My tears quitely tell me

that something's coming to an end...

"Hentikan, Hizashi!"

"Too-san..."

In the dephts of my injured soul

"Neji—!"

rest a glimmering rainbow...

Al-Shira Aohoshi deviantArt

Proudly Presents

.

.

a 2011 NARUTO FanFiction

© Andromeda no Rei

.

Anak Laki-Laki yang Menangis

.

Sequel of NARUTO The Series : あたし!

[Me, Myself, and I]

.

.

Standard Disclaimer Applied

.

T-Rated

Genre :

Drama/Romance/Angst/Hurt-Comfort/Slight Humor

.

NejiTen, slight NaruHina

.

Warning :

AU, (i'm trying so hard not to make it) OOC, typo, fluff, abal, aneh

.

DON'T LIKE? Then Get Back to Your World!

~I've Warned You~

.

.

.

.

"Hosh... hosh... hosh..."

Seorang gadis berseragam sailor dengan simbol konohagakure di kedua lengannya, yang dipadukan dengan celana training abu-abu tampak berlari terburu-buru menyusuri koridor gedung utama SMA Konoha. Rambutnya yang kecoklatan dan bercepol dua tampak kusut karena angin dan tekanan udara yang diterobosnya.

CKIIITT

Uwabaki-nya berdecit ketika ia menghentikan larinya seketika di depan sebuah pintu ruangan yang agak redup dan bertuliskan RUANG OSIS pada plat yang menempel di atas frame pintunya. Sejenak ia mengatur napasnya sebelum akhirnya menggenggam gagang pintu dan menggesernya pelan—menampilkan sebuah ruangan yang cukup luas berisikan beberapa meja komputer, dan dua sofa kuning pucat di tengah-tengah ruangan. Di pojok sebelah barat ruangan, berjejer rak-rak kokoh yang dipenuhi dengan map-map tebal dan berkas proposal yang sudah usang.

Seorang gadis berambut coklat panjang yang duduk di salah satu meja di dekat jendela tampak berkonsentrasi pada pekerjaannya—membolak balik beberapa kertas bertabel dan sesekali mengetikkan sesuatu di scientific calculator-nya—tidak menyadari kedatangan sang gadis bercepol.

"Yakumo," panggil Tenten.

"Ah?" Yakumo sang bendahara OSIS mengangkat wajahnya—menatap seseorang yang baru saja memanggil namanya. Ia mengerjapkan mata violetnya beberapa kali kemudian tersenyum lebar. "Tenten-senpai! Ohayou~"

"Hm... Ohayou," jawab Tenten sambil berjalan mendekati meja Yakumo. "Sepi sekali. Mana yang lain?"

"Entahlah." Yakumo mengedikkan bahu. "Kalau Sakura lagi ada wawancara sama anak-anak klub jurnalistik, Sasuke nongkrong di kantin sama Uzumaki-kun, Kiba nggak masuk, terus yang lain nggak tahu pada kemana."

"Neji?"

"Aa, taichou lagi di ruang kepala sekolah."

Tenten mengerutkan dahinya tak mengerti. "Ngapain emang?"

"Ne, aku juga nggak tahu, Senpai," jawab Yakumo seraya menggaruk pipinya yang tak gatal. "Tadi Iruka-sensei yang panggil ke sini. Sepertinya penting ba—"

BLAM

Belum selesai Yakumo menjelaskan, Tenten sudah melesat pergi dari ruangan yang hanya diterangi cahaya matahari yang menerobos melalui dua jendela yang hanya tertutupi gorden putih tipis itu.

.

.

.

.

Kagayakina Tenten berjalan lesu di koridor kelas dua. Ia ingin sekali menemui Neji saat ini. Harus! Perasaannya tidak enak sejak tadi malam—dan ini ada hubungannya dengan kekasihnya yang bermata indah itu. Lalu kenapa ia malah menyusuri koridor kelas dua? Well, Tenten tidak mendapati Neji di ruang OSIS—tempatnya biasa menghabiskan sepanjang hari di sekolah sejak dua tahun terakhir, maka ia memutuskan untuk menanyakannya pada adik sepupu sang ketua OSIS yang masih kelas dua, Hyuuga Hinata.

Langkah Tenten terhenti di depan pintu ruang kelas 2-1 yang terbuka lebar. Dari luar ia dapat melihat Hinata sedang menyuapkan sebuah onigiri berbentuk unik kepada seorang cowok berambut pirang jabrik dengan tiga garis mirip kumis kucing di kedua pipinya, Naruto. Cowok mirip rubah itu nyengir lebar—memperlihatkan deretan gigi-giginya satelah susah payah menelan onigiri-nya. Sedangkan gadis berambut indigo sepunggung yang menyuapinya hanya bisa tersenyum dengan wajah semerah kepiting rebus.

"Aaa... yang benar saja." Tenten sweatdrop melihat pemandangan yang agak jauh di depannya. "Hinata!" panggilnya dengan suara melengking.

Hinata dan Naruto menoleh ke asal suara bersamaan. Mereka dapat melihat senior mereka—seorang ketua klub karate yang juga berstatus sebagai kekasih resmi sang ketua OSIS, Kagayakina Tenten—melambaikan tangan kanannya sambil tersenyum lebar. Pasangan kontras itu lantas saling berpandangan dan beranjak menemui Tenten.

"T-Tenten-senpai," sapa Hinata gugup.

"Yo." Tenten nyengir kuda.

"Kau ngapain, Senpai?" Naruto bersedekap, menatap Tenten lekat-lekat. "Neji-senpai kalau nggak di ruang OSIS, ya di kelasnya. Dan kelas 3-1 itu di gedung utara."

"Aku tahu itu, baka." Tenten mendelik tajam ke arah Naruto. "Lagian, kenapa kau juga di sini? Bukannya kau di kantin sama Uchiha-kun?"

"Sasuke-teme lagi di toilet," jawab Naruto sambil mengibas-ngibaskan tangannya. "Biasalah—kabur dari kejaran fans-nya yang rata-rata nggak berotak itu."

Tenten sweatdrop. "Kau bahkan lebih nggak berotak dari mereka."

"Apa—"

"N-Na-Naruto-kun hebat, kok..." Hinata menunduk, memperhatikan dua telunjuknya yang bertautan. "B-berkat N-Naruto-kun... tim bisbol sekolah kita m-menang mutlak waktu pertandingan final melawan SMA Suna tahun la-lalu..."

"Ha! Sou sou sou'ttebayo!" Naruto mengepalkan tangan kanannya dan meninju udara. "Aku memang hebat kok!"

"Zzztt... Nggak hebat." Tenten mendesis sambil menyipitkan matanya. "Ne, Hinata-chan..."

"Y-ya?"

"Akhir-akhir ini kalian—err... maksudku Neji, nggak apa-apa, 'kan?" air muka Tenten berubah. Ia menatap Hinata dengan pandangan penuh arti.

"Ng-nggak ada, kok." Hinata menggeleng pelan tanpa memutuskan kontak matanya dengan mata kecoklatan Tenten. "Memangnya k-kenapa, Tenten-senpai?"

Tenten menunduk, memperhatikan kakinya yang sedikit bergetar. "Aku... juga nggak tahu. Tapi..."

.

.

Seorang anak perempuan dengan bekas luka yang memerah di lengan, leher, dan betisnya...

.

.

"Ayo pulang, Tenten-chan!"

"Iya, Kaa-chan."

"Kau lihat apa?"

"Itu..."

.

.

...anak perempuan dengan rambut lurus berwarna coklat sepunggung

.

.

"Eh? Teman Tenten-chan?"

"Bukan."

.

.

serta sepasang bola mata lavender yang indah...

.

.

.

Menjelang senja anak perempuan itu selalu duduk di ayunan taman kota yang sudah sepi,

mendengarkan koakan burung gagak

dan menatap sepinya langit sore...

.

.

Tidak peduli hujan lebat dengan dinginnya menusuk permukaan kulitnya yang memar,

ia akan tetap datang,

untuk sekedar duduk di sana,

dan menatapku datar—dengan iris lavendernya yang sayu...

.

.

"Mau main sama-sama?"

.

.

.

Tenten mengerjapkan matanya beberapa kali—mengatur napasnya yang entah mengapa sedikit sesak. Ah, rupanya mimpi aneh itu lagi. Seminggu terakhir Tenten selalu memimpikan hal yang sama—anak perempuan cantik di taman kota—hujan—semuanya. Ia dapat mengingatnya dengan jelas. Itu adalah anak perempuan di masa kecilnya yang sering ia temui di taman kota sebelum Miyu menjemputnya pulang.

"Ugh..."

Tenten memejamkan matanya rapat-rapat, mengelus-elus dadanya yang terasa begitu sesak. Padahal mungkin itu adalah mimpi yang biasa saja dan tidak akan mempengaruhi kehidupannya. Karena sepintas, anak perempuan itu mirip dengan adik perempuan Hinata yang masih kelas dua SMP, Hyuuga Hanabi.

"Neji..." Tenten kembali menghempaskan dirinya pada tempat tidur. Ia mengelap keringat di dahi dan lehernya dengan punggung tangannya. Bola mata kecoklatannya mengerjap-ngerjap beberapa kali—menatap langit-langit kamarnya yang tidak terlalu gelap. "Aku kangen Neji..."

Ah, tentu saja. Mungkin Tenten memang sedang merindukan Neji. Mungkin gadis panda-like itu memang hanya sedang cemburu pada kesibukan sang kekasih sebagai ketua OSIS. Mungkin—ia hanya ingin mengulang kembali masa-masa ketika mereka masih SMP dan awal masuk SMA. Atau mungkin ada hal lain yang membuat gadis itu merasakan takut yang luar biasa?

.

.

.

.

"Konnichiwaaa, minnaaa~!" Kagayakina Tenten mendobrak meja guru di ruang kelas 3-3, berusaha menarik perhatian teman-teman sekelasnya sebelum bel masuk untuk mengakhiri jam makan siang berbunyi.

"Yosh! Konnichiwa, Tenten!" seorang cowok beralis tebal dengan model rambut mirip batok kelapa dan bentuk mata unik naik ke atas meja di tengah kelas—mengacungkan tinjunya tinggi-tinggi. "Mari kita sambut siang ini dengan penuh semangat masa mudaaaa~! Yuhuuu~!"

Tenten sweatdrop. "Jangan bikin aku menyesal telah menyapa kalian sepagi ini, Lee," ucap Tenten seraya meletakkan kotak bento-nya di bangku paling depan.

"Tenten jahat," ujar Rock Lee dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

"Oh ayolah, jangan bercanda," sahut Morino Hidate, anak laki-laki berambut hitam pekat yang dikuncir di belakang lehernya, dari bangku belakang. "Berhenti melakukan hal-hal menjijikkan atau kau kukurung di gudang belakang selama seminggu dan bakal kupastikan nggak akan ada yang bisa menemukanmu."

"Morino...," ucap Tenten dengan nada memperingatkan.

"Kenapa, sih?" Hidate menaikkan sebelah alisnya. "Dia nggak bakal mati kok," jawabnya asal sambil mengangguk ke arah Lee yang masih diam di posisinya.

"Kau nggak menghargai ketua kelasmu, Hidate-kun!" Lee menunjuk Hidate dengan ekspresi berapi-api.

"Hoaaahmm..." Hidate menguap, tak menanggapi ocehan Lee. "Oh ya, Tenten, ngomong-ngomong—"

Belum sempat Hidate menyelesaikan kalimatnya, terdengar ribut-ribut dari arah luar kelas itu—koridor utama kelas tiga. Beberapa anak cewek menjerit histeris sambil meneriakkan nama yang sangat familiar bagi seluruh penghuni SMA Konoha.

"Kyaaaa~! Neji-kuuunn~!"

"Neji-kun cakeeepp!"

"Uwaaa dia melirik ke arahku! Arahku!"

"Ugyaaa~!"

"Ya ampun, ganteng sekali, sih!"

"Neji-kun kereeenn! Kakkoi da naa!"

"Neji-kun lihat siniii~!"

"Kyaaa Neji—sebelah sini!"

"Hyuuga-kun tampan!"

Tenten menajamkan pendengarannya. Ia segera beranjak meninggalkan Lee dan Hidate yang hanya bisa menatapnya bingung. Ia menerobos kerumunan siswi-siswi kelas tiga yang memenuhi koridor itu—mencari sosok Neji yang sejak pagi tadi belum sempat ditemuinya.

Di ujung belokan dekat tangga, Tenten bisa melihat punggung Neji yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangan ketika cowok itu menuruni tangga.

Tenten mendorong gadis-gadis fanatik itu kasar agar bisa dengan leluasa mengejar Neji. Ia ingin bertemu Neji. Ia harus bertemu Neji. Paling tidak sekali saja—untuk hari ini. Perasaannya tidak enak, dadanya berkecamuk dalam diam.

Tenten terus berlari—mengejar bayangan Neji yang bahkan sudah lolos dari pandangannya. Tidak peduli meski mendapat cemoohan dari beberapa siswi yang ditabraknya, dan hanya menghadiahkan mereka deathglare yang cukup menakutkan dengan aura pembunuh di sekitarnya.

.

.

.

"Mau main sama-sama?"

"...?"

"Aku punya boneka panda yang baru dibelikan kaa-chan kemarin."

"..."

"Karena aku nggak suka boneka, kau mau memainkannya—mungkin?"

"Apa maksudmu?"

"Main boneka panda. Mau nggak?"

"Kenapa aku harus mau?"

.

.

"...karena kau—kesepian?"

.

.

.

"Aku ini laki-laki, tahu!"

.

.

Sial, Tenten merutuk dalam hati. Ia telah benar-benar kehilangan jejak Neji. Baju seragamnya sudah sedikit kusut dan rambut cepolnya tampak berantakan. Namun detik berikutnya, gadis berkepribadian ganda itu tersenyum senang—melihat siluet punggung tegap Neji dengan ciri khas rambut coklat sepunggungnya—berjalan terburu-buru di tangga menuju areal kelas dua. Tak ambil pusing, Tenten menghentakkan kakinya dan melesat mengejar Neji.

"NEJIIII~!"

Di sanalah sang ketua OSIS berdiri—di depan ruang kelas 2-1, bersama adik sepupu kesayangannya, Hinata, dan cowok blonde bermata saphire, Naruto.

Neji menoleh, menatap Tenten yang berlari ke arahnya dengan penampilan kacau. Ia tidak merespon, dan hanya menaikkan sedikit sudut bibirnya. Ia kemudian kembali menghadap Hinata dan menepuk pelan kepala indigo gadis itu. "Ayo, Hinata," ucapnya pelan.

Hinata mengangguk sekali, menundukkan kepalanya dalam-dalam—menyembunyikan air matanya yang sudah mengalir menerobos pelupuk mata lavendernya, dan berjalan mengikuti Neji. Ia melirik Tenten sekilas saat mereka berpapasan. Sedangkan Neji tidak mengucapkan sepatah kata pun pada Tenten. Ia hanya menatap gadis itu dengan pandangan yang sulit diartikan, dan berjalan melewatinya begitu saja.

Tenten menggigit bibir bawahnya—menahan sesuatu yang meluap dalam dadanya.

Neji yang baik hati.

Neji yang bijaksana.

Neji yang kalem.

Neji yang selalu tersenyum untuknya.

Neji yang selalu ada di sisinya.

Neji yang kaku dalam hal percintaan.

Neji yang itu—yang begitu ia sayangi.

"Hizashi-jiichan..." suara berat Naruto membuyarkan lamunan Tenten. Kini cowok blonde itu berdiri tepat di sampingnya, menatap koridor yang dipenuhi siswa kelas dua. "...baru saja. Hizashi-jiichan meninggal dunia."

Mata kecoklatan Tenten terbelalak.

.

.

PLAKK!

DHUAKK!

BRAAAKK

"Hizashi, hentikan! Apa yang kau lakukan!"

"Memberi pelajaran."

PLAKK

"Hizashi—sudah! Neji, kau nggak apa-apa?"

"..."

"Minggir!"

"Hizashi—!"

BHUAAAKK

"Nejiii!"

"Kaa-san..."

"Neji—"

DUAAAKK

"Hizashi—kumohon hentikan! Neji!"

"...Too-san..."

"Apa-apaan kau menatapku seperti itu, hah?"

"..."

"Menangis? Kau mau menangis? Menangis saja sana seperti perempuan! Dasar cengeng!"

PLAKK

.

.

Distrik timur kota Konoha tampak ramai dengan orang-orang yang berlalu lalang dan pemilik kios-kios makanan yang sedang menjajakan hidangan panas mereka di atas talam, di trotoar. Meski matahari sedikit condong ke barat, namun sinarnya tak cukup mencerahkan daerah ini karena awan cumulus yang entah sejak kapan berarak menutup birunya langit siang.

Di sebuah mansion megah trdisional dengan ukiran kanji 'Hyuuga' di gapura depannya, tampak lebih ramai dari biasanya. Terlihat orang-orang berlalu lalang di sekitar rumah besar itu dengan pakaian serba hitam, dan tisue kusut yang digenggam erat oleh beberapa wanita yang memakai kimono hitam.

Namun di antara orang-orang berpenampilan hitam itu, tampak pula seorang gadis dengan rambut bercepol dua yang sudah berantakan dan seragam sailor-nya yang sedikit kusut—beridiri di depan gerbang utama kediaman keluarga besar Hyuuga. Ia hanya mematung di sana seolah enggan berada di tempat itu, namun juga tidak ingin meninggalkannya.

GOROO GOROO

Tenten mendongak, menatap awan cumulus tebal di atasnya. Awan itu begitu gelap dan sepertinya sudah siap menuangkan titik-titik air yang disimpannya setelah sekian lama.

.

.

"Apa ini sakit?"

"Iya."

"Lalu kenapa kau nggak menangis?"

"Karena laki-laki nggak boleh menangis."

"Kenapa—?"

.

.

"Karena itu berarti lemah..."

.

.

TES TES TES TES

Rinai hujan membasahi seluruh penjuru Konoha, tidak meninggalkan celah kering sedikit pun di tempat yang seharusnya disinari penuh oleh sang surya. Aroma tanah menguar di setiap sudut kota, menciptakan suasana sejuk yang selalu dinanti setiap tubuhan.

Tenten masih terus mendongak—menatap awan kelabu dan tetes hujan yang tanpa ampun membasahi seluruh tumbunya.

"Tenten-senpai?"

Sebuah suara bening berhasil menarik perhatian Tenten dari awan-awan gelap itu. Ia menoleh—mendapati Hinata—yang masih lengkap dengan seragamnya—sedang memayunginya dengan ekspresi cemas.

"Ayo masuk, Senpai," ujarnnya sambil menarik tangan Tenten yang sedingin es. Namun Tenten tak bergeming. Ia hanya berdiri terpaku, menatap Hinata dengan pandangan kosong. "Tenten-senpai, kau nanti bisa sakit."

"Mana Neji?"

Hinata menunduk dan menggeleng lemah. "Too-san dan kaa-san dari tadi juga mencarinya, tapi Neji-niisan nggak ada di mana pun," jawabnya pelan. "Neji-niisan... nggak pernah seperti ini sebelumnya. Bahkan saat kematian Midori-baasan tujuh tahun lalu."

Tenten diam. Ia tidak ingin bersuara—lebih tepatnya tidak bisa bersuara. Ucapannya seolah tercekat di tenggorokannya. Ia tahu, ini jauh lebih buruk dari apapun. Mimpi itu, perasaan aneh yang selalu menyelubunginya—everything! Ia tahu, ia sudah tahu—ibu Neji meninggal tepat saat ulang tahunnya yang kesebelas. Seorang sosok ibu yang selalu menjadi malaikat pelindungnya. Dan sosok ayah yang tampak seperti monster di matanya pun kini turut pergi meninggalkannya.

"Ne," ucap Tenten serak. "Arigatou, Hinata."

Tenten tersenyum. Itulah hal terakhir yang Hinata lihat sebelum gadis panda-like itu berlari menerobos hujan, menjauh dari distrik timur Konoha.

.

.

"Waa hujan!"

"..."

"Menurutmu kapan hujannya bakal berhenti?"

"Nggak akan."

"Ne, itu nggak benar!"

.

.

.

"Tuh 'kan, hujannya berhenti!"

.

.

Tidak seorang pun yang mau bermain di taman kota saat awan kelabu tebal menyelubungi langit dengan siraman hujan deras yang dengan sadisnya mengguyur apa pun yang dapat dijangkaunya. Tapi itu salah. Di tempat itu—tepatnya di sebuah ayunan tua yang sudah karatan—duduk seorang cowok berambut coklat sepunggung. Mata lavendernya tampak sayu menatap tanah basah di depannya.

Hyuuga Neji tak bergeming—meski dinginnya deras hujan terus menghantam setiap inchi tubuhnya tanpa ampun.

TAP TAP TAP TAP

Terdengar langkah kaki yang sedikit teredam oleh derasnya hujan dan guntur—mendekati area itu perlahan. Seorang gadis—dengan mata yang tampak lelah dan seluruh tubuhnya yang basah kuyup. Kagayakina Tenten.

Ia berdiri tepat di depan Neji yang masih tidak bersuara atau pun merubah posisinya. Perlahan kedua tangannya bergerak, berusaha menggapai sosok kaku di hadapannya. Kedua tangan itu melingkar di leher sang Hyuuga—merapatkan jarak di antara mereka.

Tenten mendekapnya—erat. Dagunya ia sandarkan pada pucuk kepala Neji. Sedangkan wajah Neji tenggelam di antara leher dan pundak Tenten, masih tidak mengubah tatapan kosongnya.

Tenten menangis dalam diam, berusaha menahan agar suaranya tak bergetar.

"Suatu saat nanti..."

.

.

"...kesedihan akan memudar."

.

Tenten terisak—tidak sanggup menahan gejolak yang meluap-luap dalam hatinya. Perlahan ia merasakan suatu aliran hangat di lehernya—di antara dinginnya hujan.

Air mata Neji.

.

.

"Menangis bukan berarti kau cengeng atau lemah..."

.

.

"—tapi itu menunjukkan bahwa kau memiliki hati yang gagah."

.

Air mata Neji terus mengalir—tanpa isakan. Rasa hangat yang mengalir di leher Tenten itu seolang mengalahkan dinginnya tetes hujan yang mengguyur mereka.

.

.

Setiap orang pasti memikul beban masing-masing

.

.

tapi itulah jalan yang akan menjadikanmu jauh lebih kuat

.

.

.

Karena suatu saat nanti...

.

.

...langit pasti akan kembali cerah

.

.

Suatu saat nanti, rasa sakit yang kau rasakan saat ini...

.

.

...akan menjadi tidak lebih dari sebuah kenangan nostalgia

.

.

.

"Ne, Neji," ucap Tenten pelan seraya melepaskan pelukannya dan tersenyum lebar menatap iris lavender Neji. "Lihat, hujannya sudah berhenti."

Neji membelalakkan matanya. Hangat. Bukan lagi dingin menusuk yang ia rasakan. Hangatnya sinar matahari yang menyapu setiap sudut kota—mengganti suasana kelabu awan dengan langit bersih sebiru lautan—menghapus jejak air matanya.

Neji berdiri—mendongak menatap langit biru cerah tanpa awan.

"Ne!" seru Tenten sambil menggenggam tangan besar Neji dan menunjuk ke arah timur horizon langit. "Pelangi!"

Neji mengikuti arah telunjuk Tenten dan mendapati spektrum tujuh warna terindah yang melengkung di kaki langit. Tanpa sadar ia menaikkan sudut bibirnya dan tersenyum penuh arti. Ia mempererat genggaman tangannya pada Tenten dan menarik napas lega.

.

.

Because there's no such thing such unending rain...

.

.

.

"Waktu aku sedih, aku hanya bisa memandang langit dari sini..."

"Lalu...?"

"Aku bisa melihat tujuh cahaya warna warni—"

.

.

"—yang menerangi jalan menuju hari esok."

.

.

.

Ne, namaku Kagayakina Tenten.

Dan aku akan terus bersinar, bukan hanya untuk diriku sendiri

tapi juga untuk semua orang!

.

.

.

おしまいだよ!

[It's The End!]

Author's Note :

Taichou : ketua

Konnichiwa : met siang

Too-san & kaa-san : ayah & ibu

~jiisan & ~baasan : paman & bibi

Alohaaaa, minna-san! (^0^)/ rei memutuskan untuk bikin sequel dari fic NARUTO : The Series (di page pertama) untuk main chara Tenten ini! Berkat dengerin lagunya HOME MADE KAZOKU yang judulnya No Rain No Rainbow, dan siraman cahaya dari Pak Zawawi Imron (sastrawan yang terkenal itu lho) tadi pagi (18 Feb '11) di aula sekolah, terinspirasilah fic ini xD

Memang rei agak kecewa sama review buat fic ini yang Cuma 3 biji doang. Tapi—SUMPAH! 3 review itu bikin rei terharu! Rei seneng ternyata perasaan Tenten dapat tersampaikan pada readers! Hits-nya emang lumayan tinggi, meski review dikit, tapi rei suka bacanya! Hiks hiks :')

SPECIAL BIG THANKIES buat Momochan UzumakiUchiha (aka ocha-chan), temariris, dan hoshi hoshina, atas review kalian yang bikin rei bener-bener tersenyum LEBAR! Rei nggak benci sama fic ini, rei suka—jadi nggak bakal rei delete. Juga MAKASIH banyak buat readers yang Cuma numpang baca tapi nggak review, that's really appreciated for me. ^^

Nah, sequel ini rei persembahkan buat kalian pecinta NejiTen dan readers NARUTO The Series : あたし! sebelumnya (^_^) semoga sukaaa~! maap kalo jelek dan banyak typo ^^"a

Akhir kata, review,PLEASE?

Salam,

Al-Shira Aohoshi

a.k.a Andromeda no Rei