Disclaimer: Yoshihiro Togashi
Title: Kisah Hunter di Luar Sekolah
Chapter Fourteenth: Between Us
Warning: AU, OOC, maybe typo(s), no I won't take your money so just feel free to read!
"Tidakkah ini seperti takdir?"
Semua yang hadir di situ diam mendengarkan. Mereka tidak memberi tanggapan pada pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban tersebut, membiarkan pria itu menyelesaikan apapun yang ingin diutarakannya.
"Kita semua bertemu disini, bukan di sekolah. Padahal kita tidak janjian sama sekali." Lanjutnya sambil terkekeh.
Di antara semua yang duduk mengelilingi sebuah meja di café Hansel and Gretel, tampaknya hanya pria berambut merah itu yang terlihat senang.
"Berhubung semunya sudah disini, dan waktu sudah menunjukkan jam makan siang, bagaimana jika kita semua makan siang bersama?" tawarnya dengan tersenyum lebar.
Mereka semua menatap heran dengan ajakan tiba-tiba itu.
"Tidak perlu khawatir, aku akan membayar semuanya! Jarang-jarang loh, kita berkumpul bersama seperti ini. Fufufu."
Sebenarnya soal siapa yang membayar sama sekali bukan pertimbangan mereka. Walaupun mereka tidak setuju, mereka yakin seorang Hisoka akan mengeluarkan sejuta cara untuk membuat mereka setuju. Lagipula, ajakan itu terdengar lebih seperti perintah daripada sekedar tawaran makan siang.
Namun, tampaknya ada seorang laki-laki yang mencoba menolak.
"Kouchou-sensei, saya…"
Hisoka mengangkat telapak tangannya memberi kode untuk laki-laki itu menghentikan ucapannya. "Aku tidak menerima penolakan, kecuali kalian ada urusan sangat sangat sangat mendesak yang tidak bisa diundur." Katanya tegas tanpa kehilangan sesentipun dari senyum lebarnya.
Kurapika melirik ke sampingnya, anak berambut hitam yang baru saja ingin menyela tapi gagal itu menyadarinya dan membalas tatapan mata biru itu. Tatapan wanita berambut pirang tersebut seperti memberi kode bahwa sebaiknya turuti saja keinginan sang kepala sekolah, Kuroro akhirnya menyerah.
Sementara itu, seorang pria kece yang kegantengannya badai sekali, berpikir bahwa ide makan siang bersama itu terdengar buruk. Mengingat bahwa ketiga orang anak kembar plus satu anak perempuan yang tidak henti-hentinya menempel pada dirinya akan menjadi lebih lama jika ia ikut, ia memutar otak untuk merangkai alasan.
"Anu…"
Hisoka menoleh pada Killua.
"Saya ada urusan, jadi sepertinya tidak bisa…"
"Urusan apa itu, Killua-sensei?" tanya Hisoka sambil memandangi salah seorang guru di sekolahnya yang tengah dihimpit oleh keponakan-keponakannya dan salah seorang muridnya.
"Urusan penting…" Killua melirik pada sahabatnya. "Ya kan, Gon?"
Pria bernama Gon itu melongo. "Hah? Urusan apa?" mata cokelatnya menyiratkan kepolosan.
Killua memutar bola matanya merasa bahwa sahabatnya itu tidak membantu sama sekali. Akhirnya ia kembali menatap Hisoka.
"Ada urusan keluarga." Kata Killua. Sebuah kebohongan klise.
Hisoka memiringkan sedikit kepalanya. "Kukira seluruh keluargamu tinggal di Amerika."
"Ya…" Killua berusaha tidak menampakkan kecurigaannya pada kepala sekolah yang tahu tentang kondisi keluarganya itu. "…sebenarnya saya baru dikabari. Dan saya diminta untuk menyelesaikannya secepatnya." Lanjutnya dengan yakin seakan-akan itu adalah kenyataan. Sulit mendeteksi nada kebohongan dari caranya berbicara.
"Begitukah?" Hisoka menampakkan raut wajah kecewa.
"Sayang sekali. Gajimu kupotong, Killua-sensei."
"Apa?"
Tidak hanya Killua, semua yang berada di meja yang sama tersebut menatap sang kepala sekolah tak percaya. Apa-apaan ini tiba-tiba pemotongan gaji. Dasar gila –atau memang gila?
"Yah, pokoknya yang nggak ikut gajinya kupotong." Kemudian ia melihat kepada seorang laki-laki bermata hitam yang balas menatapnya dengan wajah datar. "Untuk siswa, kalau nggak ikut nanti didiskors." Sambungnya dengan enteng.
Kurapika, Killua, Gon, dan Leorio melongo. Kuroro tidak menunjukkan ekspresi apapun. Sementara Neon dan si kembar tiga bersikap tidak peduli asalkan mereka bisa berada dekat dengan Killua. Sedangkan Machi hanya menghela napas pelan mendengar keputusan semena-mena pria di sampingnya itu.
"Kurasa 'urusan keluarga'-mu bisa ditunda sekarang, Killua-sensei?" tanya Hisoka dengan seringai jahat. Killua membalas pelan. "Yah…"
Killua memalingkan wajahnya dengan kesal. Walaupun ketampanannya nggak hilang sedikitpun, tapi wajahnya terlihat tidak senang bahwa dirinya mau tidak mau harus ikut dengan ajakan pria yang berkedudukan sebagai kepala sekolah di tempatnya mengajar. Sebenarnya dia tidak masalah dengan pemotongan gaji, uang sama sekali bukan masalahnya baginya. Dia punya royalti yang sangat besar hasil dari penelitiannya di universitas dulu yang tersimpan dengan aman di bank. Tapi dia tidak akan mungkin membiarkan Gon dipotong gajinya.
Hal yang sama berlaku pada Kuroro. Diskors bukan masalah besar baginya, malah seneng tuh, bisa libur. Lagipula siswa itu pernah didiskors karena menghajar berandalan sekolah lain. Walaupun alasannya karena berandalan itu pernah mengganggu Kurapika dalam perjalanan wanita pirang itu kembali ke rumah, namun tetap saja sekolah mengganggap hal itu sebagai kenakalan remaja. Apalagi sekolah sama sekali tidak tahu tentang alasan sebenarnya. Sementara wanita yang menjadi alasan perkelahian itu juga tidak tahu apa-apa. Dan Kurapika kembali menjadi pertimbangan Kuroro, laki-laki itu tidak akan menginginkan gaji gurunya itu dipotong.
"Nah." Pria berambut merah itu berdiri dari kursinya. "Mari kita pindah ke restoran terenak yang ada di mall ini."
Mendapati bahwa mau tidak mau mereka harus menuruti keinginan sang kepala sekolah, para guru dan murid-muridnya ikut berdiri.
"Oh, tunggu sebentar." Hisoka tersenyum mencurigakan. "Kurasa lebih ramai akan lebih baik." Kemudian pria itu berjalan meninggalkan mereka yang berdiri diam tidak mengerti. Namun Kuroro tahu kemana arah perginya pria berambut merah itu. Ke arah meja yang ditempati adik dan sahabatnya.
Sejenak kemudian, Hisoka kembali dengan membawa tambahan dua orang yang mengikuti di belakangnya. Entah ancaman apa yang digunakan Hisoka hingga akhirnya Shizuku dan Shalnark mengikuti ajakannya.
"Oh, Shalnark dan Shizuku. Kalian disini juga?" tanya Gon dengan ceria. Kedua murid itu hanya tersenyum kecil dan menggangguk. Kurapika juga agak terkejut, namun ia membiarkan saja. Mungkin pertemuan mereka semua di café itu benar-benar sebuah takdir.
Setelah keluar dari café tersebut, mereka semua berjalan ke sebuah restoran yang dikehendaki Hisoka. Rata-rata mereka semua bersikap tidak terlalu peduli jika harus mengikuti apa yang diinginkan sang kepala sekolah saat itu. Namun ada juga yang mengutuk tidak senang. Jika ada yang paling bahagia sepertinya itu adalah Gon dan Leorio. Traktiran terdengar sangat menyenangkan di telinga mereka.
"Rezeki memang datang dari arah yang tidak disangka-sangka ya, Killua!" kata Gon dengan cerianya. Sementara pria berambut abu-abu dengan muka bete itu hanya diam. Bisuku, Bisuke, Bisuko, dan Neon masih menempel padanya, mengoceh terus-terusan dan membuat Killua risih. Pria itu bergumam pelan,
"Ini namanya penyalahgunaan wewenang."
"Penyalahgunaan wewenang! Penyalahgunaan wewenang!"
"Killua, sabarlah!"
Pria berambut putih itu menatap pada sahabatnya dengan tatapan tajam yang mampu melelehkan hati kaum hawa.
"Gon, itu namanya penyalahgunaan wewenang! PENYALAHGUNAAN WEWENANG!"
Sahabatnya, seorang pria berambut hitam tegak, hanya menggelengkan kepalanya melihat Killua terus-terusan mengedumel tentang 'penyalahgunaan wewenang'.
Mereka baru saja selesai dari makan siang bersama dadakan. Kini Gon, Killua, dan Leorio berjalan ke arah parkiran mobil tempat Porsche biru Killua berada. Untunglah si kembar sudah diajak pulang, ternyata mereka dicari-cari oleh Ayah dan Ibu mereka yang kehilangan jejak si kembar hiperaktif itu. Siapa lagi yang menghubungi kedua orang tua mereka kalau bukan sang paman. Sementara Neon juga ternyata sudah berhasil ditemukan oleh bodyguard-nya, dan dipaksa pulang karena sudah waktunya si nona Nostard untuk les biola.
"Dasar! Kepala sekolah sialan itu terus-terusan mengoceh entah apa, apalagi tatapan mencurigakannya itu. Ih! Ngeselin abis!" Killua masih menggerutu, wajah tampannya tampak cemberut. Ia masih teringat akan makan siang bersama tadi berkat ajakan atau paksaan lebih tepatnya, dari seorang kepala sekolah berambut merah kelimis disisir ke belakang bernama Hisoka. Pria aneh yang entah berasal dari planet mana di angkasa raya ini. Dia dan pemikiran sintingnya, benar-benar tidak terduga!
"Killua, kepala sekolah memang orangnya begitu. Sabar aja, ya." Sahut Leorio, namun hanya dibalas dengan tatapan tajam dari Killua. Pria itu masih dalam mood yang jelek.
"Killua, itu ada toko game! Tadi kan, kita mau beli game! Beli dulu, yuk!" kata Gon dengan penuh semangat sambil menunjuk sebuah toko game. Mata Killua langsung cerah, sepertinya semua hawa negatif dari dirinya hilang seketika, pria itu dengan penuh semangat juga mempercepat langkahnya menuju ke toko tersebut bersama Gon.
Leorio menggelengkan kepalanya. Dokter itu mungkin sudah maklum dengan sifat polos Gon yang sudah dikenalnya lebih lama, namun ternyata si guru baru ganteng itu juga punya sifat yang tampaknya klop sekali dengan Gon.
"Dasar, mereka seperti bocah berumur 12 tahun saja."
"Masih sakit, sensei?" tanya seorang lelaki berambut hitam dengan nada khawatir terdengar di suaranya.
"Hmmm... Tidak apa-apa, sungguh."
Wanita itu tersenyum kecil, mencoba meyakinkan Kuroro bahwa kakinya baik-baik saja. Tapi Kuroro bisa melihat sebaliknya betapa wanita berambut pirang keemasan itu terlihat sulit sekali berjalan. Lelaki itu mengulurkan lengannya.
"Eh?" Kurapika menoleh padanya tidak mengerti.
"Pegang tanganku, biar nggak jatuh."
Wanita itu mengerinyitkan dahinya. "Tidak perlu."
Mengabaikan penolakan Kurapika, Kuroro meraih tangan kiri wanita itu dan menyelipkannya pada lengan kanannya.
"Hei!" Protes Kurapika.
"Daripada sensei jatuh, lukanya tambah parah, nanti yang repot siapa?"
Laki-laki itu membentuk cengiran kecil di wajahnya melihat Kurapika yang terdiam tak membalas pernyataannya.
"Baiklah. Pinjam tanganmu." Ujar wanita berambut pirang itu sambil menggerakkan lengan kirinya hingga nyaman menggandeng lengan kanan Kuroro. Membiarkan tubuhnya yang kurang seimbang disokong oleh lengan kokoh itu.
Kemudian Kuroro dan Kurapika berjalan dengan bergandengan satu sama lain. Dari luar, mereka berdua terlihat seperti pasangan yang mesra. Kuroro menyukai kedekatan mereka. Meskipun tidak menyatakannya, Kurapika pun merasakan kenyaman menggandeng lengan anak muridnya itu, sesuatu yang ia tak mengerti kenapa.
Dua orang itu berjalan hingga sampai ke lobby mall. Setelah keluar dari pintu, Kuroro membantu Kurapika untuk duduk di kursi yang tersedia, dan meminta senseinya untuk duduk di sana selama ia menghampiri seorang petugas. Setelah berbicara singkat dengan seorang petugas valet, laki-laki itu menyerahkan sebuah kertas pada petugas. Kemudian petugas itu pergi. Kuroro kembali ke tempat Kurapika dan duduk di samping wanita itu.
"Tunggu sebentar, ya, sensei."
Kurapika hanya mengangguk. Kemudian wanita itu melihat dua bungkusan yang dipegang oleh Kuroro.
"Sini bukunya." Kata wanita itu.
Kuroro melirik bungkusan di tangan kirinya. "Sensei mau baca bukunya?"
"Nggak. Tapi daritadi kau membawakannya untukku. Masa mau dibawain terus."
"Oh, yaudah."
Kurapika diam. Namun Kuroro tidak memperlihatkan tanda-tanda akan mengembalikan salah satu bungkusan itu yang berisikan buku miliknya –yang dibelikan oleh Kuroro. Tangan kanan Kurapika hendak meraih bungkusan itu tetapi Kuroro dengan sigap menjauhkan bungkusan itu dari jangkauan Kurapika.
"Kuroro!"
"Sensei, kan kaki sensei lagi sakit. Jadi biar saja aku yang bawain."
"Kan yang sakit kaki, bukan tangan."
"Oh, mobilnya sudah datang."
Kurapika menghentikan protesnya ketika anak laki-laki itu sudah berdiri dan mengulurkan tangannya. "Ayo, sensei."
Akhirnya, Kurapika menyambut uluran tangan anak muridnya tanpa membantah. Kuroro tersenyum kecil melihatnya, ia suka ketika wanita berambut pirang itu berhenti bersikap keras kepala dan menurut pada keinginannya. Kurapika adalah seseorang yang mandiri, ia tahu pasti itu, dan ia suka ketika Kurapika membutuhkan dirinya. Walaupun hanya sesederhana membantunya berjalan karena kaki wanita itu terkilir. Biarlah mulai dari yang sederhana. Siapa tahu di masa depan nanti, Kurapika akan membutuhkannya sebagai… yah, kepala keluarga, barangkali?
Kuroro dan Kurapika berjalan menghampiri sebuah mobil Volvo silver. Setelah mengucapkan terima kasih dan memberi tip pada petugas valet, laki-laki itu membuka pintu untuk Kurapika dan membantu wanita itu masuk dan duduk dengan nyaman di jok mobilnya. Kemudian ia berjalan memutar dan masuk ke jok pengemudi. Lalu mobil Volvo silver tersebut bergerak maju meninggalkan mall.
"Mereka mesra, ya?"
Shalnark melihat ke arah objek sasaran yang dikomentari oleh Shizuku. Matanya menangkap dua orang yang terlihat seperti pasangan yang sedang saling bergandengan tangan. Laki-laki itu tahu, mereka adalah Danchou dan Kurapika-sensei.
"Iya, kayak orang pacaran."
"Pasti sensei termakan tipu daya kakak sampai mau gandengan gitu, memang dasar dia itu." Kata Shizuku sinis. Shalnark tertawa kecil mendengarnya.
"Tipu daya?"
"Iya, kakak itu orang paling licik sepanjang masa."
"Kok gitu?"
"Dia selalu membuat keadaan menjadi seperti apa yang dia inginkan."
Shalnark tertawa semakin keras. "Iya juga sih."
Pasangan –ralat deh, calon pasangan –tersebut tidak sadar sedang dibicarakan, mereka terus berjalan hingga hilang dari pandangan calon pasangan satu lagi. Ya ampun ini pada masih calon semua. Cepetan jadian kenapa.
"Kita mau kemana lagi, nih?" tanya pemuda berambut cokelat muda itu pada gadis di sampingnya.
"Terserah."
"Tidak terima jawaban terserah."
Shizuku menatap senpainya.
"Daritadi kalau ditanya jawabannya terserah melulu!" protes Shalnark sambil menyengir.
Gadis berkacamata itu mendengus. "Nggak tau."
"Tidak terima jawaban nggak tahu."
"Ih, jadi mau jawab apa!"
Shalnark tertawa lagi. "Serius deh, mau kemana lagi?"
Shizuku yang terlihat sebal menjawab ngasal. "Ke hatimu."
Hening.
Oh, barangkali itu jawaban paling tepat?"
"Ehmm…" Shalnark menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Di hatiku udah ada kamu, kok."
Hening lagi.
Shizuku membisu, kaget dengan apa yang barusan didengarnya, kaget dengan situasi yang mendadak jadi… agak romantis ini. Dalam kondisi biasa, percakapan mereka terdengar seperti gombalan main-main belaka, tapi melihat seperti apa kondisi hubungan mereka, percakapan itu sukses membuat cangggung. Dengan ragu gadis itu kembali melirik ke laki-laki yang berdiri di sampingnya. Pemuda itu tersenyum dan terlihat seperti malu-malu. Tanpa gadis itu sadari, kedua pipinya pun menampakkan semburat merah.
Mereka berdua terdiam seperti itu selama beberapa saat. Salah tingkah dengan apa yang harus mereka lakukan lagi. Rasa penasaran menyelimuti benak Shizuku, akhirnya gadis itu pelan-pelan bertanya.
"Ehm… maksudnya?"
Shalnark balas menatap gadis di hadapannya. Tatapan laki-laki itu dalam. Logikanya macet. Dirinya seperti dikontrol oleh perasaan yang campur aduk di hatinya. Apa harus dia bilang sekarang?
Tiba-tiba Shalnark memegang tangan Shizuku, dan menarik gadis itu sehingga tubuhnya ikut berjalan mengikutinya.
"Senpai! Mau kemana?" tanya gadis berkacamata itu kebingungan.
"Kemana, kemana, eh… kemana aja,deh! Pokoknya tempat yang rada romantis gitu!"
"Mau ngapain?"
"Mau bilang aku suka sama kamu!"
Langkah Shalnark langsung terhenti. Begitu juga dengan langkah Shizuku yang mengikutinya dari belakang. Laki-laki itu membisu. Sepertinya dia salah ngomong. Niatnya bilang nanti malah disebut sekarang.
Tapi lagi-lagi, barangkali itu omongan yang tepat.
"Yah…" Shizuku memecah keheningan. Jantungnya berdegup tak beraturan. "Kalau gitu, nanti aku juga akan bilang… sama."
Shalnark menoleh ke belakang. Kali ini mereka berdua saling bertatapan. Laki-laki itu masih dengan ekspresi terpengarah, terkejut dan nyaris tak percaya. Sementara gadis itu menatapnya dalam-dalam, kemudian ia tersenyum kecil.
Setelah sembuh dari syok singkatnya, Shalnark merasa tubuhnya terasa ringan. Seakan dia bisa melompat ke langit ketujuh. Oke, itu lebay. Pokoknya, Shalnark balas tersenyum lebar dan matanya berbinar-binar.
Saling bergenggaman tangan, calon pasangan tersebut pergi ke suatu tempat untuk menuntaskan 'pembicaraan' mereka. Oh, mungkin sekarang kata 'calon' sudah bisa dihapus?
"Ahh… masa muda memang masa paling indah."
Machi tidak bersusah payah untuk melirik sedikit pun pada pria yang berjalan di sampingnya. Paling-paling pria itu mau mengoceh tidak jelas lagi.
"Tapi tetap yang paling terindah itu saat bersamamu." Lanjut pria itu sambil merangkul wanita cantik bertubuh mungil di sampingnya.
Wanita itu menepis lengan kekar yang baru saja mendarat di bahunya. "Hentikan ocehanmu itu, Hisoka."
"Galaaaak~"
Machi hanya memutar bola matanya. Tidak berminat untuk meladeni Hisoka lebih jauh lagi. Namun pria itu masih melanjutkan pembicaraan.
"Tapi iya, kan? Lihat saja benih-benih cinta yang bertebaran di antara mereka. Walaupun ada juga yang sedikit rumit sih, tapi yah, cinta bisa mengalahkan apapun termasuk perbedaan umur dan pandangan masyarakat."
Machi diam mendengarkan kata-kata Hisoka. Walaupun tidak menanggapi, wanita itu paham apa yang dan siapa yang dimaksud oleh Hisoka. Dirinya termasuk yang mengamati kondisi di sekolah, meskipun dia tidak mencampuri sama sekali urusan apapun yang terjadi selama tidak menyangkut dirinya.
"Lebih penting dari itu, bagaimana dengan cinta kita, hm?"
Hisoka kembali berupaya untuk merangkul Machi, namun segera ditepis lagi oleh wanita itu.
"Cinta apaan." Sahut Machi dengan sinis.
Pria itu menyentuh dadanya, bertingkah seakan jantungnya ditusuk panah. "Ugh, dingin sekali. Ice woman!"
"Berhentilah membuat istilah yang aneh-aneh, Hisoka." Balas Machi sambil mendengus.
"Ya sudahlah, ayo kita ke rumahmu saja biar nyaman. Kita harus segera menuntaskan permasalahan kapan tanggal pernikahan kita."
Kali ini wanita itu menatap pria yang baru saja mengucapkan kata-kata yang mengagetkan dirinya. "Tanggal apaan? Menuntaskan apaan? Mulai berdiskusi saja belum!"
"Oh, begitu? Masa?"
"Lagian, siapa yang mau nikah sama kamu!" protes Machi.
"Kamu." Jawab Hisoka dengan (pura-pura) polos.
Kemudian sepanjang perjalanan mereka hingga ke rumah Machi, wanita itu terserang sakit kepala karena seorang pria yang tiba-tiba saja merecokinya dengan segala hal mengenai pernikahan. Padahal seingat dirinya mereka belum berencana untuk menikah. Ini tiba-tiba sudah menentukan tanggal pernikahan, ditambah beberapa pilihan gedung untuk disewa dan wedding organizer. Pasti keputusan seenak jidat pria itu lagi. Benar-benar kebiasaan buruk.
XxX
A/N
balesan review tercintaaaaahh /pelukcium here you go!
Arillia Ryodan : iya mereka berpisah sejenak dan kembali bersama~ ah, jodoh emang ga kemana :') /plak hohoho. arigatooo!
devi no kaze : arigato gozaimasuuuu :D
Kei Tsukiyomi : tuh tuh mereka mesra2an lagi disini :3 hehehe arigato!
XanDC09 : cemburu kooook cuma ga ngaku aja :p arigatoooo~
bellissima-kirei : di hatimuuuw /plak. iya iya itu ada moment lagi mereka :D arigatoo!
Kujo Kasuza : iya rusuh ribut ancur pecahin saja piringnya biar ramai deh pokoknya! XD arigato!
Akhirnyaaaaa chapter 14 selesai! Kayaknya uda mau ending nih, sebenernya chapter ini bisa aja jadi chapter terakhir tapi gasuka ama angkanya O.o /gubrak
Jadi kayaknya tamat di chapter 15 ajadeh~ tapi ini juga masih bingung endingnya mau gimana ahahaha
so how? tell me what you think! Any review for me? :3