Warning: totally AU, OOC. Don't like? Don't read! Sory for typo.
DISCLAIMER: MASASHI KISHIMOTO
Big thanks yang riview kemarin^^
Last chap, semoga gak ngecewain #ngumpet
.
.
Semua murid dalam kelas sudah keluar, tinggal Naruto saja yang masih duduk di kursinya—entahlah apa yang dilakukannya. Ia masih kecewa karena mendengar Sakura menyukai pemuda inggris. Gara-gara obrolan teman perempuannya yang tidak sengaja di dengarnya kemarin di dalam kelas—ia jadi mengetahui sesuatu dari diri Sakura. Dan memang semestinya dari awal Naruto tidak usah mendengar itu saja.
Padahal Sakura sudah keluar dari kelas, merasa ada yang kurang, ia malah mundur lagi untuk mengecek ke dalam kelas. Dan ternyata Naruto memang masih berada di dalam sana.
Gadis pink itu berdecak kesal. Kemudian ia melangkah mendekat ke arah Naruto—kelihatannya Naruto masih belum sadar akan kehadirannya.
"Pulang yuk!" ajak Sakura setelah ia sampai di depan meja Naruto. Pria itu sontak mengangkat kepala dan memandang Sakura. Dari pandangan itu agak terasa janggal di mata emerald Sakura.
Ada apa lagi dengan pria ini? Batin Sakura.
Kalau saja Sakura sadar, dari pagi tadi Naruto sudah mendiaminya. Sayangnya Sakura lagi tidak peka sekarang, mungkin ia sudah sedikit tertular dari kebiasaan Naruto.
"Tapi Sakura-chan, aku kan bukan orang inggris."
Sejak kapan pria blonde itu menjadi kekanakkan?
Ok, ia memang agak kekanakkan.
Sesaat Sakura terlihat menahan tawa, tapi di detik berikutnya tawanya meledak membahana dalam ruang kelas sepi itu. "Baka!" umpatnya disela-sela tawa ledeknya, ternyata kemarin saat ia bergosip—saat pelajaran kosong Naruto mendengarnya, "tapikan rambutmu pirang," tambahnya setelah tawanya agak mereda. "Kau ini ada-ada saja. Ayo pulang." Sakura mulai berbalik menuju keluar kelas.
Naruto diam sesaat.
Iya juga ya? Ia baru menyadari kalau ternyata rambutnya pirang. Baru setelah itu ia menarik cengirannya, "Sakura-chan, tunggu...!"
.
.
.
Dengan perlahan Hinata membuka pintu UKS lalu menutupnya kembali, ia tidak menyangka kalau pusingnya menjadi berkepanjangan sampai seusai sekolah. Berarti hari ini ia bolos. Belum lagi hari ini ada pelajaran yang sangat ia sukai—mungkin juga alasan Gaara tadi menyeretnya masuk kelas karena itu. Tapi setidaknya sikapnya itu benar-benar keterlaluan.
Ah, yang penting hari ini ia tidak bertemu dengan gadis itu. Itu sudah cukup baik.
Duk.
Masih dalam menunduk ia malah menyenggol bahu seseorang—mengakibatkan badannya mundur selangkah. Refleks ia mendongak melihat siapa yang telah ditabraknya tadi—tanpa bisa terkejut lagi ia melihat seseorang itu adalah Gaara.
"Ga—gaa—"
Tanpa membuang waktu, Gaara malah mencengkram lalu menyeret pergelangan tangan Hinata mengikuti langkahnya—dan tidak ketinggalan cara biasa Gaara yang pemaksa serta menjengkelkan itu.
Hinata hanya bisa meringis sesaat akibat cengkraman tangan itu.
Memang Gaara bukanlah yang terbaik untuknya. Lagi-lagi ia harus menelan mentah-mentah rasa pahit yang tumbuh dalam perasaannya.
Hinata ingin sekali berontak. Seumur hidupnya, ia tidak pernah diseret-seret seperti ini. Dipaksa atau disakiti bahkan dicampakkan! Ok, itu berlebihan. Tapi kan, kenyataannya memang seperti inilah.
Gaara masih menuntunnya sampai ke luar gerbang sekolah. Hinata semakin membelalakkan matanya sembari menoleh-noleh ke dalam sekolah.
Hei, tasnya masih di dalam sana!
Gadis indigo itu hanya menggenggam kuat-kuat tangannya sendiri—entahlah kemana Gaara akan membawanya pergi. Saat ini Hinata hanya bisa pasrah saja.
Kenapa?
Karena entah apa, sekarang ia merasa sedikit tenang. Setidaknya ia sudah menangis puas di UKS tadi.
.
Gaara menghentikan langkahnya—yang tentunya membuat langkah gadis yang diseretnya tadi itu pun terhenti. Dengan napas yang masih tersengal Hinata mencoba menyeimbangkan detak jantungnya.
Peluh keringatnya sedikit membasahi poninya yang rata itu. Yang penting, tempat yang dipijaknya sekarang ini masih dikenalnya.
Lagi, Hinata memandangi ke sekeliling tempat ini—dan tunggu dulu! Di hadapannya ini adalah rumah Gaara! Mau apa pria ini membawanya kemari?
"Gaa—"
Hinata masih merasa sangat, sangat dan sangat bingung karena lagi-lagi perkataannya belum selesai terucap karena Gaara malah menuntunnya untuk masuk ke dalam rumahnya.
Kali ini Gaara melakukannya tidak dengan kekerasaan. Ia menggenggam pergelangan tangannya dengan kuat memang, tapi terasa pasti. Seolah digenggaman tangan pemuda itu ada sebuah harapan kecil. Atau malah sebaliknya?
Keringat panas di sekitar badan Hinata yang merebak tadi seketika menjadi dingin. Benar-benar sekarang badannya terasa dingin bercampur gugup.
Sementara itu tangan kirinya—yang tidak digenggam pemuda itu menekan dadanya yang bergemuruh. Entah apa yang terjadi setelah ini. Ia hanya menurut saja.
Gaara masuk ke dalam rumahnya sampai ke ruang tamu—yang kali ini benar-benar membuat Hinata membelalakkan matanya.
Di sini—di ruang tamu yang di pijaknya ini. Ada seorang wanita yang tidak dikenalnya, Temari, Kankuro, Nyonya Sabaku dan tentunya ada Matsuri yang sedang duduk berhadapan di sofa keluarga!
Oh, karena gadis itulah Hinata merasa gugup. Ada apa ini? Kenapa Gaara mengajaknya kemari?
Hinata mencoba menatap mata Gaara untuk bertanya dengan keadaan ini. Tapi, bagaimanapun juga Gaara tidak mau menatap balik ke arahnya.
Hinata semakin menunduk dalam, apalagi ketika semua mata yang duduk di depan sana sedang memandanginya.
Sungguh, Hinata sangat anti dipandangi dalam seperti itu. Ia mundur selangkah—tapi yang dirasakannya Gaara malah semakin menggenggam erat lengannya.
Hinata bersembunyi di belakang bahu Gaara. Entah mengapa, ketika berdiri di sana ia merasa nyaman. Sepertinya Hinata harus menarik kata-katanya yang tadi; kalau Gaara bukanlah yang terbaik untuknya.
"Inilah Hinata, yang menjadi alasanku menolak Matsuri."
"Wow!" sela Kankuro dan Temari bebarengan—merasa terpesona dengan pengakuan Gaara yang singkat itu. Tidak menyangka saja adiknya yang pendiam ini tiba-tiba menyeret seorang gadis masuk ke rumah, dan mengaku di depan semuanya.
Hinata hanya bisa terbelalak mendengar perkataan itu dari belakang punggung Gaara. Tiba-tiba kakinya terasa lemah, gemetar dan ingin duduk di tempat.
Apa ini mimpi? Apa ia masih berada dalam UKS sekarang?
Nyonya Sabaku hanya tersenyum tipis sembari sedikit berusaha melihat sosok Hinata yang semakin menyembunyikan dirinya di belakang Gaara. "Mama sih, terserah Gaara," ujar mama sangat lembut berusaha agar Hinata tampak rileks. Dan sepertinya itu tidak membantu.
"Aku juga takut kalau Gaara tidak mau dengan Matsuri," ibu Matsuri yang duduk tepat di depan nyonya Sabaku berkata demikian. Walau begitu sedikit banyaknya ia juga kecewa ketika mengetahui ini. Tapi, ia juga tidak berhak untuk mengatur Gaara atau memaksanya.
Tinggal masalah anaknya yang pemanja ini, mau nurut atau tidak?
Hinata mencoba memberanikan diri melirik reaksi Matsuri. Dan ternyata gadis itu hanya menekuk mukanya sembari melipat tangannya di depan dada. Sepertinya ia benar-benar marah. Tapi, di mata Hinata ia malah terlihat lucu dan manis dengan reaksi cemberut seperti itu.
"Maaf, kalau aku mengecewakan kalian semua..." Gaara berujar lagi dengan nada santai dan datar seperti biasa. Dalam keadaan seperti ini pun pria itu sanggup mengatasinya.
"Begitu ya?" ujar ibu Matsuri yang diketahui dengan nama Mihasi. Kemudian Mihasi melirik anaknya yang saat ini masih memandang sebal pada cangkir-cangkir bening yang berdiri di atas meja di depannya, seolah cangkir itulah yang saat ini membuatnya benar-benar marah. "Matsuri, dewasalah, ibu juga tidak bisa memaksa Gaara."
"Tapi kan, Bu..." Matsuri benar-benar merasa kesal. Ia tidak bisa lagi berbuat apa-apa kalau sudah begini—ibunya-lah yang setuju membatalkan acara pertunangan ini. Dan Gaara pula, kenapa tiba-tiba membawa Hinata pada semuanya?
Sebenarnya Matsuri sudah mengira Gaara pasti menaruh hati pada gadis itu. Dan itu sungguh membuat dirinya membenci Gaara! Padahal beberapa hari ini ia sudah berbuat sebaik mungkin pada Gaara, tapi, yang ada malah diabaikannya.
Hei, bukankah perbuatan Matsuri beberapa hari ke belakang malah membuat Gaara risih? Sayangnya Gaara tidak membahas soal itu. Biar Matsuri saja yang menyadari.
Dan memang baru sekarang ia menyadarinya sih.
Ok, Matsuri sudah terpojok, kalau ia banyak bicara saat ini yang ada semua tambah kacau.
"Kamu kan sudah tujuh belas tahun, Matsuri."
Setelah ibunya berkata demikian. Matsuri berdiri dari duduknya dan berlari ke arah luar—melewati Hinata dan Gaara yang berdiri di sana.
"Matsu..."
Hinata akan memanggil Matsuri tapi kegiatannya dihentikan oleh Gaara.
Sedangkan kedua kakak Gaara sibuk makan cemilan yang ada di atas meja—seolah sedang menonton sebuah drama langsung tanpa komentar.
Gadis indigo itu hanya menghela napas, pasti sekarang Matsuri sedang menangis, dan ini tentu saja karenanya. Kenapa sekarang Hinata merasa bersalah? Seolah-olah ia-lah masalah bagi mereka.
Ah, tidak tidak. Hinata bukan masalahnya walau Matsuri lebih dahulu mengenal Gaara.
Hinata menggenggam balik pergelangan tangan Gaara—membuat pria itu mengalihkan pandangannya ke arah genggaman tangan itu sesaat.
"Maaf, Matsuri memang belum dewasa." Mihasi menunduk dalam di hadapan semuanya. Ia juga merasa tidak enak dengan keluarga besar Sabaku. "Kami permisi dulu, maaf sudah merepotkan selama ini," ujarnya disertai dengan senyuman.
"Tidak masalah, Matsuri itu anak yang manis," jawab nyonya Sabaku seadanya. Lagipula selama ini ia sudah menganggap Matsuri adalah anak sendiri. "Kau tidak usah berlaku formal seperti itu."
"Haahahaha..."
Dan setelah itu obrolan singkat mengenai kedua ibu rumah tangga itu berlangsung. Gaara tidak mau berdiri di sini lama-lama. Karena Gaara rasa ia sudah menyelesaikan semuanya.
.
Untung Gaara tepat waktu membawa Hinata kemari disaat ibu Matsuri tengah berkunjung ke rumahnya. Kalau terlambat. Mungkin ibunya pasti sudah akan pulang—dan kesempatan itu harus segera diambilnya untuk mengakui ini semua.
Di depan ibunya. Matsuri tidak bisa berontak. Tentu saja karena Gaara tahu, nyonya Mihasi pasti mengerti dirinya ketimbang anak gadisnya yang tidak akan pernah mengerti dirinya walau sudah sering dibentaknya.
Lalu sekarang, Gaara membiarkan mereka berempat tetap berkumpul di ruang keluarga—serta membiarkan Matsuri yang pergi keluar rumah. Gadis itu tidak akan kemana-mana. Ia pasti sedang tiduran di dalam mobilnya yang tidak jauh terparkir di depan rumah Gaara.
Dari sini—di lantai dua, Gaara dapat melihat sosok Matsuri di dalam mobil sambil tiduran. Mungkin ia menangis. Tapi biarkan saja. Paling juga sampai ia capek sendiri. Yang penting posisi Matsuri saat ini tidak diketahui Hinata.
Gaara menolehkan badannya ke arah Hinata yang berada di belakangnya. Gaara sengaja membawa Hinata ke atap rumahnya—jauh dari obrolan ibu rumah tangga. Bahkan gadis cerewet itu. Ia hanya ingin berbicara berdua bersama Hinata. Menjelaskan sesuatu yang sepertinya perlu diketahuinya.
Kenapa harus di atap?
Entahlah, Gaara hanya merasa jika berada di sini selalu mengingatkannya ketika gadis indigo itu mengeluh sendiri. Saat ia sedang ditindas orang—ia pasti akan mengeluarkan suaranya dari atap sekolah.
Di atap juga untuk yang pertama kalinya dulu Gaara mendengarkan suara lembut Hinata—suara yang selalu disembunyikan dari pendengaran murid lain.
"Kau tahu?" ujar Gaara memulai obrolan pertamanya pada Hinata yang masih memandangi sepatunya. "Kau gadis pertama yang masuk ke dalam rumahku dengan seizinku."
Sontak muka Hinata memerah dengan manisnya. Sinar matahari senja semakin membuat wajah Hinata bersemu memerah. Ia juga tidak tahu mengapa ia harus mengikuti Gaara sampai sejauh ini—bahkan sekarang sudah berdiri di atap rumahnya. Rasanya sudah lama sekali Hinata tidak kabur ke tempat tinggi seperti ini.
"Apa aku kejam membatalkan pertunangan pada Matsuri secara tiba-tiba itu?" tanya Gaara datar seperti biasa.
"A-aku tidak tahu..."
Hinata merasakan dorongan air mata yang merebak ingin keluar dari matanya. Kenapa Gaara melakukan semua ini padanya? Dan sekarang sungguh ia tidak mengerti.
"Aku rasa, aku tidak salah telah membatalkannya." Gaara kembali memandang ke luar pagar perbatasan atap rumahnya—pandangannya tertuju ke arah mobil Matsuri kembali. "Aku memang tunangan yang dipilihnya dengan seenaknya. Walau begitu bukan berarti dia adalah tunanganku."
Hinata melirik sedikit punggung Gaara yang kini membelakanginya secara diam-diam dalam keadaan menunduk. Sepertinya ini adalah ucapan yang jujur dari pemuda itu.
"Dulu, waktu kecil kami memang dekat. Dan bukan berarti aku menyukainya, lagipula memangnya saat kecil aku bisa suka seseorang? Itu lucu sekali." Garaa kembali terdiam, "tapi, gadis itu merasa begitu." ujar Gaara dengan maksud yang tertuju pada Matsuri. "Tapi, Matsuri menganggap semua itu kebalikkan dariku. Ia memilihku hanya karena alasan aku teman kecilnya."
Hinata tercengang menyimak cerita masa lalu Gaara.
"Saat dia pindah rumah dan meninggalkan aku di kota ini, aku memang merasa sedih. Tapi, sekarang aku tidak peduli itu dan melupakannya. Bukankah itu salahnya yang telah pindah rumah dulu?" Gaara kembali berbalik menatap Hinata—membuat Hinata kembali menundukkan kepalanya.
"Aku saja tidak mengerti kenapa ia memilihku untuk jadi tunangannya tanpa persetujuan dariku... dia memang aneh."
Hinata mencoba menahan desahan tangisnya. Ia semakin menyembunyikan raut wajahnya dengan menunduk dalam. Ia pun tak tahu mengapa sekarang ia ingin sekali menangis.
Terlihat tangan Hinata terangkat untuk mengelap air matanya sendiri—sebelum air mata itu keluar dari matanya. "Ke-kenapa kau cerita ini?"
Gaara menaikkan alisnya tidak mengerti.
"A-aku kan bukan pacarmu..." ujar Hinata terkesan lirih. Jika ia mengingat itu kembali memang sangat terasa miris. Berharap berstatus pacar dengannya, yang ada malah sebaliknya.
Gaara menghela napas ringan, ia menarik senyumnya. "Apa status itu memang dibutuhkan?"
Hinata tersentak kaget.
"Apa itu yang kau inginkan?"
Detak jantung Hinata semakin memburu ketika dirasakannya Gaara mendekat ke arahnya, meraih bahunya dan menarik dirinya ke dalam dekapannya.
"Katakan saja kalau kau mau. Karena aku bukan malaikat yang bisa mengetahuinya." Gaara menyandarkan dagunya pada puncak kepala Hinata—membuat Hinata semakin ingin menenggelamkan kepalanya ke dalam dada bidangnya.
Hebat! Hebat sekali! Gadis itu berhenti menangis di dalam pelukkan pemuda itu. Ia malah menarik senyum bahagia yang sekarang menyerbak dirasakannya.
Benar juga yah. Gaara kan bukan malaikat. Gaara tidak akan tahu apa yang diinginkan Hinata kalau ia sendirilah yang tidak bicara.
Sementara kepalanya tetap bersandar di dada pemuda itu, Hinata menyelipkan tangannya—melingkari badan Gaara sepenuhnya—serta memeluknya erat.
Begini lebih baik.
Melihat respon gadis itu, Gaara hanya bisa tersenyum dan menyesap dalam-dalam aroma rambut gadis itu.
"Maaf..."
Untuk pertama kalinya Hinata mendengar penuturan kata itu. Dan itu cukup untuk melupakan semuanya yang sudah Gaara perbuat. Baginya bukan hanya Gaara saja yang salah. Dirinya pun salah, bukan?
"A-aku juga minta maaf..."
"Tidak perlu, karena akulah yang salah."
Hinata menggeleng di dalam dada bidang Gaara. "Berjanjilah..." ujar Hinata lirih. "Berjanjilah kau adalah orang yang pasti untukku."
.
.
.
.
.
"Hah? Matsuri pindah ke sekolah Kankuro?" tanya Hinata tidak percaya pada seseorang di seberang telpon sana. Sambil membereskan tempat tidur ia mengapit telponnya di antara bahu dan kepalanya.
Padahal masih sangat pagi sekali ia malah mendengar berita ini. Handuk di atas kepalanya masih terselubung. Saat ini ia baru saja selesai mandi.
"Iya, katanya sekarang ia suka pada Kankuro." terdengar dari seberang telpon suara Gaara yang saat ini tengah menelponnya.
"Hah?" mata Hinata membulat sempurna. Ia benar-benar tidak percaya. Padahal baru saja beberapa minggu Gaara memutuskan pertunangan mereka. Tapi, sekarang Matsuri sudah berpaling pada kakaknya. "Ba-bagaimana bisa?" kegiatannya terhenti oleh karena masih belum percaya pada berita ini.
"Aku sudah mengira ini dari awal. Matsuri hanya mau mengenal pria yang sudah lama dikenalnya. Yah, termasuk kakakku juga sudah lama dikenalnya."
"Oh..." Hinata masih terpaku di tempat belum percaya.
Terdengar dari seberang Gaara menghela napas, "yang penting mulai sekarang di sekolah itu tidak ada dirinya. Kau kan tidak mau bertemu dengannya."
"Bukan tidak mau!" jawab Hinata cepat. "Aku hanya merasa tidak enak saja..." Hinata memelankan nada suaranya. Sampai sekarang ia masih merasa tidak enak pada Matsuri. Tapi, ketika mengetahui kenyataan ini. Rasa tidak enak itu sudah terganti dengan rasa tidak percaya.
"Sampai jumpa di sekolah. Jangan terlambat ya..."
"I-iya." setelah itu Hinata memencet tombol untuk mematikan sambungan telponnya. Hari ini ia tidak ingin sekolah rasanya karena masih terkejut.
Matsuri benar-benar gadis yang sulit ditebak. Sampai-sampai Gaara yang sudah lama mengenalnya pun tidak bisa menebak dirinya.
.
-owari-
.
Astagreee~ maafkanlah diriku yang menamatkan fik ini dengan gajenya. Gantung gak sih? Aneh ya? #ngumpet.
Yaah, aku ngerasa fik ini gagal banget hiks #pundung. ToT
Oh iya, itu nama ibunya Matsuri OC. Abis daku kagak tahu siapa namanya. Hahaha lagipula emaknya emang gak pernah nongol #hajared
Okelah, setelah ini tungguin fik 'Want To Get It' yah #promocolongan XD
So, Would you give criticism on this story?
-Thanks for reading-
Salam coklat:p
Fidy.