Putih. Terang. Sinar apa itu?

Wangi ini. Wangi melati. Taman apa ini? Cantik sekali…

"Hei, kenapa kau menyusulku, bodoh?"

.

.

.

Titik Putih

By Moiriscarlett

.

.

The characters belong to Hidekaz Himaruya and Indonesia and Malaysia

The story (or poetry what-so-ever) is mine

.

.

Tuk tak tuk tak.

Kau berlari-lari di sisi bebatuan taman rumah kita.

Hei, hei, awas jatuh, adik kecil!

Bruk!

Hhhhh… Kau tidak mendengarku.

Ssssttt, jangan menangis, adik manis.

Sini aku obati tungkaimu.

"Kak, gendong,"

Dasar anak manja.

Ah, tapi biarlah. Aku suka kau manja padaku.

Sini, biar kuobati lukamu…

"Lain kali hati-hati, ya, Malaya,"

.

.

.

Tahun 1824, dia merebut Malaya dariku.

Ctash!

Kembalikan!

Ctash! Ctash!

Kembalikan adikku! Dia bukan propertimu!

Ctash! Ctash! Ctash!

Kau pengkhianat, England! Kenapa kau memisahkan dia dariku?

Ctash! Ctash!

Pecutan kesepuluh. Pecutan terakhir. Akhirnya.

"Itu hukumanmu berani menentangku, budak!,"

Ctash!

Apa ini? Perjanjiannya kan hanya sepuluh. Kenapa jadi sebelas?

"Berani sekali kau mencoba kabur ke tempat Malaya!,"

Ctash!

Dua belas. Cukup, Nethere sialan! Cukup!

"Kau mau bermain pahlawan, hah, budak? Melindungi adikmu dari penjajah?,"

Ctash! Ctash!

Tiga belas. Empat belas. Baiklah, satu lagi dan sudah. Satu lagi saja.

"Kau kira aku akan kasihan terhadapmu, Nusantara? Dalam mimpimu, budak!,"

Duaagh!

Empat belas pecutan. Satu tendangan.

Aku terkapar lemah dan bergulung seperti kaki seribu yang ditetesi air. Punggungku terasa seperti dibakar di atas tungku perapian. Aku berani bertaruh ada lebih dari tiga ratus goresan merah keungu-unguan di punggungku sekarang. Sakit sekali rasanya. Tapi tentu saja aku tidak akan menunjukkannya di depan si kuncup rebung sialan. Aku bersumpah sampai akhir hayatku aku tidak akan pernah tunduk kepada pria pedophile beraroma tulip yang norak ini.

"Dasar budak sial. Cih. Apa, sih, maumu sebenarnya?," ia memandangku dengan tatapan hina.

"Aku mau kau enyah dariku dan adik-adikku.,"

"Kurang ajar!,"

Empat belas pecutan. Empat tendangan.

Maaf, Nethere. Kau tidak akan berhasil mengakhiri nyawaku dengan siksaan loyomu itu, Lihat saja nanti.

Aku akan bangkit.

Aku akan bangkit dengan tegak,

begitu tegak sehingga dapat menelan tawa angkuhmu dengan dendamku.

.

.

.

Jumat, 17 Agustus 1945

Pukul 10:00

Seorang pemudi muncul dari belakang

membawa nampan berisi Sang Saka

Ibu Negara menangis suka cita

Merah putih jahitannya telah dikibarkan

"Kepada, Sang Saka Merah Putih, hormat gerak!,"

Merah putih jahitannya dihormati

"Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku

Disanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku

Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku

Marilah kita bersaru Indonesia bersatu…,"

Indonesia bersatu

Aku

Aku bersatu

Aku merdeka!

~.~

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan

dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05

Atas nama bangsa Indonesia.

Soekarno/Hatta

.

.

.

Aku menentangmu

Aku menentang keras perbuatanmu, Malaya

Jangan kau turuti rencana "neo-kolonial" pengkhianat pirang itu

Jangan kau berani!

Cukup, Malaya!

Kau sudah cukup sebagai Malaya-ku

Janganlah berubah

"Federasi Malaysia"

Aku tidak suka itu, Malaya

Namanya berbau pengkhianatan tertinggi

Jangan mau diperalat mereka, sayang!

Jangan!

~~.~~

"Dengan ini, kami mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tetap Dewan Keamanan PBB.,"

Oh, begitu maumu, 'Malaysia'?

Baiklah

Aku terima hunusan tombakmu

Jadilah boneka Inggris jika memang itu memuaskanmu

.

"Dan dengan ini aku mengundurkan diri dari keanggotaan PBB.,"

.

.

.

Sudah berani kau sekarang, hei, bocah ingusan?

Menginjak-injak lambang kakakmu yang dulu kau hormati

Serbu saja gedung itu

Aku tidak takut!

Serbu saja gedung itu

Dan akan kuremukkan nyawamu tanpa ragu

Kau "Anti-Indonesia" katamu?

Bah!

Kau kira siapa pengasuhmu dulu, hei, anak manja?

Berani kau merobek foto pemimpinku?

Akan kurobek seluruh kehidupan di tanah jiwamu

Silahkan kau ledakkan seluruh tubuhku

Tapi jangan sekali-sekali kau membawa Sang Garuda

Biarkan Garudaku terbang bebas di angkasa kita

Menertawakan harimau laparmu di tanah dingin penuh dusta

~~~.~~~

"Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena
Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.

Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo...ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malaysia
Ganjang... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!

Soekarno - Gerakan Ganyang Malaysia"

.

.

.

16 dan 18 Agustus 1963

Aku akan menggayangmu, sayang

Ayo kita adu berdua

Rejimen Askar Melayu DiRaja-mu dengan lima puluh geriliyawan tundukanku

Inilah karma yang kau dapat jika durhaka pada kakakmu

Telah kubakar rumah kekasihmu di tanah utamaku

Melucuti hatimu dengan dendam membawa petaka

Kau sekap agen-agenku dan kau bakar rumahku di tanahmu

Api dibalas api

Kau bilang aku mengambil sikap bermusuhan terhadapmu

Bukan begitu, sayang

Aku hanya mencoba mengambilmu kembali

Aku ingin kau kembali

Kembali menggenggam tanganku ke rumah kita

Tapi kau hantamkan pintumu di wajahku

"Kau sudah punya Kalimantan, kan? Serawak milikku! Pergi, pencuri!,"

Kau mengusirku

Mengantarku ke api membara di Semenanjung Melayu

Tercatat sekitar dua ribu pasukanku tewas bersama dua ratus pasukan pengkhianatmu

Ratio yang cukup jauh, kau tahu itu

Aku marah, kau marah

Semua berakhir

Pada pengepungan 68 hari wargamu

~~~~.~~~~

11 Agustus 1966

Perjanjian perdamaian yang tidak meredakan apapun

Di antara aku, kau, dan agresi militer

.

.

.

Sentimenku terhadapmu makin membara di abad 21

Kau anggap tenaga manusiaku buruh rendahanmu

Kau mencoba mengklaim wilayahku secara sepihak

Terbalik, Malaysia

Jangan buat aku tertawa karena leluconmu itu tidak lucu

Kau berasal dari aku, bukan sebaliknya

Aku memberikanmu Serawak

Pemilik aslinya bukanlah kau

Kau bom putra dan putriku

Aku tetap hidup dan masih berdiri lebih tegak daripadamu

"Dasar kau budak indon!,"

Terima kasih panggilan sayangnya

Tapi aku tidak butuh itu, Malingsia

Iya, kau itu Malingsia

Maling Asia

Kau mengaku-ngaku semua itu milikmu

Padahal namaku telah tertera jelas di atasnya

Kau itu bodoh, ya, Malon?

Iya, itu juga panggilan baru untukmu

Membalas panggilan sayang buatanmu yang absurd itu

Lagu, tari, pulau

Kau mencoba mencurinya, Malaysia?

Terima kasih

Artinya kau masih ingat saat aku meninabobokanmu dengan "Rasa Sayange" dulu

Kau masih hafal pelajaran menari saat petang setelah waktu bermain kita dulu

Kau masih sempat mengenang saat-saat menonton Reog Ponorogo bersama dulu

Dan kau masih bisa merasakan buaianku saat kau tertidur di pasir pulau itu dulu

Sayangnya kau melupakan satu hal yang paling penting, Malaysia

Intisari dari semua kenangan kita

"Dulu, kau mempelajari semuanya dariku, kan, Malon?,"

.

.

.

Aku tidak percaya.

Selain bodoh, kau ini nekat.

Bisa-bisanya kau tertipu si pirang lagi.

Dia bohong, sayang!

Aku tidak pernah memfitnahmu!

"Mati saja kau, budak sialan!,"

Jangan!

"Zruk!"

Astaga

Tidak

Tidak tidak tidak

Apa yang telah kulakukan?

Tuhan,

kembalikan dia padaku!

~~~~~.~~~~~

31 Agustus 2012

Selamat ulang tahun, Malaysia

Semoga bahagia

Maaf aku menghancurkan ulang tahunmu, karena tahun itu tidak bisa diulang

Aku akan menyusulmu secepatnya

.

Dengan penuh cinta,

Nusa

.

.

.

Putih. Terang. Sinar apa itu?

Wangi ini. Wangi melati.

Taman apa ini? Cantik sekali…

"Hei, kenapa kau malah menyusulku, bodoh?,"

"Mana mungkin aku meninggalkanmu, bocah ingusan? Nanti kau tersesat lagi,"

"Haha. Lucu sekali.,"

Hangat. Sangat hangat.

Akhirnya, kau kembali.

Jangan pergi lagi, ya.

Aku mohon.

"Jangan pergi lagi, Ehsan. Aku khawatir tahu.,"

"Iya, Kak Nusa.,"

.

.

Fin.

.

.

.

A/N: Maaf hancur.

Saya kan dodol~

Untuk sejarah yang kurang jelas, maaf, saya agak malas merincikannya. -dirajam-

Review?