Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Warning: AU, OOC, abal, typo.

Panda-kun Says

Chapter 5

Makan siang berdua yang hening. Itulah kesan yang diterima Hinata siang ini saat dirinya dan Gaara duduk berhadapan, memakan bento dari tempat yang sama, di bawah rimbunnya pohon. Kesan romantis yang entah kenapa langsung muncul, dan membuat Hinata sedikit bersemburat merah hingga memaksa gadis itu menunduk untuk menyembunyikannya dari Gaara.

Gaara hanya melihat seolah tak tertarik, tapi tanpa berkedip. Dan keajaiban lain datang. Entah darimana muncul peri itu, tanpa Gaara sadari menyulap dirinya, melukis wajah baru yang kelihatan lebih berbeda. Mata yang sama yang selama ini dilihat Hinata, rambut yang tetap merah, hampir tak ada yang berubah kecuali bibirnya yang selama ini datar kini sedikit melengkung.

Yup! Inilah dia… Gaara yang tersenyum.

Peri yang tak terlihat itu sedikit tertawa di telinga Gaara, membuat yang empunya merasa tuli untuk sementara. Tak ada suara apapun kecuali suara peri yang mulai berbisik, membuat telinganya sedikit geli.

'Kenapa tersenyum? Ayolah… kau menyukai gadis ini, kan?'

Tanpa mengetahui jawaban Gaara, sang peri langsung terbang lagi, turun tepat di depan dada si pemuda yang sedang duduk tegak. Tongkat sihir yang sedari tadi ia genggam diayunkan, dan seberkas sinar gemerlap masuk ke tubuh Gaara, mengacaukan perutnya, membuat nafasnya sedikit sesak sebab jantung memompa lebih cepat, adrenalin yang terpacu, serta keringat yang mulai menetes dari pelipis.

Alis Gaara mengernyit, seolah bertanya 'ada apa ini?'

Sang peri tersenyum, terbang sedikit ke atas dan bertemu dengan pipi Gaara. Nafasnya meniupkan udara panas dan membuat wajah Gaara sedikit memerah, menghangat.

Gaara sendiri tak menyadari bahwa dirinya perlahan mulai diambil alih oleh sesuatu yang sama sekali asing baginya. Sebuah perasaan aneh yang tak akan pernah mungkin dia pahami. Sebuah sensasi yang membuatnya tak mengerti, terus mencari tapi tetap tak menemukan.

Hinata mulai memberanikan diri mengangkat wajah ketika dirasanya Gaara diam. Perlahan namun pasti, matanya tertumbuk pada bibir Gaara. Seketika Hinata tersentak. Gaara… tersenyum?

Tak ingin berlama-lama, peri itu menambahkan sentuhan terakhir pada mereka. Sebuah daun jatuh, tepat di depan mata keduanya, dan saat daun itu berlalu, pandangan mereka pun bertemu.

Untuk kali ini saja, Hinata tak akan mau menampik kenyataan bahwa mata di hadapannya ini benar-benar indah.

Untuk saat ini saja, Gaara tak akan mau berpaling dari lavender yang begitu cerah milik Hinata.

Sayangnya, moment itu hanya berlangsung beberapa detik. Suara ponsel Gaara membuat konsentrasi buyar hingga mereka kembali tersadar dan segera memalingkan muka yang sudah sama-sama memerah.

"Hm."

Hinata menoleh, melihat wajah Gaara yang sudah kembali normal seperti biasanya, stoic. Sedikit sayang juga harus kehilangan ekspresi yang sangat jarang diperlihatkan itu. Sebuah senyum merekah di wajahnya yang masih sedikit merona.

Yah, Gaara tak sepenuhnya menyeramkan.

Si peri mendesah kecewa. Usahanya sia-sia. Dengan kepakan sayap yang kencang dia langsung melesat, terbang ke atas, lalu menghilang.

"Hn," Gaara mengakhiri percakapannya dengan seseorang di ujung sambungan.

"A-ano, soal belajarnya-"

"Kita lanjutkan," sahut Gaara cepat.

Hinata mengangguk menyetujui.

Dan dimulailah lagi kerja paruh waktu Hinata sebagai guru privat baik hati yang tak digaji.

OoOo

Matahari hampir tenggelam ketika Gaara sampai di depan gerbang rumahnya. Beberapa orang membuka gerbang, memberi jalan bagi Sabaku junior untuk masuk. Matanya menangkap sesosok pria berambut merah sama seperti dirinya, seumuran, dan sedang tersenyum.

"Hai! Lama tak jumpa, Gaara!"

Gaara hanya diam tak menanggapi dan terus berjalan masuk ke rumah.

Sasori bergegas mengikutinya, masih memajang senyum yang sama sekali tak menarik minat Gaara. "Hei! Hei! Beginikah caramu menyambut sepupu yang baru pulang?"

Gaara berbalik, tangannya bersedekap menghadap Sasori, "Pulang? Rumahmu di Jerman."

Sasori yang sepertinya sudah biasa menerima ucapan meremehkan dari sepupunya sendiri itu nyengir, "Hehe, rumahmu kan rumahku juga."

"Cih!"

"Ah!" Sasori menyerah, "Aku akan pindah sekolah ke sini. Semuanya sudah di urus. Besok aku sudah boleh masuk."

Gaara melirik tajam.

"Lagi pula, aku sudah rindu pada Ino. Pacaran jarak jauh itu sama sekali nggak enak." Mata Sasori tiba-tiba berkilat nakal, dia langsung mendekat dan merangkul leher si sepupu yang jelas-jelas tak suka, "Kau sendiri, sudah punya pacar?"

Jika Kankuro, maka dia akan nyengir sambil garuk-garuk kepala yang enggak gatal terus bilang, "Ehehe, belum," dengan wajah yang memelas, meratapi diri yang belum juga laku. Tapi Gaara yang notabene cowok paling keren di sekolah, mana mungkin berbuat seperti itu. Dia kan bukannya tak laku, hanya terlalu memilih. Jadilah mendengus dengan keras adalah pilihannya, dan berlalu meninggalkan Sasori.

"Aku rasa itu artinya belum." Sasori berbalik, menuju kamarnya, "Tapi, kenapa Ino bilang ada?"

OoOo

Di rumahnya, Kabuto menyeringai lebar. Sesuatu tentang Gaara telah derencanakan olehnya. Tangannya mengangkat gagang telepon dan menekan beberapa nomor, "Hallo?"

Gaara harus berhati-hati kali ini.

OoOo

Pagi harinya, Hinata kembali dikejutkan oleh suara siswi yang mulai berteriak-teriak kembali. 'Apa Gaara-san sudah kembali masuk?'

Ino yang duduk di sebelah Hinata tersenyum seraya berdiri dan menuju pintu.

Ketika mulai ada celah di antara pintu, Hinata tak bisa lagi menahan dirinya dari rasa ingin tahu. Matanya terus melihat, tak berniat untuk berkedip, terus menyimak senti demi senti.

Ino langsung menghambur ketika pintu di buka. Sesosok pria berambut merah muncul, dan tersenyum. Hinata mendesah. Ternyata bukan Gaara.

OoOo

"Gaara-san?"

"Hm." Tanpa banyak basa-basi lagi, Gaara menarik tangan Hinata, mengajak gadis itu ke tempat mereka kemarin.

Di balik tembok gedung sekolah, dua pasang mata mengintip mereka berdua. Siapa lagi kalau bukan Ino dan Sasori. Sambil terus cekikikan mereka mengikuti Gaara dan Hinata hingga sampai di taman.

"Wah, tak ku sangka Gaara bisa bertindak manis seperti ini," celetuk Sasori dari balik semak ketika melihat Gaara yang terus memperhatikan Hinata yang menjelaskan materi pelajaran.

"Ya! Aku benar, kan?" Ino nyengir.

OoOo

Sepulangnya dari taman, Gaara yang tengah senang sumringah menerima amukan dari ayahnya yang langsung pulang dari Paris bersama si ibu saat saat menerima telepon dari seseorang yang mengaku guru di sekolahan Gaara.

"Dari mana?" tanya tuan Sabaku dengan suara yang dalam.

"Taman."

"Apa benar kau diskors?" tanyanya lagi.

"Hm."

"Berhenti menjawab hanya dengan dua konsonan itu!" kelihatannya tuan besar sudah tak bisa mengontrol amarah lagi, "Apa benar kau menghajar gurumu?"

"Ya."

Karura shock. Kenapa Gaara begitu berani? Sikapnya seperti preman pasar, padahal wajahnya jelas-jelas mirip model iklan ternama.

"Cukup. Sekarang kau masuk ke kamar! Kau tak ku izinkan keluar tanpa pengawasan! Kau dikurung di rumah!" Titah sudah keluar dan tak akan bisa dilanggar.

OoOo

Gaara berbaring di ranjang kamarnya, mengadah ke langit-langit dengan mata terbuka. Dia sama sekali tak mengantuk. Hatinya terus mengutuk Kabuto yang mengadu pada sang Ayah. Sial!

"Gaara?"

Mendengar suara memanggil namanya, Gaara menoleh. Sesosok pria berambut merah –Sasori –masuk dan mengambil tempat duduk di pinggir kasur, di sebelah Gaara.

"Bukankah ada banyak orang di sana?"

"Ya. Tapi aku dapat izin langsung dari bibi." Sasori ikut-ikutan berbaring, "Kenapa kau sampai nekat begitu? Menghajar guru. Itu tindakan kekerasan, kan?"

Helaan nafas panjang keluar dari mulut Gaara. "Aku tak menyesal."

"Hm?" Sasori menoleh, "Hei, Gaara!" panggilnya untuk meyakinkan bahwa si pemilik nama mendengarkan, "Apakah…" agak ragu Sasori melanjutkan, "…ini ada hubungannya dengan Hinata?"

"Kau membuntutiku? Stalker!" Gaara menanggapi sinis.

"Berarti memang ada, ya? Hahaha…"

Mendengar Sasori yang terkekeh, Gaara langsung melemparkan tatapan mautnya. Namun akhirnya ia menyerah juga. "Emosiku langsung naik saat itu."

Sasori mengambil posisi duduk, "Ino sudah cerita semuanya." Dia berbalik menghadap Gaara, "Sekarang bagaimana? Aku sudah mendengar rencana paman tadi."

"Kau menguping?"

Dengan mantap dan tanpa dosa Sasori mengangguk. "Paman bilang kau akan segera di pindahkan ke Oto. Kau tahu? Sekolah penuh pria dengan asrama?"

"Ya."

"Kau akan bersekolah di sana mulai minggu depan."

Gaara hanya diam. Semuanya memang sudah terencana buruk untuknya kan? Jadi dia hanya bisa menerima. Tak ada lagi usaha yang bisa ia lakukan. Semuanya percuma. Yah, kalau dipikir-pikir, tak ada salahnya juga. Bukankah Oto juga berada di Konoha?

"Apa yang bisa ku lakukan untukmu?" tanya Sasori.

Gaara menyeringai.

OoOo

Hari terakhir mid test dilalui Hinata dengan sangat baik. Tak disangka, mengajari Gaara ternyata juga membawa dampak positif baginya. Dia jadi lebih mengingat pelajaran. Mungkin menjadikan Gaara partner belajar bukanlah hal yang buruk.

Hinata berjalan lesu di koridor sekolah. Mengingat Gaara selalu membuatnya tak bersemangat. Gaara seolah menghilang ditelan waktu. Seminggu lebih tak ada kabar. Memang dia siapa? Hantu? Gaara kan hanya cowok yang mirip panda.

Hinata sedikit terkejut atas pemikirannya. Panda. Kenapa malah mencari panda? Kenapa malah merindukan si panda seram?

Mungkin panda bukanlah hal yang seram lagi.

Hinata menghela nafas.

"Berhentilah mengeluh."

Hinata mengangkat wajahnya. Suara ini terasa familiar sekali.

Gaara yang awalnya bersandar di dinding pagar sekolah kini berjalan mendekat sambil memampangkan senyum yang baru kali ini dilihat Hinata.

Refleks Hinata ikut tersenyum lebar, mempercepat langkahnya ke arah Gaara.

"Heh, sejak kapan kau senang bersamaku?" tanya Gaara yang kini memeluk Hinata, membuat wajah gadis itu memerah.

"K-kenapa Gaara-san menghilang beberapa hari ini?"

"Ayah tak mengizinkanku keluar. Aku hanya bisa bertemu denganmu tiap akhir pekan."

"E-eh? Bertemu d-de-denga-"

"Ya," Gaara tertawa renyah, "bertemu denganmu." Ujarnya mantap.

Siang itu mereka habiskan dengan bersenang-senang. Gaara mengajak Hinata ke kebun binatang. Melihat panda.

"T-tidak mau!"

Gaara memaksa, menarik Hinata mendekat ke kandang, menjulurkan tangan gadis itu ke arah si panda.

Panda yang melihat pucuk bambu lezat di tangan Hinata berjalan mendekat. Hinata mulai pucat, sementara Gaara tetap tenang. Menikmati wajah ketakutan Hinata tetap menyengkan walau ia lebih suka jika gadis itu memerah bukan memutih seperti sekarang.

Dan sore itu, ketakutan Hinata atas panda berakhir sudah.

OoOo

Sementara Sasori hanya berdiam diri di dalam kamar Gaara di asrama. Inilah dia perjanjiannya. Setiap akhir pekan Sasori akan datang berkunjung, menyamar menjadi Gaara yang berpura-pura sakit sementara Gaara yang asli pergi.

"Menyesal menawarkan bantuan pada si bodoh itu!"

OoOo

Mengingat pertanyaan Karura di chapter satu tentang sikap Gaara padanya, Hinata tak tahu harus menjawab apa. Pemuda di sampingnya ini masih saja suka memaksa, egois, tak mau mengerti, tapi di saat yang sama ia hangat, melindungi, nyaman. Apalagi tangannya yang menggenggam Hinata sekarang, benar-benar hangat.

Hinata benar-benar tak bisa percaya bahwa sekarang hatinya tertambat pada orang yang dulu ditakutinya. Si tuan panda yang selalu membuatnya menuruti apapun yang diperintahkan hanya dengan satu kata.

'Kau harus bertanggung jawab.'

Hinata tiba-tiba berhenti, membuat Gaara menoleh untuk melihat keadaan sang pacar yang jadian tanpa ada peristiwa tembak-menembak.

Melihat tatapan Gaara yang heran –yah, Hinata berhasil membaca raut Gaara dari matanya –Hinata tersenyum. "Kau, harus bertanggung jawab."

Gaara terdiam sesaat lalu menyeringai, "Tentu." Lalu mengambil langkah maju dan mendekat, mendekatkan wajahnya pada wajah Hinata, hingga menutup jarak yang ada di antara mereka. "Aku, mencintaimu." Bisiknya di telinga kanan sang gadis, lalu mengecup pipinya.

Yak, dan sekarang, mereka sudah resmi jadian selama lima detik!

Kehidupan memang selalu indah, tak peduli pada orang sepemalu Hinata, atau se egois Gaara.

Yah, peri cinta yang selama ini turut andil patut menuai ucapan terima kasih. Tapi sayang, dia tak bisa dilihat. Jadi dia lebih memilih terbang ke awan, dan mengamati semuanya dari sana. Sekali lagi ia sukses mempertemukan dua hati hingga menjadi sepasang kekasih. Mungkin ratu peri akan memberikannya hadiah atas keberhasilannya kali ini.

Owari

Terima kasih bagi yang sudah memberikan review. Haze senang ternyata ada yang mempedulikan fic ini. Semangat Haze semakin bertambah. Mungkin nanti Haze akan berusaha membuat fic lebih bagus lagi.

Arrigatou Gozaimasu.

Januari 2011

-""""-

Haze Kazuki