Not Over Yet

Durarara! ©Ryohgo Narita & Yasuda Suzuhito

'Not Over Yet' fic ©Signy Siv Svitlana, 2011

Perhatian: singkat, tidak memiliki plot jelas, dan ditulis kilat ditengah-tengah ulangan Bahasa Indonesia. Well... nothing much. Enjoy.

Tersenyum.

Izaya Orihara hanya dapat tersenyum memandangi apartemen mewahnya kini diselimuti api. Bersama dengan membumbungnya asap tebal yang ditimbulkannya, bersama dengan hangusnya kediaman tercintanya.

Ya, ia hanya bisa tersenyum memandangi semua kejadian ini.

Manusia... benar-benar menarik.

Kran-kran diputar dari mobil-mobil pemadam kebakaran yang datang dari segala penjuru. Sirine saling meraung di Shinjuku, dini hari itu.

Namun, baginya, peduli setan dengan pemadam kebakaran.

Persetan dengan tempat tinggal, markas besar sekaligus tempat bekerja dirinya, sang penjual informasi kontroversial itu, terbakar. Toh, ia sudah menduga sebelumnya bahwa cepat atau lambat, hal seperti ini pasti akan menimpanya.

Menjual informasi memang pekerjaan yang kedengarannya cukup ringan. Namun, resikonya terlalu tinggi untuk orang-orang yang terlalu naif dan hanya mengejar kesejahteraan. Menjadi penjual informasi berarti siap untuk mencintai manusia apa adanya.

Seperti sekarang, misalnya.

Manusia benar-benar menarik. Setinggi apapun kadar kebencian mereka kepadanya, semakin mendebarkan menunggu dan menebak-nebak apa yang akan mereka lakukan padamu.

Terbukti, tak terhitung sudah berapa kali ia diancam akan dibunuh—sampai bosan ia mendengarnya. Menjual informasi dan mengontrol arus keberadaannya bukanlah pekerjaan yang jelas hitam-putihnya. Para polisi pun, menurutnya, masih bimbang dalam memutuskan apakah pekerjaannya sudah melewati batas hukum atau belum.

Mudah ditebak, kok. Sebenarnya polisi hanya iri dengan koleksi informasi hitam yang dimilikinya. Mereka ingin merekrut pemuda tirus itu sebagai salah satu stafnya—yang tentu saja akan ditolaknya mentah-mentah ketika memang saat itu tiba.

Oh, tak lupa faktor keberuntungan dan keahliannya dalam memutarbalikkan fakta.

Asalkan tubuhnya masih utuh dan tidak mengalami amnesia, ia masih dapat melanjutkan pekerjaannya. Zaman semakin modern dan mobilitas pun diperlukan. Sia-sia sekali, pikirnya. Siapapun yang telah membakar apartemennya ini, seharusnya juga tidak menyamakan tingkat keintelegensian seorang Izaya Orihara dengan objek observasinya.

Selama umat manusia yang dicintainya masih dapat tertangkap alat bantu visual beriris merah rubinya dan 'menghiburnya', ia masih dapat bertahan. Baginya, kehilangan selain dari yang telah disebutkan barusan bukanlah akhir dari segalanya.

"Mengerikan. Kau bahkan tertawa menatapi terbakarnya apartemenmu."

Ups.

Entah sejak kapan 'senyuman' itu berubah menjadi kekehan—dan bahkan sempat-sempatnya Namie Yagiri menghinanya secara terang-terangan. Padahal biasanya wanita itu hanya bergumam dalam nafasnya ketika merutuk Izaya. Oh—Izaya tahu hal sekecil itu juga,tentu saja.

"Aku tidak mengerikan, Namie-san. Tawaku sama seperti tawa ketika kau mendapat hadiah kejutan di hari ulang tahunmu—dan bukan urusanku kalau ternyata kau belum pernah diberi kejutan saat ulang tahunmu sehingga kau tidak mengerti bagaimana perasaanku."

"Tidak heran banyak psikiater yang menyerah dalam menanganimu."

Kata-kata yang terlontar dari mulut sang wanita memang hanya berupa desisan. Namun, Izaya hanya menyunggingkan senyum khasnya karena bagaimanapun, ia mendengarnya. Umpan balik yang amat wajar dalam setiap interaksi mereka.

"Lalu sekarang bagaimana, Bos? Waktu masih menunjukkan satu dini hari dan hangan bilang kalau kita harus menggelandang."