Summary :
Hinata adalah anak pendiam dan tertutup sehingga seringkali menjadi sasaran bullying. Sampai suatu saat datang Pein, anak baru berkacamata tebal yang pendiam. Karena merasa setipe, Hinata mencoba untuk berteman dengannya. Tapi,bagaimana kalausebenarnya Pein itu adalah ketua suatu geng yang paling ditakutin?
.
.
Hinata's POV
"To-Tolong buka pintunya! Aku tidak bisa keluar!" Sambil memohon, kudongakkan wajahku ke jendela atas pintu, menatap fentilasi satu-satunya ada di ruangan sempit ini.
Kenapa aku tidak langsung keluar? Itu sudah pasti karena aku sedang terkunci.
Aku cuma bisa mengetuk papan pintu dan juga memohon, berharap mereka merasa kasihan padaku dan membebaskanku sekarang juga.
Lalu terdengar suara tawa gerombolan perempuan dari luar kamar mandi. "Baiklah... tapi kami mau dengar suara tangisan jelekmu itu dong! Kalau kau nangis, nanti dibukain deh!" Seru salah satunya—yang dapat kukenali dari suaranya adalah Karin.
"Ka-Karin! Kumohon! Sebentar lagi bel masuk!"
Namun nyatanya bukan ejekan lagi yang mereka jadikan jawaban, melainkan seember air dingin yang dijatuhkan oleh mereka lewat fentilasi yang berada tepat di setengah meter di atasnya. Tentu saja dengan waktu singkat seluruh tubuhku—terutama dari bagian kepala dan pundak—basah tersiram air dingin.
"HAHA! Ini hadiah dariku karena kau sudah berani cari perhatian di depan Naruto!" Suara Sakura memperingatiku. Dan akhirnya kudengarkan suara langkah banyak orang yang keluar area toilet.
Setelah tidak ada lagi tanda-tanda kehadiran mereka, aku langsung mendorong pintu, mencoba untuk membuka pintu toilet yang sepertinya mereka ganjal dari luar.
Dengan susah payah aku dorong pintu itu agar terbuka, tapi hasilnya nihil. Malahan kegiatan tadi membuat kedua tanganku memerah karena sakit. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu cleaning service yang berjadwal membersihkan toilet, sehingga ia bisa membantuku keluar.
Aku menghela nafas berat, lalu menyenderkan punggungku ke tembok yang lembab akibat guyuran tadi.
Yah, setidaknya ada hikmah aku bisa terkunci di sini.
Seragam putihku basah—sangat amat basah. Semuanya menjadi transparan. Dan apabila aku berada di luar, aku pasti akan sangat malu karena dilihat oleh banyak orang, terutama lelaki.
Jadi, ambil hikmahnya saja... Hinata
.
.
.
NERDS
"Nerds" punya zo
Naruto by Masashi Kishimoto
[Pein Rikudou x Hinata Hyuuga]
Romance, Friendship, Drama
AU, OOC, Typos, etc.
.
.
FIRST. Murid baru
.
.
Aku adalah murid kelas tiga di Konoha High School. Sekolah elit yang bisa dibilang lumayan membebaskan sifat murid-muridnya dalam aturan. Jadi, tidak jarang banyak orang kaya yang memilih sekolah swasta ini menjadi tempatnya untuk menghabisi masa SMA mereka.
Tapi, aku bukanlah salah satu dari mereka. Aku memang tidak miskin, namun aku juga tidak kaya. Bertahan di sini pun karena aku ketergantungan dengan beasiswa.
Karena itu aku juga tidak boleh seperti yang lainnya yang suka menelantarkan aturan. Karena jika aku menjadi seperti mereka, beasiswaku akan dicabut—dan aku tidak mau hal itu terjadi.
Sebenarnya aku senang membuat ayahku bangga karena prestasiku di akademik yang bisa dibilang nyaris sempurna, tapi ternyata aku sendiri yang mengalami kepahitannya. Di sekolah ini, hampir semua murid menyiksaku. Aku tidak tau apa alasannya, tapi tampaknya mereka tidak suka orang kumuh sepertiku ada di sini.
Mungkin pada awalnya mereka hanya menyindir saja—dan itu pun jarang-jarang. Tapi makin hari tingkah mereka semakin menjadi-jadi, membuatku merasa tidak tahan dan ingin sekali pindah sekolah. Tapi, apa daya. Aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa.
Kira-kira...
Kapan siksaan ini akan berhenti?
.
.
~zo: nerds~
.
.
Normal POV
Suara alunan lagu death metal menggema ke seluruh ruangan, dan tak lupa sejejer botol alkohol serta bir banyak yang tumpah-tumpahan di lantai. Semua hal tadi menyebabkan bau menyengat dari minuman keras tadi tercampur dengan wewangian rokok yang tadi pagi sempat dihirupnya di kamar ini.
Itulah kamar Pein Rikudou. Anak dari pasangan Jiraiya dan Tsunade.
Di sela ketentramannya, tiba-tiba saja terdengar derap langkah seseorang yang sepertinya akan menuju kamarnya. Semakin dekat, suara itu pecah menjadi dua bagian—satu, langkah kaki. Dan dua, omelan khas Ibunya. Dan saking kerasnya, suara itu bahkan bisa melebihi kapasitas max volume musik di ruangannya.
Brakh!
Pintu kamarnya terbuka oleh bantingan kasar.
Seperti dugaan sebelumnya, dengan muka emosi Tsunade—Ibunya—berdiri di depan kasur tempat ia berbaring.
Dan ia semakin marah saat Pein sama sekali tidak menyahut, padahal sudah ratusan kali ia panggil. "Pein! matikan musiknya! Dari tadi Okaasan memanggilmu!"
Pein tidak menjawab. Menoleh atau membuka kedua matanya yang terpejam saja tidak. Dengan sengaja ia terus sibuk menikmati alunan musik keras itu.
"PEIN! MATIKAN MUSIKNYA! Okaasan mau bicara!"
Kali ini Pein menoleh, membagi tatapan sinisnya kepada Ibunya yang masih ada di kamarnya. Tanpa suara ia mematikan musik itu dengan memukul kencang tombol yang bertulisan off.
Setelah ruangan menjadi hening, Tsunade membuka suara. "Pein, apa kamu tau berapa umurmu sekarang?"
"Tidak." Jawabnya malas.
"Kau sudah 20 lebih! Dan baru saja Okaasan mendapat pemberitahuan dari kepala sekolahmu, kalau kamu ini tidak LULUS lagi! Apa kamu belum cukup puas tidak lulus duakali, hah!"
Kalau saja ia membalas kalimat tadi, mungkin bentakan itu akan semakin berdurasi lama. Karena itu ia hanya menguap dan membenamkan wajahnya di bantal. Dia terlalu masa bodo dengan ibunya itu.
"Bayar saja. Apa susahnya?" Gumamnya, mengingat setahun yang lalu Ibunya menolak keras untuk 'membeli' ijazah kelulusan dirinya.
"OKAASAN TIDAK MAU! Kamu harus berusaha sendiri!" Bentaknya. "Dan sekarang Ibu kasih kamu kesempatan untuk mengulang kelas tigamu selama setahun lagi. Kalau di tahun depan masih tidak lulus dari SMA, Okaasan akan memblokir semua kartumu dan kamu akan kupindahkan ke tempat Jiraiya untuk tinggal bersamanya!"
Ancaman tadi serius, bahkan sampai membuat Pein mengernyit dan menolehkan wajah ke arah wanita tersebut.
Jiraiya memang memberikan Pein kebebasan apapun, tapi ia benar-benar tidak suka bersama pria tua yang adalah Ayah kandungnya itu. Tentu saja karena sehabis Jiraiya dan Ibunya bercerai, Ayahnya lebih suka menghabiskan uangnya untuk berjudi dan perempuan—padahal dia masih menjadi pengangguran.
Jadi, wajar saja kalau mereka berpisah.
Dan sudah pasti Pein jauh lebih memilih untuk tinggal bersama Ibunya yang kaya raya, mempunyai banyak cabang usaha, walaupun kelewat tegas dan suka memerintah.
Dengan gerak malas Pein membenarkan posisinya menjadi terduduk, dan menatap kedua mata ibunya. "Katakan sekarang, kau ingin aku jadi seperti apa?"
Sudut bibir Tsunade semakin meninggi mendengar anak tunggalnya itu sudah menurut padanya. Karena, ini adalah kejadian langka yang mungkin hanya dilakukan oleh Pein lima tahun sekali. Jika anaknya sudah mengatakan kalimat seperti tadi, ia pasti akan menuruti setiap perintahnya.
"Okaasan ingin kamu membuang seluruh tindikkan yang ada di wajahmu, keluar dari home schooling dan memasuki SMA swasta pilihanku." Kata Tsunade, lalu pandangannya berubah serius. "Juga, kau tidak boleh main dulu dengan Akatsuki—geng aneh yang kau dirikan itu."
"Ada lagi?" Pein menunggu dengan malas.
Perasaan Tsunade semakin senang ketika ia tidak mendapati reaksi bertentangan dari Pein. Biasanya ia paling tidak suka kalau ada yang mencampuri masalahnya, apalagi tentang geng.
"Ya, satu lagi..." Tsunade mengangguk. "Kau masuk ke sekolah itu dengan berpenampilan seperti anak yang tertutup, biar kau tidak terpengaruh untuk bermain-main dan lebih fokus ke pelajaran."
.
.
~zo: nerds~
.
.
Hinata's POV
Pagi ini aku duduk di barisan kedua dari belakang. Sebenarnya aku tidak suka duduk di tempat ini, dan lebih suka untuk duduk bangku terdepan—karena lebih mudah untuk menyimak pelajaran. Tapi kalau aku di sana, kelompok Karin akan menghinaku. Katanya tempat paling depan adalah untuk orang yang membayar uang sekolah.
Mau tidak mau aku harus tetap di sini, mengabaikan barisan belakang yang biasanya selalu ribut oleh para siswa-siswa yang hobi menyela omongan guru.
Itulah cobaanku selama belajar.
Tiap hari selalu saja seperti sekarang. Namun semenjak Kakashi-sensei masuk ke dalam kelas—tanda bahwa pelajaran akan dimulai, ada sesuatu yang berbeda. Tentu saja karena orang yang juga menyusul masuk ke dalam kelas. Orang yang belum pernah aku lihat di sekolah ini.
Terdengar bisikan pelan dari siswa-siswi yang sudah duduk rapih di dalam kelas. Kebanyakan dari mereka sudah menduga kalau pria berambut oranye jabrik itu adalah murid baru.
"Pagi, semuanya..." Sapa Kakashi-sensei terlebih dulu. "Hari ini kita mendapatkan murid baru di kelas."
Kutatap dari jauh seorang cowok yang kini berdiri di depan papan tulis. Rambut jabriknya yang mencolok membuat semua orang—termasuk aku—mendahulukan untuk melihat warna rambutnya. Setelah itu, barulah turun ke wajahnya.
Emm, sepertinya aku tidak bisa melihat wajahnya. Bukan karena jarakku dengannya yang kejauhan, namun karena ada sebuah kacamata tebal nan besar yang dipakai olehnya.
Sebenarnya normal-normal saja kalau ada orang yang memakai kacamata tebal. Tapi berkat kacamata itu, matanya sama sekali tidak kelihatan.
Apa penyakit matanya sudah sangat parah?
"Silahkan memperkenalkan diri..."
Dengan perlahan ia mengangguk kecil dan mengeluarkan suaranya. "Namaku Pein Rikudou dan aku pindah ke sini untuk belajar." Jelasnya. Padahal apa yang ia ucapkan terdengar sangat berlawanan dengan nada yang ia pakai. Kalimatnya tampak seperti orang yang niat belajar, tapi nadanya terdengar... malas dan seakan-akan tidak peduli.
"Apa ada yang mau bertanya padanya?"
Cepat-cepat Ino mengacungkan jari telunjuknya. "Pein, coba lepas kacamatamu!" Seruan Ino disertai oleh dukungan Tenten dan Sakura yang heboh sendiri. Mereka pasti penasaran sama wajah dari murid baru itu.
"Aku akan pusing kalau melepasnya." Dia hanya membalas seperlunya sambil membenarkan posisi kacamatanya. "Dan lebih baik jangan berharap banyak." Ucapnya datar tanpa ekspresi—itu terlihat dari gerakan bibirnya yang selalu kembali menjadi garis lurus.
Setelah menjawab kira-kira lima pertanyaan dari murid yang bertanya, Pein akhirnya diperbolehkan duduk. Berhubung hanya ada dua bangku kosong—satu di depan dan satu di sekitarku—ia berjalan ke bangku di belakangku dan duduk dengan tenang di sana. Setelahnya barulah Kakashi memulai pelajaran kembali.
Aku yang ada di depannya menyempatkan diri untuk melihat Pein yang duduk di belakangku dengan cara menoleh singkat ke arahnya. Dan mungkin saja aku lagi sedang menghayal, karena tiba-tiba saja aku merasa seperti sedang ditatap olehnya dari balik kacamata itu.
Dengan segera aku langsung meluruskan pandanganku ke depan.
Entahlah, aku jadi takut sendiri karena hal sepele ini. Takut karena saat melihatnya aku merasakan sebuah firasat—meski aku tidak mengetahui firasat apa tadi.
Mungkin baik, atau... sebaliknya? Aku tidak tau.
.
.
TO BE CONTINUED
.
.
Author's Note:
Akhirnya ada fict tentang Pein yang kupublish juga! \:D/ Sebenernya udah nyiapin dua fict berpairing Pein lainnya, tapi ini yang kucoba update duluan. Dan kenapa Hinata pairingnya bareng Pein? karena Pein itu suamiku! Agak ngga relasih, tapi gpp deh, untuk istriku (Hinata) apapun boleh #plak
-edited : 26/02/12-
.
.
Next Chap :
"Kau ini mau sekedar bertanya atau menggangguku?"
"Jangan nangis."
"Aku tidak peduli dengan pandangan orang lain."
"Apa aku boleh menjadi temanmu?"
.
.
Review kalian adalah semangatku :'D
Mind to Review?
.
.
THANKYOU