It is you

-In My Mind-

.

.

.

Temari dan TenTen cuma bisa bengong ngeliatin kotak bekalnya Hinata.

"Hinata, apaan nih?"

"Makanan."

"Kita juga tau. Tapi kok isinya sayur semua?" timpal TenTen.

"Nggak kok, ada nasinya." Hinata masih membela diri.

"Iya, iya. Tapi kenapa cuma nasi sama sayur?"

Hinata hanya menjawab dengan tampang datar, "Aku mau jadi bhiksuni." Nggak cuma tampangnya yang aneh. Jawabannya juga aneh. Jangan-jangan otaknya juga mulai ngawur.

"Jadi ini…"

"Latihan buat jadi biksu."

Sebenarnya pengen ketawa. Tapi liat mata sama mulutnya yang dibikin datar, rasanya nggak pingin ketawa. "Tapi kalau mau jadi bhiksuni, harus botak loh. Kamu rela?" Pertanyaan Temari ngena banget. Keluarga Hyuuga terkenal penyayang rambut. Biaya hidup lebih banyak dihabiskan di salon daripada buat perut. Bahkan yang laki-laki juga begitu. Yang penting rambut kinclong.

"Kalau begitu aku mau jadi biarawati aja." Ih, ampun deh ini anak.

"Memangnya kenapa kau tiba-tiba mau jadi biksu? Udah bosen makan daging? Baru sadar kalau makan sayur jauh lebih sehat?" Yah, ketauan deh yang suka pilih-pilih makanan.

Sekarang mukanya Hinata merah kayak biasa, cuma sekarang matanya lebih berkaca-kaca dan air matanya mulai keluar. "Hu…"

TenTen dan Temari mulai panik.

"Huwe— mph!"

Kasian. Belum sempet nangis, mulutnya udah dibekep duluan. Hinata langsung ronta-ronta sementara Temari sibuk nutupin mulut Hinata sambil celingak-celinguk. Dan mereka bertiga kabur dari tempat itu karena takut ada yang liat. Ok, dua kabur, satu lagi diseret.

.

.

.

Awan sedang mengambang di langit. Matahari masih bersinar. Tapi siapa peduli? Mau cerah kek, mau mendung kek, rasanya gak ada pengaruh buat si Uchiha berumur 15 tahun ini.

Dia sedang santai. Naruto yang biasanya ribut sekarang lagi dipanggil ke kantor guru gara-gara mecahin kaca pake bola. Berarti sudah 3 kali dalam bulan ini kaca sekolah diganti.

Saat berniat kembali ke kelasnya, ia melihat si rambut merah dari kelas lain berdiri di depan pintu kelasnya. Sepertinya si rambut merah itu menyadari kedatangannya.

"Uchiha."

"Hn."

Mereka diam-diaman sebentar.

"Uchiha, kau tahu dimana Hinata?"

Sasuke mengangkat sebelah alis matanya. Mana mungkin dia tahu dimana Hinata, dia 'kan bukan pengurus cewe itu. Lagipula, untuk apa Gaara menanyakannya?

"Tidak, memangnya kenapa?"

Gaara terlihat berpikir sebentar. Apa dia harus memberi tahu alasannya pada Sasuke? Rasanya tidak perlu. "Bukan apa-apa. Hanya saja, ada hal penting yang harus kubicarakan dengannya."

Kata 'hal penting' menarik perhatian Sasuke.

"Kau…"

"Gaara-kun? Sasuke-kun? Sedang apa kalian disini?"

Kedua cowo itu harus sedikit merunduk agar bisa menatap mata gadis yang memanggil mereka. Hinata tiba-tiba muncul dari belakang Gaara.

"Ah, kebetulan sekali. Aku harus bicara denganmu." Gaara langsung menarik Hinata agar sedikit menjauh dari Uchiha yang sepertinya terlihat kesal itu. Sasuke hanya bisa mendengar sepatah-sepatah dari percakapan mereka.

"Apa tidak bisa kita perbaiki lagi?"

Sasuke melihat Hinata menggelengkan kepalanya. "Rasanya tidak. Kupikir, lebih baik memang seperti ini saja."

"Tapi, aku tetap merasa ada yang salah." Dalam pandangan Sasuke, Gaara menatap Hinata lekat-lekat. "Kumohon. Hanya kau yang bisa membantuku. Hanya kamu, Hinata."

Lidah Sasuke sepertinya terasa pahit. Ia tak suka dengan pembicaraan mereka.

Hinata tersenyum kecil. "Tenang saja. Kau pasti bisa, Gaara-kun. Aku selalu mendukungmu."

Buseett, si Hinata… Kenapa dia malah mendukung Gaara? Harusnya dia bisa menolak dengan tegas. Apa mungkin dia tidak mau melihat Gaara sakit hati seperti yang ia alami dengan Naruto? Kepala Sasuke jadi pusing. Sejak kapan si Gaara suka sama Hinata? Lagipula, emangnya bisa?

Sasuke udah nggak denger lagi sisa-sisa percakapan mereka tentang Gaara yang ingin mengaransemen lagunya. Bukan minta jadi pacar.

Sasuke cuma liat mereka say good bye dan Gaara balik lagi ke habitat awalnya. Hinata berjalan ke arahnya. Mau masuk ke kelas maksudnya. Sasuke 'kan masih berdiri di depan pintu kelas dan ngalangin orang masuk.

"Kemana saja? Biasanya kau di kelas," tanya Sasuke, mengikuti Hinata masuk kelas. Hinata hanya menghela napas ketika melihat nasi di kotak bekalnya jadi kering. Dia tidak sempat menutup bekalnya tadi saat diseret oleh Temari dan dipaksa membeberkan kisah cintanya yang pupus.

"Umm, pergi… sebentar…"

Sasuke tidak melanjutkan pembicaraan. Ia lebih memilih untuk kembali ke tempatnya dan duduk diam.

Pelajaran sesudah istirahat adalah pelajaran kimia. Hinata tidak merasa terbebani dengan pelajaran ini, malahan ia merasa kemampuannya sedikit di atas rata-rata. Tapi belakangan ini, ia menyadari kalau nilai praktik kimianya semakin menurun.

"Sayang sekali, Hyuuga. Tapi hasil yang kau berikan masih belum cukup memenuhi standardku."

Hinata pun kembali mengecek hasil kerjanya. Guru itu kini ke tempat anak-anak lain untuk menilai, sampai pada tempat Sasuke.

"Luar biasa! Persis seperti yang kuharapkan. Hasil kerjamu selalu memuaskan, Sasuke-kun."

Hinata melihat hasi kerja Sasuke, lalu miliknya. Milik Sasuke lagi, lalu miliknya.

'Apa yang beda?'

Alat yang dipakai sama. Cara kerja juga sepertinya sama. Hasil dari cairan yang dicampur mereka berdua juga sama-sama biru. Terus, kenapa tanggapannya beda?

Masih inget nggak guru kimia mereka? Orochimaru-sensei, guru yang menjadi pendiri sekaligus penanggung jawab Sasgay, club fansboy Sasuke. Gosip antara Sasuke dengan Hinata ternyata juga menyebar sampai ke telinga guru-guru, dan korban pertama adalah katak percobaan yang sedang dibius dan siap dibelek.

Kok bisa?

Karena saat mendengar berita itu, Orochimaru-sensei sedang ke lab Biologi untuk mengambil bahan yang kurang untuk ramuannya. Karena shock mendengar hal itu dari wakil ketua klub Sasgay yang kami samarkan identitasnya, ramuan tersebut terlepas dari tangannya, terlempar, dan masuk ke akuarium katak. Malangnya nasib katak-katak itu.

So, karena nilai teori nggak mungkin dimainin, nilai praktek merupakan jalur yang tepat bagi guru-guru yang sensi untuk balas dendam sama murid-murid tertentu.

Dan Orochimaru-sensei adalah guru tersensi di sekolah ini.

Hinata masih terus mengecek hasil kerjanya tanpa mengetahui motif terselubung dari guru berkulit pucat itu.

.

.

.

Padahal pelajarannya ngebosenin begini, kok dia bisa seneng begitu, ya?

TenTen melihat Neji yang sedang bersenandung ria, walau hampir nggak kedengeran. Cewe bercepol dua ini penasaran banget ngeliat temennya itu mood-nya happy. Jarang loh Neji happy.

Dan waktu TenTen bilang jarang berarti hampir tidak pernah.

"Kenapa sih daritadi senyum-senyum terus?" Neji menengok ke belakang, terus balik lagi tanpa ngejawab pertanyaan TenTen. Menurutnya, hal baik lebih bagus disimpan sendiri.

TenTen langsung mengerutkan alisnya. Nih orang… ditanya baik-baik juga, malah nyuekin. Tapi mood Neji bener-bener beda sama Hinata. Inget Hinata, TenTen jadi pengen ketawa. Apa reaksi Neji kalo denger Hinata mau jadi bhiksuni ya? Apa dia masih bisa senyum-senyum begitu? Dia ngelarang atau malah ikut jadi biksu ya? TenTen cekikikan sendiri pas ngebayangin Neji jadi biksu. Botak, gundul, mulus. Tanpa rambut sedikitpun.

Tapi sayang juga rambutnya. Rambut Neji 'kan High Quality. Kalo misal tuh rambut dijadiin wig, TenTen mau beli. Lumayan buat kenang-kenangan.

"Hyuuga, coba kamu kerjakan soal di depan." Neji berdiri tanpa ragu dan mengambil kapur putih dengan mantap. Suara ketukan kapur dengan papan tulis terdengar jelas di ruangan kelas itu.

TenTen memandang Neji dengan bosan. Kalo Neji yang dipilih ke depan, kapurnya pasti langsung habis. Buat ngerjain satu soal aja dia butuh lebih dari setengah papan tulis. Rumus yang nggak perlu juga disambung-sambungin. Soal yang harusnya sederhana jadi dibikin ribet.

Perhatian TenTen teralih ke laci meja Neji. Rasa penasaran mulai menjalar ketika melihat sesuatu menyembul di antara buku-buku. Melirik Neji, ternyata cowo itu masih jauh dari kata 'selesai'. Dengan sigap, TenTen menyambar benda itu. Sebuah foto.

Perutnya kembali terasa geli. Jangan-jangan ini yang bikin cowo-tanpa-humor-dan-perusak-kesenangan-orang-lain itu senyum-senyum sendiri. Seumur-umur kenalan sama Neji, TenTen nggak tahu kalo dia itu lolicon.

Kapur diletakkan dan TenTen cepat-cepat menyembunyikan foto itu di lacinya. Sudah terlambat kalau ingin menaruhnya di tempat asal. "Hai Neji, seperti biasa jawabanmu panjang sekali." Neji hanya diam dan kembali duduk di tempatnya.

TenTen memajukan bibirnya. Dasar stoic. Nggak ada ramah-ramahnya. TenTen memandang laci mejanya sekali lagi sebelum menyengir lebar. Dia pasti bisa melakukan sesuatu untuk cowo pembunuh kesenangan itu.

.

.

.

Jarinya terus-terusan memencet tombol pada remote TV, mengubah channel berita menjadi kuliner dan menjadi acara lawak lalu berubah lagi menjadi yang lain. Hal itu membuat Gaara sedikit terganggu.

"Kankurou-nii, kalau tidak ada acara yang ingin kau lihat, lebih baik matikan saja TV-nya." Bener, daripada ngeganggu orang, ngerusakin remote TV, habis-habisin listrik.

"Apa boleh buat 'kan. Aku sedang mencari acara yang bagus." Saat sedang berkata seperti itu, ia menghentikan kegiatan mengganti channelnya. Berhenti di acar infotainment selebritis.

"Lalu bagaimana dengan perkembangan lagu-lagu anda?" Tanya sang reporter.

"Semuanya berjalan dengan sangat baik. Setelah saya semakin mengenalnya, saya jadi bisa membuat lagu-lagu yang sesuai dengan kepribadian maupun jenis suaranya."

"Oh, aku suka dengan pasangan ini," kata Kankurou, "Album barunya yang berjudul 'Beside Happiness' laku di pasaran. Setelah menikah karir mereka makin menanjak."

Gaara berhenti berpikir dan memutuskan untuk terlibat dalam percakapan ini. "Maksudnya?"

Kankurou mengambil snacknya. "Yah, kayak yang dibilang tadi. Composer itu menikahi si penyanyi, lalu dia menciptakan banyak lagu untuk istrinya. Sekarang mereka jadi populer karena albumnya laris dijual kayak kacang goreng."

Gaara berpikir lagi. Jadi setelah menikah, karena mengenal orang itu lebih jauh, mereka bisa menghasilkan kolaborasi yang hebat? Lalu sebuah ide gila muncul di kepala Gaara.

Kankurou nggak ngerti apa-apa, tapi dia takut banget ngeliat Gaara yang ketawa ala psikopat sekarang sampai rasanya celananya basah dikit.

.

.

.

"Hatchii!" Hinata menggosok hidungnya. Tiba-tiba ia merasa dingin.

Ia kembali melanjutkan kegiatannya. Mengobok-obok tas, memberantakkan laci, mengobrak-abrik seluruh kamar.

Saat Kiba meminjam uang tadi, dia baru sadar. Waktu melihat dompet ternyata foto yang penting itu hilang. Hinata bergidik ngeri. Bisa gawat kalau sampai Sasuke tahu masalah ini. Bisa-bisa dia habis dilumat.

Seingatnya foto itu masih ada di dompet sewaktu dia sakit. Setelah itu dia nggak merhatiin lagi. Hilang? Masa' sih. Mungkin jatuh di suatu tempat. Kemungkinan terjelek, salah satu dari fansgirl-nya Sasuke nemu dan tahu kalau itu foto Sasuke. Terus foto itu disebar ke internet. Terus Sasuke nemu. Terus Kak Itachi kasih tau kalo foto itu udah diserahin ke Hinata. Terus, terus, terus… GYAAA!

Sementara Hinata sedang menarik-narik rambutnya sendiri, di sudut lain rumah keluarga Hyuuga itu ada juga yang sedang mencari barang sambil mengacak-acak kamar.

Ruangan pribadi milik Hyuuga Neji yang biasanya rapi dan teratur, kini lebih mirip ruangan di apartemen milik Uchiha Brothers. Neji sendiri mencari seperti orang kesetanan.

Dia yakin banget sampai tadi foto itu masih ada di bukunya. Dia sengaja menyelipkan di buku agar tidak ketahuan. Kalo di dompet 'kan resikonya lebih besar, walaupun nggak ada yang berani nyentuh barang milik Neji. Skenario teburuk adalah seandainya Hinata nemu foto itu. Nggak, kalo Hinata sih masih mending. Dia pasti cuma ngambil balik tanpa mengatakan apapun pada Neji. Hinata juga nggak akan nyangka yang macem-macem. Yang jadi masalah tuh…

Hanabi.

Di keluarga ini, meski dia yang paling muda, tapi dia yang paling licik. Si setan ular mata duitan itu pasti meres Neji abis-abisan kalo nggak mau rahasia itu dipublikasikan. Mulai dari ngambilin jemuran sampe benerin keran bocor. Atau disuruh bawa tas-tas belanjaannya yang bisa dijadiin pengganti barbel buat latihan otot, yang pastinya hasil gesekan kartu kredit Neji. Bisa kering dong si Neji.

Dua Hyuuga tersebut akhirnya memberantakkan rumah itu tanpa mengetahui barang yang dicari adalah sama dan ada di rumah orang lain. Hanya seorang Hyuuga yang duduk tenang di kamarnya sambil makan keripik dan main game.

.

.

.

Sasuke mengernyitkan salah satu alisnya. Tampang Naruto yang udah kacau jadi tambah abstrak. Mirip lukisannya Picasso. "Eng…" dia bener-bener bingung harus ngomong apa. "Naruto, ya?" Pertanyaan bodoh.

"Ya iyalah! Emang siapa lagi!" Kalau dari suaranya sih emang Naruto.

"Wajahmu…"

"Jatoh dari tangga, nabrak tiang, dicakar kucing."

Sasuke antara percaya nggak percaya. Dia percaya kalo Naruto bisa aja ketiban sial begitu. Tapi masa' dicakar kucing bisa bonyok?

Mau nggak mau Naruto harus ngobatin lukanya sendiri. Nggak bisa deh ngandelin Sasuke buat urusan rawat-merawat. Kamarnya aja nggak rapi. Tapi Naruto nggak berhak ngomong begitu. Kamarnya 'kan diberesin sama ibunya.

Pokoknya Naruto nggak akan bilang sama siapa-siapa kalau luka-lukanya ini perbuatan 2 orang cewe. Meskipun cewe-cewe itu beringas.

Menghela napas, Naruto memutuskan untuk berpikir, meskipun ia tidak bisa berpikir lama-lama. Karena kejadian ini, ia teringat lagi dengan pengakuan Hinata. Kalo inget Hinata, pasti udah pada tau dong siapa aja yang bikin Naruto babak belur.

Selama ini dia nggak pernah ngebayangin Hinata suka sama dia. Secara, dia cuma Uzumaki Naruto, si pembuat onar. Sedangkan Hinata dikelilingi banyak orang yang sayang sama dia. Mungkin karena itu jugalah mukanya sekarang bonyok-bonyok. Kemarin-kemarin dia juga sempat dipukul Kiba dengan alasan yang kurang jelas. Sekarang dia tahu kenapa Kiba memintanya merahasiakan hubungannya dengan Sakura.

Sama seperti perasaan Kiba ke Hinata, Naruto juga sayang sama Hinata. Cuma perasaannya nggak bisa kayak apa yang Hinata rasain ke dia. Dan… kamu tahu?

Naruto sedikit blushing.

Setiap orang… pasti senang mengetahui ada orang lain yang menyukainya.

Buak!

"Aduh, Sasuke! Ngapain sih nendang-nendang?"

"Habis wajahmu nyebelin. Ngapain senyum-senyum begitu?" Yee, sirik aja.

Naruto nggak meduliin dia, mendingan mikir lagi.

Yah, dia juga merasa bersalah karena udah bikin Hinata nangis. Padahal selama ini dia berusaha buat bikin cewe yang kayak adiknya sendiri itu senyum. Maklum, perasaan anak tunggal. Dia berharap Hinata nggak akan membenci atau menjauhi dia.

Bagaimanapun juga, Hinata akan tetap memiliki tempat spesial di hatinya yang tidak akan bisa tergantikan oleh siapapun. Dia harap Hinata akan menemukan seseorang yang lebih baik daripada cowo pirang nggak guna yang akan selalu menyayanginya ini…

Buak!

"Sasuke! Bisa nggak sih nggak pake kaki!"

… dan jangan sampai Hinata dapet yang kayak gini.

Pemikiran Naruto selesai.

"Eh Sasuke, main game yuk."

.

.

.

To Be Continued

.:29 September 2011:.

.

.

.

.

.

A/N- Karena tidak mungkin direstui Neji dan demi untuk mengabulkan doa Naruto, maka pair dalam cerita ini akan diganti. Sekian dan terima kasih *digeplak semua readers*

Saya baru bikin account facebook *pamer* Boleh temenan nggak? Namanya tetep sama, Naru Narurin, hahaha…

Gyaa! Stok ceritanya udah mau habis, gimana nih! Gyaa!