah mau mati begini, tinggal dimasukin peti lalu kubur. Jangan, deh, bakar saja hidup hidup sekalian. Di kantin ada kompor, kan? Biar cepat selesai. Fin. Langsung fin. Tamatin fanfic ini tanpaku, biarin. Biaaarrriiinnn!

Tapi muka Hinata kasihan sekali begitu... Cara nolaknya bagaimana...

"Bisa..." ujarku lemas sambil mengangguk. Salah kalau aku mau nangis, nggak? Kalau nangis sekarang itu salah? Mataku rasanya sudah sangat basah, harus bagaimana...

Menatap Sasuke yang menatapku balik dengan sebelah alis terangkat, aku pun menarik napas dalam, mengabaikan air mata yang dalam hitungan detik akan menetes, yakin, deh. Mau taruhan? Bagaimana bisa aku melihat wajah orang yang diam-diam kusukai sejak dulu untuk aku lepaskan… uh…nasib…ya…nasib…

Tarik napas dulu boleh, kan?

"Jadi…" Tarik napas lagi, sambil menangis, nih. "…Hinata mau bilang kalau…" Sasuke kini berdiri dari duduknya, "…kalau dia suka sa—"

"Sakura," panggilan Sasuke membuatku menghentikan ucapanku dan sadar kalau sekarang aku tengah menangis sesungukkan.

Aku menunduk sebisaku. Menolak melihat Sasuke, apalagi melihat Hinata. Ih, teman macam apa aku…

"…diem dulu…" ujarku parau. Astaga, suaraku sudah separau ini. "Hinata itu…dia..."

"Sak," panggil Sasuke lagi. Tangan Sasuke kini berada di atas kedua pundakku. Rasanya nyaman, tahu, di sentuh Sasuke lembut begini. Membuatku merasa memang Sasuke yang akan aku suka—entah sampai kapan, yang pasti akan lama. Tapi mau bagaimana? Sekarang akhirnya, kan… "Maaf, gue tau elo sedih sekarang," ujar Sasuke lagi yang membuatku mengerutkan alis. Apaan, sih, kok nggak nyambung?!

"Tapi sekarang lo lagi dikerjain, Sak…"

hah..?

Mendongak cepat, aku melihat senyum kikuk Sasuke yang kebingungan. Ibu jarinya mengelap pipiku yang basah—aduh, kok so sweet, sih? Tapi tunggu dulu, woy! Fokus, dong! Dikerjain apaan maksud—

"—brengsek…" ceplosku cepat saat melihat ke arah Ino dan Hinata, menemukan ada Sai di sana yang sedang mengarahkan videocam kepadaku, Ino yang sedang membungkam mulut sambil memegangi perut, dan Hinata yang menutup mulutnya dengan kedua tangan serta wajah merah merona.

Ja—ja—JADI GUE DIKERJAIN? TERUS DENGAN TOLOLNYA GUE NANGISIN SASUKE DI KANTIN TERUS DIREKAM SAMA SAI TERUS DIKETAWAIN INO DAN DILIATIN SAMA SEMUA ORANG DI KANTIN?

Nggak, nggak. Ini nggak bisa dibiarin. Harus kasih pelajaran ke orang yang membuat ide sialan ini. Siapa lagi kalau bukan si nenek lampir (iya, aku temenan sama nenek lampir). "INO, GUE CEKEK ID—"

Eit!

Belum jauh aku berjalan ke Ino untuk mengejarnya dan mencekiknya hidup-hidup, tangan kiriku kini ditarik oleh Sasuke, membuatku kembali ke hadapannya lagi. Dengan tangan kanan Sasuke yang memegang tanganku, tiba-tiba tangan kiri Sasuke memegangi bawah telinga hingga leherku, membuatnya mendongak untuk menatapnya.

"Biarin aja mereka," ujar Sasuke dengan cengiran andalannya.

Tanganku kini berada di depan dada bidangnya—iya dada bidangnya yang ternyata enak banget untuk dipegang itu, huhuhu, bisa nggak, sih, rasa enak megang ini disimpen di toples terus dimasukin kulkas? (Duh, Sakura, fokuuuss!)—tanganku agak mendorong Sasuke karena malu kini seluruh orang di kantin melihatku dan Sasuke yang ada di posisi aneh. "Sas, apaan, si—"

"—sshh…" desisnya pelan, "jangan ngomong, gue mau cium elo," katanya dengan cengiran super ganteng, lalu aku merasakan ibu jari tangan kanannya mendorong daguku untuk membuatku mingkam dan—

—gue dicium.

…beneran. Dicium. Literally. Di kantin. Dicium. Dicium. DICIUM? DICIIIUUUUM!

ADAJHFACBWRAUHKXSJFASLICNWRV

AKJNCZX HVIURHGUHWRGPAOSHGJKASLHCURBCJNA KAJCNAUYCAHJV AJKCNRUHVAU

KLJSAUHFAJBHAWUFAVNGGGYYYYYAAAAAAAAAAAAAAAA!

.

.

.

"Jangan nangis lagi, oke? Gue sukanya cuma sama elo."

.

.

Ihik.

.

Dear, Gai-sensei dan Kakashi-sensei yang kegantengannya nggak ada hubungannya sama Brad Pitt. Nggak usah nungguin saya, dua puluh tahun lagi nama saya fiks jadi Sakura Uchiha. Terima kasih.

Salam cantik,

(a soon to be) Sakura Uchiha. Chu~ xixixi~

.


(Selesai. Fic gak jelas. Okemakasihbye.)