.

.

.

Death Note (c) Tsugumi Ohba and Takeshi Obata

Tangle (c) MooMoo

.

.

.

0

Anak itu bisa mengatakan kalau keluarganya sempurna.

Dan dia tak ragu meneriakkannya pada dunia. Orang tuanya, dirinya, dan adik kecilnya dalam perut menggembung sang ibu- sempurna seperti empat sisi tajam dalam suatu kubus. Si anak lelaki sudah bersikeras kalau adiknya lahir, dialah si pemegang kehormatan untuk memberi nama terbaik bagi adik perempuannya yang paling cantik. Mendengar hal itu sang ayah hanya tertawa, menepuk lembut kepala si bocah dengan perasaan bangga, dan berkata,

Kita lihat nanti, sayang.

Si anak lelaki menggerutu, namun tidak mempermasalahkan hal itu lebih lanjut. Pada akhirnya dialah yang akan memberi nama. Dia selalu mendapatkan apapun, bukan?

Mereka bahagia. Ayah yang gagah dan perhatian—ibu yang lembut dan pengertian—anak lelaki yang teramat pintar, dan seorang bayi akan melengkapi ganjil menjadi genap.

Mereka lalui hidup dalam sibuknya metropolitan, tangan bertautan dan pundak bersentuhan.

Tapi suatu hari di tengah perjalanan menuju stasiun untuk menjemput sang ayah sepulang kerja, ketika senja mewarnai dunia dengan kilauan emas permata, perut ibunya meledak dari dalam. Wanita berambut ikal itu sempat berteriak nyaring sebelum bola matanya memutar dan badannya nyaris terjengkal ke belakang, tubuhnya sudah menjadi lubang menganga dengan daging terburai. Darah membanjir dan organ tercabik. Jalanan yang berwarna kelabu membosankan terpercik oleh kontrasnya merah pekat. Orang-orang mendengar teriakan, menoleh, dan ikut berteriak.

Si ibu mati berdiri di depan anaknya sendiri, kedua tangan mereka masih bergandengan tanpa sempat terlepas.

Kaki hitam berbulu keluar dari perut sang ibu. Dari liang rahimnyalah mahluk itu keluar, meneteskan merah karena bermandikan darah. Delapan kakinya menyeruak, matanya sebesar kelereng dan bergerak-gerak mengawasi keadaan. Ke atas, ke bawah, lalu berputar ke arah si anak.

Delapan mata kekuningan bertemu dengan sepasang mata biru.

.

.

Si anak selalu membayangkan adiknya sebagai bayi manis dengan mata kebiruan, seperti dirinya.

Namun adik perempuannya adalah seekor laba-laba raksasa- seekor setan yang menyamar jadi bayi dalam kandungan.

.

.

Ataukah adiknya telah disantap sang monster dari dalam?

.

.

.

t a n g l e

the harder you get, the better you tasted

.

.

.

1

("Ibu! Apakah malam ini kita akan makan di luar?"

.

.

"Asyik-! Nanti aku boleh tambah chocolate cake, kan? Ibu?

.

.

—Ibu...?")

.

.

2

(New York, U.S.A)

Ketika sepasang mata itu membuka, dunia menyambutnya dengan sejumput rambut merah dan goggle oranye dan sebuah wajah dalam jarak super close-up.

"Halo, tampan," si pemilik wajah tersenyum mengejek, rokok terselip di mulut. "Baru saja mau kuberi ciuman selamat pagi."

Hanya butuh satu tendangan bagi Mihael Keehl untuk mengirim temannya itu terpental ke sudut. Dia meraih pistol dari balik bantal, mendesis seperti ular marah.

Matt terpojok. Di depan ada pistol, di belakang ada tembok. Dia melempar tangan ke udara tanda menyerah.

"Hei, hei- Wait, Mello! Aku cuma bercanda!" sahutnya ngeri melihat moncong pistol diarahkan ke kepalanya. Matt— si pria berambut merah yang telah menjadi rekan Mello selama bertahun-tahun, yang telah mengenal Mello selama bertahun-tahun, yang telah bersamanya selama bertahun-tahun, sudah banyak makan pengalaman dengan pistol si pemarah, terutama pengalaman pahit dimana dia menjadi korban. "Aku cuma bercanda, oke? Soalnya kamu tidak bangun-bangun sih."

"Ada cara membangunkan yang lebih normal, kan?" desis pria itu sambil mengacak rambutnya yang telah kusut, pistol kembali aman di balik bantal. Karena semalaman nyaris tidak tidur, kepalanya jadi pusing. "Kau kan bisa menyiramku atau apa."

Bola mata hijau itu memutar dengan dramatis.

"Waktu kau benar-benar kusiram, aku nyaris kena tembak, Mello sayang. Lihat lubang di tembok itu, bukti cintamu sebagai tersangka percobaan pembunuhan terhadapku-"

Sebuah bantal mengenai wajahnya telak.

Mihael Keehl—juga dikenal sebagai Agent dengan alias Mello, tidak mengidahkan serentetan protes temannya. Dia kembali menghamparkan tubuhnya yang telanjang ke tempat tidur, mata terpejam dan alis mengkerut.

Matt tahu dia sedang memikirkan sesuatu.

Setelah keadaan mencapai kondisi aman— tepatnya ketika Matt cukup yakin kalau pistol Mello jauh dari jangkauan tangan pemiliknya, dia beranjak dan ikut menghempaskan diri di tempat tidur mereka yang besar.

.

.

"Matt."

"Hm?"

"Aku minta sebatang rokok."

Matt menaikkan alis.

.

.

Tidak berlebihan kalau dikatakan Matt adalah orang yang paling mengenal Mello.

Bermacam-macam asam getir pengalaman yang mereka lalui bersama telah melatih Matt untuk membaca pria itu seperti ensiklopedia besar dengan halaman terbuka lebar. Dia tidak hanya membaca; dia juga mengamati detil aneh dalam perkataannya, mencatat setiap fenomena baru dalam gerak-geriknya dan mendefinisikan sendiri apa artinya. Matt adalah seorang terlatih dalam hal memecahkan sebuah teka-teki silang bernama Mihael Keehl.

Tidak sedikit orang yang gagal memasukkan jawaban dalam kotak. Matt berhasil memecahkannya karena terus mencoba berbagai kemungkinan berkali-kali.

Baginya, Mello merupakan puzzle yang menarik.

Namun untuk hal ini bisa dibilang bukanlah suatu kata baru ataupun pola kotak yang berubah formasi. Matt sudah pernah menghadapinya dan tahu jawabannya—karena jika Mello yang sehari-harinya tampak membenci nikotin (fakta ini sangat disayangkan Matt, namun itu benar adanya) sampai mau mengisap batangan penyebab kanker itu, artinya cuma ada satu :

Dia galau.

Sedikit hilang arah dan butuh sesuatu untuk menenangkan diri.

Cuma Matt yang tahu kalau Mello merokok di saat dia merasa tidak stabil—bahkan hanya minoritas orang yang tahu kalau Mello bisa merokok. Matt adalah salah satu tamu kehormatannya.

"Jangan cemas, Mells." kedua rokok mengepul, asap putih bergulung-gulung sebelum berbaur dengan udara pengap di apartemen sempit itu. Cahaya matahari pagi pelan-pelan mulai masuk dari jendela dan mencuci gelap di apartemen sempit mereka, memberi ruangan itu warna-warna menarik selain hitam. "Misi kali ini akan baik-baik saja."

Mello tersenyum merendahkan, walau lebih ditujukan pada diri sendiri. "Aku gampang terbaca, eh?"

"Sangat gampang terbaca. Membosankan sekali."

Mereka hanya diam beberapa saat dengan rokok terselip di mulut masing-masing.

"Kenapa gugup begitu? Seperti bukan Mello yang kukenal." suara Matt terdengar jahil. "Di misi sesulit apapun kita selalu kembali dengan selamat, Mells. Memang lecet-lecet sih, tapi tidak pernah kurang satu apapun."

.

.

"Yang kukhawatirkan bukan itu, Matt. "

"Hmm."

.

.

"…Apa kau tidak berpikir kalau

L menyembunyikan sesuatu dari kita?"

.

.

"Hmm?"

Mereka saling berpandangan. Mello bisa membaca keheranan Matt yang tertulis besar-besar di wajahnya; itu reaksi wajar. Selama ini seorang Mello tidak pernah meragukan seorang L.

Baginya setiap kata-kata L adalah mutlak dan tindakannya bersifat absolut.

Matt adalah seorang yang paling tahu akan kegemaran Mello pada sosok seorang L— sebagai idola, favorit maupun ambisi. Bahkan Matt sendiri pernah bergurau kalau temannya itu menderita L-sexual stadium akhir (dan kepalanya menjadi korban tendangan Mello- pada akhirnya Matt belajar dari pengalaman untuk tidak membuat istilah-istilah aneh lagi).

Tapi Mello benar-benar merasa L menyembunyikan sesuatu. Dia menyadarinya kemarin, ketika suara di balik layar itu memberi mereka serangkaian instruksi dari monitor. Rasanya ada sesuatu yang sengaja dilewati dalam perkataannya, sesuatu yang sengaja dihindari dalam instruksinya, dan itu merupakan detil yang amat ganjil dalam sikap seorang L.

Mello merasa jengah.

"Satu-satunya yang bisa kukatakan," Matt berujar pelan, nadanya seperti orang tua bijak. "adalah kita percaya saja pada L. Dia itu ilmuwan besar yang diberi titah oleh dunia untuk meneliti Varmit, gajinya saja lebih lebih lebih dibanding kita. Ibarat perang, dia jendral dan kita prajurit biasa di garis depan. Yang bisa kita lakukan-"

.

.

"-adalah membasmi serangga-serangga jahanam itu sampai ke akarnya."

.

.

.

3

20xx, umat manusia tengah dicekam oleh terror berkepanjangan.

Sangat sulit untuk menyebutkan kapan tepatnya semua ini bermula, namun semua ini mulai menjadi histeria kira-kira sepuluh tahun mundur dari sekarang; diawali dengan suatu penemuan yang mengguncangkan akal sehat.

Di dalam perut seorang wanita hamil ditemukan laba-laba bersarang dalam rahimnya. Laba-laba itu teramat besar, hidup, dan tumbuh.

Awalnya masyarakat tidak awas pada peristiwa mengerikan itu. Mereka memang bergidik ngeri saat membaca beritanya di surat kabar, namun kebanyakan hanya mengasosiasikannya sebagai menarik atau abnormal dan melupakan hal itu segera setelah koran ditaruh. Beberapa individu yang penasaran mungkin akan mencari sedikit tambahan informasi, namun kebanyakan tidak menaruh peduli berlebihan. Toh, kejadian aneh macam itu sering terjadi di dunia ini- alien dan danau Ness adalah contohnya.

Bisa dibilang, yang dibuat kalang kabut hanyalah para ahli dalam bidang pengetahuan alam yang mengerahkan seluruh akal pikiran mereka untuk menjelaskan keganjilan di atas dalam penjelasan yang ilmiah (mutasi karena radiasi? parasit jenis baru?), sementara orang-orang biasa lebih tertarik dengan kehidupan masing-masing, terkadang membaca berita sejenisnya dalam surat kabar maupun dunia maya.

Namun sejalan dengan waktu, dunia tidak lagi memalingkan mata.

Sudah jadi sikap manusia untuk tidak menyadari sesuatu sebelum

(korban berjatuhan, bencana berdatangan, mereka menjadi mangsa—)

semuanya terlambat.

.

.

Umat manusia dihadapkan pada keabnormalan yang terjadi secara bertubi-tubi.

Kasus tentang sepasukan semut seukuran kepalan tangan yang merobek-robek tubuh seorang pria sungguh menggemparkan masyarakat.

Serangan lebah raksasa di berbagai tempat menghiasi halaman surat kabar sama seringnya dengan berita kriminal lainnya.

Kepompong ulat sebesar bantal bertaburan di penjuru kota bagai parasit.

Jumlah mereka semakin bertambah, bertambah, membesar dan berevolusi.

.

.

Manusia pun pada akhirnya dihadapkan—

.

.

(oleh sisi kejam dari sang alam)

.

.

Para serangga itu membuat sarang.

Para serangga itu mulai berkembang biak.

Para serangga itu mulai menjadi buas.

Para serangga itu mulai bermutasi.

Para serangga itu-

.

.

(—monster!)

.

.

Seseorang tengah menggumamkan,

kalau saja kita menyadari lebih cepat.

.

.

20xx, dunia memberi satu nama khusus untuk mengklarifikasikan fenomena ini.

Varmit.

Umat manusia tidak lagi tinggal diam. Akhirnya sang superpower dunia, Amerika Serikat, memutuskan untuk terjun langsung dalam perang melawan alam—dibantu dengan negara-negara lain di garis depan. Mereka meneliti, menelaah, membuat strategi. Mereka membasmi.

(mereka menjadi tentara tumbal dalam perang ini)

Dibentuklah sebuah instansi penelitian khusus di berbagai negara, terkoneksi dengan markas utama yang terpusat di bagian utara Amerika Serikat—Dugway Proving Ground. Di sebuah tempat di negara bagian Southlake City, Utah, tegap berdiri dan begitu luas, sebuah kompleks fasilitas militer yang telah lama dimiliki United States Army. Terpencil dan jauh dari hiruk pikuk kota.

Seperti layaknya markas rahasia, sengaja diasingkan demi kepentingan warga sipil— sengaja disembunyikan karena berbahaya.

.

.

Perang antara manusia dan alam dimulai dari situ, dimana definisi serangga bergeser menjadi monster mengerikan yang siap merobek tubuhmu dari dalam.

.

.

.

4

(Tokyo, Japan, Unit 731)

Saat dia mendapat rekomendasi masuk Unit 731, Matsuda merasa dirinya adalah ilmuwan paling beruntung sedunia.

Bagaimana tidak?

Bagi para ilmuwan—khususnya entomologis, mendapat kehormatan untuk mendedikasikan pengetahuan mereka dalam salah satu cabang DPG- instansi penelitian Varmit paling bergengsi sedunia, yang setara dengan Valhalla bagi para ksatria norse, adalah salah satu hal paling mulia yang bisa terjadi dalam hidup. Persaingan untuk mencapai tempat ini sangatlah ketat dan mendapatkan posisi di sana tentunya lebih sulit lagi—setiap entomologis dari berbagai penjuru dunia bahkan rela memohon-mohon agar bisa menjejakkan kaki di gedung itu. Dan sekarang di sanalah Matsuda berdiri.

Berdiri dan membuatkan kopi untuk para ilmuwan di tim A-D, laboratorium nomor delapan.

... Kalau dipikir-pikir sejak diterima, belum pernah sekalipun dia dilibatkan dalam penelitian.

Sudah seminggu dia disini dan Matsuda mulai merasa tidak puas. Tugasnya hanya meliputi hal-hal kecil seperti membuatkan minuman, mengurus dokumen, dan mengetik proposal—lebih seperti sekretaris daripada peneliti dalam suatu instansi bergengsi. Atau lebih parahnya, Errand Boy.

Belum sekalipun dia menggunakan berbagai peralatan canggih di laboratorium dan belum sekalipun dia diijinkan ikut berdiskusi, lebih-lebih terlibat langsung dalam penelitian. Kalaupun dia senggang, para seniornya hanya memintanya berdiri di sudut dan mengawasi, sesekali meminta Matsuda untuk memijit pundak mereka (yang dia lakukan dengan setengah hati, tentu saja).

Walau Matsuda jelas bukan ilmuwan terpintar sedunia, namun tetap saja dia seorang ilmuwan—seorang yang telah berikrar untuk mendedikasikan seluruh hidupnya memecahkan teka-teki permainan sang alam. Dia punya rasa ingin tahu, naluri dan tentu saja dia punya batas kesabaran. Meskipun rasa penasarannya begitu tergelitik melihat rumus yang rumit, meski mulutnya gatal ingin memberikan konstribusi langsung dan meskipun dia benar-benar ingin menyuarakan gagasan dalam benaknya, tetap saja para rekannya hanya memintanya keluar dari tribun dan duduk manis di kursi penonton, seakan mereka lebih membutuhkan tim pendukung daripada tambahan pemain.

Mereka baru memanggilnya kalau membutuhkan sesuatu— entah itu kopi, salinan dokumen ataupun pijitan di pundak.

Sering Matsuda berpikir apakah keberadaannya tidak berguna atau bahkan yang terburuk, tidak diharapkan. Dia pernah menyuarakan keraguannya ini pada seniornya, Mogi, dan dia cuma mendapat hiburan,

"Itu tidak benar. Buktinya kamu ada disini, Matsuda. Kamu terpilih langsung oleh pimpinan kita, Ryuuzaki-san, dan pilihannya tidak pernah salah."

Tapi bagaimana kalau Matsuda adalah sebuah pilihan yang kebetulan salah?

Pria itu menghela napas, tangannya memutar sendok dalam gerakan berirama, krim susu bercampur dengan cairan kental kafein. Tidak ada gunanya berpikir seperti itu terus, bukan? Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah menurut.

.

.

"Kopinya datang."

Ruangan tim A-D langsung dipenuhi desah sukacita.

Bagi para ilmuwan yang lebih memilih memelototi mikroskop daripada tidur, waktu minum kopi adalah sesuatu yang sangat sakral—apalagi para ilmuwan di laboratorium nomor delapan, salah satu dari cabang yang meneliti tentang perkembangan Varmit di dalam tubuh mahluk hidup, yang mengharuskan mereka untuk terus memantau bahan percobaan selama 24 jam nonstop.

Laboratorium nomor delapan merupakan salah satu sub-cabang dari puluhan departemen di Unit 731, dan tim A-D bernaung di bawahnya. Tim A-D merupakan grup dengan jumlah ilmuwan paling sedikit, dikarenakan tim ini sengaja dibentuk untuk melakukan percobaan-percobaan jangka panjang yang agak mustahil dicari pembenarannya— menurut lelucon di antara mereka, tim A-D adalah tempat para ilmuwan yang sebentar lagi akan di-PHK.

"Hei, hei, pelan-pelan!" omel Matsuda yang mulai kewalahan dalam membawa nampan, keseimbangannya agak oleng karena diserbu para seniornya yang langsung sakau melihat kopi. "Mogi-san kopi kental, kan? Berarti cangkir yang kiri. Aizawa-san tidak manis, jadi cangkir putih di tengah. Lalu Ode-san—mana Ode-san?"

"Dia baru saja keluar", Aizawa menjawab setelah menghabiskan kopinya dalam sekali teguk. "Dia sedang berkomunikasi dengan Ryuuzaki-san di laboratorium nomor tujuh."

"Ryuuzaki-san— L!"

Ryuuzaki merupakan sebutan para ilmuwan Jepang untuk L—penemu paling dihormati, paling dipuja, paling diincar di seluruh dunia. Tidak ada yang tak tahu namanya, terutama peneliti muda yang membutuhkan inspirasi seperti Matsuda. Ya, Matsuda sangat memuja L. Baginya L adalah motivasi, sosok teladan yang dihormati, sekaligus tujuan akhir dalam karirnya sebagai ilmuwan. Baginya, L adalah alasannya untuk bergabung dengan Unit 731— yang merupakan cabang dari Dugway Proving Ground, lembaga yang dipimpin langsung oleh L.

Baginya L adalah bintang kejora jauh di timur sana, gemerlap dengan begitu tenang di tengah selaput malam. Kita akan terpesona pada cahayanya dan mengulurkan tangan untuk meraihnya, walaupun sudah tahu betapa jauhnya dia dari jangkauan.

L merupakan sosok misterius. Penemuannya jenius, licik dan tak terbayangkan—menggunakan cara yang tak masuk akal untuk menemukan teori yang masuk akal, ataupun menggagaskan ide yang irelevan dan membuatnya relevan dengan topik. Tidak sedikit karyanya yang menjadi kontroversi saking tidak biasanya metode yang dia gunakan untuk menemukan jawaban.

Beberapa mengatakan dia cerdas, sisanya menuduh dia gila. Berkali-kali dia menolak penghargaan Nobel dengan alasan sederhana,'tidak tertarik'.

Kontribusinya pada dunia pengetahuan memang begitu terkenal dan fenomenal, namun belum ada orang yang dengan terang-terangan mengaku pernah melihat sosoknya. Dia meneliti, menemukan pemecahan, dan mengajarinya pada dunia tepat dari balik layar—dengan suara digital dan huruf 'L' meliuk di monitor.

Entah apa alasannya begitu keras kepala dalam hal menyembunyikan diri, namun Matsuda berspekulasi kalau itu semua demi keamanannya sendiri.

Matsuda tidak bisa menahan rasa penasarannya. Dia.. dia ingin sekali bertemu L, atau paling tidak dia ingin sekali saja mendengar suaranya—suara digitalnya juga tak apa. Sayangnya L berada nun jauh di sana dan tak pernah sekalipun mengunjungi Unit 731, sehingga Matsuda sudah menguburkan harapannya untuk bisa bertemu dengan L.

Namun saat ini seorang rekannya tengah berkomunikasi dengan L yang itu di laboratorium nomor tujuh.

Rekannya, komunikasi, L, laboratorium nomor tujuh.

Laboratorium nomor tujuh...

Keluar dari gedung ini, belok kiri dan jalan kaki sekitar sepuluh menit.

Tidak terlalu jauh.

.

.

Kalau cuma mau menguping rasanya tidak apa-apa.

.

.

Laboratorium nomor tujuh—berbeda dengan tetangganya, laboratorium nomor delapan. Mereka lebih bergengsi, lebih mewah, lebih penting—meskipun masih dalam satu departemen. Objek penelitian mereka sama namun subjeknya berbeda. Nomor tujuh meneliti tentang perkembangan Varmit dalam tubuh manusia, sedangkan nomor delapan berfokus pada hewan—yang jumlah kasusnya sangat jarang terjadi di Jepang (meski di negara-negara barat cukup sering terjadi). Mungkin karena itulah terdapat perbedaan kepentingan, yang mana yang lebih diutamakan.

Penelitian yang menyangkut keselamatan umat manusia ataukah penelitian yang kasusnya saja jarang terjadi di Jepang? Semua orang tahu jawabannya, dan tidak ada yang mempermasalahkannya.

Kecuali Matsuda.

Terbesit rasa persaingan di hatinya saat dia melangkahkan kaki di laboratorium nomor tujuh. Memang di tempatnya juga cukup mewah (paling tidak lebih mewah dibanding tempat kerjanya dulu), namun di sini—di laboratorium nomor tujuh yang hanya berjarak sepuluh menit jalan kaki—perbedaannya terasa kontras.

Lebih besar, lebih mengkilap, lebih canggih..

Kedua mata hitamnya bergerak-gerak memperhatikan orang-orang berjas lab putih yang sesekali lalu lalang. Dia mengenal beberapa—ilmuwan besar dan punya nama, bahkan di kalangan internasional.

... dan tentu saja lebih pintar.

Oh tidak. Hentikan, Matsuda. Kamu tidak boleh sampai rendah diri.

Sebab dirinya juga kan ilmuwan disini—walaupun... disfungsional.

Dia berdehem sedikit, agak gugup juga melangkah di koridor gedung yang berbeda. Meski belum ada yang menyadarinya, tapi Matsuda tahu kalau dia tidak boleh sembarangan masuk ke sini. Setiap orang harus punya izin untuk melangkahkan kaki di gedung yang berbeda.

Apalagi mengingat tujuannya yang agak ilegal. Dia akan mencuri dengar. Mencuri. Dengar. Di belahan dunia manapun, kata 'mencuri' memiliki arti yang negatif.

Paling ringan, kena omel. Paling buruk, dipecat.

Matsuda berjalan sambil berpikir, berusaha tampak yakin agar tidak mencurigakan, melirik cemas pada koridor putih dingin yang semakin dalam dia lalui semakin mengingatkannya pada rumah sakit. Namun orang-orang tidak berbau antiseptik, melainkan berbau formalin.

Oke... Pintu-pintu besi berjejer dalam barisan dan dia sama sekali tidak tahu ruangan mana yang akan dituju. Astaga, dia lupa menanyakan ruangan yang mana—laboratorium nomor delapan memiliki berpuluh lebih ruangan (meski termasuk gudang dan semacamnya) dan mengingat kontrasnya besar gedung antara nomor tujuh dan nomor delapan, Matsuda tidak akan heran kalau jumlah ruangan disini lebih banyak lagi.

Dan dia sama sekali tidak punya petunjuk.

Setelah beberapa waktu dia jalani di koridor asing berliku, Matsuda akhirnya menyerah. Mungkin sekarang memang bukan waktunya—kalau dia berusaha, suatu saat Matsuda pasti bisa benar-benar bertemu dengan L yang diimpikannya.

Matsuda berbalik, dan tubuhnya bertubrukan dengan seseorang dari belakang, tumpukan kertas bertebaran dengan mulus di lantai marmer.

.

.

"M-Maaf! Saya tidak sengaja!"

"Tidak apa-apa," orang itu tidak tersenyum, namun sorot matanya tidak menunjukan sesuatu yang negatif. Pria itu berumur sekitar tiga puluh tahunan, tipe yang terlihat tampan namun serius, dasi hitamnya begitu profesional dan serasi dengan jas putih labnya. "saya juga tidak memperhatikan jalan."

Pria berambut hitam panjang itu langsung membungkuk untuk memungut kembali kertas-kertasnya. Matsuda refleks ikut membungkuk, berniat untuk membantu.

"Saya akan bantu!"

Ketika tangannya tengah disibukkan oleh dokumen-dokumen yang berceceran, kedua bola mata hitam Matsuda tanpa sengaja terarah pada kartu identitas yang tergantung di leher pria itu—tertulis dalam font Arial bercetak tebal,

.

.

Namikawa Reiji.

Head of Research and Chief Scientist.

.

.

Astaga.

Kalau gedung ini adalah sarang singa, dia baru saja bertubrukan dengan bos singanya.

"Tunggu, anda—"

"Y-y-ya?", jawabnya sambil tersenyum grogi—tenang Matsuda, tenang. Harus normal dan tidak mengundang curiga. Tangannya terasa berkeringat.

"Saya tidak pernah melihat anda."

"O-oh, saya dari lab nomor delapan,", Matsuda mengalihkan pandangan, kemana saja asal tidak ke arah pria itu—Namikawa. "Rekan saya berada di gedung ini dan saya diutus untuk memanggilnya—ada hal penting, hahaha..."

—Namikawa memandangnya langsung dan butiran keringat di wajah Matsuda muncul semakin banyak.

.

.

"Ini dokumennya." Matsuda benar-benar ingin kabur keluar.

"Terima kasih."

.

.

Sekilas Matsuda membaca kata-kata bercetak miring di lembaran dokumen tersebut.

She was an equilibrist, a

graceful one.

She attended ridotto, a

naughty one.

She had necrolagnia, a

helpless one.

She got acyesis, a

terrible one.

.

.

"... Laba-laba?"

Itu hanya celetukan sesaat, namun sepasang alis di wajah tampan Namikawa terangkat ke atas, wajahnya terlihat agak terkejut.

.

.

5

(New York, U.S.A, Underground Base)

"Kau tahu? Sebenarnya seragam ini cukup keren." komentar Matt sambil menurunkan visor gelap di helmnya hingga menutupi seluruh wajah tampannya, sesaat setelah melepas goggle. "Kekurangannya cuma aku tidak bisa merokok."

"Oh, diamlah, Matty-boy." Nada suara Mello terdengar setengah mengejek setengah menahan sebal. Sudah tiga menit dia berkutat di tali sepatu bootsnya, berusaha mengencangkannya dengan susah payah. "Aku benci sepatu ini."

"Perlu kubantu menalikan bootsmu yang seksi itu, Mello-kins?"

"Pah."

Ruang rahasia itu sangatlah dingin; hanya sebuah aula bawah tanah besar dengan dinding seng berventilasi, polos tanpa sentuhan interior—kecuali beberapa speaker yang terpasung tinggi di langit-langit dan monitor raksasa di salah satu dinding. Monitor itu adalah satu-satunya medium berkomunikasi antara L—pemimpin mereka, dengan para Agent sektor New York yang berkumpul disana.

Dia memperhatikan sekeliling. Selain dirinya dan Matt, ada berpuluh-puluh Agent lainnya yang tengah sibuk mempersiapkan diri—berkutat dengan helm, seragam, senjata-senjata berat maupun boots tentara yang sangat sulit ditalikan. Beberapa wajah bisa dikenali, namun sisanya tidak familiar—kecuali seorang wanita yang tak jauh dari tempatnya. Jemari wanita itu tengah mengatur transceiver yang tergantung di bahu kirinya, seragam kulit hitam ketat di tubuhnya tampak begitu berlekuk, kontras di antara sekawanan pria yang tinggi besar.

Mello mengenali figur menawan itu—Halle.

Mello tidak ingin menyapanya.

Beep

Beep

DZIIIIIING

Semua kepala sontak menoleh ke arah layar, yang telah menayangkan sebuah huruf L seperti biasa.

/Selamat malam, semuanya,/ suara itu terdengar agak ganjil. /Walaupun saya sudah memberitahu anda tentang berbagai teknis dalam operasi kali ini, namun saya akan kembali menerangkan beberapa hal baru yang penting disini—pada akhirnya saya mendapatkan gambar dari tempat yang saya sebutkan kemarin/

Huruf L itupun berganti menjadi slide gambar dengan foto-foto yang sangat buram. Kualitasnya blur seperti diambil dengan terburu-buru—Mello mencatat keganjilan ini dalam hati.

GDP memiliki peralatan yang canggih. Meskipun tempat itu tidak bisa didekati karena bermacam hal, seharusnya L bisa mengambil gambar dengan kualitas yang lebih baik via satelit. Tapi kenapa dia menayangkan foto yang jelek?

/Bangunan ini terletak di pulau Hispaniola, di sebuah hutan di daerah Central Cordillera, Republik Dominika. Jarak antara bangunan ini dengan kota terdekat mencapai—/

Mello memperhatikan detil-detil di foto itu. Kastil bernuansa Eropa di tengah-tengah hutan tropis, sungguh aneh. Walaupun sudah menjadi reruntuhan, namun tidak sulit untuk menebak kalau dulunya bangunan itu berdiri megah. Jendela-jendelanya terlihat pecah, dinding bata berlumut tebal, dan pintu besi di gerbang terbuka lebar—lepas dan terayun di engselnya.

/Bangunan ini sudah ditinggalkan pemiliknya selama nyaris lima tahun. Namun, banyak warga Dominika yang mengatakan bahwa mereka sering sekali melihat Varmit tipe Insecta keluar masuk dari bangunan tersebut sejak sepuluh tahun lalu—/

Taman di kastil itu telah menjadi hutan, dengan rerumputan setinggi lutut, dan—pemandangan ini membuat Mello bergidik—beberapa lipan raksasa sebesar tiang listrik tampak merayap malas di dinding kastil. Tubuh mereka berlendir-lendir.

Dia mendengar Matt merepet di sampingnya.

Matt sangat benci lipan.

/Seperti yang anda lihat,/ L kembali menjelaskan /Myriapoda, Chilopoda level 3. Jumlahnya cukup banyak—saya telah pastikan. Kebanyakan Varmit yang ada disini berjenis Myriapoda dan beberapa Insecta, ada yang mengalami mutasi dan penambahan intelegensi—ada pula yang hanya mengalami pembesaran. Diperkirakan semakin ke dalam jumlahnya akan semakin banyak dan semakin buas, saya minta anda sekalian untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin—/

Matt menaikkan tangannya.

"Interupsi, Tuan L. Mendadak saya sakit perut—tidak bisa ditahan lagi. Boleh tidak ikut dalam operasi kali ini?"

Beberapa orang tertawa.

/Jika anda mau silahkan saja, Agent Matt. Tapi saya tidak ambil peduli pada honor anda./

Wajah Matt berubah horror.

L melanjutkan seakan tidak ada gangguan. Gambar di layar pun berpindah menjadi sebuah peta menguning dengan ujung robek-robek—peta di dalam kastil.

/Sayangnya karena bangunan ini sudah lama ditelantarkan, saya tidak bisa menemukan denah terbaru—dan saya hanya menemukan denah lantai satu dari arsip lama, saya juga tidak berhasil menemukan gambar untuk bagian dalam./

"Boleh saya bertanya, Tuan L?", seorang Agent mengangkat tangannya—Mello mengenali suara itu sebagai Gevanni. "Kira-kira apa alasan anda mengutus kami menyelidiki rumah yang telah ditinggalkan seperti ini—kenapa kami tidak diutus untuk menumpas Varmit di tempat yang lebih kritis?"

Ada selang jeda sebelum suara itu menjawab, /Saya punya beberapa alasan, namun saya tidak akan membocorkannya sebelum alasan saya menjadi masuk akal./

Gevanni hanya terdiam, namun dia tampak tidak puas.

/Sesuai dengan yang saya jelaskan kemarin, anda sekalian akan dibagi dalam beberapa grup dengan rute berbeda, untuk meningkatkan keefektifan operasi kali ini—silahkan berpasangan dua atau tiga orang. Dan saya mohon—terutama pada Agent Matt untuk melakukan operasi ini dengan serius. Jika anda menemukan sesuatu yang baru, tolong ambil sampelnya untuk diteliti. Jika ada suatu masalah, anda bisa berkonsultasi dengan saya via PDA. Terima kasih atas perhatiannya./

PIIIIIIIIIIIIII-

Dan layarpun kembali menjadi hitam.

.

.

6

(Utah, Southlake City, DPG Main Base)

L meletakkan headphonenya di atas meja.

"Ryuuzaki," seorang lelaki tampan berwajah Asia tengah menghampirinya, ekspresinya kental dengan nuansa skeptikal. "Bisa jelaskan kenapa kau berbohong pada bawahanmu sendiri?"

.

.

L—pria itu tidak menjawab, kedua tangannya sibuk mengaduk tiga cup krim susu ke dalam kafein. Ruangan itu teramat besar; beratus-ratus layar menutupi dinding, kabel-kabel bergantungan dan mesin-mesin bertebaran—namun disana hanya ada satu meja (dengan laptop Macintosh di atasnya) dan satu kursi putar sebagai singgasana sang ilmuwan, di sebelahnya ada troli berisi berpotong-potong cake mewah. "Saya berbohong apa, Light-kun?"

"Banyak, Ryuuzaki.", Light menunjuk salah satu monitor di dekatnya—gambar kastil yang sama, namun dengan kualitas yang jauh lebih bagus dan tajam seperti aslinya. Mata L lekat mengamati layar yang menayangkan keadaan di dalam pesawat terbang, dimana para Agent tengah diangkut ke tujuan. Dia sama sekali tidak menoleh. "Misalnya, kenapa kau sengaja menayangkan gambar berkualitas rendah saat memberi instruksi—"

Telunjuk Light bergeser ke monitor lain. Sebuah gambar ruangan sempit segi empat, dindingnya diplester namun telah begitu terkelupas sehingga bata merah di dalamnya terlihat. Di salah satu dinding tersebut ada coretan krayon merah yang ditulis besar-besar – "—Atau kenapa kau mengatakan tidak punya gambar bagian dalam kastil, padahal jelas kau memilikinya—" —tertulis dengan huruf seperti anak-anak,

Voy a ser comido

(I'm going to be eaten)

Jari lentik itu berpindah lagi, kali ini menuding layar di hadapan L. Sebuah video rekaman di ruangan isolasi. Kamar itu putih bersih tanpa perabotan, namun lantainya berbanjirkan darah segar. Di tengah ruangan itu terikatlah seorang pria yang meronta-ronta—"SOMEBODY HELP ME!"— Varmit tengah merobek-robek tubuhnya—Myriapoda level 2, Diplopoda, tipe mutasi parasit percampuran genetik dengan Dermatobia hominis. Kepalanya mendadak pecah di lantai, puluhan kaki seribu hitam besar bercampur dengan pecahan otak warna kelabu, berlendir kehijauan di tengah sinar lampu. Serangga-serangga itu meliuk-liuk keluar dari berbagai lubang di wajahnya—mata, hidung, telinga, mulut— dan berceceran di lantai putih.

"—Atau kenapa kau tidak mengatakan bagaimana nasib seratus Agent dari Barcelona yang kau kirim kesana minggu lalu, Ryuuzaki—Hanya satu kastil namun semuanya mati, banyak yang hilang, dan sisanya yang kembali terkontaminasi parasit level 2 yang tumbuh dalam waktu sepuluh jam. Selama ini tidak ada yang separah itu—"

L tidak mengidahkannya, hanya memandang bisu pada satu layar: sebuah foto yang diambil dari luar kastil. Jendela-jendela bertirai kusam berjejer, kaca-kacanya telah pecah, dan di salah satu jendelanya —di dalam kastil tak berpenghuni yang telah ditelantarkan sampai lima tahun lewat, ada bayangan seorang anak manusia; rambutnya putih, kulitnya putih, bajunya putih, matanya hitam—sepasang kelereng gelap yang memandang keluar, seakan tahu ada yang mengambil gambarnya.

Mata hitam L mendelik pada dokumen di atas mejanya.

.

.

She was an equilibrist, a

graceful one.

She attended ridotto, a

naughty one.

She had necrolagnia, a

helpless one.

She got acyesis, a

terrible one.

.

.

"—Seakan-akan di dalam situ ada sesuatu yang berbahaya, kau tahu?"

.

.

can i tangle you in my home?

.

.

.

SIDENOTES (skip bila perlu)

1)Varmit merupakan variasi pengucapan dari Vermin. Pengucapan Varmit sendiri digunakan secara lokal di Amerika Utara dan bukan bahasa baku. Selain Varmit digunakan juga Varmint, tapi saya memilih Varmit karena lebih enak diucapkan *digampar karena ngegampangin*

2)Walaupun disini saya menggambarkan Varmit sebagai serangga, tapi istilah Varmit sendiri tidak hanya terdiri dari serangga saja—namun juga tikus, burung bahkan kambing dan babi.

3)Laba-laba bukan serangga—laba-laba tidak bisa disebut serangga karena termasuk dari subphylum yang berbeda dengan insecta tapi saya bingung gimana deskripsinya selain pakai kata 'serangga';_; (masa sebutnya arthropoda?) Nanti juga bakal ada kelabang, kupu-kupu, udang dan lain-lain.

4) Dugway Proving Ground adalah adalah sebuah instansi di Utah, Amerika yang pernah digunakan untuk mengetes kualitas sistem pertahanan pada senjata biologi ataupun senjata kimia yang digunakan pihak sekutu (Allied Force) ataupun sebagai tempat penampungan toxin. DPG sebenarnya juga digunakan sebagai tempat latihan perang, contohnya ketika Amerika sedang perang di Afghanistan. Tempatnya terpencil dan terisolasi—sekarang disebut juga sebagai Area 52 karena banyak sekali yang melihat penampakan UFO disana. Saya gunakan DPG karena disana cukup terkenal dan besar, apalagi dapetin referensi bagian dalamnya gampang *dibunuh*

5)Unit 731 merupakan sebuah unit yang didirikan oleh tentara Jepang pada masa PDII untuk membuat senjata biologi baru yang mematikan agar bisa digunakan oleh tentara di saat perang. Sebenarnya saat ini udah nggak ada sih, jadi yang ada di fanfic ini maupun yang aslinya sama sekali tidak berhubungan :D

6)Puisi bahasa inggris ga jelas yang dibaca Matsudabagian ini akan dijelaskan di chapter-chapter selanjutnya hahaha… Tapi kalau tahu masing-masing artinya, sebenarnya gampang kok.

7)Myriapoda—subphylum dari Arhtropoda. Binatang seperti kelabang, lipan atau kaki seribu.

8)Dermatobia hominis— juga disebut human botfly, tipe lalat bot yang menjadi parasit dalam tubuh manusia— dimana larva lalat tersebut tumbuh dan memakan daging manusia. Yang mengerikan dari lalat bot adalah mereka tidak pilih-pilih tempat untuk dijadikan sarang. Bisa di dalam kulit, kaki, punggung, bahkan mata dan otak! (seumur hidup saya nggak mau ke Brazil) Salah satu daerah habitat lalat bot adalah Hispaniola, atau lebih tepatnya Republik Dominika yang menjadi latar di fanfic ini ;D

Thanks for reading so far!

Iya, saya tahu betapa panjang dan bertele-telenya fanfic ini—karena itu saya berterima kasih kalau anda tahan membacanya sampai akhir;_;