Disclaimer : Tite Kubo ^^
G! Proudly Present : FLM ch.3 – Revenge
Starring : Rukia Kuchiki
Guess Stars!
Ichimaru Gin
REVENGE
Tap-tap-tap.
"Jadi kau akan ke sana siang ini?" Seorang pria dengan wajah berwarna dan topi berbentuk aneh tiba-tiba membuka pintu jati besar yang merupakan satu-satunya penghubung masuk-keluarnya orang ke ruang tengah. Pria itu tanpa sungkan mendekati wanita mungil yang sedang bersolek di depan meja rias mewahnya.
"Apa yang telah kubilang sebelumnya, itu akan dimulai hari ini," jawab wanita itu. "Apa orang itu sudah menghubungimu?" tanya wanita itu pada pria tadi yang sudah berada dibelakangnya.
"Orang sakit itu? Ya, dia sudah menelpon dua kali. Nemu yang mengangkatnya," jawabnya pada sosok dalam cermin.
"Lalu?" tanyanya sambil mengenakan lipstick merah tepat di bibir atasnya.
"Dia bilang, kau sudah bisa datang, Rukia," jawab pria itu. "Dia sudah mempersiapkan semuanya," lanjutnya kali ini dengan bisikan. Pria itu kini mendekatkan wajahnya tepat di samping pipi kiri Rukia. "Gunakan ini," bisiknya lebih pelan lagi.
Rukia menghentikan aktivitas mewarnai bibirnya. Kini matanya menatap rendah sebuah pistol hitam pekat―seperti mainan―yang telah berada di pangkuannya. Ia menyentuh benda itu sebentar. Tak lama kemudian ia genggam pistol itu dengan sempurna.
"Pistol? Bukankah sudah kubilang aku akan membakar dia hidup-hidup?" Rukia tampak memprotes. Kulit bagian keningnya dikerutkan, memandang Mayuri Sang Dokter penuh tanya.
"Oh, tak ada salahnya kau membawa benda ini, sayang," jawab Mayuri setengah menggoda. "Kau harus tahu, ilham yang kuterima berkata demikian," katanya lagi dengan nada bicara yang sedikit berbeda.
"Ilham? Apa lagi yang kau tahu, Mayuri-sama?" Nada bicara Rukia menaik. Ia menatap Mayuri di sampingnya dengan kedua mata besarnya. Tatapan yang tajam dan kuat, seakan menyiratkan kehausan akan sesuatu yang tepat ia butuhkan saat ini.
"Tenang Rukia. Kau akan menghancurkan musuhmu itu. Ichimaru Gin, ia akan pergi ke neraka segera," bisik Mayuri lagi, kali ini ditambah dengan kekehan kecil yang sukses membuat raut wajah Rukia menunjukkan kekesalannya.
"Kalau begitu, aku minta jasa anak buahmu untuk mengantarku ke sana," Rukia kembali mempertebal warna merah pada bibir bawahnya, lalu melakukan gerakan bibir yang mempertemukan langsung bibir atas dan bawahnya.
"Aku ingin ganti baju. Jadi…," ia memperlambat kalimatnya. "Aku harap kamu tahu maksudku," Rukia melirik Mayuri, lalu lirikannya digeser ke arah satu-satunya pintu di ruangan itu.
Mayuri tak menjawab. Ia hanya menunjukkan ekspresi tak senangnya terhadap sikap Rukia yang 'sedikit' kurang sopan. Setelahnya, ia segera keluar meninggalkan Rukia sendiri dalam kamar sempit itu.
Kini Rukia seorang diri di dalam kamarnya. Satu menit, ia masih belum mempersiapkan pakaiannya. Ia masih menatap cermin dengan dirinya di dalam.
"Aku… aku akan melemparmu ke neraka, Gin!" gertak Rukia pada sosok dirinya di cermin.
"Aku bersumpah, aaaah!" Ia berteriak, mengejang dan memukul-mukulkan meja hiasnya sampai menimbulkan suara gaduh yang tak dipedulikan penghuni di luar kamarnya. Rukia berkeringat. Ia bergetar. Kakinya ia paksakan melangkah, melangkah menuju pinggir ranjangnya.
Rukia berbaring sebentar. Berusaha menenangkan raganya. Akan tetapi, tubuhnya itu tak ingin berhenti. Ia tetap berkeringat dan tetap mengejang. "Ternyata tak bisa," ucapnya.
Kali ini ia berusaha untuk menggapai laci kecil di samping ranjangnya. Ia mengobrak-abrik isi laci itu. Ia terus meraba-raba isi laci tanpa melihatnya dengan pasti. Kepalanya sulit diangkat, entah mengapa terasa sangat berat.
"Dapat!" serunya saat tangannya tepat menyentuh bungkusan tablet. Rukia membuka bungkusan itu, mengambil sebuah tablet hijau dan menelannya dengan paksa.
Lima menit ia berbaring, kini tubuhnya sempurna pulih. Keringat di keningnya masih tersisa dan membentuk butiran-butiran air. Rukia mengelapnya.
Kini ia bisa kembali bangkit. Ia mengambil satu set gaun warna gelap yang telah disiapkannya di balik lemari. Ia segera mengganti pakainnya dengan gaun itu.
Sempurna. Gaun hitam tanpa lengan yang tetap menutup seluruh bahunya, dengan model ketat memanjang sampai atas lutut ditambah dengan stocking hitam bermotif kembang telah sempurna mempercantik tampilan Rukia.
Cantik, seksi dan gelap adalah kesan yang terpancar dari bayangan cerminnya. Tak hanya itu, ia mengambil kacamata hitam dengan ukuran yang tidak kecil dari dalam laci dan mengenakannya.
Rukia kemudian mencari kotak sepatu di bagian bawah lemarinya. Ia temukan satu kotak sepatu berwarna gold bermerk Gucci. Ia buka kotak itu dan mengeluarkan sepatu hak tinggi warna hitam dari dalamnya. Ia kenakan sepatu itu mulai dari yang kanan kemudian yang kiri.
#
"Jadi, apa aku bisa pergi sekarang?" Sosok wanita yang kini telah berpakaian lengkap dengan dominan warna hitam itu sekarang tampil di ruang tengah. Satu lampu redup di ruangan itu tidak dapat memudarkan perhatian tiga pasang mata para penghuni rumah.
"Eh, boleh aku berkomentar?" Satu-satunya perempuan di ruangan itu berjalan mendekati Rukia. "Kau cantik, Rukia. Tapi, apa 'Si Brengsek' itu tidak akan curiga nantinya. Kau… terlalu mencolok," ucap perempuan itu.
"Nemu-san, ah, aku tak mempermasalahkan itu. Pada dasarnya―" Rukia melangkah menghampiri perempuan yang dipanggil Nemu-san itu, lalu menyentuh pundaknya, "―ilham telah berkata aku akan berhasil."
"Aku suka sekali gayamu yang ini, Rukia. Kau begitu… menawan," Mayuri memperjelas kata yang terakhir. "Sado, antarkan Rukia. Dia tak mungkin pergi ke sana seorang diri."
"Baik, Tuan," jawab pemuda kulit hitam yang dipanggil Sado itu. Pemuda itu meletakan piring-piring bercorak hijau cerah yang sedari tadi ia lap, ia bersihkan dari debu. Kini, dengan tugas yang baru, ia bergegas mencari satu kunci kendaraan yang akan digunakannya―sebuah kunci mobil jeep, yang diyakininya berada di laci terbawah.
"Kau mencari ini, Sado-kun?" Nemu mendekati Sado. Sado yang berbalik punggung, melihat kunci yang dicarinya berada di apitan ibu jari dan telunjuk Nemu.
"Kalau begitu, kita bisa pergi sekarang, kan?" Rukia mulai membentak. Jelas ambisinya tak mau ditunda―jangankan sehari, untuk beberapa jam pun tentu tidak.
"Baiklah," jawab Sado dengan pasti, setelah ia mengambil kunci itu dari tangan anak majikannya itu.
#
Bruum-Bruum-Bruum.
"Mobil jeep ini sama sekali tidak keren," komentar Rukia saat mobil itu dengan sempurna berhenti di depan kediaman mewah Gin.
"Tidak keren? Ya, aku setuju," balas Sado sambil melepas kunci mobil itu dari lubangnya. "Lalu, apakah aku harus ikut ke dalam? Menjagamu, err, bukan, melindungi Anda?"
"Tak ada alasan bagimu untuk masuk. Kau tunggu saja di sini," jawab Rukia sambil membuka pintu sisi kanan jeep itu. Kaki kanannya ia turunkan keluarkan terlebih dahulu, hingga menyentuh permukaan tanah dengan sempurna―lalu mengumpulkan keseimbangan pada ujung haknya, barulah ia tinggalkan mobil 'tidak keren' itu berserta 'pengemudi'nya di dalam sana.
Tap-tap-tap.
Rukia berjalan tanpa canggung sedikit pun. Jelas mentalnya telah ia persiapkan untuk hari ini. Saat penjaga pintu gerbang menanyai perihal kedatangannya, Rukia dapat menjawab sempurna. "Aku sudah membuat janji dengan Ichimaru Gin, hmm, secret business," jawaban itu sukses meloloskan Rukia dari penjaringan pertama.
Tap-tap-tap.
Pintu kayu bercat putih dengan gagang warna emas membumbung tinggi dihadapan Rukia. Pintu inilah yang harus ia lewati untuk dapat benar-benar masuk ke dalam rumah Ichimaru Gin. Dan memang, orang yang telah membantunya dalam perencanaan ini telah menunggunya di balik pintu itu.
"Anda?" sapa seseorang tiba-tiba dari balik punggung Rukia. Dari suaranya, diketahui bahwa bukan 'orang yang dimaksud'-lah yang barusan menyapanya.
Rukia masih memunggungi sosok di belakangnya. Ia belum berani berbalik, ya, sampai tangan orang itu menyentuh pundaknya. "Tuan Ichimaru telah menunggu Anda," katanya lagi.
Wanita berumur kira-kira seperempat abad―atau mungkin lebih beberapa tahun, berkacamata dan berkepang. Rukia teringat dengan sosok itu. Nanao, salah satu pelayan wanita kesayangan Gin. Dan wanita ini pernah menyentuhnya saat ia masih terluka-luka. Ya, terluka-luka, tapi wanita ini menyentuhnya bukan berarti menolong, justru membuangnya ke dalam gudang untuk kemudian dibakar oleh Gin―seperti sampah.
"Gin sudah menunggu, ya? Ya, a-a-aku sedikit terlambat," jawab Rukia sedikit gugup. Dalam hatinya―meski sebelumnya ia telah yakin―ia takut akan terbongkarnya penyamarannya di saat pertama.
"Biar aku antar. Tuan Gin sekarang sedang ada di kolam belakang," ajak Nanao.
"B-baik,"
#
"Apa orang itu akan benar-benar datang?" Sosok pria dengan pakaian resmi rumahannya sedang duduk di kursi santai. Di hadapannya, kolam persegi panjang yang terisi penuh dengan air jernih berkaporit. Ia menunggu, ditemani oleh satu pelayannya―kali ini pelayang pria―yang setia berdiri tegak di sampingnya.
"Orang itu sudah bilang kalau dia akan terlambat, mungkin beberapa menit lagi," jawab Sang Pelayan. Pelayan berperawakan tinggi jangkung dengan ukuran badan yang tidak terlalu berisi, kulit pucat dan warna rambut gelap juga dengan garis bawah mata yang terlalu memanjang ke bawah di daerah pipinya.
"Aku akan menunggu lima menit lagi. Kau tahu aku terlalu lelah dengan kegiatan tanpa hasil, kan?" Gin berucap dengan nada tinggi. Ia menghirup oksigen dengan paksa, lalu membuangnya lagi dengan bentuk lain―karbon dioksida.
"Tuan Ichimaru, Nona Rosea Schiffer telah datang," Nanao memecah keheningan yang terjalin antara dua pria di area belakang itu. Kedatangannya yang tiba-tiba dan tanpa tanda itu sedikit mengagetkan Gin. Ia bersama dengan seorang wanita lagi yang ia sebut dengan Rosea Schiffer tadi kini berdiri di hadapan Gin.
"Nona Rosea Schiffer, aku menunggumu sejak sejam yang lalu," sambut Gin. Ia kini berdiri menyeimbangkan posisinya dengan wanita 'kurang tinggi' dihadapannya.
"Ichimaru Gin, Anda… tinggi sekali," sindir Rukia halus. Ia memang sedikit dibuat susah dengan posisi seperti itu―ia harus menatap wajah Gin agak ke atas. Hak tingginya ia hentak-hentakan pelan seakan memberi ketukan magic yang bisa menambah tinggi haknya itu.
"Ah, kalau begitu kita duduk saja," Gin mempersilahkan 'Rosea' duduk pada kursi santai di sebelahnya. Ia juga melebarkan kuncup payung yang akhirnya meneduhkan mereka berdua. Ia sadar dengan warna hitam yang dikenakan Rukia yang sangat sensitif dengan panas matahari.
"Jadi, kau berani membayar dua ratus juta hanya untuk foto itu?" Gin langsung menanyakan pokok pembahasan. Ya, kali ini tanpa basa-basi. Mungkin karena ini berhubungan dengan sesuatu yang terpenting.
"Satu jepretan foto, itu sudah cukup untuk menjadi alasanku mengeluarkan cek sebesar itu. Tentu bukan jepretan biasa, karena aku juga ingin melihatnya secara langsung," jawab Rukia. Dalam hati, ia lega akan kondisi saat ini. Gin tak menyadari apa pun.
"Baiklah, tentu saja itu tak masalah jika aku juga bisa lihat 'itu'. Kau tahu maksudku, Nona?"
"Sebenarnya aku tersinggung dengan ucapanmu barusan. Kau harus tahu aku ke sini dengan apa; mobil bukan sembarang mobil. Kau tahu maksudku, Gin?" Rukia berkomentar sambil merogoh isi tasnya. Ia keluarkan selembar cek yang sudah berisi nominal angka−bisa tebak berapa yang tercantum di sana; dua ratus juta yen−dengan ruang kosong pada kolom 'tanda tangan penerima'.
"Bukan. Ini pertemuan pertama kita, kan? Ya, sebelumnya kau hanya berhubungan dengan asistenku. Jadi, aku hanya ingin mengetes dirimu saja, hehe..." Gin menunjukan tawanya saat ia mengambil lebaran cek itu. "Baiklah. Ulquiorra, bisa ambilkan 'benda' itu? Nona, sudah siapkan kamera?"
"Oh, tentu," jawab Rukia berbarengan dengan langkah Ulquiorra. "Ehem. Tapi, apa tidak lebih baik, jika kita ikut ke dalam juga? Maaf atas kelancangan ini..." ucap Rukia tiba-tiba. Kata-kata Rukia barusan sedikit menghambat perjalanan Ulquiorra. Ulquiorra berhenti sebentar.
"Tuan..." Ulquiorra berbalik badan menghadap tiga orang di tempat perbincangan.
"Ah, iya, benar juga. Ulquiorra,−kau masih di sini−bawa 'benda' itu ke ruang tengah!" perintah Gin pada Ulquiorra yang sudah berada jauh semeter darinya.
Tap-tap-tap.
"Boleh aku ke toilet sebentar?"
"Ah, tentu, Nona. Biar aku antarkan, ah, maksudku, Nanao, kau antarkan Nona Rosea!"
"Baik, Tuan."
#
"Kau sama sekali tak ingin aku menyentuhnya−bahkan kotak kayunya sekalipun?"
"Tidak seperti itu, hanya tak ingin memberi kesempatan padamu saja. Kau harus tahu, 'benda' itu milikku," Rukia berbicara pada sosok di belakangnya. Cermin toilet menjadi saksi percakapan mereka, dengan aliran air pada wastafel, kemudian dipecahkan oleh tangan mungil Rukia yang kemudian menyapu bersih sisi wajahnya.
"Sepertinya kau masih sedikit gugup, ya? Hmm, apa kau masih belum yakin untuk melakukannya? Apa kau perlu bantuanku untuk menembaknya?" suara itu terdengar lagi. Sosoknya bersandar pada pintu toilet yang tertutup.
"Kau? Memang kau punya pistol, hah?" Kali ini tisu kering yang menyapu bagian wajahnya, menyerap sisa air yang tertinggal di atasnya.
"Bukankah Mayuri menitipkannya untukku?" Sosok itu mendekati Rukia.
"Eh," desah Rukia saat tangan orang itu merogoh tasnya, mendapatkan pistol hitam kecil di dalamnya, lalu mengeluarkannya dengan paksa−hingga mengeluarkan atau bisa disebut menjatuhkan beberapa benda yang lain.
"Ini senjataku, loh."
"Kau...!"
"Sssttt, lebih baik sekarang kau kembali, sebelum ada yang curiga," ucap sosok itu sambil mendaratkan telunjuknya vertikal tepat di bibir mungil Rukia.
Rukia pun menurut. Ia meluruskan gaunnya dan memperbaiki sandaran sepatunya−hingga benar-benar nyaman di kakinya.
"Aku. Akulah yang akan membunuhnya. Dan, kau, hanya diam saja. Tugasmu sudah selesai," ancam Rukia. Rukia tampak kasar dengan ucapannya ditambah lagi dengan hantaman pintu yang mengiringi kepergiannya ke luar ruang sempit itu−toilet. Jelas, Rukia sangat tidak sopan dengan sosok yang menolongnya pada insidennya yang terdahulu. Tapi, bagaimana pun, orang itu tidak sakit hati. Ia hanya tersenyum memaklumi hal itu. Toh, itu sudahlah masuk dalam rencana dan perkiraannya.
Tap-tap-tap.
~TO BE CONTINUED~
A/N: Hah? Lama sekali ya, update-nya.
Maaf... Habisnya, tugas sekolah itu menumpuk banget!
Ditambah lagi, komputer yang rusak dan harus diinstal ulang.
Untungnya dokumen-dokumen fic nggak kehapus.
Okelah, saya tunggu reviewnya.
Ya, kalau jelek maaf, ya.
Thanks sudah baca. ^^