Maaf sebelumnya, karena update yang kelewat ngaret. Saya benar-benar nggak ada maksud untuk menunda-nunda. Semoga para reader nggak terlalu kecewa.
Disclaimer ada di chapter awal.
Warning: Saya rasa semua sudah tahu kalau saya selalu membuat chara yang OOC, banyak miss-type, dan kali ini AU.
Oke, langsung saja…
.
.
.
Selamat membaca…
Chapter 12
Ending
OooO
Hinata bergerak tak nyaman di kursinya. Sadar akan posisinya yang merupakan anggota luar keluarga. Seharusnya ia tak boleh ikut campur, kan? Ia akan kabur tadi jika saja Gaara tak menarik tangannya untuk ikut. Dan akhirnya Hinata merasa, bahwa dia yang membawa Gaara dengan semua masalahnya. Jadi mungkin, seharusnya dia yang bertanggung jawab.
Jadi orang kaya memang enak. Tinggal suruh jet pribadinya berangkat, ayahnya bahkan sudah tiba sebelum Gaara –yang duluan pergi –sampai.
"Apa maumu?" desis Gaara dengan nada yang berbahaya. Hinata bergidik seketika mendengarnya. Tapi sepertinya sang Ayah biasa saja.
"Membawamu pulang."
"Kau sudah tahu jawabannya," sahut Gaara sarkastik. Ya. Dia tak peduli lagi pada status yang mengharuskannya bersikap sopan. Dia tak ingin peduli. Jika ayahnya saja tak peduli pada mereka, kenapa dia harus peduli?
Satu kesalahan Gaara adalah bahwa ia tak pernah memberikan sedikitpun kesempatan untuk suatu kenyataan lain yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Suatu kenyataan lain yang begitu penting. Kenyataan yang seharusnya tak boleh terlewatkan.
"Sebesar itukah bencimu padaku?" tanya ayahnya.
"…"
Suasana hening hanya terisi helaan nafas ayah Gaara. "Kau tahu alasan aku membawamu ke New York?"
"Apa aku peduli?"
"Kau adalah satu-satunya penerusku kelak," sahutnya tanpa peduli akan nada ketidaksukaan Gaara, "Kau adalah satu-satunya puteraku yang tersisa," jeda sejenak, dia menarik nafas lalu melanjutkan lagi, "Aku ingin kau yang meneruskan semuanya, dan itu artinya kau harus belajar dari sekarang."
Gaara hampir saja kembali berbicara tapi langsung menutup mulutnya kembali ketika ayahnya bicara lagi.
"Jangan membantah untuk yang satu ini, karena hanya ini caraku untuk meminta maaf padamu." Nyatanya, sang Ayah yang selama ini dikenal arogan juga tahu rasanya bersalah. Ia berdiri, mengambil langkah yang cukup mencengangkan. Dia maju dan maju, hingga tepat di hadapan anaknya. "Aku yang mengabaikan kalian, ingin memintamu untuk selalu mendukungku." Tetaplah disisiku, bersamaku, dan dukunglah aku. Karena nyatanya dia juga tahu rasanya sepi, dia juga benci rasanya sendiri, dan dia tak suka jika harus terus dibenci.
Gaara memilih diam.
Kebenaran yang menggelikan adalah kedua-duanya mempunyai darah yang sama, dan itu artinya mereka juga punya sifat yang sama. Ayah dan anak yang tak pernah mau mengalah, bahkan jika itu untuk kebaikan mereka.
Sabaku yang biasanya angkuh akan berjalan tegak dengan dagu terangkat dan mata yang tajam, siap membuat orang disekelilingnya menciut hingga seukuran semut. Tapi lagi-lagi hal aneh yang terjadi membuat Hinata yang duduk di sofa lain di ruangan itu terbelalak.
Nyatanya, seorang ayah tetap saja ayah. Dia tetap tak akan bisa terus mengabaikan hati yang terus-menerus berteriak kalau pemuda bertato di depannya ini adalah anaknya. Jadi dia menjatuhkan tubuhnya, membiarkan lututnya membentur mamer lantai ruangan, dan menunduk.
Gaara tersentak. Reflex dia bangkit dan segera menunduk. Tapi saat tangannya hendak menyentuh pundak ayahnya, dia terhenti. Mencoba menghilangkan rasa tak enak di hatinya, ia melempar pandangan asal dan mulai menyangkal. "Kau telah meninggalkan kami."
Secara teknis, yang meninggalkan mereka adalah Gaara dan Kankurou sendiri. Ayahnya tetap di sana, tapi mereka pindah. Temari memang ikut ibunya, dan akhirnya keluarga mereka terpisah.
Perceraian yang mengerikan.
"Kau mengabaikan kami."
Tidak! Itu salah! Ayahnya selalu mengamati mereka dalam diam. Dia tahu di mana mereka berdua tinggal. Dia pernah melihat Kankurou yang akhirnya punya pacar. Dia selalu tahu kebiasaan Gaara yang suka memotret gambar teman-teman sekelasnya meski untuk apa, tahu Gaara selalu merayakan ulang tahunnya hanya di kamar sambil tiduran, bahkan dia tahu kalau gadis yang juga di dalam ruangan ini adalah orang spesialnya Gaara. Dia tahu gadis itu adalah seorang Hyuuga yang bernama Hinata.
"Bahkan saat Kankurou meninggal, tak ada satupun dari kalian yang datang."
Yang ini pun Gaara jelas salah. Saat itu ayahnya jelas datang. Ia bahkan datang tanpa bodyguardnya. Ia yang baru keluar dari rumah sakit saat itu langsung ke Jepang untuk menghadiri pemakaman puteranya. Yang jadi alasan Gaara tak melihatnya saat itu adalah karena Tuan Sabaku berada di belakang semua yang hadir, berdiri dalam diam memandang makam anaknya, dan datang menghampiri saat Gaara telah pulang.
"Kenapa diam?" Gaara memandang sinis ayahnya, " Kenapa tak menyahut? Aku benar, kan?"
"Yang sebenarnya saat itu," ayahnya berkata tanpa mengangkat wajahnya, "Aku depresi."
Ruangan luas itu hening, hanya menyisakan suara nafas yang tak tertangkap telinga. Suasana dingin menyeruak dan menusuk, dan AC yang ada di sana hanya membantu memperkeruh suasa. Hinata menggigil.
"Karura yang pergi membawa kakakmu ke Eropa, di rawat di rumah sakit karena mengidap kanker ganas, itu sebabnya dia tak bisa hadir saat acara di-mana-kau-seharusnya-menjadi-penerusku-tapi-kau-kabur. Itu terjadi setengah tahun yang lalu." Yang ternyata penyakitnya sama dengan penyakit Kakurou, hanya saja putranya itu lebih dahulu menyelesaikan semuanya. Dan itu menjelaskan kenapa ibunya tak bisa melihat pemakaman anaknya.
Karura langsung histeris, menangis, dan koma selama seminggu mendengar berita kepergian putra sulungnya.
Gaara hampir melemah, tapi ia kembali meyakinkan dirinya, mendoktrin bahwa ayahnya memang seorang tersangka yang pantas dipidana.
"Aku berusaha mencari cara untuk menyembuhkannya…"kata-kata selanjutnya tak pernah keluar untuk diselesaikan. Gaara mengepalkan tangannya. Kenapa dia seolah peduli? Kenapa berpisah kalau masih saling peduli? Kenapa mereka selalu bertengkar, namun selalu kesepian saat tak melihat yang lain? Kenapa orang dewasa ini susah sekali untuk dipahami.
Karena memang begitulah cinta. Selalu memberi teka-teki, menguji manusia yang berpegang padanya. Dan kedua orang tua Gaara gagal melaluinya.
"Lalu kalian juga pergi. Aku… benar-benar kacau saat itu," dan akhirnya juga jatuh sakit, dan dirawat di rumah sakit.
Hinata mulai merasa aneh dengan matanya. Wajah dua Sabaku itu mulai buram, sedangkan suaranya hampir menghilang.
Dan nyatanya, Gaara ternyata tetaplah hanya seorang anak. Seorang anak laki-laki yang selalu ingin bisa membanggakan ayahnya. Anak laki-laki yang sangat senang pada ayahnya. Anak laki-laki yang selalu ingin mendapatkan perhatian penuh dari ayahnya. Jadi dia juga mulai berlutut, menunduk, dan minta maaf.
Dunia mulai kembali menampakkan indahnya.
Ayahnya memeluk erat Gaara. Senang akhirnya anaknya kembali.
Gaara hanya diam, tak menangis haru seperti di film telenovela yang sering ditonton kakaknya. Karena dia tahu menangis sangat tidak mencermikan kepribadiannya yang kuat. Tapi gesturnya menerima, tangannya membalas pelukan ayahnya, dan matanya bersinar, lalu kemudian bibirnya melengkung halus –hampir tak terlihat –tapi memang benar-benar ada di sana, di wajahnya.
Yah, hidup yang happy ending selalu jadi pilihan, kan?
Hinata tersenyum melihat mereka yang semakin samar akhirnya berbaikan, lalu semuanya menjadi gelap dan tak berasa.
OoOo
Hinata yang merasa sedikit pusing akhirnya sadar sepenuhnya dan berusaha untuk duduk. Matanya mengitari ruangan serba putih yang ia yakini rumah sakit karena bau obat yang menguar membuatnya mual.
Kemudian pintu ruangan dibuka, menimbulkan suara yang membuat Hinata mengalihkan pandangannya menuju ke depan pintu. Senyum malu-malu terpampang di wajahnya saat orang itu mendekat dan duduk di tepi ranjangnya.
Gaara melempar arah wajahnya ke jendela di sebelah ranjang Hinata, lalu mulai membuka mulutnya, "Kau membuatku hampir terkena serangan jantung," katanya datar.
Hinata memperhatikan pemuda merah ini. Dia kelihatan sedikit berbeda, pikirnya.
Gaara turun dari ranjang, menuju lebih dekat ke jendela, membuka lapisan kaca yang menahan angin untuk masuk, dan berdiri tegap di sana.
Saat angin membelai rambut Gaara, pemuda itu benar-benar terlihat keren di mata Hinata.
"Kenapa kau tiba-tiba pingsan?"
Suaranya… bahkan Hinata sempat berpikir tak akan bisa lagi mendengar suara itu. Tapi ternyata dia salah.
"Semua orang kelihatannya senang sekali sakit," Gaara berbalik, "Syukurlah kau hanya terlalu lelah."
Hinata menemukan jade Gaara yang bersinar saat pemuda itu memperlihatkan wajahnya.
Langkah kaki Gaara yang mulai mendekat lagi menggema di ruangan yang tak terlalu luas itu. Satu-satu, teratur maju. "Hinata?"
"Y-ya?"
"Jangan pergi dariku, ya?"
Nada bicara Gaara membuat Hinata ingin tertawa karena mirip seorang anak kecil yang ingin dibelikan es krim. Tapi tidak. Segala hal lucu itu menguap begitu saja saat wajah pemuda itu terlalu dekat dengan wajahnya sendiri. Kening mereka saling bersentuhan, memberikan sensasi aneh ke sekujur tubuh Hinata. Dan bagai diberi mantra, Hinata menyahut dengan yakin sekali saat matanya kembali menemukan tatapan Gaara. "Ya."
Apa semuanya akan berakhir di sini?
Huh?
Nggak yakin, tuh…
OoOo
Suasana sore itu benar-benar sempurna untuk seorang Kabuto yang sedang asyik memandangi gadis yang dikaguminya selama dua tahun belakangan ini. Suasana lembayung senja, angin dingin yang berhembus, suasana kafe yang hangat, dan wanita idaman yang duduk manis di hadapannya. Hampir sempurna.
Sayangnya, gadis itu sudah mempunyai cintanya sendiri. Kenyataan pahit bahwa cinta Kabuto pada akhirnya harus tertepuk sebelah tangan bahkan sebelum ia mengutarakannya.
"Hinata," panggilnya.
Gadis itu mendongak. Wajahnya yang manis terlihat semakin menggemaskan dengan pandangan inosennya. Hinata –gadis itu –tengah menunggu seseorang yang tak akan mungkin bisa ditandingi oleh seorang Yakushi Kabuto.
Apa dia menyerah?
Yah, kalau itu akan membuat semuanya baik-baik saja, dia akan memilihnya.
"Ya?"
"Tidak," Kabuto nyengir,menutupi isi hatinya. Ia mengenggak tehnya, "Bagaimana hubunganmu dengan Gaara? Sudah dua tahun dia pergi ke New York." Ya, pada akhirnya Gaara kembali ke New York, tapi dengan cara yang lebih menyenangkan. Dan sebenarnya, Hinata sungguh tak berkeberatan harus menunggu walau ia sudah begitu rindu.
Binar mata Hinata tak akan bisa menipu kalau dia begitu tertarik dengan pertanyaan Kabuto. "Uhm… Gaara-kun," pipinya memerah, "Barusan dia menelponku. Dia bilang-"
"Kau sudah makan? Sehat, kan? Oh iya, bagaimana hasil ulanganmu? Tadi pagi telat, tidak? Satu lagi, aku akan kembali secepatnya, jadi jangan cari yang lain, karena kau telah menjadi miliku dan aku milikmu."
Hinata terperangah, tapi Kabuto cuma tertawa ringan menanggapinya.
"Kalau itu aku sudah hapal, Hinata," katanya. "Habis, selama ini, siapapun yang bertanya pasti akan mendengar jawaban itu darimu. Yah, mungkin Gaara selalu menulis memo khusus untuk menelponmu setiap hari." Wajah Hinata semakin memerah hingga mencapai telinga, "Pasti dia selalu mencatat kata-kata apa yang diucapkannya padamu dalam agendanya, lalu membacanya berulang-ulang setiap hari dengan nada aneh yang terkesan sekali bukan seperti seorang Sabaku Gaara yang angkuh."
Tangan Hinata serasa kebas. Tubuhnya seolah lollipop yang lumer, tak bertenaga akibat jantung yang memompa terlalu cepat. Semua yang dikatakan Kabuto terasa benar, dan itu membuat Hinata tak bisa berkata apapun lagi.
Kabuto tertawa cukup keras, "Kau tahu, aku berani bertaruh dia pasti tersenyum sumringah saat ia menelponmu, lalu wajahnya sedikit memerah walau terlihat samar," Kabuto tertawa lagi, "hahaha, membayangkannya membuatku ingin terus tertawa."
Sementara Hinata bersiap akan pingsan karena terlalu malu.
Kabuto senang karena dia bisa menggoda Hinata dengan sangat mudah. Awalnya sih mereka bertemu tidak sengaja di sini. Saat Hinata menekuni sebuah bacaan tebal yang membuat Kabuto ngeri. Tapi sepertinya –entahlah, Kabuto merasa senang-senang saja. Bahkan buku yang tergeletak di hadapannya itu kini terlihat lebih menarik alih-alih membuatnya mual. Dan sekali lagi, menggoda Hinata itu selalu lebih menyenangkan dari pada menghindari hal mengerikan yang seperti apapun.
OoOo
"Hei! Hanabi-chan! Kak Sasori ingin bertemu denganmu."
Hanabi berjengit di kelasnya. Hanabi-chan? Chan? CHAN! Ingin rasanya menabok si Sarutobi muda itu. Dia tidak tahu ya, kalau panggilannya itu membuat Hanabi merinding?
"Ne, Hanabi, Sasori-nii mencarimu."
Fyuh! Syukurlah Sarutobi muda ini menyudahi 'panggilan sayangnya' untuk Hanabi. Siapa yang berani menjamin Hanabi tak akan menyakitinya jika kata-kata itu terucap lagi?
"Kok diem aja, sih? Dia udah nungguin, tuh."
"Aku masih beresin buku. Biarin aja dia nunggu." Hanabi memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, lalu menarik tangan Konohamaru, mengajaknya pergi. Jika saja Hanabi mau melihat ke belakang saat itu, ia pasti bisa melihat wajah cowok abg keren itu merona dan nyengir lebar.
Tapi, ada yang tahu kenapa Hanabi gak melihat ke belakang?
Karena dia sendiri sedang bersusah payah menyembunyikan rona merah wajahnya saat menyadari Konohamaru menggenggam balik tangannya bahkan lebih erat. Mau dilepas, sayang. Jadilah dia terus masang tampang cemberut yang dibuat-buat untuk menyamarkan hatinya yang bersorak girang kayak lagi menang lotre.
Out of character?
Ayolah, setiap orang kadang perlu untuk keluar dari karakternya agar dunia bisa melihat sisi lain dirinya yang lebih menyenangkan kayak Hanabi dan Konohamaru.
Bener, kan?
OoOo
Mengenang Gaara selalu jadi rutinitas yang menyenangkan untuk Hinata. Saat melewati rute sekolah mereka, dia sering memperhatikan tangan kanannya yang selalu digenggam Gaara saat itu. Udara kali ini cukup dingin. Kenapa dia baru tahu kalau genggaman Gaara itu begitu hangat?
Lalu berjalan lagi, dan berhenti sejenak di taman kota. Matanya menerawang, lalu tersenyum. Hampir tertawa saat teringat dia sempat berpikir kalau Gaara ingin mengajaknya kawin lari. Lagipula, siapa sangka ternyata Gaara punya perasaan khusus untuk Hinata?
Angin musim semi berhembus cukup kencang pagi itu, menebarkan aroma segar bunga-bunga yang mekar. Hinata menutup matanya, menghirup udara pagi hari, dan mengeluarkannya perlahan. Saat matanya terbuka, sosok Gaara telah berdiri di hadapannya.
Hinata menutup matanya sembari meyakinkan diri kalau dia hanya berhalusinasi. Dia merasa hampir gila. Kenapa ada bayangan Gaara di sana? Apa dia terlalu stress memikirkan cowok yang selalu identik dengan warna merah itu?
Mimpi. Mimpi. Mimpi. Mimpi. Mim. Pi.
Hinata membuka matanya kembali. Tidak! Bayangan itu masih ada! Bahkan hidungnya pun bisa menangkap aroma Gaara yang biasa saat wajahnya menghadap dada bidang yang tertutup kaus merah marun itu. Hinata hampir membuka mulutnya saat dia merasa tubuhnya terhimpit oleh dua lengan kuat yang akhirnya hanya membuatnya tambah bingung.
"Aku merindukanmu…"
Oh tidak! Bahkan suaranya terasa sangat nyata.
"… Hinata…"
"…"
Gaara yang merasa tak mendapatkan respon meregangkan pelukannya, "Hei!" katanya sambil menepuk puncak kepala Hinata, "Aku bicara padamu."
Hinata melirik dari balik poninya, mata lavendernya membesar saat kemudian ia benar-benar merasa yakin akan apa yang dilihatnya. "G-Ga-Gaara?"
Terdengar tawa renyah dari suara maskulin milik orang di depannya. "Kau masih gagap," katanya.
Hinata memilih melihat bayangannya sendiri ketimbang wajah Gaara yang sudah lama dirindunya. Wajah merah yang sudah jadi kebiasaannya terpampang jelas, dan Hinata tak ingin Gaara melihatnya seperti itu.
Hinata baru sadar ternyata Gaara bisa berefek besar pada dirinya. Perutnya serasa kram, saat mulai membayangkan wajah Gaara yang semakin tampan setiap harinya kini menatapnya. Tangannya bergetar saat tahu jarak mereka yang terlalu dekat. Kakinya sudah hampir jatuh saat matanya melihat lengan Gaara yang masih anteng di pinggangnya.
Gaara tertawa lagi, dan suaranya membuat Hinata mau tak mau tersenyum.
Dan terakhir, Hinata juga baru sadar bahwa Gaara bisa membuat harinya jadi jauh lebih menyenangkan.
"Aku pulang."
"Selamat datang."
Apa lagi yang lebih indah selain melihat pasangan favorit kita saling melempar senyum mesra di bawah rimbun pohon dengan cahaya mentari pagi sebagai latarnya?
Mungkin Hanabi tahu jawabannya.
"Cium!"
Chu!
Bibir Konohamaru langsung nempel di pipi adik Hinata.
Wajah Hanabi memerah sementara tubuhnya membeku. Di sebelahnya, Konohamaru nyengir sambil pasang tampang tak berdosa. "Hei! Bukannya kau yang minta?"
"T-tidak! Aku tidak minta padamu, dasar bodoh!" Hanabi berbalik, memperlihatkan pada Konohamaru wajah sangarnya. Tapi cowok Sarutobi itu sepertinya sudah siap menerima segala akibat perbuatannya. Jadi dengan santai dia bilang, "Aku suka kamu."
Sasori malah asik geleng-geleng kepala melihat mereka, sementara Ino senyum-senyum nggak jelas. Nggak disangka, aroma romansa yang menguar sekitar lima meter di depan mereka dari Gaara dan Hinata juga terhirup oleh dua bocah yang juga saling jatuh cinta.
"Ng, Sasori-kun, bagaimana keadaan ibunya Gaara? Bukankah dia sakit?"
"Dia sudah meninggal," sahut Sasori tenang, "Yah, setidaknya bibi akan damai di sana karena sudah berbaikan lagi dengan anak dan suaminya."
.
.
.
"Gaara-kun?"
"Hm?"
Hinata merasa tak nyaman saat nafas Gaara menerpa tengkuknya. Pemuda itu masih enggan melepas Hinata, dia bahkan merendahkan tubuhnya untuk memberi tempat agar kepalanya bisa bersandar di bahu kecil milik gadis itu. Gaara benar-benar menampakkan sisi manjanya yang melebihi anak TK.
"B-bagaimana bisa tahu aku di sini?"
"Aku diberitahu."
"Oleh?"
"Adik ipar."
Hening lagi.
Kemudian…
"Hinata,"
"Ya?"
"Kita nikah, ya?"
.
.
.
Akibatnya tentu sudah sangat jelas. Gaara harus mengantar Hinata pulang nanti sebab gadis itu sudah tak sadarkan diri di pelukannya.
"Apa aku keterlaluan, ya?" niatnya kan ingin bercanda, tapi reaksi Hinata terlalu berlebihan.
Dua tahun dan Gaara balik lagi ke kebiasaannya menggoda Hinata.
"Ya…"
Meski samar Gaara bisa mendengar jelas kata-kata itu dari Hinata yang masih menutup matanya. Kelihatannya dia masih belum sadar dan mengigau. Tapi Gaara tak peduli Hinata mengatakannya se-tidak sadar apa, sepelan apa, dan semalu apa, dia juga tak peduli awalnya hanya niat untuk bercanda, yang sekarang ada dipikirannya adalah cara melamar Hinata di hadapan Hiashi, nanti malam. Tapi sebelumnya ia mungkin harus berterima kasih dulu pada Sasori dan yang lain atas hari ini.
Mari berharap semoga Hiashi sedang senang hingga menerima lamaran Gaara tanpa pikir panjang. Yah, walau itu cuma terjadi dalam mimpi.
OoOo
"Gaara-kun,"
"Hn?"
"Ada bintang jatuh, kau ingin apa?"
Gaara diam tak menjawab.
Hinata mengernyit.
Gaara menoleh padanya dengan tatapan yang oh-begitu-memukau, "Tidak ada."
"Huh?"
"Itu hanya benda langit biasa," sahutnya malas. Dengusan nafasnya seolah bilang apa-yang-kau-harapkan-?-itu-cuma-benda-bodoh atau dasar-cewek-yang-percaya-sama-hal-yang-nggak-masuk-akal. Yang manapun kedengaran gak enak ditelinga Hinata.
Di sinilah mereka sekarang. Di beranda depan rumah Hinata karena Hiashi nggak mengizinkan anak-anaknya pacaran di sembarang tempat. Hanya rumah mereka yang bisa diterima Hiashi. Alasannya, tentu selain bisa mengawasi mereka, dia juga akan bisa langsung meginterupsi moment romantis yang mungkin akan menjerumuskan anak-anak tercintanya. Ide yang bagus untuk ayah yang selalu baca buku psikologi remaja yang judulnya entah-apa.
"Aku sudah dapat yang aku inginkan," Gaara mengalah untuk jadi pembuka pembicaraan. Tatapan Hinata yang benar-benar ingin tahu hanya semakin membuatnya percaya diri dan menyeringai, "Yah, walaupun sebenarnya masih ada sih, yang lain. Tapi, aku rasa aku masih cukup bisa bersabar. Lima tahun itu akan berlalu dengan cepat."
Karena itu salah satu syarat dari Hiashi juga. Dia beralasan bahwa Hinata masih terlalu muda. Itu sih tak bisa dipungkiri memang benar adanya. Tapi aslinya, Hiashi nggak mau cepat-cepat ditinggal salah satu putri tersayangnya. Itu membuatnya serasa jadi kakek tua yang kesepian. Jadi, mungkin lima tahun lagi Hiashi akan mikir alasan lain lagi buat nolak Gaara –sekaligus Konohamaru.
"Menikah denganmu," Gaara menjawab pandangan tak mengerti Hinata lalu langsung memajukan wajahnya.
Wow!
Hanabi, Ino, Sasori dan Konohamaru yang mengintip dari balik dinding bagian luar rumah langsung ngambil gambar langka yang benar-benar limited edition itu make kamera ponsel, handycam, dan kamera.
Hiashi yang mengintip dari jendela ruang tamu merona tak karuan. Otaknya menyuruh untuk segera keluar dan memarahi mereka, tapi tubuhnya kaku untuk diajak bergerak. Dan sejujurnya, hal ini membuatnya bernostalgia tentang bagaimana dulu ia dan ibu Hinata masih muda.
Sementara itu, Hinata megap-megap setelah lepas dari ciuman Gaara. Bagaimana dia bisa menahan nafas selama itu? Tangan kanan Hinata terangkat menyentuh bibirnya.
Gaara tersenyum hangat di sebelahnya. "Kamu suka aku suka kamu," katanya yang membuahkan pandangan aneh Hinata.
"Kamu suka aku yang suka kamu. Itu artinya, kamu suka aku. Karena aku suka kamu."
Blush!
Kalau tomat pasti langsung minder karena kalah merah dari wajah Hinata.
Angin malam berhembus sepoi, menggoyang rerumputan yang mulai panjang, membuat daun di pohon bergesekan dan berbunyi. Malam itu, bulan sabit seolah tersenyum melihat bumi yang hangat meski di malam hari. Entah karena lucu melihat Hiashi yang terbengong, pasangan Sarutobi-Hyuuga yang asik ribut meski sudah resmi jadian, Sasori yang saling bertatapan dengan Ino dalam diam, atau melihat Hinata dan Gaara duduk bersebelahan dengan tangan yang saling bertimpa dan wajah memerah, tapi yang pasti, jutaan bintang di langit berkedip seolah menggoda mereka yang lagi kasmaran.
Seperti yang nenek dan kakek dulu bilang, happy ending itu pilihan. Dalam hidup, kita selalu jadi tokoh yang bebas untuk memilih, bertahan atau melakukan perubahan. Sama seperti Hinata yang akhirnya milih untuk merubah haluan hatinya untuk seseorang yang akhirnya mengantarkannya pada Gaara. Sama seperti Gaara yang mau memilih melepas masa lalunya –dendamnya, dan menerima masa depan yang penuh warna.
Kalau seorang koki pasti bilang, "Resep happy ending itu, hanya satu sendok teh keberanian untuk memilih dicampur segenggam harapan yang dituang dalam cangkir perubahan, lalu diaduk dengan sedikit usaha, dan… Ta-Da! Jadilah secangkir masa depan manis sesuai yang kita inginkan."
Jadi, beranilah untuk memilih. Toh, kalau jatuh ke bawah juga.
Iya, kan?
.
.
.
-:- Owari -:-
-:- 11 Maret 2011 -:-
Tuhan,
Orang Tua,
Sumber-sumber bacaan,
Imajinasiku,
Merai Alixya Kudo, Hina bee lover, yuuaja, Hyu Chan, Ind, ulva-chan, Namikaze Sakura, Sora Hinase, Hinata Shy Angel, INDONESIAN reader, Saruwatari Yumi, Simba, Rufa Kha, AlwaysGaaHina, OraRi HinaRa, Nerazzuri, Shaniechan, GaaHina 4ever, .id, , mayra gaara, SatsukiSodeNoMugetsu5, Yuki Tsukushi, Dindahatake, Nene Zura' no Uchikaze, harunaru chan muach, Sanada, Unk-gu G-jiy, BlackFireDragon, Gaaraluphinata, zHyaNa's banGGa, Masahiro 'Night' Seiran, Fansnya Gaara, uchihyuu nagisa, Dhinie minatsuki amai, Mayu Rockbell, Haru, soft purple, Canna Evelyn Schiffer, Uryuu Ishida, puputkawaii, sasa, rully bee, Ara-chan, ahnhaerin, Fuuyuki Azuka, Cerullean Reed, Micon, Kirigaku Ai…
Dan semua teman-teman yang telah membaca, meng-alert serta memfavoritkan fic ini, yang nyata membuat aku tetap bersemangat untuk membuat fic.
~Thanks~
Sampai jumpa di fic-fic selanjutnya.
-:- H. Kazuki -:-