A PANDORA HEARTS FANFIC
.
.
.
[ Bayangkan jika dalam seharian ini kau menjadi miliknya ]
.
.
.
Disclamer: Jun Mochizuki
A Valentine Day Fanfic!
Story: BloodStained B-Rabbit
Enjoyed..! \^O^/
Valentine Day: Prologue
Coklat dan cinta. Itulah tema yang menghiasi setiap tahun disetiap tanggal 14 Februari. Ada yang tahu kenapa? Yah, hari kasih sayang jatuh pada hari ini. Lebih tepatnya hari Valentine. Hari di mana setiap orang merasakan yang namanya debaran cinta. Tidak diherankan jikalau banyak pasangan baru setiap hari Valentine. Surga ungkapan cinta. Wajar saja, 'kan? Dalam Valentine, tidak ada ucapan malu dan tidak ada larangan buat siapapun yang ingin mengungkapkan perasaan mereka. Termasuk pasangan-pasangan ini.
Di Ibu kota Leveiyu, terlihat sosok anak perempuan berpakaian merah dan putih. Mungkin tidak akan ada yang percaya jikalau dia adalah perempuan, tapi coba saja kalian periksa, dia asli perempuan! *digaplok Alice* di sampingnya, terlihat seorang pemuda yang sedari tadi terus memperhatikan setiap sudut kota dengan penuh pengamatan. Dirinya sangat antusias akan pemandangan kota Leveiyu saat ini; di sana sini hanya terlihat orang yang sibuk memamerkan coklat dan beberapa orang yang jalan dengan bergandengan tangan. Mungkin di matanya hal ini sangat nihil.
"Um.. Alice?" ucap pemuda itu tiba-tiba. Gadis disampingnya hanya sibuk memperhatikan beberapa coklat yang dibungkus dengan manisnya di sebuah stand coklat. "Hoi, Alice?" lagi-lagi pemuda itu berucap, namun gadis berambut coklat di sampingnya masih terus saja memperhatikan coklat dengan liur yang mulai menetes. Sungguh jorok.
Karena merasa tidak dipedulikan, pemuda bernama Oz Vessalius itu segera menarik lengan gadis yang bernama Alice itu. Meski sedikit kasar, namun mau bagaimana lagi? Dari tadi keberadaannya dianggap cuek oleh gadis berwatak preman itu.
"Akh, sakit, Oz!" rintih Alice sedikit emosi. "Kau menggangguku, tahu!" lanjutnya sambil mengarahkan hak rendah milik sepatunya tepat ke kepala Oz. Ya, sebuah tendangan sukses membuat kepala calon pangeran itu benjol.
"Sakit, Alice!" kali ini Oz yang merintih kesakitan. "Memangnya dari tadi kau lihat apa?" tanya Oz yang masih memegang benjolan di kepalanya itu.
"Aku lihat benda ini, tahu!" bentak Alice. Oz yang keheranan segera melihat juga benda yang menjadi objek pengamatan Alice. Ternyata benda yang dilihat oleh Alice adalah sebuah coklat yang terbilang sangaaat imut; dari segi pembungkusannya saja sangat terlihat kalau coklat itu sangat mahal harganya. "Tidak kusangka Alice ternyata menyukai barang mahal.." pikir Oz disela-sela pengamatannya. "Pasti benda ini enak!" seru Alice, "Hei, Oz, aku mau benda ini.." pinta Alice tanpa sedikitpun melepaskan pandangannya dari coklat di hadapannya itu.
Oz berpikir sejenak, "Padahal dompetku lagi tipis, nih.." batin Oz dalam hati. Namun, sebuah ide cemerlang muncul di kepalanya.
"Alice mau coklat?" tanya Oz dengan senyuman lembut. Seperti biasa. Alice tidak menjawab, namun dia mengangguk sebagai isyarat 'iya' "Kalau begitu, kita pergi, yuk—" Oz menarik lengan gadis kelinci ini, namun tidak dengan cara kasar. Setelah itu, Oz berlari di antara kerumunan orang, tentu saja bersama Alice yang masih memasang wajah keheranan.
"Hei, Oz, kau mau membawaku ke mana!" teriak Alice tanpa sedikitpun melepaskan lengannya yang ditarik Oz. Oz samasekali tidak mempedulikan teriakan Alice. Dia terus berlari. Membelah jalan di antara ribuan pasangan di hari Valentine ini.
Sementara itu, di lain tempat..
Seorang gadis berambut peach sedang duduk dengen tenang di sofa kamarnya. Dirinya terus memandang bayangan dirinya yang terpantul jelas di permukaan teh hijau miliknya dengan tenang.
"Nona?" seorang pemuda berambut silver memasuki kamarnya. Pemuda itu disambut hangat olehnya, Sharon Rainsworth yang merupakan putri dari keluarga Rainsworth. "Apa Nona sedang sibuk?" tanya pemuda itu, Xerxes Break.
Sharon meletakkan cangkir kecil miliknya di atas meja di hadapannya. "Tidak. Kau lihat, 'kan kalau aku sedang bersantai, Break?" ucap Sharon. "Aku mau istirahat sebentar dari tugas Pandora." Jelas Sharon. Break hanya ber-'oh' ria, namun di dalam pikirannya—
"Istirahat katanya? Di Pandora saja dia hanya duduk sambil minum teh.." pikir Break yang seandainya diketahui oleh Nonanya itu pasti mendapatkan hadiah gratis yang berupa harisen dari Nona tercintanya itu. "Kalau begitu, Nona—" Break menjeda ucapannya. Telapak tangannya yang berukuran cukup besar tersimpan di pundak kecil Sharon, "—Bagaimana kalau kita bersenang-senang?" tawar Break dengan senyuman khasnya. Sharon sempat blushing, namun dengan cepat dia mengendalikan dirinya itu.
"A, apa maksudmu, Break?" tanya Sharon canggung.
"Nona, 'kan bilang kalau Nona lelah. Bagaimana kalau kita ke kota? Kita refreshing dari kerja." Tawar Break. Sharon merasa jikalau impiannya untuk jalan berdua dengan pelayannya itu menjadi dekat dengan kata terkabulkan.
"Ee.. itu.." Sharon merasakan wajahnya memerah, namun Break dengan cepat mengangkat pundak Sharon dan memasangkannya sebuah topi dan mantel bulu.
"Nah, Nona, kita pergi." Ucap Break yang kemudian merangkul tangan Sharon. Break memang seperti biasa, yaitu selalu merangkul Nonanya itu, namun sepertinya ada yang lain dengan senyum dan rangkulannya kali ini.
"Eh? Break, tunggu!" ucap Sharon sambil berusaha untuk jalan berdampingan dengan Break, pelayannya itu.
Nah, setelah kita melihat dua pasangan itu, sekarang kita pindah ke couple lainnya. Meski sang Author sangat sulit untuk memikirkan percintaan mereka yang terbilang –err sangat nihil untuk bersama, namun Author tetap nekat untuk menjadikan mereka couple di dalam ceritanya.
Sekolah Latowidge..
"Oi, Eida Vessalius, sudah kubilang jangan memanggilku dengan panggilan sok akrabmu itu! Kau tidak dengar, hah!" seorang pemuda berwatak keras kepala berdiri dengan tegap dan penuh amarah. Di depannya, berdiri seorang gadis berambut emas yang terurai panjang. Ada yang bisa menebaknya? Ya, Elliot Nightray dan Eida Vessalius. Kedua insan ini sangtlah sulit untuk memperpendek jarak di antara mereka. Kedekatan merekapun bagaikan air dan minyak (?)
"Ma – maaf, 'kan aku, Elli—"
"Sudah kubilang jangan panggil aku Elliot!" pemuda bernama Elliot itu mengarahkan jari telunjuknya tepat ke wajah gadis berparas cantik itu. Ada yang bilang tidak sopan? Benar, kelakuan ini sangatlah tidak sopan, apalagi jika semua orang tahu kalau Elliot itu adalah adik kelasnya Eida. Mungkin saja sudah ada yang sweatdrop.
"Ma – maaf.." hanya itu yang dapat keluar dari mulut Eida. Yaitu kata ' maaf. ' Entah sudah berapa ucapan maaf yang keluar dari mulut Eida setiap kali dia berhadapan dengan Elliot, namun sepertinya tidak ada rasa bosan dari kedua belah pihak. Mau Elliot, maupun Eida. Sedikitpun tidak ada rasa bosan setiap kali mereka bertemu; Elliot yang selalu mendengarkan ucapan maaf dan Eida yang selalu mendengar bentakan. Apakah ini yang disebut sama-sama suka? Mungkin.
"Ha?" Elliot mulai naik emosi. Sudah kebiasaan Elliot yang selalu naik darah begitu bertemu dengan gadis pecinta kucing ini. "Aku tidak butuh kata maa—Ukh!"
Elliot terjatuh ke lantai saat sebuah pukulan mendarat di kepalanya.
"Elliot, kau kasar sekali dengan Miss Eida Vessalius.." terdengar suara yang familiar di kepala Elliot. Mungkinkah Reo, pelayannya? Yup, benar! Sosok pemuda berambut hitam berantakan itu muncul di antara mereka dengan bekal sebuah bambu yang entah didapatnya dari mana. Sebuah bambu yang sepertinya digunakannya tadi untuk memukul kepala Elliot.
"Reo?" ucap Elliot kaget, namun kemudian matanya melebar saat melihat bambu yang dibawa Reo. "Hoi, apa-apaan bambu itu, hah! Dari mana kau mendapatkannya!" tanya Elliot tidak percaya. ' Memalukan sekali! ' pikir Elliot.
"Kenapa kau tidak sadar? Aku sudah bawa bambu ini dari tadi. Oh, ya, aku mendapatkannya sebagai hadiah dari tukang kebun sekolah karena sudah membantu mereka kerja." Jawab Reo santai, Eida yang menyaksikan kejadian itu hanya cengo.
"Jadi benda itu yang kau pukulkan ke kepalaku, hah!" tanya Elliot yang baru sadar, "Hua? Kepalaku berdarah, Reo! Kau harus tanggung jawab!" paksa Elliot. Reo hanya diam mematung, namun kemudian dia menunduk pertanda minta maaf.
"Maaf." Ucap Reo datar.
"Apa! Kau pikir luka yang kudapat ini mampu dibayar dengan permintaan maafmu, hah!" protes Elliot, sedangkan Eida yang keberadaannya sempat dilupakan oleh si penulis terus memasang wajah khawatir.
"Hah, Elliot. Kepalamu luka..!" pekik Eida yang baru sadar. Apakah gadis ini memang tidak peka? Ataukah dia tergolong wanita lamban? Entah, hanya Jun Mochizuki-sensei yang tahu rahasia itu. *dihajar massa*
"Sudah dari tadi!" balas Elliot. Eida hanya membentuk huruf 'o' di bibirnya.
"Ta – tapi, bagaimanapun—" ucap Eida khawatir, segera Eida berjalan mendekati Elliot, sedangkan Elliot mundur beberapa langkah.
"Kau mau apa Vessalius sialan?" tanya Elliot, namun Eida tidak menjawab. "Eh? Kau kenapa, hah!" tanya Elliot saat Eida mengarahkan tanggannya tepat ke atas kepala Elliot—lebih tepatnya mengamati luka di kepala Elliot.
"Tidak apa-apa Elliot, aku cuma mengamati lukamu.." jelas Eida hangat. Kali ini entah kenapa Elliot kehabisan kata-kata buat merendahkan keberadaan Eida di hadapannya. "Eh? Lukanya—parah.." ucap Eida tiba-tiba. Elliot dan Reo berseru kaget, terutama Reo. Ada yang mau tahu alasannya?
Alasan yang singkat, rupanya Reo takut jikalau harus mengganti rugi apabila Elliot terluka. Bayangkan saja, gajinya yang terbilang pas-pasan buat sekolahnya harus berkurang untuk mengantar Elliot ke rumah sakit+pengobatannya. Pihak Reolah yang akan rugi sendiri.
GREB! Eida menarik tangan Elliot, Elliot tidak henti-hentinya berteriak+protes+menjelek-jelekkan Eida, namun tetap saja Eida keras kepala tidak melepaskan tangannya. Apa dia terlular Oz? Baguslah kalau begitu.
"Reo, maaf, ya, aku pinjam Elly –mu sementara!" seru Eida sambil berlari meninggalkan koridor. Di dalam hati, tidak berhentinya Reo mengucapkan kata syukur karena kerugiannya yang akan berpindah ke tangan putri keluarga bangsawan Vessalius.
"Hah? Elly? Jangan panggil seperti itu!" suara terakhir Elliot yang terdengar oleh Reo. Setelah itu, semuanya hening dan kosong. Wajar saja, karena saat ini jam sudah menunjukkan jam pulang sekolah.
Reo menutup lembaran buku yang dia pegang, sekaligus dia juga menurunkan bambu hadiah dari tukang kebun sekolah dari tangannya. "Huft.. kalau seperti ini apa jadinya, ya? Terlebih lagi—ini adalah tanggal yang tepat.. " gumam Reo kemudian berjalan meninggalkan koridor.
TBC
A/N: Ya! fanfic spesial Valentine! XDD
Ups, maaf jikalau saya publish cepat, terlebih lagi mungkin ada yang tidak mengerti dengan fic saya kali ini. Um.. alasan saya publish cepatnya terletak pada saya yang sering kehabisan ide. Jadi saya berharap agar fic yang terdiri dari tiga chapter ini dapat selesai pas tanggal 14 Februari Xdd
Oh, ya, fic ini sedikit acakan. Mungkin setiap chapter akan ada satu couple, tapi lebih jelasnya, fic ini bersambung dari awal sampai akhir dalam hal waktu!
Masih ada yang belum mengerti? Maksudnya, fic ini terikat satu sama lain, namun settingnya beda. Anggap saja setiap couple yang ada nanti berada dalam waktu yang sama XD
Masih ada yang belum ngerti? Ok, reviews fic saya atau lewat PM aja!
RnR? or CnC?