R O M A N C E

Disclamer: tentu saja dari guru kami semua, Masashi Kishimoto sensei.

Pairing: NaruHina

Summary: Awalnya kupikir, aku akan menjalani kehudupanku di kelas dua sma ini seperti biasanya. Monoton, dan membosankan. Sampai akhirnya sahabatku menawarkan perjanjian menarik. Aku setuju. Tapi gara-gara eksperimenku dengan gadis aneh. Membuat semuanya berantakan.


Someone's POV

Tahun ajaran baru 2010…

Hah, mengingatnya saja membuat aku ingin tertawa. Apanya yang baru, coba? Semuanya terasa sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya. Selama empat tahun aku bersekolah di sini, sejak smp kelas satu, tak ada yang pernah berubah dengan rutinitas para siswa maupun gurunya. Belajar dan mengajar. Lalu Guru dengan bangganya memberikan tugas, dan siswa secara ogah-ogahan mengerjakannya atas nama 'nilai'. Tiap akhir semester guru gak ada bosannya mengadakan ujian dan siswa juga gak ada jerahnya untuk selalu menyontek. Haah~ selalu seperti itu. Kehidupan monoton di sekolah, cukup membosankan, tak ada yang special maupun menarik, oh kecuali satu hal. Yah, satu hal yang selalu digembar-gemborkan para anak-anak remaja. Apalagi kalau bukan namanya cinta monyet.

Ha ha ha… dalam hati aku tertawa hambar. Kalau masalah cinta, aku bisa dibilang paling malang… pemuda yang malang. Pasalnya gadis yang kukagumi sejak kelas delapan tak pernah aku gapai. Jangankan memilikinya, berdekatan dengannya saja selama tiga tahun ini bisa dihitung dengan jari. Huh, apa boleh buat. Sainganku terlalu banyak, karena gadis yang kusukai ini termasuk cewek yang digandrungi seluruh sekolah. Cowok-cowok yang pernah dekat dengannya adalah orang-orang berkelas (dalam ekonomi tinggi). Bukan seperti diriku.

Tch! Lupakan pikiran melankolis itu. Bukannya aku sudah bertekad untuk fokus dengan pelajaran dulu, dari pada memikirkan cinta monyet 'buruk' yang kualami.

Aku berdecak pelan sambil mengacak sekilas rambut hitamku. Tak peduli dengan rambutku yang memang sudah dari nenek moyangku ini terlihat berantakan tiap waktu.

Langkahku di koridor sekolah sedikit kuperlambat. Sambil melihat papan kelas di atas pintu yang kulewati. Mencari kelas yang sudah tercatat menjadi tempatku belajar untuk setahun kedepan.

Sampai akhirnya aku agak terkejut, ketika pandanganku jatuh pada sosok gadis yang berdiri di depan sebuah kelas. Dia sedang mengobrol dengan temannya. Entah apa yang mereka bicarakan aku tak peduli. Mataku terpaku pada parasnya yang pagi ini sangat menawan. Ah… rambut panjangnya yang berwarna kuning pucat itu, mata aquamarine indahnya, senyuman cantiknya, dan tawa gelinya yang begitu merdu di telingaku. Oh Tuhan, aku merindukan itu semua selama liburan lalu. Dan lagi-lagi cupid selalu senang menghampiriku jika melihat Ino –nama gadis pujaanku.

So…. Apa yang harus aku lakukan? Berdiam diri saja di sini seperti orang tolol? Tidak, tidak. Aku tidak ingin melakukan hal yang sama lagi, dan yang nantinya aku pasti akan menyesal. Sebaiknya aku menyapanya saja. Ya, hanya sekedar sapa saja tak masalah 'kan?

"Pagi Ino."

Bagus, sepertinya aku mengucapkannya dengan lancar. Tak sia-sia aku latihan selama ini.

Dia berhenti mengobrol dengan temannya, lalu menoleh padaku. Dan dia tersenyum, tersenyum… Ya Tuhan, jantungku berdegup kencang sekali!

"Pagi Shuu," balasnya ramah, sekilas, dan kembali berjalan membelakangiku karena temannya sudah menariknya ke dalam kelas.

Tapi waktu yang hanya sebentar itu, terasa sangaaaat menyenangkan di hatiku. Dia baru saja menyapaku ramah (meski aku yang mengawali dulu), dia tersenyum padaku, dan menyebut nama kecilku Shuu, bukan nama margaku biasanya yaitu Yamamoto. Kami-sama, apa ini pertanda baik?

Aku jadi senyum-senyum geli sambil melanjutkan langkahku. Tanpa sadar aku telah menabrak seseorang.

"Kyaaa!"

Suara cewek. Nyaris saja dia terjungkal ke belakang jika saja tak ada orang lain yang menadahnya dari belakang. Syukurlah, setidaknya rasa bersalahku tidak bertambah besar.

Tunggu, sepertinya aku mengenal mereka….. hah, bodohnya diriku. Cewek yang kutabrak ini 'kan Hinata, dan cowok yang sedang menolongnya itu….. Naruto.

Pantas saja. Acara 'tak sengaja jatuh' dengan 'kebetulan menadah' ini terlihat sangat lama. Lihat saja, mereka sampai membatu di posisi Hinata yang setengah berdiri dan Naruto yang menadah punggung dan kepala Hinata dengan kedua lengannya.

Jarak wajah keduanya begitu dekat. Mata mereka pun saling pandang tanpa kedip. Kentara sekali aura romansa-romansa muncul di antara mereka. Hah, andai saja yang di hadapanku ini adalah aku dan Ino….

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Naruto tanpa menutupi rasa khawatirnya.

Aku sweatdrop di tempat. Ya ampun Naruto, bicaramu sopan sekali.

"Y-yah, A…a-aku tidak papa kok," jawab Hinata lengkap dengan rona merah di wajahnya, menambah kesan manis pada parasnya.

Kali ini kau berhasil Naruto. Dia merona karena sikap protective-mu itu.

Naruto membantu Hinata berdiri tegak kembali, meski gadis itu tetap menunduk, menyembunyikan raut wajahnya.

"Lu gimana sih? Kalau jalan lebih hati-hati dong, Shuu!" semprot Naruto sambil menatapku garang. Sifat aslinya kembali.

Keningku bergedut menahan emosi. Naruto benar-benar mempermalukanku di depan siswa lainnya. Aku terlihat seperti orang penjahat yang baru saja melakukan hal buruk pada Hinata, dan Naruto dengan 'sok'nya berlagak seperti pahlawan keadilan yang kepagian. Dalam hati aku berdoa, semoga saja Ino tidak melihatku saat ini.

"Maaf," aku mengatakannya dengan sedikit tak rela. Memang sih aku yang bersalah, tapi mood-ku langsung buruk karena tingkah kekanak-kanakan Naruto.

"Sudahlah. Aku baik-baik saja. Ini juga berkat Na…Naruto-kun," kata Hinata sambil memainkan kedua jari telunjuknya. "Te…terima kasih karena sudah menolongku," ujarnya lagi sambil membungkuk sedikit pada Naruto.

"Hehehe… tak masalah," kata Naruto nyengir sambil menggaruk belakang kepalanya.

Aku memutar bola mataku bosan. Hubungan mereka juga tak beda jauh dengan kondisi sekolah ini. Monoton dan membosankan. Yang satu tak berani lebih 'mendekat' karena kakak Hinata yang pernah menendang bokong Naruto. Dan yang satunya lagi terlalu malu untuk memberikan sinyal-sinyal 'menerima' karena insiden pingsan tiba-tiba selalu terjadi jika Naruto bertindak kelewat batas.

Tanpa sengaja, mataku menangkap sosok siswi yang menatap ke arah sini dengan senyuman anehnya. Gadis berambut panjang kuning kecoklatan. Dia berdiri di depan kelasnya, tak jauh dari tempatku. Sepertinya dia melihat reaksi Naruto dan Hinata dengan pandangan geli, seolah itu adalah hiburan baginya. Hah, apanya yang lucu?

Hingga mata hijaunya teralih padaku. Kami bertukar pandang, namun hanya sebentar, karena matanya langsung melirik ke arah lain, dan aku juga langsung tersadar karena Naruto menegurku. Rupanya Hinata sudah pergi menuju kelasnya.

"Kenapa gak sekalian lu antar dia?" tanyaku.

"Nggak deh. Bentar lagi kan bel masuk," jawab Naruto. "Lu mau kemana Shuu?" tanyanya balik.

"Gua lagi nyari kelas gua nih. XI-3."

"Wah. Kita sekelas lagi!"

"Masa'? Emang di mana kelasnya?"

"Ntuh. Baru aja lu lewatin."

"Hah?"

"Hahahaha… mikirin apa lu? Sampe ngelamun gitu. Hinata jadi korbannya 'kan?"

"Yaelah. Lu mestinya bersyukur, kalau gak ada gua. Lu gak ada kesempatan tuk megang pinggulnya, dan sedekat itu dengannya. Ya gak?" godaku.

"Hehehe… bener juga lu," katanya sambil nyengar-nyegir gak jelas.

Aku geleng-geleng kepalaku melihat tingkahnya. Lalu berjalan memasuki kelasku beriringan dengan Naruto. Lagi-lagi aku dibuat terkejut melihat ada Ino yang duduk di bangkunya. Hah? Tahun ini aku sekelah dengannya? Terima kasih Kami-sama. Kau benar-benar mengambulkan permohonanku.

"Tuh 'kan, lu ngelamun lagi Shuu!" seru Naruto mengagetkanku.

Sialan! Aku jadi pusat perhatian seluruh kelas lagi. Terlebih lagi aku dan Naruto masih berdiri di depan kelas, dan nyaris seluruh siswa sudah duduk di bangkunya masing-masing. Semua mata tertuju padaku lagi.

"Ehm," terdengar suara bariton yang berdehem dari belakang kami.

Aku menoleh, begitu pun dengan Naruto. Ternyata guru wali kelas baru kami baru saja datang. Hidan sensei.

"Tak bisakah kalian duduk di bangku kalian?" tanyanya sinis, lengkap dengan senyum anehnya.

Aku mengangguk. Dan tanpa banyak bicara langsung menggeret Naruto ke bangku yang masih kosong. Sebaiknya jangan mencari masalah dengan Hidan sensei, jika kau tak ingin diberi tugas menghafal ayat-ayat kitab dewa Jashin yang tak jelas asal-usulnya.

Ugh! Sialnya dua bangku yang tersisa hanya ada di pojok kelas, paling belakang pula. Mau tak mau aku harus menggunakan kacamata mines-ku dengan baik.

"Psst!"

Naruto yang sudah duduk di sebelah bangkuku, memulai keribuatan baru. Aku menoleh.

"Apaan sih?" bisikku, agar Hidan sensei tak mendengarnya.

"Semalam gua baru aja dapat ilham melalui mimpi gua," ujarnya serius.

Jiah. Mulai lagi deh nih anak.

"Mimpi apa lagi sekarang? Lu jadi pangeran kodok yang habis nyelamatin putri Hinata dari semburan api naga Neji. Gitu?" candaku. Soalnya Naruto kalau lagi ceritakan mimpinya, pasti isinya tak masuk akal.

Naruto yang tersinggung, langsung melempariku potongan penghapus, tepat mengenai kacamataku. "Gua serius nih!" kata Naruto tegas.

"Iya yah. Udah cerita aja," pintaku ogah-ogahan. Percuma berdebat dengan Naruto hanya karena masalah seperti ini.

"Gini yah Shuu. Isi mimpi gua semalam itu. Elu!" Naruto nunjuk aku dengan tampang serius, dan felling ku sudah tak enak.

"Lu jadi malaikat cinta gua. Alias nyomblangin gua dengan my Hinata hime," jelasnya mendramatisis setiap ucapannya.

Gubrak! Hampir aja aku terjungkal dari bangkuku sendiri. Yang benar saja!

"Ini pertanda Shuu! Percaya deh. Tadi aja kalau gak ada lu yang bengong di jalan. Mungkin gua gak punya kesempatan untuk nolong Hinata kayak tadi. Lu sendiri yang bilang gitu kan? Artinya lu punya bakat buat nyomblangin gua dengan Hinata. Ya gak?" kata Naruto nyengir bahagia.

"Gila lu yah? Tadi 'kan gua cuma bercanda. Lagian, mana ada mimpi yang seratus persen terjadi di kehidupan nyata? Hah?" elakku.

"Yang ini beda. Gua punya firasat kalau mimpi ini pasti terjadi. Ayolah Shuu, bantuin gua. Lu kan sohib gua yang paling baik nih. Masa' bantuin temennya tuk bahagia aja, lu kagak mau?" bujuk Naruto dengan memasang mode puppy eyes-nya.

Aku mendesah. "Lu jadi teman ngerepotin aja yah? Apa coba untungnya bagi gua? Hah?" tanyaku merendahkan. Lagi pula menurutku, tak ada yang bisa Naruto iming-imingkan padaku. Masalah pelajaran? Aku lebih unggul. Malah bisa dibilang dia yang sering nyontek padaku. Masalah uang? Meski Naruto termasuk anak orang kaya. Tapi aku yang keturunan dari keluarga sederhana gak tergila-gila dengan uang tuh.

Naruto nyengir padaku. Sepertinya dia tahu kelemahanku.

"Gua bisa mempengaruhi Ino agar ngelirik lu," kata Naruto.

Hah? Yang benar tuh?

"Masa' lu lupa sih. Gua kan sepupunya Ino. Lagian gua tau betul kalau lu naksir berat dengan Ino. Ya gak?" Naruto mulai siul-siul sumringah. Merasa dirinya ada di atas awan melihat aku bengong untuk sepersekian detik.

Dia beneran tahu kelemahanku. Ya ampun. Kenapa diriku ikutan kena budak cinta? Cowok macam apa aku ini? Sialan. Gara-gara kecanduan baca novel-novel romance di perpustakaan, aku jadi sering berhayal dan berharap memiliki kisah cinta sendiri di kehidupan sma ini.

Apa kata orang? Kalau tahu. Aku. Yamamoto Shuu. Pemuda yang lebih banyak diam. Siswa berkacamata yang pintar. Diam-diam ternyata memiliki hati melankolis yang membutuhkan cinta dari cewek idamannya. Hah, sungguh memalukan.

"Gimana Shuu? Lu mau gak?" tanya Naruto lagi.

Aku menghela nafas. "Oke. Gua mau," kataku. Tak apalah, apa salahnya mencoba?

"Bagus. Kita buat perjanjian. Lu nyomblangin gua dengan Hinata. Dan gua juga nyomblangin lu dengan sepupu gua, Ino. Deal?" ujar Naruto sambil mengulurkan tangannya, mengajakku berjabat tangan.

"Deal," ujarku mantab sambil menjabat tangannya.

Hm, sepertinya kehidupan sekolahku di tahun ini tidak akan membosankan.

End Shuu's POV

=.=NH=.=

Someone's POV

Aku duduk dengan bosan di bangku baruku. Sesekali clingak-clinguk gak jelas melihat sekeliling. Melihat siwa-siwa lainnya mengobrol dengan temannya masing-masing. Sayangnya, tak ada yang ku kenal, atau lebih tepatnya tak ada yang berteman akrab denganku di sini. Kecuali satu orang…. Sahabatku.

Merasa bosan, karena sahabatku ini tak kunjung datang. Aku beranjak dari bangkuku, menuju luar kelas. Setelah berdiri di depan kelas, aku mengedarkan pandanganku, mencoba mencari teman-teman yang ku kenal. Tapi yang kudapati malah sebuah pandangan langkah.

Entah karena apa? Aku melihat Hinata hampir terjatuh ke lantai, andai saja tak ada Naruto –yang entah juga muncul dari mana– dengan tanggapnya menadah Hinata.

Oh… so sweat… beruntung sekali Hinata. Pagi-pagi begini sudah bertemu dengan pangeran pujangganya. Terlebih lagi ditolong olehnya. Aku tersenyum geli melihatnya. Lucu juga melihat mereka berdua yang salah tingkah begitu.

Tak sengaja mataku teralih pada siswa lain. Yang berdiri di hadapan Hinata dan Naruto. Pemuda berambut hitam berantakan. Dia memandangku heran, dengan mata coklatnya di balik kacamata persegi tanpa frame yang ia gunakan.

Karena sedikit risih dipandang seperti itu. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, kebetulan Hinata juga sudah berbalik dan menuju ke arah ku.

Senyuman geliku tak jadi hilang begitu saja. Karena melihat rona merah di wajah Hinata tak kunjung pergi.

Hinata berjalan melewatiku. Saking malunya karena insiden tadi, dia sampai tak sadar kalau aku, sahabatnya ini, berdiri di depan kelas.

Aku mengikutinya dari belakang, ia memasuki kelas yang sama dengan kelasku. Sampai ia duduk di bangkunya, baris ke tiga dari depan, dan deret ke dua dari pintu kelas. Aku juga duduk di bangkuku, tepat di samping kanannya.

"Pagi Hinata-chan," sapaku. Hinata agak terkejut mendengarnya, sepertinya dia baru saja melamun.

Ia menoleh padaku. "P-pagi Niina-chan," balasnya.

"Lu kenapa Hinata-chan? Muka lu merah banget lho… penyakit lu kambuh lagi yah?" tanyaku memasang wajah khawatir yang berlebihan.

Hinata langsung menyentuh wajahnya dengan gugup. "M-masa' sih?" tanyanya gelagapan.

Aku menahan tawaku. "Biar gua tebak apa penyebabnya. Hmm.." aku memasang tampang pura-pura berpikir. "Ah! Pasti karena habis ketemu dengan pangeran lu kan?" tebakku, yang aku yakini kebenarannya.

Sontak wajah Hinata menjadi merah gelap sepenuhnya.

"Udahan lah godainnya, Niina. Lu buat muka Hinata-chan jadi kebakar tuh!" celetuk Kiba, yang mendadak nongol di belakang bangkuku gitu aja.

Aku terkejut melihat kedatangannya. Kali ini wajahku juga ikutan memerah. Kyaaa~~ Aku sekelas lagi dengan Kiba-kun! Ups! Hampir saja aku beneran teriak dan lompat-lompat gak jelas seperti orang tak waras.

Tak sanggup menahan panasnya darah di wajahku, aku menoleh ke arah lain, menyembunyikan wajahku yang tersipu.

"Lu kenapa Niina? Gak senang gua duduk di belakang lu?" tanya Kiba heran.

Ah, dia jadi salah paham nich! Gara-gara aku terlihat seperti buang muka darinya.

"Eng-enggak kok. Bu-bukan seperti itu," aku geleng-geleng gugup.

"Kalau lu keberatan bilang aja. Biar gua nyari bangku kosong yang lain," Kiba hendak berdiri, namun aku segera menahan lengannya.

"Siapa bilang gua keberatan? Gua malah senang sekali. Beneran deh. Senang banget lu bisa duduk dekat dengan gua! Jadi jangan pergi Kiba-kun!" ujarku lancar, setengah berteriak.

Siiing~~

Bisa kurasakan semua mata seisi kelas tertuju padaku. Yang sedang memegang lengan Kiba, dan berteriak agar dia tak pergi. Kenapa malah terlihat seperti adegan di opera sabun?

Wajahku memerah hebat. Aku sungguh malu. Segera ku lepas peganganku pada lengan Kiba. Lalu menunduk, menghindar dari tatapan seisi kelas.

Kiba masih diam. Oh Kami sama! Semoga saja Kiba tak menyadari perasaan yang kupendam sejak dulu…

Dari sudut mataku, aku bisa melihat Kiba kembali duduk di bangkunya. Dia nyengir melihatku. "Oi Niina. Gua kan Cuma bercanda. Gak nyangka reaksi lu seheboh tadi, hehehe…" ia mengejekku.

"Sialan lu," gumanku pelan tapi jelas terdengar Kiba, aku masih menunduk sambil menyembunyikan senyuman senangku.

Hinata terkikik geli melihat tingkahku. Sahabatku yang ini pasti sudah tahu alasan dari tingkah bodohku tadi. Ah… aku beneran malu nich.

"Oh iya Niina-chan," panggil Hinata, menarik perhatianku. "Apa di tempat kostmu, masih ada kamar yang kosong?" tanya Hinata.

Aku berpikir sejenak, mencoba mengingat. "Ada kok. Baru ditinggalin penyewanya yang kemarin udah lulus kuliah. Sekarang kamarnya masih kosong. Memangnya kenapa Hinata-chan?" aku balik bertanya penasaran.

"I..itu… a…ano… aku mau pindah tempat tinggal. Mau nge-kost kayak Niina-chan," jawab Hinata sambil tersenyum.

"APA?" bukan saja aku yang berseru, Kiba yang mendengarnya juga ikutan berteriak.

"Untuk apa Hinata-chan?" tanya Kiba heran, entah kenapa, aku merasa dia sangat perhatian dengan Hinata melihat reaksinya yang berlebihan itu. Ah… lagi-lagi aku cemburu.

"I…itu. Karena tahun ini, giliran aku yang melaksanakan adat keluarga Hyuuga. Seperti Neji-nii di tahun lalu. Sekarang aku yang harus pindah dari rumah, untuk belajar hidup mandiri tanpa orang tua. Jadi… aku berpikir, lebih baik nge-kost saja di dekat Niina-chan. Tak apa 'kan Niina-chan?" tanya Hinata.

Aku tersenyum. "Tentu Hinata-chan. Gua senang sekali! Akhirnya ada juga teman seperjuangan gua di sekolah ini."

"Oi Niina. Gua boleh ikutan nge-kost gak?" tanya Kiba.

Agak terkejut mendengarnya, tapi aku tetap menjawabnya, "boleh, asalkan lu berubah gender. Karena tempat kost gua itu khusus cewek. Tau."

"Yah… sayang sekali…."

.

.

.

"Hitsune Niina!" Orochimaru sensei memanggilku.

"Hadir sensei!" jawabku sambil mengacungkan tanganku. Saat ini aku berada di laboratarium. Mengikuti eskul tambahan, klub Kimiawi yang baru dibuka tahun lalu. Baru dengar? Sama. Aku tidak begitu tahu tentang apa saja yang diajarkan di klub ini. Tapi aku memilih klub ini, karena hanya klub ini yang sama sekali tak membutuhkan biaya tambahan siswa dari setiap pertemuannya. Wajarlah, klub ini baru di buka. Bisa dibilang baru dipromosikan ke siswa-siwa lainnya. Sekarang saja, siwa yang mengikuti klub ini tak lebih dari delapan orang.

"Hari pertama kali ini, kita akan mencoba ramuan penelitian kimiawi pertama yang bisa kalian buat. Karena jumlah siwa di sini genap, kita bagi kelompok berpasangan." Tutur Orochimaru sensei, dan mulia mebagikan siswa sampai namaku disebut, "Hitsune-san dengan Yamamoto-san."

"Yamamoto? Yang mana orangnya?" aku berguman sendiri sambil noleh kanan-kiri.

"Gua orangnya," jawab seseorang di belakangku, aku segera berbalik. Mendapati pemuda berambut hitam, berkacamata persegi tanpa frame. Sepertinya aku pernah lihat dia, tapi di mana yah?

Dia mengambil tempat duduk di sampingku. Aku masih memperhatikannya dalam diam. Dia menoleh padaku, menatapku heran. "Kok lu diam aja?" tanyanya.

"Eh?" apa maksudnya?

Dia menghela nafas. "Seharusnya lu ambil buku di rak sana. Untuk petunjuk kita cara buat penelitian apa saja yang bisa kita bikin hari ini. Sesuai perintah dari Orochimaru sensei. Ngerti?" dia bertanya dengan nada meremehkan. Seolah aku ini anak tk yang baru saja diajarin. Sialan.

Aku mengalah, padahal dalam hati aku sudah menyerukan sampah serapah apa saja yang kutujukan padanya. Enak saja nyuruh orang. Kenapa gak dia aja sendiri yang ambil bukunya? Dia 'kan cowok.

Setelah sampai di rak buku di pojok laboratarium. Aku meneliti semua buku di sana. Ada lima tingkat rak, berjejer beberapa buku di sana. Bingung, mau milih yang mana. Akhirnya pilihanku jatuh pada buku tebal di hadapanku. Bersampul hijau tua, dan terlihat sedikit berdebu. Lembar kertas dalamnya berwarna coklat, seperti buku tua. Tapi, siapa yang peduli. Yang penting ini buku isinya tentang ramuan penelitian kimiawi bukan?

Segera aku ambil buku tersebut, dan kembali duduk di depan meja yang sudah ditempati cowok bernama Yamamoto itu.

"Nih bukunya," ujarku dan menyerahkannya pada cowok berkacamata yang lagaknya sok pintar banget.

Dia mengambilnya, lalu menelitinya dengan seksama. Tuh kan, gayanya saja kayak orang pintar. "Bukunya kok beda dengan kelompok lain?"

"Tau ah. Gua dapat yang itu doang. Yang penting 'kan isinya ada ramuan kimiawi gitu," ujarku acuh tak acuh. Memang sejak awal aku tidak begitu tertarik dengan klub ini.

Cowok berkacamata itu menatapku curiga sekilas. Tapi akhirnya ia menurut juga. Dia membuka buku tersebut, dan memilih ramuan kimiawi apa yang kami buat hari ini. Berdasarkan petunjuk dari buku dan penjelasan dari Orochimaru sensei, kami pun memulai penelitian ramuan kimiawi pertama kami.

.

.

.

Dua jam kemudian. Pelajaran di klub selesai, begitu pula dengan ramuan aneh kami yang sudah kelar. Orochimaru sensei tidak mau memeriksa ramuan kami semua satu-persatu. Katanya, semua ramuan yang kami bikin, pasti gak ada yang berhasil dengan sempurna. Jadinya, masing-masing siswa boleh membawa sampel ramuan yang mereka buat sendiri. Dan terserah mau digunakan apa saja.

Saat itulah aku mulai merasa. Klub kimiawi yang baru dibuka ini dan guru Orochimaru yang terlihat sangar itu, benar-benar tak waras.

"Apa coba yang bisa kita dapatkan dari pelajaran ini? Nyaris tak ada!" gerutuku. Aku sekarang berjalan ke luar laboratarium sambil memegang tabung kecil berisi ramuan eksperimen gila tadi di tanganku.

"Bener banget tuh. Gua mulai berpikir, mending segera pindah klub saja daripada nantinya nyesel," imbuh Yamamoto, yang berjalan di sampingku.

Aku mengernyit heran. "Memangnya kenapa lu bisa milih klub itu?" tanyaku heran. Kupikir cowok yang dari penampilannya seperti kutu buku ini, sangat senang dengan klub macam tadi.

"Nyoba-nyoba aja. Kalau lu?"

"Sama," jawabku, lalu aku tertawa kecil. Ternyata klub aneh tadi memang tak ada yang berminat sepenuhnya.

"Ya udah ya, gua duluan," pamitku, lalu berbelok di koridor, berpisah dengannya. Aku mau ke kantin dulu, Hinata pasti sudah nunggu aku di sana.

Benar saja. Saat aku sampai di kantin sekolah, aku melihat ada Hinata duduk di salah satu meja makan. Dia bersama Kiba.

Segera kuhampiri meja mereka, meski bisa kurasakan jantungku kembali berdegup kencang bila berdekatan dengan Kiba.

Aku memilih duduk di samping Hinata, berhadapan dengan Kiba. Kuletakkan tabung seukuran gelas kecil yang berisi ramuan aneh tadi di atas meja.

"Lama nunggunya Hinata-chan?" tanyaku pada Hinata.

"Enggak kok. Aku baru saja selesai dari klub menjahitku," jawab Hinata, sambil memakan dango terakhirnya.

"Gua juga baru kelar dari klub football," sahut Kiba. Idih, siapa yang nanyain dia? Tapi tak apalah, aku juga gak keberatan kalau dia yang bicara. ^_^

"Jadi hari ini, lu langsung pindah ke kost tempatnya Niina, Hinata-chan?" tanya Kiba. Tuh 'kan, dia mulai perhatian lagi.

"Iya." Hinata mengangguk, lalu meraih gelas di atas meja, dan meminumnya dengan lahap. Tapi aku langsung terkejut ketika melihat apa yang baru saja diminum Hinata.

"A…a…" aku mengap-mengap gak jelas, saking terkejutnya. Sambil menunjuk dan menatap horror ke arah Hinata yang masih meminum tabung gelasku

"Eh? Ada apa Niina-cahan?" tanya Hinata heran setelah meminum habis ramuan aneh yang kubuat tadi.

"I..itu…itu…" aku nunjuk-nunjuk tabung kosong yang ada di tangan Hinata.

"Ah, ma..maaf Niina-chan. Sepertinya aku salah meminum gelasmu. Aku tadi tidak sadar. Maaf yah," ujar Hinata merasa bersalah.

Aku melongo. Masih terkejut. Mengerjap bingung. Apa Hinata baik-baik saja? Dia baru saja menghabiskan ramuan anehku, yang jelas-jelas kata Orochimaru sensei tadi, ramuan ini tidaklah sempurnah.

"Lu kenapa lagi sih Niina?" tanya Kiba heran.

Aku masih diam, bengong menatap Hinata.

"Se..sepertinya, aku mau ke kamar kecil dulu," ujar Hinata, sambil memegang kepalanya. Ia lalu berdiri dan meninggalkan kami.

Aku melihat punggungnya yang menjauh, dia sedikit terhuyung saat berjalan. Gawat! Gimana kalau Hinata keracunan!

"OI NIINA!" hardik Kiba mengejutkanku.

"Ah! Apaan?" tanyaku kayak orang bego.

"Lu kayak orang kerasukan tau gak?" kata Kiba.

"Ah? Masa'?" aku mulai berucap tak jelas.

"Udahlah, lupain aja. Sekarang lu jadi pulang kagak?" tanya Kiba.

"Enggak ah," jawabku. "Gua ada urusan lain. Lu duluan aja,"

Sebaiknya aku menyusul Hinata. Gimana kalau dia kenapa-napa?

End Niina's POV

=.=NH=.=

Shuu's POV

"Apa coba yang bisa kita dapatkan dari pelajaran ini? Nyaris tak ada!" omel cewek yang berjalan di sampingku ini. Patnerku tadi dalam melakukan eksperimen gila atas perintah Orochimaru sensei.

"Bener banget tuh." Aku membenarkan pendapatnya. "Gua mulai berpikir, mending segera pindah klub saja daripada nantinya nyesel," tambahku, sambil melirik tabung gelas yang kubawa, berisi cairan ungu, hasil dari eksperimen gila yang aku sendiri tak tau apa gunanya.

"Memangnya kenapa lu bisa milih klub itu?" tanya Hitsune heran.

"Nyoba-nyoba aja," jawabku asal. "Kalau lu?" tanyaku balik.

"Sama," jawabnya, lalu dia tertawa kecil.

Hah? Kenapa dia tertawa? Memangnya ada yang lucu?

"Ya udah ya, gua duluan," pamitnya lalu berbelok di koridor, berpisah denganku.

Aku terdiam sejenak, menatap rambut kuning kecoklatan panjangnya yang terurai di belakang punggungnya. Lalu kembali melanjutkan perjalananku, yang berlawanan dengan arah Hitsune pergi tadi. Aku berniat segera pulang.

Belum lama aku berjalan di koridor sekolah, seseorang sudah mengagetkanku dari kejauhan.

"SHUUU!"

Dari suaranya, aku sudah bisa menebak, siswa yang berlari menuju ke sini adalah Naruto.

Naruto berhenti lari, dia setengah menunduk di hadapanku sambil terengah-engah.

"Lu kenapa Naruto? Dikejar setan?" tanyaku.

"Yang ini lebih parah, Shuu! Ini lebih seram dari pada setan!" jawabnya hiperbolis.

Belum sempat aku bertanya lagi. Naruto dengan seenaknya merampas tabung gelas yang kubawa, "Thanks Shuu. Kebetulan gua lagi haus."

"Oi, tunggu dulu!" aku mencoba mencegatnya, tapi Naruto tak mau dengar.

Aku sweatdrop di tempat. Jiah, keburu dia minum tuh racun. Sekali teguk, pula.

"Tenang Shuu. Ntar gua ganti," ujar Naruto setelah menghabiskan minuman itu.

"NARUTO! JANGAN LARI LAGI KAU!" suara Pein sensei menggelegar di ujung koridor.

Naruto bergidik ngeri. "Kaboooor!" serunya panic dan langsung menancap gas dengan kecepatan banteng, berlari sekencang dia bisa dari guru ter-killer di sekolah ini, leader-Pein-sama-sensei.

Aku masih melongo menatap punggung Naruto yang sudah menghilang di belokan koridor tadi. Err… apa Naruto baik-baik saja yah? Daya tahan tubuhnya sepertinya bagus, pasti tahanlah dengan ramuan aneh yang dia minum tadi. Sebaiknya aku tak perlu khawatir dengan–

"KYAAA!"

Suara jeritan siswi dan disusul dengan suara 'gedebuk' pertanda ada sesuatu yang terjatuh, terdengar dari belokan koridor yang dituju Naruto tadi. Tanpa banyak berpikir lagi, aku berlari menyusul Naruto.

Dari suara jeritan siswi tadi, sepertinya aku pernah dengar tadi pagi. Hah, jangan bilang itu adalah…

"Hinata-chan!"

Tuh kan, baru aja aku berbelok untuk melihat situasi. Sudah ada siswi lain di sana yang teriak manggil Hinata, eh siwi yang teriak itu 'kan Hitsune Niina.

Dan dua siswa yang terkapar di lantai itu, adalah Naruto dan Hinata. Ya ampun, apa mereka baik-baik saja? Dengan busa putih yang keluar dari mulut mereka? Jangan bilang aku baru saja membunuh sahabatku sendiri. T,T

.

.

.

Di ruang kesehatan….

Sudah tiga jam, Naruto dan Hinata tertidur di masing-masing ranjang, yang memang terdapat dua ranjang dengan pemisah tirai putih yang menutupi bilik ranjang mereka.

Di dalam ruangan kesehatan kini, tinggal aku dan Niina yang masih menunggu teman kami masing-masing. Shizune sensei yang tadi memeriksa Naruto dan Hinata, sedang keluar sebentar. Katanya ingin memberi laporan dulu pada kepala sekolah.

Aku tadi sempat terkejut, ketika Hitsune Niina mengaku padaku kalau Hinata juga tanpa sengaja meminum ramuan kimiawi kami yang tak jelas manfaatnya apa?

Shizune sensei tadi juga mengatakan, tak ada tanda-tanda yang aneh dari Naruto maupun Hinata jika mereka memang keracunan. Hanya daya tahan tubuh mereka yang mendadak turun, dan mereka (Naruto & Hinata) hanya butuh istirahat beberapa jam.

"Lu gak pulang Hitsune? Ini 'kan sudah terlalu sore," kataku memecahkan keheningan di antara kami.

Hitsune yang duduk di kursi sambil menunduk, sedikit tersentak saat aku memegang bahunya. "Ah? Apaan?" tanyanya bingung sambil menghapus air yang sempat keluar dari mulutnya.

What? Dia tadi ketiduran? Dan baru saja menghapus air liurnya? Ya ampun, cewek menjijikan macam apa dia.

Dia menengadah, melihatku heran. "Ada apa Kiba-kun?"

Aku sweatdrop, bahkan dia salah mengira aku adalah temannya.

"Sadar woi! Ini gua, Yamamoto Shuu! Apa perlu gua suntik lu biar cepet sadar?" tawarku setengah bercanda.

Dia mengerjap bingung. "Oh.. lu Yamamoto? Cowok sok pintar itu yah?" ujarnya agak lunglai.

Sialan nich cewek. Ngatain gua lagi.

Belum sempat aku membalas ucapan Hitsune, sebuah erangan dari balik tirai bilik ranjang mengagetkanku.

"Shuu? Lu ada di situ yah? Ugh! Kepala gua kok sakit banget yah?" terdengar suara cewek, entah dari bilik mana. Karena masing-masing ranjang masih tertutup tirai putih.

"A..du..duh… kepalaku masih pusing…" yang ini suara cowok yang sedang mengeluh.

Mereka sudah sadar, tapi kenapa aku merasa ada yang janggal.

"Hinata-chan? Lu udah sadar?" tanya Hitsune yang kini berdiri di sampingku.

"Niina-chan? Kenapa aku ada di sini?" yang nyahut malah suara cowok.

"Oi Shuu! Kenapa lu diam aja?" tanya seseorang dengan suara cewek.

"Hah? Kenapa gua tambah bingung?" gumanku sambil mengacak rambutku.

Hitsune yang ada di sampingku menggaruk tengkuknya. "Err.. sebaiknya lu berdua pada keluar gih, biar kita gak bingung denger suara kalian saja dari balik tirai."

"Baiklah Niina-chan." (suara cowok)

"Iya yah. Gua keluar." (suara cewek)

Kedua tirai itu pun terbuka, dan keluar dua sosok berbeda gender dari masing-masing bilik ranjang.

Dari tempat ranjang Naruto, keluar sosok cewek dengan seragam cowok. Kemeja dan celana yang kedodoran. Rambutnya kuning cerah, panjang sepunggung. Matanya berwarna biru cerah seperti Naruto, kulitnya berwarna coklat manis. Tingginya sekitar 160cm, dan body-nya, ehm, bohai gila…. (*o*)

Dari tempat Hinata sendiri, keluar sosok cowok dengan seragam cewek. Rambutnya indigo pendek, berponi ke samping. Mata berwarna lavender khas Hyuuga. Kulitnya putih. Tingginya hampir menyamaiku, sekitar 166cm. Dia terlihat aneh dengan rok seragam yang dia gunakan dan stoking putih di bawah lutut.

"Yo Shuu! Kenapa lu bengong?" tanya cewek pirang itu, dengan gaya yang aku kenal betul mirip Naruto. Hah? Masa' sih?

"Niina-chan, Kenapa melihatku seperti itu? A-apa ada yang salah denganku?" tanya cowok yang satunya dengan nada lembut.

Aku menelan ludah, terkejut bukan main.

Tidak salah lagi, ramuan aneh yang mereka minum tiga jam lalu, sudah merubah sosok mereka secara drastis. Naruto berubah jadi cewek yang ehm, cantik. Dan Hinata berubah jadi cowok dengan tampang manis.

"Kyaaaa!" Hitsune sudah menjerit duluan, saking terkejutnya. Cewek itu udah pingsan di sampingku.

"Ya ampun. Aku tersesat di alam mimpi siapa nich?" gumanku putus asa sambil memegang kepalaku.

Bersambung. . . .


Next chap:

"Pokoknya gua gak mau tau caranya gimana? Lu berdua harus balikin gua dan Hinata berubah seperti semula. Sesuai gender dan kodrat kita masing-masing. Mana bisa gua pulang dengan badan seperti ini?"

"Kagak bisa semudah itu Naruto! Lagian salah lu ndiri, main nyosor aja minuman orang!"

….

"Orochimaru sensei lepas tangan. Katanya masalah ini jadi tanggung jawab kita berdua. Karena yang buat tuh ramuan adalah kita."

….

"Na…naruto-kun…. Ka…kau tidak boleh seenaknya dengan tubuh perempuanmu…"

"Eh? Gitu yah Hinata?"

"Udahlah Naruto, gak usah dipedulin. Kalau lu kepanasan. Buka kemeja lu juga gak masalah."

"Yamamoto Shuu ! ! Jaga bicaramu! Dasar Cowok Pervect!"


A/N: Tadaaa~~ inilah fict multichap terbaru dari Dini. Tetap dengan gender romansaa di sekolahan… ah,, manisnya masa remaja… (nostalgia)

Ehm, kali ini Dini beneran berani ngebuat OC, sebagai teman tokoh utama kita di sini. Ada dua biji pula, ckckck…

Yamamoto Shuu: Cowok berambut hitam acak-acakan, bermata coklat keemasan, dengan kacamata persegi tanpa frame.

Hitsune Niina: Cewek berambut panjang sepunggung berwana kuning kecoklatan. Matanya berwarna hijau kehitaman.

(lebih lengkapnya bisa lihat di avatar akun-ku. Atau di FB-ku)

Naruto dalam wujud cewek: persis kayak Naruto kalau dalam ninjutsu sexy-nya. Tingginya lebih pendek, kayak cewek biasanya.

Hinata dalam wujud cowok: potongan rambut seperti Hinata waktu kecil, bedanya cuma poninya bermodel ke samping. Tubuhnya lebih tinggi, menyamai tinggi cowok biasanya.

Yup. Tinggal nunggu tanggapan dari warga Ffn aja. Apa fict macam ini bisa diterima? Kalau iya, Dini lanjutin. Kalau nggak,,,, Zzzz… (pundung di pojokan)

Review macam apapun diterima….

(gak yakin ada yang mau ngereview)

~Dini-Chan~