aliagepyon Tentu dong~ Kalau nggak berkembang, nanti susah bertemu titik 'Tamat'nya :3 Sparkling Cloudy Day's Hmm, mereka mati massal nggak, ya? Disimak aja chapter ini, semoga bisa menjawab pertanyaanmu ^^ Hyuuzu Sebelumnya, penulis mau berterimakasih banget kamu udah mau baca fanfic ini walaupun offline sekalipun kalau ada yang baca fanfic ini penulis udah seneng banget ^^ Terima kasih sekali lagi udah ngingetin typos dan grammar[?] karena sesungguhnya, sampe sekarang penulis masih sering salah dalam mengetik 'DI' untuk kata tempat/kata kerja.. Maaf, ya jadi terganggu bacanya :( Untuk ending, disimak terus aja ya :) Vocallone Kalo memang masih ada yang bikin kamu penasaran, tanyakan aja. Penulis berencana membuat satu chapter lagi untuk ngejawab semua pertanyaan dari pembaca soalnya ^^ Dan..yah.. sudah takdirnya para karakter untuk menemui akhir hidup-Penulis pun sebenarnya sedih :') Putri Luna Waah, ceritanya membingungkan ya? Tapi syukur deh kalo kamu seneng ^^ miemiemie Ini sudah update, lho ^^ AiharaCodeCyber Semoga chapter ini bisa membuat kamu nggak penasaran lagi, ya ^^

.

.

SHOT ME DEAD!

It tooks about 7 month to update this chapter-and I've almost put this story into a long-long-extra-long hiatus. and might not come back due to-Okay forget it!

I'm here, and the update's here as well!

LET'S SAY; HOORAY!

I wont say much, but- can you please take a look at the A/N right after you read the whole chapter and before hitting that Review button, please? :)

It's pretty important :')

This chapter contains; Alaude, Lucio, Byakuran's wrath? Ou, maybe some 0227 ? And some confession? Ah! Ypu have to read it by yourself if you're dying to know what's on this chapter.

Disclaimer: As I said long long loooong time ago, I am but an ordinary student who loves to daydreaming and if you ask me who's the owner of these AMAZING anime, it's Amano Akira. Both anime and manga belongs to her-I love you, Amano Akira-samaaa OAO;


Chapter 22 Finale Stage part. II: La Promessa

"Ti amo di piu di quanto mi ami, Alaude!"

- Lucio Cavallone -

o0o

Samar.

Pandangannya terlihat kabur.

Hanya hamparan debu yang mengepul di udara, menutupi pandangannya, seperti kabut yang tak memberi celah baginya untuk melihat ke depan.

Dimana aku…

Pria berambut merah itu menggerakan ujung jarinya, mencoba meraih ponselnya yang tergeletak sekitar setengah meter di depannya. Ponsel itu berdering, bergetar dan bergerak berputar, seseorang menelponnya.

Harus kuangkat…

Ia mengulurkan tangannya ke depan, mencoba meraih ponselnya yang terus bergerak menjauh akibat getarannya.

Kenapa—

G. menutup matanya, mendesis kesal saat ia sadar tangannya tak mampu meraih ponselnya. Tubuhnya terasa berat, sakit dan—darah.

Ya, Darah.

Dengan kedua matanya dan pandangan yang mulai terfokus, ia bisa melihat tangannya tersapu bersih oleh darah. Tak lagi ia lihat warna kulitnya, yang ada hanyalah noda darah yang membara. Menutupi seluruh permukaan tangannya seolah seseorang baru mengguyurnya dengan darah segar.

"Bel-senpai, sepertinya paman idiot bertato ini sudah sadar."

"Shishishi, benarkah? Baguslah, jadi aku bisa meminta bayaran karena membopongnya ke sini—hei! Apa yang kau lakukan, kodok!"

"Menolongnya? Mengambil ponselnya? Kau harus memeriksakan matamu, Senpai. Ah! Paman Bertato-san, kau mendapat 27 misscalls dan 133 pesan baru—kau ini popular, ya."

Anak-anak ini—

"OI! Dimana yang la—ughh!"

"Ah, kusarankan jangan bergerak dulu, Paman Bertato-san. Darahmu bisa semakin banyak dan mengotori rumputnya."

G. dengan posisinya yang terbaring di atas rerumputan itu berdecak kesal, satu tangannya ia gunakan untuk menopang tubuhnya dengan membentuk sudut 90 derajat di atas tanah sementara tangan lainnya terulur ke arah Fran, merebut paksa ponsel yang dipegang remaja itu.

"GIVE IT TO ME," G. menggertakan giginya kesal, "NOW!"

Fran, masih dengan ekspresi datarnya itu meletakan ponsel G. di telapak tangan pria itu dan di sambut dengan rampasan kasar G.

Pria itu diam, kedua matanya tertuju lurus pada layar ponsel yang menunjukan jumlah pesan dan miscalls yang masuk. Semuanya sama, berasal dari satu orang penelpon yang sama dan beberapa pengirim pesan bisa dikenali G. dengan mudah.

Mendongak menatap Bel dan Fran yang berdiri menjulang tak jauh darinya, pria itu mencengkram erat pergelangan kaki Bel dengan sisa tenaganya dan mengotori celana Bel dengan noda merah darah.

Ini bukan waktunya bersantai dan mensyukuri kondisinya yang masih dinyatakan hidup. Bukan.

Ia harus mencarinya, mereka semua.

Hidup atau matinya mereka harus dipastikan, sekarang juga.

"Bawa aku kembali ke tempat tadi!"

Belphegor dan Fran saling bertatapan, menggedikan bahunya bersamaan lalu menggeleng ke arah G.

"Bukan keinginan kami membawamu kesini dan tak mau mengantarmu," Bel berjongkok, mencoba melepaskan cengkraman di pergelangan kakinya. "Tapi Kokuyo-Land sudah rata dengan tanah. Semua jalan tertutup debu tebal."

"Dan sebentar lagi akan ada orang yang dikirim kesini untuk membawamu ke Rumah Sakit."

"Aku harus mencari Primo! Ugetsu dan yang lainnya," G. meringis pelan saat dirasakan perih di perutnya. "Dan aku tak bisa bersantai saja tanpa mengetahui keadaan mereka!"

Fran dan Bel kembali berpandangan satu sama lain, hening sesaat melanda keduanya.

Mengangguk kecil, Bel berdiri dari posisinya dan berdiri di samping tubuh G. yang terbaring di atas rumput. "Kau akan membayarnya, Rakyat Jelata. Pangeran tak suka diperintah."

"Tak usah pedulikan Senpai bodoh itu, Paman Bertato-san. Sekantong besar permen akan lebih dari cukup." Ujar Fran pelan seraya melingkarkan tangan G. di atas bahunya

.

.

o0o

.

.

Debu.

Memang hanya itu yang bisa dilihat kedua mata G. Tak lebih dan tak kurang. Samar-samar suara orang-orang yang berlarian kesana kemari juga bisa didengarnya dengan jelas namun tak bisa ia lihat sosoknya.

"G."

G. menoleh ke arah datangnya suara, suara yang dikenalinya sebagai suara milik seorang pria yang bekerja sama dengannya untuk melayani Giotto Vongola, Asari Ugetsu.

Pria keturunan Jepang itu berjalan gontai ke arah G. yang tengah dibopong oleh Fran dan Bel. Satu tangannya terbalut kasar dan menekuk ke depan dengan topangan kain sementara wajahnya penuh dengan luka lebam dan baju yang terkoyak.

"Asari," G. meringis pelan. "Dimana yang lain? Giotto? Alaude? Dimana mere—khh…"

"Tenanglah, G. Tim Penyelamat Lucio masih mencoba mencari mereka, dan tim kepolisian sedang mencari cara untuk meluruhkan debu tebal ini." Ujar Asari pelan seraya mengarahkan pandangannya ke arah debu tebal yang menutupi entah apa disana. "Kuharap mereka baik-baik saja…" Gumamnya pelan.

"Apa yang kau bicarakan, heh, Flute-freak? Mereka bukan orang bodoh yang dengan mudahnya tumbang—Mereka harus pulang dalam keadaan sehat."

Asari mengangguk pelan, menatap G. sambil tersenyum. Senyuman pahit yang terasa getir bagi dirinya.

"Kau benar, G."

"Maaf—"

G. dan Asari menoleh bersamaan, menatap seorang pria berseragam militer yang dilengkapi sebuah senapan yang tergantung di punggungnya. Pria itu membungkuk ke arah Asari dan G. lalu kembali menegakan tubuhnya.

"Kami dikirim Tuan Cavallone untuk melakukan evakuasi korban. Sebelumnya, kami ingin kalian ikut bersama kami untuk mendapatkan pertolongan pertama."

Asari menghelakan nafasnya pelan, " Baiklah, terima kasih atas pemberitahuannya, kami memang membutuhkan sedikit obat luka karena luka G. sepertinya sangat parah." Dan suatu suatu keajaiban ia masih bisa berdiri dengan luka separah ini, Asari membatin.

"Aku tidak apa-apa, jangan perdulikan aku. Kau saja yang kembali, aku masih ingin—AARRGHH! APA YANG KAU LAKUKAN, BOCAH!"

"Hanya ingin meyakinkan paman-paman bersenjata aneh itu, kalau luka-lukamu bukan luka palsu."

"YOU—"

Asari tertawa pelan lalu mengambil alih posisi Fran untuk membopong G. "Sudah, sudah. Aku yang akan mengantar G. kalian duluanlah, pastikan mereka mengobati luka kalian."

Fran dan Bel mengangguk pelan dan berjalan menjauhi dua pria itu, pria berseragam militer mengikuti keduanya dari belakang.

G. terdiam di tempatnya, melirik tajam ke arah Asari yang masih menunjukan senyuman sepeninggal dua remaja itu. "Jadi ?"

"hmm?"

"Pasti ada sesuatu yang serius sampai kau menyuruh mereka pergi, Am I correct?"

Asari mengangguk pelan namun tak menjawabnya.

Pria keturunan Jepang itu menunduk, menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya. Namun beban berat itu masih ada di dalam hati dan fikirannya. Seolah tak ingin pergi meninggalkan raga dan jiwanya.

"Giotto—"

"Ha?" G. menarik satu alisnya, mencoba memfokuskan pendengarannya karena suara Asari dianggapnya terlalu pelan dan tertimbun oleh suara bising di sekitarnya. "Biacara yang keras!"

Asari menggertakan giginya, rahang mengeras seiring dengan memutihnya telapak tangannya akibat kepalan tangannya.

"Giotto tak bisa ditemukan dimanapun, ia hilang."

.

.

o0o

.

.

Tsuna.

Tsuna..

Hei, Tsuna, bangunlah.

"Ngh—" Kedua matanya perlahan terbuka, coklat caramel bulat besar dengan bulu mata lentik, menambah warna pada wajah pucatnya. "G, Gio—"

"Too bad I'm not the person you're expecting to see, nee, Tsuna-chan?"

Mendongakan kepalanya, wanita itu menangkap bayangan seorang pria disana. Pria itu terlihat menyeringai, menampakan deretan putih giginya di antara kegelapan. "k, Kau—"

"Ara, you don't know me? Boleh aku memperkenalkan diri? Il mio nome e Byakuran, Friend's of Giotto."

Kedua mata coklat karamelnya terbelalak, menatap pria berambut putih cerah yang tersenyum ramah padanya. Tsuna bisa merasakannya—wanita itu—tahu betul bahwa pria di hadapannya bukanlah orang yang bisa ia percayai, bukan orang yang berniat baik padanya… semuanya bisa ia rasakan.

Ditatapnya lurus pria itu, tepat di manik mata. Kilatan rasa dendam, amarah dan benci seketika menyelimutinya, hanya dengan menatap bola mata pria itu ia bisa merasakan seluruh perasaannya, semuanya.

Siapa pria ini?

"Non muoverti, woman!" Ujar Byakuran cepat saat dilihatnya wanita di hadapannya tengah mencoba menggerakan tubuhnya, merangkak mundur untuk mencari sesuatu sebagai perlindungan. "Tidur selama 5 tahun dalam tangki air dengan luka seperti itu dan mencoba bergerak hanya akan menambah rasa sakit, Tsuna-chan."

"CHI SEI!" Wanita itu membentak keras. Ugh…

"Bukankah kau sudah dengar? Namaku Byakuran, teman dari Giotto."

"CHI SEI!" Wanita itu kembali membentak, suaranya seraknya terdengar semakin keras dari sebelumnya dan tatapannya tajam, menatap sepasang bola mata yang memandang remeh ke arahnya.

"Alright." Byakuran menunduk, meraih sebuah pistol hitam yang tergeletak di kakinya. "Aku datang jauh-jauh dari Italia, hanya untuk menemui pria bernama Giotto—suamimu benar?"

Wanita itu tertegun, saat pria di hadapannya mensejajarkan lengannya dengan kepalanya, meliriknya dari sudut matanya dan menjilat cairan merah yang menyelimuti pistol hitam itu.

"Sayang sekali, kudengar manusia tak akan tahan jika hidup tanpa kehadiran orang yang dicintainya. Entahlah, aku tak tahu itu benar atau tidak—"

"Katakan apa mau—ugh!"

"—Giotto Vongola sudah mati, Tsuna Sawada, ah, mungkin sebaiknya kupanggil Vongola Tsuna, hm?"

"T, tidak—"

Byakuran menekuk wajahnya, menatap bosan pistol di tangannya.

"Kau tahu? Aku bosan. Dan kehadiranmu membuatku semakin bosan, Tsuna-chan. Ah! Aku tahu! Bagaimana jika kukirim kau menyusul suamimu tercinta itu, eh?"

CLANG!

Dengan cepat Byakuran menyingkir ke samping, saat sebuah batu terbang menuju ke arahnya. Hanya sebuah batu kerikil kecil yang tak akan terasa sakit baginya walaupun batu itu mengenai tubuhnya.

Senyumnya terukir di sana. Di wajah pucat putihnya yang sedikit oleh debu kotor akibat reruntuhan. Namun kedua matanya masih terfokus pada sosok wanita yang kini berlari meninggalkannya dengan langkah yang terseok-seok.

Melawan wanita mungkin bukanlah hal yang sulit baginya.

Apalagi mengingat wanita itu hanyalah seorang wanita lemah dengan tubuh yang—sangat lemah juga. Tubuhnya tak akan punya banyak tenaga, mengingat telah 5 tahun lamanya wanita itu tertidur dalam tangki air—hidup sebagai spesimen percobaan pengawetan manusia.

Ditambah dengan luka lama di perutnya?

Jelaslah Tsuna adalah pihak yang merugi.

"Larilah, Tsuna-chan! Lari! LARILAH DAN AKU PASTI AKAN MEMBUNUHMU! KAU AKAN MATI DI TANGANKU!"

.

.

o0o

.

.

Aiutami…

Dengan nafas terengah-engah wanita itu mencoba berdiri dari tempatnya terjatuh, kedua tangannya menahan berat badannya yang semakin terasa berat karena terlalu lelah berlari.

Aku tak boleh berhenti…

Beranjak dari tempatnya, wanita itu kembali berlari. Kemanapun yang ia bisa agar bisa lepas dari kejaran pria bernama Byakuran itu dan mencari dimana Giotto—

Giotto… Kumohon.. Kata-kata pria itu.. semua salah, bukan?

Giotto….

Pandangannya kabur. Bulir-bulir airmata yang telah lama ditahannya itu tak kuasa ia bendung lagi. Semuanya tumpah begitu saja membasahi pipinya.

Kenapa… kenapa semua menjadi seperti ini?

Giotto… Cozart… G… Kalian dimana..

Dan langkahnya semakin terasa berat. Semuanya terasa sulit.

Disana, di tempat gelap yang asing baginya, dimana reruntuhan gedung, patahan besi dan debu-debu yang menyelimuti pandangannya… Semuanya terasa asing.

Tak ada yang dikenalnya.

Ia tak mengenal apapun yang ada disana. Ia bahkan tak tahu dimana ia berada. Dimana ia berada? Mengapa… Mengapa semua reruntuhan itu harus menjadi tempat ia terbangun? Mengapa ia harus seorang diri disana? Dengan seorang—yang dengan kejamnya mengincar nyawanya—yang tak tahu apapun itu.

Mengapa…

Langkahnya terhenti.

Wanita itu menghentikan langkahnya saat kedua bola matanya—pandangannya—tertuju pada sebuah pintu yang berdiri tegap dan tampak sepertinya pintu itulah satu-satunya jalan keluar baginya, jalan baginya untuk melarikan diri—menyelamatkan diri—dari kejaran pria yang tak dikenalnya.

CLANG!

Kedua mata Tsuna seketika terbuka lebar, saat sebuah peluru melesat cepat mendahuluinya meraih kenop pintu dan meninggalkan luka sayat panjang di tangannya. Darah segar pun mengalir, meliuk mengikuti bentuk lengannya yang gemetar.

"Tak kusangka pistol ini sudah dipasangi peredam—hebat! As expected from Vongola, bahkan persenjataan sederhana saja sudah dimodifikasi seperti ini." Ujar Byakuran seraya kembali mengarahkan mulut pistol itu sejajar dengan kepala Tsuna, "Jadi, apa permohonan terakhir—oh! Kalau kau berharap agar aku menguburmu bersama suamimu, jangan bermimpi. Mayatnya sudah remuk dan hancur tertimbun reruntuhan, mungkin?"

"GIOTTO BELUM MATI!"

"Hmm?"

"Giotto—tak akan mati semudah itu! Aku, aku percaya dia masih hidup! Itu.. pasti…"

Pria itu menggedikan bahunya acuh, "Firasat seorang istri, eh? Ntahlah, aku pun tak percaya membunuhnya bisa semudah ini. Tapi itu kenyataannya."

"GIOTTO TAK MUNGKIN—KYAAA!"

Dua butir peluru, melesat cepat dan menghujam tepat di pundak dan paha Tsuna. Darah segar pun kembali mengalir dari tubuhnya dan rasa sakit—seketika menghujaninya tanpa ampun.

Perlahan, tubuh Tsuna merosot. Tak kuasa lagi berdiri dengan jutaan rasa sakit yang menghantam tubuhnya.

Rasa sakit ini…

"Kau tahu? Kau harus menghilangkan hobi berbicaramu, disaat seperti ini omonganmu hanya akan membuatku ingin membunuhmu—ah.. aku ingat, kuyakin kau juga ingat, bukan?"

Byakuran tersenyum. Puas melihat wanita dihadapannya terdiam, menahan rasa sakit yang amat sangat.

"Kalau kau mau menyalahkan, maka Giotto adalah orang yang harus kau salahkan, Tsuna-chan."

"K, kena—ngh…"

"Karena dirinya—Giotto Vongola—aku harus mendekam di pusat rehabilitasi, kehilangan teman-temanku dan—ntahlah, kurasa aku kehilangan semuanya karena ulahnya." Byakuran menatap pistol di tangannya, tersisa 3 butir peluru disana dan ia tahu pasti cara menggunakannya dengan benar. Tidak akan ia sia-siakan begitu saja. "Kalau saja dulu ia tak menolak tawaran kerja samaku, semasa kuliah dulu, mungkin ini semua tak akan terjadi—MEREKA! MEREKA YANG MENYIKSAKU! MEREKA MEMBUATKU TERSIKSA DAN KESEPIAN! SENDIRI MENDEKAM DALAM KEGELAPAN—MEREKA SEMUA SURUHAN GIOTTO! TUO MARITO MALEDETTO!"

"EGLI NON FARA CHE—Kyaaa!" Tsuna mencengkram erat perutnya saat sebuah peluru baru saja melesat cepat dan berhasil menyerempet pinggangnya.

Hangat.

Cairan kental berwarna merah yang mengalir melalui sela jarinya itu terasa hangat di tangannya, dan sakitnya semakin tak bisa ia tahan.

Giotto….

"Kau tak mengerti apapun—Pria itu telah membutakanmu. Ia menutup-nutupi segalanya darimu, membuatmu terbuai dan merahasiakan kebusukannya—segalanya! EVERYTHING, TSUNA! EVERYTHING!"

BANG!

Satu lagi peluru melesat cepat dan kali ini menyerempet sepersekian sentimeter dari wajah wanita itu. Wanita itu hanya diam, airmata berlinangan dengan wajah yang tak lagi bisa diartikan.

Sedih?

Takut?

Atau marah?

Wanita itu pun menutup kedua matanya dan menggigiti bibirnya.

Giotto… Dove sei?

"…D—Dove..sei… Gi..otto.."

"Addio, Vongola Tsuna."

.

.

o0o

.

.

"Pasti ia berada di suatu tempat di bawah reruntuhan ini.. Primo tak mungkin mati semudah itu!" Ujar G. pelan dengan nada yang dipenuhi kekecewaan serta amarah itu.

"Kau benar. Mungkin seharusnya kita menyingkirkan semua puing-puing ini secepatnya."

G. berdecak kesal, "Ia ada bersamaku saat menghadapi si keparat Byakuran! Kenapa bisa-bisanya aku sibuk menyelamatkan diriku sendiri!"

"Ini bukan murni kesalahanmu, G."

"Tetap saja, bukan? Aku gagal... Non riuscivo a salvarlo!"

"PAMAN G! PAMAN ASALII!"

Mendengar nama mereka terpanggil oleh sebuah suara yang tak asing, kedua pria itu menoleh bersamaan dan kedua mata mereka membelalak terkejut melihat seseorang—seorang anak—berlarian ke arahnya diikuti oleh seorang anak lainnya dengan rambut merah dan plester luka dan seorang wanita berambut gelap dan tato di wajahnya.

G. membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu saat anak itu menghamburkan pelukannya ke arah tubuhnya yang masih terasa sakit.

Meringis, pria itu lalu berjongkok dan mengusap kepala Tsunayoshi pelan. "Tsunayoshi! Kemana saja kau? Kami mencarimu—hei? Ada apa? Kenapa menangis?"

Anak itu tak menjawab dan tangisnya semakin keras.

G. dengan satu tangannya menarik anak itu ke dalam pelukannya dan mengusap rambut coklat itu pelan untuk menenangkannya. Rambutnya mirip sekali dengan dirinya…

"T, Tsunayoshi?"

"Ia tak mau berhenti menangis.. Sejak semalam tepatnya." Seorang wanita, yang dikenal G. dengan bernama Daniela itu angkat bicara. Wanita itu mengusap kepala Enma perlahan sebelum menghela nafas.

"Tsuna bilang dadanya sakit, Paman! Lalu dia bilang ada suara aneh yang terus memanggil—tapi aku tak dengar apapun…" Enma menimpali, dipegangnya erat kain celana hitam yang dipakai wanita bernama Daniela itu. Airmatanya siap tumpah kapanpun dari sudut matanya.

Pria itu mengangguk pelan dan kembali mengusap punggung Tsuna. Tubuh anak itu gemetar hebat, dan tangisnya bukanlah sekedar tangisan saat seorang anak tak mendapat mainan yang diinginkannya—tangisan yang terdengar memilukan dan terasa perih… Menyayat.

"Aku ingin papa! Aku ingin mama! Huaaaa!"

G. melirik ke arah Asari lalu mengarahkan padangan pada Daniela yang menunduk menatap lurus punggung anak itu.

"Paman…hiks… dimana papa? Aku..hiks…mau bertemu…"

G. mengepalkan satu tangannya, tak peduli dengan rasa sakit yang menyerang akibat kepalannya itu. Dengan hati-hati pria itu melingkarkan tangannya di tubuh mungil Tsunayoshi, mendekapnya erat dan berbisik di telinganya.

"Aku akan menemukannya, Tsunayoshi… Io prometto."

.

.

o0o

.

.

"Apa yang lakukan?"

Lucio mengernyitkan dahinya, menoleh sesaat dan melihat sosok Alaude yang terlihat semakin pucat. Pria itu menggeleng pelan, masih memfokuskan pandangannya pada ponselnya. Kenapa disaat seperti ini mencari kontak seseorang bisa sesulit ini? Batinnya kesal.

Sepuluh menit sudah ia mencoba mencari kontak seseorang dari kontak ponselnya, namun belum membuahkan hasil.

Tidak.

Bukan karena terlalu banyak kontak yang ada pada memori ponselnya, melainkan karena rasa panik yang melanda dirinya—yang menyelimutinya semenja ia berhasil menemukan tubuh Alaude di antara reruntuhan, terjepit disana dalam kondisi berlumuran darah.

Kehancuran Kokuyo-Land berhasil membuat pria keturunan Italia itu sangat panik dan nyaris kehilangan akal sehatnya.

"Kalau kau mencoba menghubungi rumah sakit, bukankah percuma?"

"Akan lebih percuma jika hanya berdiam diri melihatmu dan kondisi payahmu itu, Alaude!"

"Jadi menurutmu aku payah?"

"Bukan itu yang kumaksudkan—tapi ya, kau sangat payah dengan kondisi seperti itu."

"Dan kondisiku membuatmu kewalahan?"

"Diamlah sebentar, aku hampir menemukan kontaknya—"

"Lebih baik aku tiada, bukan?"

Tangan Lucio berhenti menggerakan kursor putih pada layar ponselnya, ditatapnya tajam sosok yang kini mulai terengah-engah seperti kehabisan oksigen. "Demi tuhan, Alaude! Berhenti bicara bodoh seperti itu!"

"Kau sama sekali tidak menyulitkanku, aku senang melakukannya untukmu. Dan kalau kau berani berbicara seperti itu lagi, begitu sembuh nanti aku akan memukul wajahmu itu di depan kakakmu—"

"Ti amo."

"—Ya, aku tahu itu. Ti amo di piu di quanto mi ami, Alaude. Dan kau tahu benar aku tak pernah mengubah hal itu sejak—Kau bilang apa tadi?" Lucio mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya, menatap lurus manik mata Alaude yang perlahan semakin tertutup.

Pria itu terlihat kacau.

Bahkan lebih kacau jika harus dibandingkan dengan keadaannya saat Lucio meninggalkannya dulu.

Seperti mendapat durian runtuh, bertahun-tahun Lucio mengenal pria keturunan Perancis ini dan mendambakan satu kalimat indah dari bibirnya, hanya satu kalimat. Tak peduli siang atau pun malam, Lucio selalu menantikannya, menantikan Alaude untuk mengatakan bahwa ia mencintainya.

Namun ia mulai mengerti bahwa pria yang merupakan mantan kekasihnya itu bukanlah tipe pria yang bisa dengan mudah mengutarakannya, bukan?

Dan berpisah dengan kekasihnya, yang bahkan tak pernah mengutarakan perasaannya pada dirinya? Dan menikahi seseorang yang tidak dicintainya?

Mungkin memang dewi fortuna belum meliriknya sata itu. Atau mungkin Dewi Fortuna memang tak pernah tahu dan mengenal dirinya?

Bertahun-tahun ia menantikan seornag pria untuk membalas perasaannya, terjebak dalam kepura-puraan yang tak bisa ia hindari—tak ada jalan keluar—dan kini ia berada disana. Duduk di atas tanah dengan sebuah ponsel terselip di telapak tangannya dan kedua mata yang menatap lurus sosok itu. Sosok yang bertahun-tahun sudah menjadi sumber kesedihan, rasa sakit dan kegusarannya.

Pria itu pun hanya bisa diam. Mencoba mencerna setiap kata yang terucap dari sosok dihadapannya saat sebuah tangan menyentuh kepala bagian belakangnya, menarik kepalanya agar maju dan mempertemukan bibirnya dengan bibir lembut itu.

Ia tak bisa mengingat, kapan terakhir kalinya ia merasakan lembut dan basah bibir itu. Ia merindukannya, memimpikannya di setiap tidurnya.

Ya, Lucio Cavallone masih mencintainya, seorang pria yang kini menciumnya dengan sisa tenanganya.

"A..Alau—"

"Waktuku tidak banyak," Alaude menggertakan giginya, menahan sakit pada sekujur tubuhnya yang sejak tadi menyerangnya, "Lucio… p, pervavore… a, aiu—ta…"

"Alaude! Dengar! Kau akan baik-baik saja.. I Promise you'll be okay! I beg you, please… Give me another minutes.. Please, Alaude!"

Dewi fortuna memang tak pernah mengenalnya, tak pernah mengenal nama Lucio Cavallone. Itulah hal yang terus dibatinkan Lucio, saat tangan Alaude mencengkram keras rambutnya.

Inikah rasanya saat waktumu habis?

Saat sang malaikat berupaya memisahkan jiwamu dari ragamu?

Saat semuanya perlahan menghilang dari pandanganmu dan tergantikan oleh kegelapan malam yang terasa…. Sepi? Menakutkan? Pedih?

Tuhan, kalau kau memang ada. Walaupun aku tak tahu, apakah kau mendengarku atau tidak, aku hanya ingin kau kabulkan satu permohonanku—

"Alaude—"

—biarkan aku berada disampingnya…

"ALAUDE! ALAUDE WAKE UP! ALAUDE!"

.

.

o0o

.

.

"Che! Dimana peramal gila itu disaat seperti ini.."

Merasa kesal tak ada satu orang pun yang menjawab telponnya, Reborn menyelipkan kembali ponselnya pada saku celananya. Diliriknya jam tangannya yang tak juga menunjukan pergantian yang berarti baginya.

"Bahkan si bodoh Lucio tak mengangkat telponku—kemana mereka." Pria itu melihat ke sekelilingnya dan memutuskan untuk duduk pada sebuah puing batu berukuran cukup besar. "Semuanya hancur tak bersisa… " Desisnya pelan saat melihat sebuah runtuhan yang sepertinya berbahan dasar campuran logam.

Dilihat dari sisi manapun, yang bisa dilihatnya memang hanya reruntuhan. Segalanya habis dan rata dengan tanah—bahkan beberapa pohon tumbang akibat gempa local yang diakibatkan oleh runtuhnya gedung.

Siapapun yang berhasil selamat—mungkin sebuah mukzizat?

Melirik ke samping dari sudut matanya, pria itu melihat sesosok pria yang tak jauh lebih tua darinya. Yang membedakan hanyalah rambut pria itu lebih panjang—pria itu mengikatnya menjadi kepangan—dan baju merahnya yang sangat kontras jika dibandingkan dengan setelan jas hitamnya.

Fon.

"Kau tidak mencoba menghubungi saudaramu, Fon?"

Fon tak menjawab. Ia hanya diam berdiri di sana. Berdiri mematung seolah tak ada angin yang bisa merobohkannya.

"Fon? Apa kau dengar? Aku bertanya—FON!" Dengan cepat Reborn berlari menuju ke arah pria keturunan Cina itu, menangkap tubuhnya sebelum jatuh tersungkur dan menancap pada permukaan tajam puing reruntuhan. "Fon! Kau baik-baik saja!"

Reborn mengerutkan keningnya dan sedikit terkejut, saat dilihatnya rekan kerjanya itu mengerluarkan darah dari sudut bibirnya dan wajah pria bernama Fon itu, terlihat sangat pucat.

"Hei, kau baik-baik saja, bukan?" Ulang pria keturunan Italia itu seraya mencoba mendudukan tubuh Fon di tempat yang aman. "Apa yang terjadi?"

Merenggut dadanya, Fon menggeleng pelan.

"Tak ada." Bisiknya pelan dengan suara serak.

"Jangan bercanda! Kau jelas-jelas kesakitan seperti itu!"

Fon tertawa pelan. Di tariknya kedua ujung bibirnya hingga membentuk wajah tersenyum ramah yang begitu khas darinya—namun percuma. Sehebat apapun pria itu berusaha menutupinya, Reborn bukanlah orang yang mudah dikelabui.

Mata pria itu dengan cepat menangkap gerakan pada tangan kanan Fon yang semakin lama, semakin erat mencengkram dadanya sendiri.

"Kau sa—"

"Kyou… Alaude…"

Mengerutkan keningnya, Reborn merasa tak yakin bahwa ia paham apa yang dibicarakan oleh rekan kerjanya itu. Ada apa dengan dua nama itu?

Belum sempat Reborn membuka mulutnya untuk bertanya, pria yang kini bersandar padanya itu semakin terlihat kesakitan. Tidak hanya cengkraman yang semakin erat—dan bisa saja merobek bajunya itu—tapi kini pria itu terlihat seolah tengah memproduksi darah dari mulutnya. Mengalir dalam jumlah tak sedikit dan disertai dengan batuk keras.

"O, oi! Stai bene? Fon!"

Alaude….

.

.

o0o

.

.


Translation:

Dove Sei: Where are you

Addio: Good bye

TUO MARITO MALEDETTO: You're damned husband

EGLI NON FARA CHE: He didn't do that

Aiutami: Help me

Chi sei: Who are you

Ti amo: I love you

Ti amo di piu di quanto mi ami: I love you more than you love me

SO IT'S THE END ALREADY? NO? WHAT?

Okay, so a little explanation- I won't put an end to this story now because it seems I- I can't let the story to stop. So? Yeah, there will be another chapters.

Maybe Epilogue? And a chapter specially made for those who has been dying to know 'what, who, where, when, why'. so what are you waiting for? Hit the review button and ask me anything-about this fanfic of course-and I will answer your questions :)

And my deep apologies because of the late updates... Been 7 months right?

I was-busy with school and its activity. It's my senior year so I'm dealing with test, exams and so on. Cram-school almost kill me.. almost.

Wish me tons of luck, please? I'm having National Examination this coming April.

And yeah.. My deep condolence- ALAUDEEE! TSUNAAA! GIOTTO! *kicked* What will happen to Tsuna? *sobs*

Ah, and for your information.

As this story finish, I will start a new family/drama fanfic. And of course the main pairing will be G27 [I've been working on the chapter since-months ago]. And there's some oneshot and new multichapter fanfic [ AlaudeFon ] I made during my long-dissapearance[?]. Check out my profile!

Oh! and for my Vongola Rooms: 1st Generations, because the vote result is-well-draw. I'd like you to do another vote. Check my profile ^^

I feel like talking and I don't think I can't stop but-ugh! yeah, it's 1:12 a.m and I need to sleep. So, Review and you'll get what you want!

.

p.s: It looks like the name 'Enzo' has become the name of Cavallone 1st 'Fan-cially'[it's not even a proper word] , eh? Bear with it! I've used the name Lucio form the beginning so, If I change it into Enzo-It means I have to redo all of my chapters and it may kill me anytime. :')