A/N: okay, di sini mungkin ada beberapa karakter yang OOC, n ingetin kalau ada typo(s) ya,,,,

Timeline : Kurang lebih satu tahun setelah BD. ^^

Disclaimer : Semua karakter dan lain lain yang ada di sini, milik Stephenie Meyer. Story line? Mine, hhahay

Bella POV

Setelah sekian lama hidup penuh dengan rintangan dan segala kesusahan, akhirnya aku bisa merasakan indahnya suatu kedamaian. Namun pagi ini, aku kembali khawatir. Jika saja aku masih manusia, pasti Edward akan tuli karena mendengar kerasnya jantungku berdetak, tapi syukurlah, itu tidak akan terjadi karena aku tidak lagi menjadi manusia. Namun, sesuatu yang kuinginkan sejak dulu agar aku bisa sepadan dengan Edward. Makhluk immortal.

Tangan kiri Edward memelukku dengan protektif, sementara tangan kanannya sibuk membelai rambutku dengan belaian yang sangat lembut dan sedikit menenangkan. Sedikit, karena kekhawatiran itu masih ada. Bagaimana jika aku tidak bisa menahan diri lalu memangsa manusia-manusia yang ada di sana? Bagaimana jika aku tidak bisa berakting dengan baik sehingga membocorkan rahasia keluargaku yang tak lain adalah vampire? Apa reaksi orang-orang nanti tentang penampilan keluargaku yang tentu saja, terlihat aneh?

"Hentikan Bella, kau tak perlu khawatir, kami percaya padamu." Kata Edward tegas namun dengan tatapan yang lembut dan khawatir. Aku mendongak menatap matanya yang bewarna kuning keemasaan dengan sedikit nuansa hitam. Terkadang aku merasa dia bisa membaca pikiranku dengan baik seperti pikiran orang lain.. Dia lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Salah satu alasan mengapa aku mencintainya.

"Tapi Edward, bagaimana jika aku gagal nanti? Membunuh orang-orang yang tak bersalah dan membocorkan rahasia kita?" tanyaku panik.

Edward semakin mempererat pelukannya. "Sssshhh... tenang, Sweetheart, kami akan selalu ada di sampingmu. Kau harus ingat itu. Kami takkan membiarkanmu melakukan hal yang akan kau sesali nanti. Alice pasti akan tahu dan memperingatkan kita jika akan terjadi sesuatu. Lagipula, kau yang menginginkan hal ini bukan? Apa kau ingin mundur sekarang?" nada suara Edward serius, tapi mata topaznya berkata lain, penuh canda.

Benar sekali. Akulah yang menginginkan untuk mencoba kuliah. Apa kata Emmett nanti jika aku mundur sekarang. Dia pasti akan terus menghinaku selama satu abad yang akan datang.

"Tidak, tidak," jawabku mengenai pertanyaan Edward tadi. "Bagaimana dengan Renesmee?"

"Kita sudah membicarakan hal ini Bella. Esme akan menemaninya." Jawab Edward. Lalu sambil menggenggam tanganku, dia berbisik pelan. "Apa kau tak mempercayaiku?"

"Pertanyaan bodoh macam apa itu? Tentu saja aku percaya padamu. Aku mempercayaimu dengan seluruh hidupku. Aku hanya khwatir. Renesmee masih terlalu kecil. Aku tak tahu apakah aku bisa meninggalkannya walau hanya untuk sebentar."

Kami mendengar dengkuran halus Renesmee dari kamar sebelah yang membuat poinku lebih jelas. Dia baru berusia 1 tahun lebih beberapa minggu, namun tubuhnya memperlihatkan bahwa dia telah berusia 8 tahun. Kecantikannya semakin menonjol dengan bertambahnya waktu. Aku sangat bahagia memilikinya sebagai anak. Anakku. Anak kami. Our little Princess.

Edward sungguh suami yang luar biasa. Aku tahu dia mencintaiku dan Renesmee dengan sepenuh hati karena aku juga merasakan hal yang sama kepadanya. Dia juga mencintai dan peduli dengan keluarganya. Itulah mengapa kami memutuskan untuk berkumpul di rumah utama keluarga Cullen pada hari pertama kuliah.

Kuliah.

Aku masih tak habis pikir bagaimana aku menerima tantangan Emmett semudah itu tanpa berpikir panjang. Sedetik setelah kata-kata 'Ya' keluar dari mulutku, dia langsung mengirimkan aplikasiku ke Dartmouth. Sebelumnya kami sudah pernah diterima di universitas itu, tapi menundanya dahulu karena saat itu ada masalah yang lebih penting ketimbang kuliah. Sehingga saat Emmett mengirimkan aplikasinya kembali, keesokan paginya kami telah menerima surat balasan yang tentu saja, kami di terima. Itu yang akan kau dapatkan jika kau seorang Cullen.

Dan beberapa hari setelahnya, kami telah pindah ke New Hampshire. Esme sungguh luar biasa. Dia dengan mudah membuat kembali rumah keluarga Cullen persis seperti yang ada di Forks. Selain itu dia juga membuat pondok kami beberapa kilometer dari rumah utama. Walaupun pondoknya hampir sama, namun, tetap pondok kami yang di Forks yang selalu di hati kami. Banyak sekali kenangan yang tersimpan di tempat itu.

"Hmm…. Kau mau aku mengalihkan perhatianmu?" tanya Edward sambil menaikkan alis dan tersenyum penuh konspirasi. Tangan kanannya berpindah kepinggangku, memelukku. Bibirnya menelusuri rahangku dengan halus. Napasku mulai tak beraturan. Tanganku mencengkeram lehernya dan kugerakkan kepalaku sedikit untuk memberinya akses lebih mudah keleher ku.

Saat tangannya mulai bergerak naik, aku mulai teringat bahwa kami berada di rumah utama, bukan di pondok kecil kami. "Edward!" sergahku berbisik-berteriak sambil menghentikan lengannya. "Hmm?" desah Edward polos.

"Hentikan sekarang!"

"Kenapa?" terkadang aku meragukan bahwa Edward adalah pembaca pikiran. Saat-saat seperti inilah contohnya. Tak bisakah dia membaca pikiran keluarganya yang berada di rumah ini?

"Kita ada di rumah utama."

"Lalu?" Edward masih meneruskan apa yang di istilahkannya sebagai 'pengalih perhatian'. Sangat sulit untuk menghentikannya. Tapi aku harus, sebelum Emmett mendapat kepuasaan untuk mempermalukanku. Belum sempat aku menjawab, Edward tiba-tiba menghentikan 'pengalih perhatiannya'nya. "Ok ok, aku berhenti. Kau puas Alice?" kata Edward dengan jengkel.

"Alice?" tanyaku.

"Dia mengancamku akan menculikmu lagi selama dua minggu jika kau tidak turun sekarang." Jawab Edward pahit. Aku tersenyum mengenang itu. "Well, kalau begitu kau harus menjadi anak baik jika tak ingin kejadian itu terulang kembali ok." Godaku sambil melepaskan diri dari tangannya.

Edward tak bergerak sedikitpun. "Mau kemana Mrs. Cullen?" tanyanya sambil tersenyum angkuh. Ok, dua orang bisa memainkan game ini.

"Well well...jika kau memang ingin tahu Sir, aku berencana untuk mencari laki-laki muda yang tampan dan kaya. Yang pastinya banyak sekali berada di Dartmouth." Edward menggeram mendengar perkataanku. Membuatku tergelak.

"Edward! Peringatan yang terakhir! Jika kau tidak melepaskan Bella sekarang maka-"

"Ok Alice, aku turun! Aku turun!" setelah mencium Edward sekilas yang cemberut seperti anak kecil, aku segera turun untuk menghadapi siksaanku.

Alice.

Satu jam sudah aku mengalami siksaan di kamar Alice, akhirnya dia dan Rosalie selesai mendandaniku.

"Selesai!" kata Alice gembira sambil bertepuk tangan seperti anak kecil. "Sekarang ganti bajumu dengan apa yang aku siapkan di kamar mandi!" Alice nyengir melihat ekspresiku yang jengkel.

"Alice! Aku takkan memakai pakaian ini!" teriakku panik dari dalam kamar mandi. Yang kulihat di hadapanku sungguh mengerikan. Blouse coklat tanpa lengan yang terlihat seperti dress, dengan v-neck yang memperlihatkan belahan dada. Blouse-nya jatuh tepat di bawah pinggang serta dengan bawahan legging hitam.

Alice. Sudah. Gila. Aku takkan memakai legging.

Tiba-tiba pixie itu masuk ke dalam. Lalu menatapku dengan pandangan memohon. Bibirnya bergetar seperti menahan tangis. Aku bermain-main dengan tali jubah mandiku dengan rasa bersalah. "Please Bella? Kau adalah saudara perempuanku yang terbaik. Please?"

"Tapi Alice-"

"Kau takkan merusak first impression kita yang sudah kurencanakan kan Bella? Please..." wajahnya sungguh menggetarkan.

"Baiklah, aku akan memakainya." Tubuh mungil Alice menerjangku, memelukku dengan sangat erat sambil berteriak senang. "Tapi... takkan ada Shopping trip selama dua bulan."

"Dua minggu."

"Satu bulan setengah."

"18 hari?"

"Satu bulan, terima itu atau aku takkan memakainya." ancamku.

"Fine!" jawab Alice dengan sedikit jengkel sambil keluar dari kamar mandi.

Aku segera memakainya. Tak sanggup membayangkan reaksi dari remaja-remaja hormonal di Dartmouth nanti.

Edward POV

Beberapa saat setelah Bella meninggalkan kamar, aku segera turun menghampiri Emmett untuk berburu sebentar. Dengan semangat Emmett menerima ajakanku. Puas berburu singa gunung, kami segera pulang kembali. Aku langsung ke kamarku untuk berganti pakaian lalu kembali ke bawah. Reneesme masih terlelap di kamarnya. Esme sengaja membuatkannya kamar di rumah ini. Dia sangat senang bisa merancang sesuatu. Membuat Alice dan Rosalie kelewat senang saat berbelanja barang-barang untuk kamar keponakan mereka.

Kuputuskan untuk menunggu Bella di ruang keluarga. Emmett dan Jasper telah duduk di sana sambil menonton televisi. Aku duduk di tengah mereka.

"Jasper." Kataku

"Ya Edward? Ada apa?"

"Bisakah kau membuat Bella agar tidak gelisah terus menerus mengenai Dartmouth? Aku tak suka melihatnya seperti itu."

"Tentu saja man, aku telah berusaha sejak tadi malam, tapi dia terus menolak emosi yang kukirim." Jasper menjawab putus asa.

'Hah! Aku tahu Edward, kau harus memakai jurus pengalih perhatian yang kuajarkan padamu.' Timpal Emmett dalam pikirannya. Wajahnya masih menatap televisi tapi mulutnya terlihat sedikit terangkat. Hah, andai saja dia tahu bahwa itu tak berhasil. Mungkin lain kali aku akan mencobanya lagi. Pikiran itu membuatku teringat apa yang kami lakukan di pondok kami dua hari yang lalu. Hhehe

"Edward!"desis Jasper. "Bisakah kau mengontrol pikiranmu sejenak. Paling tidak jika kau di sampingku." ujarnya marah.

"Apa hubungannya pikiranku denganmu Jasper? Kau kan bukan pembaca pikiran?" godaku.

Jasper tidak membalas perkataanku. Tapi pikirannya yang membalasnya. Dia sedang memikirkan Alice dan apa yang mereka lakukan pada malam hari saat sedang liburan ke Paris. Ugh. Menjijikkan.

"Ok ok man. Cukup. Aku minta maaf, ok?"

Jasper hanya tersenyum. 'Tahu rasa kau Edward!'

"Ada apa Edward? Kenapa kau minta maaf?" suara yang begitu lembut dan terdengar seperti alunan musik itu tiba-tiba terdengar. Bella.

Seketika aku menoleh. Disanalah dia. Malaikatku.

Tersenyum dengan indahnya di dekat tangga. Wajahnya berseri-seri, pipinya terlihat merona, walaupun dia vampire. Make upnya natural dengan rambutnya mengikal di bagian bawah. Alice sungguh genius.

Pandanganku kebawah. Astaga!

Kakinya yang panjang sempurna terlihat lebih sempurna jika itu mungkin. Sisi posesif ku muncul. Dia milikku. Makhluk cantik ini milikku.

'Melihat sesuatu yang kau suka darlin'? pikirnya.

Aku bahagia sekali saat dia membuka perisainya. Aku berlari dengan cepat ke arahnya. Memeluknya lalu menciumnya dengan sepenuh hati. Bella dengan senang, menuruti kemauanku.

"Tentu saja sweetheart. Kau selalu cantik. Terlalu cantik." Bisikku.

"Ew, hentikan. Kita akan terlambat jika kalian terus saja bercumbu."

Perkataan Alice membuatku sadar bahwa kami berada di ruang tamu. Aku segera memisahkan diri dari Bella dengan setengah hati. Membuat Emmett tergelak dan Bella menyembunyikan wajahnya di dadaku.

"Kalian pergi saja dulu, kami akan menyusul. Aku ingin berbicara dengan Esme sebentar."

"Ok." jawab Alice yang langsung pergi ke garasi bersama saudaraku yang lain. Tak lama kemudian, Esme muncul. "Aku dengar kau ingin berbicara denganku Edward, ada apa?" tanyanya kalem.

Kali ini Bella yang menjawab. "Umm.. Kami hanya ingin berpamitan dan tolong jaga Renesmee dengan baik, Mom." walaupun sudah berkali-kali Bella memanggil Esme Mom, namun reaksi Esme hampir sama seperti saat Bella pertama kali memanggilnya seperti itu dulu. Terkejut, bangga dan tentu saja sangat bahagia.

"Tentu saja, Dear. Aku takkan membiarkan apapun terjadi padanya. Dalam hal ini tentu saja sesuatu yang buruk maksudku."

"Terimakasih banyak Mom," ujarku dengan sepenuh hati. "Sampaikan Renesmee bahwa kami sangat mencintainya."

Esme tergelak, " Edward, kau terdengar seperti akan berangkat perang, bukannya berangkat kuliah." Bella juga tertawa. Ugh, berani sekali mereka menertawakanku.

Tanpa banyak bicara lagi, aku menarik tangan Bella ke Volvo ku.

"Bye Mom." teriak Bella. "Doakan aku."

"Tentu." balas Esme dengan tersenyum.

Setelah duduk dengan nyaman di mobil, Bella kembali terdiam. Meskipun aku bukan Jasper, tapi aku bisa merasakan ketegangan dalam dirinya, membuatku agak gila juga sebenarnya. Aku tak suka melihat Bella seperti ini. Aku senang jika dia bahagia. Tersenyum, bercanda dan tertawa.

Tidak tertekan dan stress seperti keadaannya sekarang. Aku tahu dia berusaha menyembunyikan ketegangannya dariku. Argghh... apa yang bisa kulakukan?

Hmm... mungkin mengalihkan perhatiannya lagi? Suara di kepalaku menjawab.

Ide yang bagus. Tapi aku akan melakukannya lebih baik lagi dari semalam. Janjiku dalam hati.

"Belllaaaa..." aku mendesah putus asa. "Bisakah kau berhenti melakukan itu? Aku tak suka melihatmu seperti ini." kataku sambil menggenggam tangannya. Bella memandangku dengan ragu-ragu.

"Ayolah, aku tahu kau pasti bisa Sweetheart." aku mengelus tangannya ke pipiku sambil memandangnya dengan serius. Aku tak perlu khawatir akan terjadi kecelakaan atau sejenisnya. Refleksku sangat bagus.

Bella berpikir sebentar. Lalu tiba-tiba dia berkata, "Aku ingin kau mengalihkan perhatianku lagi Edward." sudut mulutnya sedikit terangkat. Membentuk senyuman yang sedikit nakal.

"Well, dengan senang hati, Angel." balasku nyengir. Syukurlah saat itu sedang lampu merah. Tanpa ragu-ragu, kutempelkan bibirku ke bibirnya.

***End Chapter***

Thank you for read n don't forget to review,,

Lots love for you all.,,