Previous Chap :

"Pein, tunggu..."

Aku mencoba melangkah untuk mengejarnya. Tapi aku hanya bisa melihat punggungnya yang sudah semakin menjauh. Aku mempercepat ayunan kakiku. Aku tau, mungkin nantinya aku akan terjatuh—mengingat betapa payahnya aku di dalam bidang olahraga. Tapi aku ingin meraih punggungnya, aku harus mengucapkan terimakasih walaupun ujung-ujung aku pasti akan menangis lebih kencang.

"Pein—kyaa!"

Sruuk!

Aku merasakan perih saat kulit wajahku bergesekan dengan salju yang dingin. Aku kembali menangis, membuat wajahku terasa lebih dingin karenanya. Sambil mengeratkan jaket miliknya yang kukenakan, kutegakan wajahku untuk melihat punggungnya. Dan sekarang... ia hilang. Pein sudah tidak ada.

Dan aku takut kalau di saat inilah aku terakhir kali melihatnya.

Aku menangis.

Kalau aku terluka, pasti aku mengeluarkan airmata, tapi tidak untuk saat ini. Aku menangis karena menangisinya. Dia yang tidak bisa kuraih.

.

.

Jam istirahat, itulah yang membuat tiap ruangan di sekolah menjadi limakalilipat lebih ribut dari biasanya. Tapi, seperti hari-hari sebelumnya Hinata hanya dapat terdiam di kursi. Duduk sendirian sambil memegang sebuah buku.

Setelah suasana di kelas lumayan sepi—karena siswa-siswi yang lain sudah berpindah tempat ke kantin di lantai dasar—hal pertama yang Hinata lakukan adalah menghela nafas panjang.

Ia sempatkan diri untuk membalikan badan, melihat meja seseorang yang dari dulu selalu bertempat persis di belakangnya.

Bangku milik Pein.

Dua minggu lamanya meja itu kosong. Pemiliknya tidak pernah lagi datang ke sekolah. Ya, sejak kejadian beberapa minggu yang lalu—peristiwa penyelamatan Hinata dari Sasuke—Pein selalu absen. Entah karena sakit ataupun sengaja bolos, tak ada satu orang pun yang tau.

Apa Pein sudah pindah sekolah? Kadang Hinata sampai berpikir seperti itu.

Habisnya, ia merasa kehilangan.

Padahal ia sudah merasa nyaman, bahkan...

Suka kepada orang itu.

Tapi kenapa perasaan tersebut malah muncul di saat yang tidak tepat?

Hinata memutar tubuhnya agar kembali menghadap ke depan, lalu ia memejamkan kedua matanya sambil bertopang dagu.

Setelah terdiam beberapa saat, mendadak satu ide terpikir olehnya.

Menelfon Pein.

Dia buka resleting tas miliknya dan mengambil ponsel yang tadi sempat dimatikan—karena memang itulah peraturan sekolah. Setelah dibuat aktif, ia tekan beberapa tombol yang membawanya ke fitur kontak. Dari puluhan nama yang tertera di sana, ia ketik nama Pein dan tertulislah nomor ponsel orang itu di layar.

Bila ditanya kenapa ia bisa punya nomor tersebut, tentu saja jawabannya karena ia diberikan oleh Kakashi—sebelum ia disuruh mendatangi rumah Pein.

Kemudian, saat ia akan menekan tombol 'call', ibu jarinya berhenti bergerak.

Hinata menggigit bibir bawahnya.

Memangnya dia berani?

Mungkin ia tidak akan sanggup, apalagi jika ingatannya tentang kejadian kemarin terus melintasi benaknya.

Jadi...

Telfon atau tidak?

.

.

.

NERDS

"Nerds" punya zo

Naruto by Masashi Kishimoto

[Pein Rikudou x Hinata Hyuuga]

Romance, Friendship, Drama

AU, OOC, Typos, etc.

.

.

EIGHTH. Terima

.

.

Kali ini, setting tempat yang melatarbelakangi Hinata adalah sebuah taman yang berada di belakang sekolah. Taman ini indah, namun sayangnya karena ditaruhnya di tempat yang tidak terlalu mencolok bagi umum, sehingga sedikit orang yang mau repot-repot memutari sekolah dan melihatnya.

Ditemani oleh bento buatannya sendiri, ia terbengong di salah satu bangku kayu di sisi taman. Dirinya memang ada di sini, tapi pikirannya sedang melayang-layang ke lain hal—Pein. Lalu ia kembali menunduk dan melihat kotak bekalnya yang masih full—baru dia makan sebanyak tiga sumpitan nasi.

Ia menaikan tangan kirinya yang sedang memegang ponsel, sehingga pandangannya kembali terpaku pada layar benda telekomunikasi tersebut.

Di sana ada nomor milik Pein, dan tombol hijau yang menunjukan bahwa ponsel itu sudah siap untuk di menyambungkan suara mereka. Tapi tampaknya Hinata masih saja tidak yakin.

Tapi, kalau dia ragu terus... bagaimana caranya ia bisa berhubungan dengan Pein? Tentu saja makna 'berhubungan' yang ini bukanlah mempunyai maksud pacaran. Cukup tau kabar pria itu saja dia sudah senang kok, mengingat sudah berminggu-minggu Pein meninggalkan kehidupannya di sekolah.

Benar, kan?

Dengan segenap keberanian, Hinata meletakan kedua belah sumpitnya ke atas wadah bento. Lalu ia pun mejamkan mata, aba-aba ia akan menekan tombol hijau—menelfon.

Pip.

Beberapa detik kemudian, Hinata melihat tulisan di layar ponselnya yang sudah tersambung. Perlahan, ia dekatkan sumber suara ponsel ke telinganya.

Ditunggunya lama.

Lama.

Dan lama...

Klik.

Sambungan itu mati dengan sendirinya dan digantikan dengan suara operator, tanda bahwa Pein tidak mengangkat.

Hinata mencoba menelfon lagi.

Tapi, terus saja hal itu gagal. Bahkan sampai yang keempatkalinya.

Karena putus asa, Hinata hanya bergumam. "Mungkin saja dia lagi sibuk..." Lirihnya entah ke siapa. Lalu ia kembali melihat ke langit yang biru, seakan mencari harapan.

Sambil menghela nafas pasrah, ia kembali menekan tombol call.

Kali ini ia tidak berharap lebih. Tapi ia benar-benar ingin Pein mengangkat telfonnya.

Ia sentuhkan ponselnya ke daun telinga, lalu berbisik pelan. "Kapan kamu mengangkat telfonku...?"

"Ini sudah kuangkat."

"EEHH?"

Sontak saja Hinata berteriak kaget, dengan tangan yang gemetaran ia segera memencet tombol merah—men-disconnect-kan sambungan mereka.

Klik.

Tiga puluh detik terlewat. Hinata mengerjapkan mata. Kini, wajahnya memerah. Tidak tau apakah sedang menanggung malu ataupun menyesal. Hinata mendesah pasrah.

Kenapa dia harus mematikan sambungan telfonnya?

Srek.

Mendadak, suara dari belakang membuatnya menoleh.

Lalu saat melihat apa yang pada saat ini ada di depannya, ia tersentak.

"Ka-Kalian...?"

.

.

~zo : nerds~

.

.

Blam.

Bantingan pintu yang tertutup membuat Pein—yang sekarang sedang berada di lantai satu rumahnya—melirikan mata ke sumber suara. Dipandanginya kedua tamu yang baru saja datang. Ternyata itu adalah Tobi dan Deidara, kedua anak buahnya di Akatsuki.

"Hai, Leader-sama!" Tobi menyapanya dengan semangat, sedangkan Deidara hanya mengikutinya sambil menenteng kantung plastik yang berisikan makanan kecil. Pein memalingkan wajah dan melanjutkan niatan awalnya—mengambil air minum dari dispenser.

Berhubung ibunya sedang tidak ada di rumah, mereka memang suka datang sembarangan—terutama kedua orang ini.

"Hari ini panasnya keterlaluan. Bikin kulit jadi hitam aja..." Deidara merutuk. Ia taruh belanjaannya ke atas meja dan mendudukan dirinya di sana.

Pein sudah tau itu termasuk dari ratusan alasan Deidara untuk bisa nebeng di rumahnya—yaitu : ngadem.

Tapi Pein tidak terlalu memikirkannya. Ia menyenderkan punggungnya ke tembok, dan meminum air putih sembari membuka topik obrolan.

"Bagaimana dengan mereka?"

Pein tidak bisa berbasa-basi.

"Mereka siapa?" Ulangnya. "Taka?"

Pein sedikit mengangguk, sama sekali tidak terganggu dengan Tobi yang mulai berlarian mengelilingi rumahnya.

"Ya."

Deidara bergumam sebentar, ia berpikir. "Sebenarnya sih sudah selesai. Tapi kebanyakan dari mereka masih dendam, mungkin mereka akan membuat serangan balasan."

Trrrr...

Suara dadakan yang terdengar itu membuat mereka melirik ke sebuah ponsel yang terletak di sofa berdering. Tentu saja ponsel milik Pein.

Tanpa berpikir akan mengangkatnya, Pein mengembalikan pandangannya ke Deidara. "Kira-kira kapan mereka akan mulai melawan lagi?"

"Entahlah."

Trrrr...

"Sepertinya mereka akan bertindak cepat."

"Kemarin tidak ada yang mati, kan?"

"Tidak."

Trrrr...

"Tsch..." Deidara menghela nafas berat. Tentu saja ia jadi susah berkonsentrasi menjawab pertanyaan dari Pein apabila suara itu terus menyelanya.

Sedangkan Pein malah kembali meminum air putih yang masih di tangannya. Ia tampak tidak peduli.

Namun, Tobi yang sedang berjalan-jalan nyatanya mendekati ponsel itu dan memegangnya.

Trrrr...

"Leader-sama, ada telfon. Kasihan loh kalau tidak diangkat."

"Biarkan saja."

"Tapi aku sudah mengangkatnya..." Ucapan Tobi yang terasa sangat amat polos itu membuat Pein memberikan pandangan sinis.

Namun sebelum Pein mengeluarkan suara, Deidara cepat-cepat menengahi. "Sudahlah, jawab saja. Siapa tau penting."

Pein memalingkan wajah. "Matikan."

Tobi mengangguk, lalu ia mencoba menekan salah satu tombol di ponsel tersebut, namun nyatanya ia salah tekan, dan membuat suara yang diterima oleh sinyal menjadi ke loudspeaker.

Pip.

"H-Hallo? Apa... ini Pein?"

Suara tadi membuat kedua mata Pein membulat. Telfon itu dari Hinata—lagi.

Sebelum Tobi akan menekan tombol merah, segeralah Pein memberikan isyarat kepadanya agar ia diam. Pein berjalan menyamperi Tobi dan meraih ponselnya. Ia terlebih dulu mengembalikan setting ke awal dan menjawab.

"Hm, ini aku."

'Ah, akhirnya aku bisa berbicara denganmu...'

"Kenapa? Apa yang mau kau bilang?" Tanyanya cepat, seakan tidak ingin berlama-lama berbicara.

'Umm...' Ia bergumam. Nadanya terdengar bingung. 'Apa, ya?'

"..."

'...'

"..."

Pein menghela nafas. "Kau menghabiskan waktuku."

'Ung, tunggu... a-aku ingin bercerita...'

"Tentang apa?"

'Sekolah.' Jawab Hinata, kali ini lebih mantap.

"Yaudah."

'Sejak kau tidak ada di kelas, aku selalu main sendirian...'

Pein memilih untuk mendengarkan.

'Karena itu aku lebih sering menghabiskan waktuku di taman lavender. Di sana aku baru tau kalau lavender yang mekar itu seperti apa. Indah sekali. Seandainya kita bisa melihatnya bersama...'

Kalimat Hinata terdengar bahagia, tampaknya ia benar-benar ingin bercerita banyak—bahkan dari suaranya saja tampaknya gadis itu sudah melupakan hal buruk yang sempat terjadi di tengah hubungan mereka.

'Ah, berhubung ini sudah mau masuk musim semi, jadi—'

'—Kami menyuruhmu menelfonnya bukan untuk pacaran!'

Pein mengernyit bingung.

Itu suara geraman Karin. Tampaknya Pein baru sadar bahwa Hinata sedang tidak sendirian, namun bersama kelompok berambut merah itu.

Lalu terdengar suara bentakan kasar yang kali ini lebih jelas. 'Kalau kau ingin Hinata selamat, ayo ke sini! Sasuke sudah menunggumu!'

Klik.

Suara ponselnya selesai sampai sana.

Keduanya—Deidara dan Tobi—kebingungan karena mereka tidak tau apa hubungan gadis itu dengan pimpinannya. Namun Pein hanya terdiam di tempatnya, sama sekali tidak berbicara.

"Wow, tidak kusangka kau bisa mempunyai kekasih sesabar dia, ya?" Deidara berkomentar asal—berniat mencairkan suasana—tak lupa dengan anggukan setuju dari Tobi.

"..."

Bukannya menanggapi kalimat tadi, tiba-tiba saja Pein langsung mengambil kacamatanya yang sempat nganggur di atas meja, dan berlari keluar rumahnya.

"Hei, Pein! kau mau ke mana!" Panggilnya. "Cih, lagi-lagi dia bertingkah aneh!"

.

.

~zo : nerds~

.

.

Karin menatap sinis ke arah Hinata yang masih terduduk di aspal markas Taka, geng milik Sasuke—di sebuah daerah yang menyerupai gang kecil yang sempit. Matanya sedikit sembab karena menangis, pipinya memerah—karena baru saja mendapati luka tamparan. Dan tak sedikit juga baretan di permukaan kaki dan sikunya yang pastinya karena ia diseret-seret ke sini.

"Tsch, mana si Pein itu? Lama banget! Katanya dia ketua geng? Masa takut sih!"

Suara tersebut membuat Hinata sedikit mendongak ke atas, melihat seorang siswi berambut merah panjang yang sedaritadi terus marah-marah. Ya, memang hanya dia seorang—tidak ada lagi komplotannya yang beranggotakan Sakura, Ino ataupun Tenten. Mungkin yang lainnya tidak mau terlibat lebih dalam dengannya.

Bayangkan saja, Karin masih berani untuk menggabungkan dirinya ke masalah geng hanya karena ia dendam ke Hinata, dan ia ingin gadis itu menderita di depannya. Walaupun ia tidak tau caranya, sudah pasti ia akan melakukan apapun.

"Heh, apa jangan-jangan si cupu itu hanya berlagak jadi pemimpin geng? Cih, memalukan!"

Hinata terdiam. Ia sendiri pun tidak tau masalah yang tadi dibicarakan Karin.

Yang ia tau... bahwa Pein adalah orang yang baik. Walaupun pria itu sudah berkali-kali memperingatinya, ia akan terus mengelak.

Tapi mendadak lamunan Hinata harus menghilang karena satu hal, yaitu karena jambakan kuat yang terasa di poninya.

"Kalau dia tidak muncul... kau yang harus menanggung hukumannya!" Karin melirik si Indigo yang sedang kesakitan. "Sekarang, cepat panggil dia! Gunakan teriakanmu!"

Karin berteriak lantang, bahkan karena hal itu banyak burung-burung gereja yang tadinya terdiam di tiang listrik langsung berterbangan ke tempat lain.

"T-Tidak...! Aku tidak mau!" Sebisa mungkin ia ingin menyingkirkan tangan si kacamata dari helaian rambutnya. Habisnya jambakan Karin benar-benar menyiksa, begitu kasar dan tanpa belas kasihan sama sekali.

"Panggil dia! Panggil dia seperti dulu kau memanggilnya untuk menahanku!" Masih saja Karin meluapkan emosinya ke Hinata yang kini menangis.

Tapi karena sudah beberapa menit berteriak-teriak dan tidak ada yang muncul, dengan kasar Karin melepaskan cengkramannya dari rambut Hinata. Ia pun berdecak kesal."Dasar payah!"

Sebisa mungkin Hinata menahan isakannya, seharusnya ia tidak menangis karena luka sepele seperti ini. Ia harus kuat.

Namun, nyatanya yang muncul dari ujung gang sempit ini adalah Sasuke, Sai, dan salah seorang lagi yang bertampang sangar. Pria itu berambut biru muda, dan sedang tersenyum sampai menunjukan deretan giginya yang runcing.

Suigetsu.

Tapi, saat Hinata memfokuskan pandangannya ke pria asing tersebut, dilihatnya Suigetsu yang menggunakan sebuah tongkat di masing-masing tangannya untuk membantunya berjalan.

Ya, kakinya hanya ada satu.

Satunya lagi telah diamputasi.

Setelah ketiga pria itu berada di depan Hinata dan Karin, gadis berponi rata tersebut tidak bisa lagi menyembunyikan rasa tidak nyamannya.

"Kupikir suara teriakan dan tangisan itu cuma ilusi, ternyata beneran ada orang gila di sini." Suigetsu menyindirnya—lebih tepatnya ke arah Karin seorang.

"Diamlah, sialan! Jelas-jelas aku sedang membantumu!"

Ketika mau membalas ejekan Karin, secara tidak sengaja mata Suigetsu melihat ke arah Hinata. Dia terdiam sebentar, lalu dia berikan sebuah tatapan sinis yang mematikan kepadanya. "Satunya orang gila, dan satu lagi pacar dari si ketua Akatsuki brengsek itu."

Karin bungkam. Jujur saja ia kesal dengan adanya Hinata di depan Suigetsu. Masalahnya Suigetsu kan pernah suka Hinata. Tapi mungkin saja pria itu sudah membencinya karena status Hinata yang menjelaskan kalau ialah milik Pein—ketua Akatsuki.

Tapi lain pikiran dari Karin, lagi-lagi Hinata sedang sibuk dengan pertanyaan di benaknya sendiri. Ia tidak mengerti. Apa itu Akatsuki, dan siapa yang mereka sebut-sebut sebagai pacarnya?

Pein?

Sekalipun itu adalah Pein, ia bukanlah seorang ketua geng!

Tapi, Hinata memilih untuk terdiam dan tidak menjawab atau bertanya ke mereka.

Sasuke kemudian mengambil rokok dan menyelipkannya ke sela bibirnya. "Sekarang dia ada di mana?"

"Si pecundang itu belum muncul."

Ia mendengus. "Tenang saja, sebentar lagi kau pasti bisa membalaskan dendammu, Suigetsu."

Suigetsu menyeringai, membuat Hinata merinding.

"Ya, akan kubunuh dia... dengan umpan ini."

.

.

~zo : nerds~

.

.

Pein menghentikan langkahnya di atas salju yang sudah mulai mencair. Nafasnya terengah, dan tenaganya sudah terbuang banyak untuk mencari Hinata—yang saat ini entahlah sedang berada di mana.

Yang pasti, ia tidak menemukannya di taman, ataupun tempat dulu yang ia menyelamatkan Hinata dari Karin.

Kesal dengan kesia-siaan ini, Pein berdecak dan mengambil ponsel dari sakunya. Ia memang tidak pernah menyimpan nomor ponsel Hinata, tapi mungkin saja history calls-nya masih menyimpan nomor gadis itu.

Setelah ketemu, Pein menghubunginya lagi. Tapi tidak bisa.

Ia pun berdecak, lalu menyenderkan punggungnya ke pohon untuk memikirkan sesuatu.

.

"Kalau kau ingin Hinata selamat, ayo ke sini! Sasuke sudah menunggumu!"

.

Kedua kelopak matanya terbuka.

Sasuke?

Itu berarti...

Taka.

Dengan cepat ia mengembalikan posisinya menjadi tegak, lalu berlari ke gang sempit yang biasa dijadikan Taka sebagai markasnya.

. . .

Sesampainya di daerah yang cukup rawan itu, Pein memperlambat laju jalannya. Langkah perlangkah ia lewati tanpa suara. Lalu, sesudah berada di perempatan gang, terlihatlah Hinata di salah satu jalan. Ia sedang meringkuk ketakutan—juga karena kedua tangannya terikat. Hinata melihatnya.

"Pein... k-kau datang..."

"..." Pein tidak menjawab, lalu ia berjalan ke arah Hinata.

Awalnya, Hinata ingin sekali tersenyum untuk menyambut kedatangan Pein. Namun, satu hal yang membuatnya tersentak. Ya, tentu saja. Karena pada saat ini di belakang Pein sudah ada seseorang yang membawa pukulan baseball, dan siap untuk mengayunkannya.

"Pein, awas!"

"—?"

BUAGH!

. . .

Saat Pein membuka kedua kelopak matanya, ia melihat sebuah darah yang tertetes di aspal. Bukan hanya satu. Ada banyak. Dan itu adalah darah yang berasal dari kening, serta bibirnya yang sobek.

Lalu ia sedikit membenarkan posisinya menjadi berdiri, namun kakinya tiba-tiba sakit, sehingga membuatnya tidak bisa berdiri dengan benar. Pandangannya berbayang-bayang, kepalanya pening, tapi ia berusaha untuk memfokuskan penglihatannya.

Mendadak, pupil matanya bergerak menemui kacamatanya yang terdampar di ujung jalan. Sepertinya pada saat wajahnya dipukul, benda itu mental dan retak saat menabrak aspal.

Dan ketika ia mengadah, dilihatnya Sasuke—yang kemungkinan besar tadi memukulnya—Sai dan Suigetsu.

Dan di detik itu pula Pein sadar akan posisinya. Terikat di tiang lampu dengan tubuh babak belur. Sedangkan dari kejauhan ada Hinata yang sedang menangisinya. Tak peduli lagi dengan bentakan Karin yang terus menyuruhnya diam.

"Kenapa? Merasa dirimu lemah?" Suigetsu tersenyum puas. "Sekarang hidupmu sudah berada di tangan kami."

Pein melirik ke arahnya, lalu ia berdecih, mengeluarkan ludah yang sudah tercampur oleh darahnya. Karena tidak bisa mengusap darah yang ada di sudut bibir, Pein menggunakan lidahnya untuk menghapusnya.

"Lemah, katamu?" Ulangnya perlahan. Lalu ia memejamkan mata. Sebentar, lalu kembali membukanya. Memperlihatkan tatapan sinis yang bagaikan mahkluk liar.

"Lihat cara ini..." Kedua mata ungu itu menatap tajam sosok di depannya. "Pecundang."

Mereka semua yang menyaksikan kalimat Pein pun diam-diam menelan ludah. Takut.

Dan Pein pun tersenyum meremehkan dan melanjutkan kalimatnya. "Setidaknya cara kami menyiksa kaki busukmu itu lebih bagus."

Suigetsu menggeram. Dia ambil paksa besi yang dari tadi ada di tangan Sasuke.

"SIALAN! BILANG APA KAU TADI?"

Ia ayunkan besi, dan dilayangkannya ke kaki milik Pein.

BUKH!

BUKH!

BUKH!

Walaupun semua orang yang melihat hal tadi yakin bahwa pukulan tadi sangat sakit, Pein masih tetap saja terdiam dengan muka datarnya. Tapi semakin lama kedua alis Pein sedikit bertaut. Dan Suigetsu yakin itu adalah bukti Pein sudah merasa kesakitan.

"HAHAH! RASAKAN ITU!"

Ternyata Suigetsu benar-benar tidak main-main akan dendam itu.

Sambil menghela nafas kasar, Suigetsu melihat seluruh permukaan kulit Pein yang sekarang. Wajah, tangan dan kakinya sudah dipenuhi oleh baretan serta memar yang berwarna biru ataupun ungu. Tapi ia belum cukup puas.

Ia membuang pipa besi itu, lalu mengambil sebuah pisau lipat dari sakunya.

"Jangan! Kumohon! Jangan lakukan itu padanya—hmph!" Hinata memohon, namun Karin sudah keburu membekapnya. Tidak ada yang boleh mengganggu momen ini.

"Akan kupotong kakimu! Sama seperti apa yang sebelumnya kau lakukan padaku!"

Dan saat mata pisau akan ia tancapkan ke lutut Pein, mendadak saja sesuatu terjadi.

BUAGH!

PRANG!

Sebuah tong sampah yang berat itu menghantam Suigetsu sampai ratusan sampah tersebut berhamburan kepadanya.

Sontak saja, Sasuke, Sai dan Karin pun terkejut. Pandangan mereka berpindah ke arah samping, tepat di mana ada seseorang berambut merah dengan wajah babyface-nya yang seolah-olah sedang menyingkirkan debu dari tangannya.

"Maaf ya, tadi tanganku licin." Ia tersenyum manis.

Pria itu bukanlah orang biasa. Itu adalah anggota Akatsuki, Sasori.

"Kau sudah babak belur..." Satu orang lagi yang baru muncul pun mendengus. Tentu saja pria berparas dingin tersebut mengejek Pein. "Payah."

Dan itu Itachi.

Sasori dan Itachi.

"Ck, diamlah."

Lain hal dengan Karin, gadis itu terkejut setengah mati. Apalagi di saat Pein sudah terbebas dengan sendirinya dari ikatan tali tambang, dan mulai mengelap wajahnya yang dipenuhi oleh darah dengan bahunya.

"Iya... Tobi dan Deidara-senpai juga sudah datang loh~! Tadi Kakuzu-senpai dan Hidan-senpai juga mau datang, tapi Tobi larang, soalnya anggota Taka memang cuma ada 4 di sini. Kan biar adil~! Oh, aku tidak dihitung ya, soalnya aku—"

Sebelum selesai, omongan Tobi berhenti karena Deidara sudah keburu menjitak kepalanya. "Diamlah, bodoh."

Tanpa basa-basi, Pein memberi perintah. "Tobi, bawa Hinata pergi."

"Iya, Leader-sama!"

Setelah Tobi mengajak Hinata berlari ke arah jalan kecil yang lain, Pein menyeringai. "Jumlahnya pas."

"Sekarang... waktunya pembalasan."

.

.

~zo : nerds~

.

.

Lebih dari setengah jam Tobi dan Hinata mengamankan diri di salah satu gang yang cukup luas. Hinata masih berusaha mengurangi rasa gemetarannya yang belum mereda, sedangkan Tobi dengan asiknya bercerita tentang apapun. Entahlah, walau Hinata merasa topik yang dibahas Tobi adalah sesuatu yang menyerupai basa-basi, ia tetap menghargai bocah tersebut yang sedang berusaha menghiburnya.

"Hinata-chan, kamu masih pucat sekali..." Tobi menghela nafas. "Ayo senyum dong, nanti Leader-sama bisa sedih kalau melihatmu seperti itu..."

Hinata berniat untuk mengangguk. Tapi rasanya sulit. Jadi ia hanya menanggapi kalimat-kalimat Tobi dengan jawaban singkat yang seperlunya.

Lalu, beberapa menit kemudian terdengar suara langkah dari kejauhan.

Dia datang.

Dengan itu Hinata memalingkan wajahnya.

Pein...

Sepertinya ia sudah selesai berantem.

Kemudian Hinata berpikir. Jadi benar Pein adalah salah seorang yang menjabat menjadi ketua geng?

Tapi, Pein yang ia kenal adalah orang yang baik. Orang yang selalu menemani dan juga membantunya saat dia di-bully oleh yang lain. Bukan yang ini...

Hinata menelan ludahnya sendiri.

Namun, ia harus menerima Pein apa adanya, kan? Meskipun ia liar, ketua geng atau apa, dia tetaplah Pein yang pernah menolongnya. Dia jahat, tapi juga orang baik...

Bersama keraguan yang terlihat jelas, Hinata sedikit mengadah untuk melihat Pein.

Pria itu tampaknya tidak terluka banyak. Paling hanya memar berwarna merah kebiruan bekas pemukulan yang dilakukan padanya pada saat ia terikat.

Akhirnya, Pein menghentikan langkahnya ketika sudah di depan Hinata. Tobi yang mengerti keadaan langsung pergi meninggalkan mereka berdua.

Setelah hanya ada Pein dan Hinata, suasana menjadi hening. Tidak ada satu suara yang keluar dari bibir masing-masing.

Hinata membisu, dan Pein pun sama. Mereka tidak menyapa ataupun menanyakan keadaan satu sama lain. Dan tanpa ada kata-kata, Pein berbalik membelakangi Hinata.

"Pulanglah..."

Hinata menggigit bibirnya sendiri.

"Pein..."

Akhirnya Hinata berhasil memanggilnya, mengalahkan rasa tertekan yang dari tadi terus ia rasakan. Lalu, Pein menoleh.

Iris mereka yang nyaris serupa itu bertatapan. Lama. Tapi karena tidak ada kalimat lanjutan yang keluar dari bibir Hinata, Pein membuang muka dan melanjutkan perjalanannya.

Hinata tersentak. Ia tidak ingin seperti kemarin, terjatuh dan kehilangan Pein.

Jadi, kali ini ia menguatkan mentalnya untuk berani. Ia langkahkan kakinya untuk maju ke depan, lalu tak tanggung-tanggung langsung berlari menerjang Pein dari belakang.

Brukh!

Hantaman itu keras bagi Hinata, namun pelan bagi Pein. Kedua tangan Hinata mendekap tubuhnya, sedangkan wajah gadis itu menempel erat di punggung bagian belakangnya.

"—A-Aku tidak tau lagi..." Ia tumpahkan seluruh air matanya ke sana. "Aku tidak tau lagi harus berbuat apa..."

Merasa pelukannya kian mengerat, Pein sedikit menolehkan wajahnya ke samping. Tapi ia tetap terdiam, sama sekali tidak berniat untuk mengeluarkan sepatah kata pun.

"Barusan aku memang mengalami sesuatu hal yang membuatku ketakutan..."

Hinata memaksa senyumannya muncul. Kedua matanya terpejam rapat, menumpahkan airmata yang sudah memenuhi kelopak mata.

"Tapi aku bahagia..."

"Bahagia karena kamu datang..."

"Terimakasih, Pein..." Kini, Hinata terisak. "Aku... uhk a-aku... aku..."

Hinata menyerah, rasanya susah sekali menyampaikan kalimat 'itu' apabila menangis sampai sebegininya.

Pein menghela nafas berat. "Apa?"

"Aku... a-aku..."

"A-Aku... aku su-suk-sukk—"

Lalu, tanpa aba-aba Pein merubah posisi. Ia melepaskan pelukan Hinata, dan berbalik untuk merengkuh Hinata yang masih menunduk.

Kalimat yang tadi akan keluar itu berhenti. Ya, otomatis berhenti karena sebuah kecupan lembut di bibirnya.

Bibir Pein.

Masih dengan bibirnya yang menyatu, Hinata melempar tatapannya ke iris keunguan Pein yang ada di hadapannya.

Orang itu... menciumnya?

"Aku suka kamu."

Kalimat yang tadi ingin Hinata sampaikan nyatanya sudah didahului oleh Pein. Gadis itu membeku di tempatnya berdiri. Terus memikirkan apa yang baru saja ia dengar bukanlah sebuah kesalahan dari telinganya.

Sampai akhirnya Pein melepas sentuhan bibirnya, lalu tersenyum tipis.

"Jangan nangis lagi."

Bersama semburat kemerahan yang menghiasi pipinya, Hinata mengangguk dan tersenyum lebar. Dia tunjukan wajah manisnya yang mulai bersinar, dan ia pun mulai melingkarkan tangan mungilnya ke tubuh besar Pein, serta memeluknya.

"Akan kuantar kau pulang."

"Umm..."

.

.

THE END

.

.

Author's Note :

HUAH, AKHIRNYA ADA FICT-KU YANG COMPLETE JUGAA! Dan ternyata susah juga ya buat romance di antara pendiem dan pendiem *baru nyadar pas complete*

Yang penting aku mengucapkan banyak-banyak terimakasih bagi para readers yang bersedia membaca fanfic ini sampai tamat. Dan aku jamin banya yang lupa tentang fict ini muehehe.

Semoga semakin banyak Pein di FNI! *nebarin gambar Pein*

.

.

Thankyou for Read & Review!

Special Thanks to :

Nanairo Zoacha, kyu's neli-chan, ulva-chan, Ekha, Uchihyuu nagisa, Ai HinataLawliet, Yano 4K4tsuki, Deidei Rinnepero13, Nyx Quartz, mayraa, ff ear, Kei2Kei, Lollytha-chan, Kapten Byakuya, Putri Luna, No Name, Botol Pasir, misstrowbery, Uzumaki arrancar-chan, Dei-kun Love Ai-chan, Dhinie minatsuki amai, DindaHatake, Haruka Hime, ve Degirl, No Name, little un-chan, elmo, sarangHAEppa, Pain lovers, Marsilea Crenata PRESL, Anggie Uchiha, Demon D. Dino, R. K, Nerazzuri, f1f4.

.

.

Pojok Bales Review :

Akhir ceritanya bakalan kayak gemana? Ya kayak gini ^^" Endingnya bakal gantung atau ngga? Moga aja ngga. Sebel deh sama Sasuke cs. Maaf ya, mereka emang kedapetan tokoh antagonis sih. Pengen ngeliat scene berantemnya. Aku ngga bisa buatnya, jadi di-skip. Kelamaan update. Sebelumnya aja udah dibilang lama, gemana yang ini. Sorry ya wkwk. Untung Hinata ngga sempet diapa-apain sama Taka. Iyaa. GaaHina bukan crack lagi? Masih crack ding ^^" WB itu apa? Writer's Block. Jadi Author-nya ngga tau lagi harus ngebuat cerita kayak apaan. Mau buat NaruHinaPein. Ngga jadi XD Jadinya NaruHina + SasuFemNaru XDXD Keren banget, apalagi Author-nya buat pas SMP. Sekarang sih aku udah SMA, tapi emang pas ngetik chap awal masih kelas 3 SMP sih XD Words-nya kependekan. Moga ini udah panjang. Aku kira fict ini ngga bakalan lanjut. Iya hehe. Adekku terus nyuruh aku complete-in ini sih.

.

.

Review kalian adalah semangatku :'D

Mind to Review?

.

.

THANKYOU