Maaf…

Kalo F Project masih lama update….

" LIFE'S STORY "

Chapter 1,

~ THE EPILOGUE... ~
~ AND THAN... ~

Sakit,
Aku berjalan pelan.

Putus asa...

Perih….

Merasakan pahit yang paling pahit...

Pedih dari kepedihan apapun...

Kehilangan semuanya... Ya, kehilangan semuanya.

Musnah.

Karena kegagalanku.

"Kenapa...? Kenapa aku selalu gagal... ...Hah...!" teriakku kesetanan.

Ku genggam erat dada kiriku. Meremasnya, dengan tangan kananku.

Tapi percuma! Rasa sakit ini tak dapat di pegang!

Ataupun dilihat! Hanya dapat ku rasakan...

Ku berjalan, menuju tepi atap gedung ini.

Ku genggam erat, sisi atas pembatas atap
gedung ini. Melihat ke bawah, jaraknya sekitar 50 meteran dari tanah.

Aku berfikir, 'Jika aku loncat dari sini, maka semuanya akan berakhir...'

Tapi niat itu ku urungkan.

Ku sandarkan punggungku di pembatas itu. Perlahan tapi pasti, mengubah posisiku menjadi duduk di lantai.

Lalu ku lipat kedua lututku, dan menenggelamkan kepalaku di dalamnya. Hanya kedua tanganku yang menutupinya.

Aku bingung.

Frustasi.

Putus asa.

Dan ku ambil sebuah pisau lipat dengan tangan kananku dari saku celanaku.

Yang ku beli tadi.

Untuk mengakhiri penderitaanku.

Ku angkat kedua tanganku tinggi-tinggi, yang salah satunya memegang pisau itu.

Aku tak melihat kedua tanganku, agar aku tak ragu lagi melakukan ini.

Dengan menundukkan kepalaku.

Dengan mantab. Ku arahkan pisau itu ke arah nadi tangan kiriku.

Berniat memotongnya.

...

Crash!

...

...

Tes... Tes...

Tes. Tes. Tes...

...Terlihat olehku, darah menetes dan jatuh ke lantai. Tapi, tetap saja aku tak ingin melihat ke atas.

Tapi.

...?

...Mengapa tak ada rasa sakit sedikitpun? Di tangan kiriku?

Malah, terasa ada sesuatu yang hangat di pergelangan tangan kiriku.

Ku putuskan untuk menggoreskan pisau itu lebih dalam lagi.

Crash!

"Ukh!"

"...!"

Aku terkejut! Terdengar suara rintih kesakitan dari depanku.

Ku angkat kepalaku dengan cepat, dan terlihat.

Dalam pandanganku...

Seorang perempuan yang sepertinya ku kenal, dan menggenggam pergelangan tangan kiriku.

Melindunginya. Dari hujaman pisau tadi.

Punggung tangannya, darah mengucur deras dari sana. Terdapat dua luka goresan yang lumayan dalam.

Aku menatap lekat wajahnya.

Cantik. Teramat sangat cantik. Yang, sedikit meringis.

Menahan sakit.

Kemudian aku tatap tajam wajahnya itu.

Benci! Aku benci pada semuanya!

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku datar. Tak ada rasa bersalah apapun dari diriku pada tangannya yang terluka olehku itu.

Itu bukan salahku.

...Tapi, dia malah tersenyum padaku?

Tersenyum manis.

Mataku terbelalak.

"Ap-?" kataku belum selesai. Karena ia langsung menarik tanganku, sebelum aku menyelesaikan kata-kataku.

Membuat posisiku menjadi berdiri, dan berhadapan dengannya.

One to One.

...Aku marah! Emosi! 'Mau apa perempuan ini!' teriakku dalam hati.

"Ap-!" lagi. Dia menarikku menuju dirinya.

Mendekatkan wajahnya dengan wajahku, dan mencium bibirku.

Melumatnya. Lembut.

Aku tercekat. Mendapati bibirku dikunci olehnya.

Dan aku tak mampu memungkiri bahwa ini ciuman pertamaku.

Walau aku terkenal keep calm and stay cool.

Aku tak bisa memungkiri ini yang pertama bagiku.

Dia menikmati ciuman ini, "Mmphh..." Desahnya.

Aku ingin lepas! Lepas dari ini!

Tapi percuma!

Tubuhku berhianat! 'What the h***!'

Bukannya mencoba lepas darinya, malah tubuhku semakin merapat dengannya. Tanganku pun memeluk pinggulnya.

Erat.

Dia merespon. Dengan mengalungkan tangan kirinya yang tak terluka ke leherku.

Semakin dalam. Semakin dalam ia menciumku, sehingga aku terpaksa membuka mulutku.

Dan benar saja, ia langsung memasukinya.

Menjelajahinya, hingga tak ada ruang dalam mulutku yang tak tersentuh oleh lidahnya.

Membuat aku merasakan lidahnya.
'Hangat... Dan... ...Manis?'

Dan aku merasakan 'sesuatu itu', tapi tak mengerti apa 'itu'.

Rasanya akan keluar air bening dari ke dua mataku?

Setelah beberapa menit kami berciuman, dia melepasnya. Mencari oksigen, untuk kebutuhan jantung kami.

Ini kesempatan bagiku, kemudian.

Dengan kasar aku melepas pelukannya padaku.

"Ini pertama kalinya bagiku..." katanya kemudian.

Tapi aku tak peduli!

Dia lalu bertanya, "Bagaimana rasanya?"

Tidak!

Aku tak akan menjawabnya!

Rasanya sangat tak dapat di definisikan dengan ideologi manapun!

Mengingatkanku pada 'perempuan itu'!

Rasanya begitu... Begitu... "Hangat?"

"...!"

Apa?

Aku tercekat! Tanpa sadar aku mengucapkannya.

"...Itulah hidup..." Sambungnya.

"Aku tak percaya! Hidup itu!" bantahku. Membentaknya, tak percaya pada kata-kataku tadi.

Dia menghela nafas, "...Bukankah hidup itu lebih hangat dari kematian? ...Sai-san…?" tanyanya padaku.

Dan kembali. Aku tercekat mendengarnya.

Sebelum semua ini gagal, aku memutar tubuhku.

Memunggunginya.

Walau sempat ragu mendapati punggung tangan kanannya yang terluka, dan darah yang mengucur deras dari sana.

Tapi aku tak peduli!

Salahnya sendiri menghalangiku!

Ku panjat dinding pembatas ini.

"Jangan mendekat!"ancamku datar. Tajam. Karena mendapati suara langkah yang terus mendekat padaku.

Terdengar ia menghentikan langkahnya.

Aku menengadahkan wajahku ke langit. Memandang awan. "Dulu aku pernah bertanya pada beberapa orang. "Untuk apa aku hidup?". Tapi tak ada jawaban yang pasti..."

Wuuss...

Angin bertiup. Makin kencang, hingga ada beberapa helai rambutku mengikutinya.

Daun, terbang melewati pandanganku. Padahal, ini gedung tertinggi. Mengapa ada daun di sini?

"..." Dia diam.

"Dan... Aku mendapat jawabannya sendiri. Tanpa bantuan siapapun." Ku tutup ke dua mataku, "Seseorang hidup untuk melaksanakan tugasnya, dan akan mati jika tugasnya selesai..." Lanjutku kemudian.

"Sai..." Desahnya.

Aku merasa, ada sesuatu yang mengalir dari ke dua mataku.

Untuk yang terakhir kalinya, ku alihkan wajahku ke pandangannya. Dan tersenyum untuknya. Karena, aku berniat mengakhiri semua ini dengan meloncat dari sini. "Tugasku sudah selesai..." Senyumku makin mengembang, "Kegagalan itu... Untuk yang terakhir kalinya..." Ku buka mataku, menatap wajah cantiknya. "…Ino… Yamanaka Ino… "

Aku dalam niat untuk meloncat. Dan...

Hup!

...

...

...?

...Dia... Menggagalkannya lagi. Dengan menggenggam erat tangan kiriku. Dengan tangan kanannya.

Yang terluka...

Olehku.

"Tugasmu belum selesai..." Katanya lembut. "Seseorang sedang menanti kepulanganmu..." Lanjutnya.

Tapi itu semua terdengar bagai hinaan, cemooh, celaan, dan sebagainya olehku.

Ku putar tubuhku, turun dari dinding. Dan menatapnya.

One to One.

Again.

"...Menungguku? Hh?" aku tersenyum sinis. "Yang benar saja... Orang tuaku? Mereka sudah tak peduli padaku. Mereka hanya mementingkan ego mereka. Teman? Sahabat? ...Aku sudah tak percaya lagi hal seperti itu... Karena mereka semua sudah membuangku... Hh?" lagi. Aku tersenyum sinis. Mirip Yagami Light dalam "Death Note", untuk mengejeknya. "Siapa yang menungguku! Hah!" tanyaku kasar.

"...Aku." Jawabnya singkat.

Aku tercekat. Lagi.

"Kau tadi bilang, 'Hangat' 'kan...? Jika kau kedinginan karena semua itu. Maka aku bersedia memberimu kehangatan itu..." Tawarnya padaku.

"...Aku tak percaya! Tak pernah! Pada siapapun! Termasuk kau! Kau dan aku berbeda! Kau belum mengenalku! Begitupun sebaliknya! ...Orang yang ku kenal saja sering menyakiti dan melupakanku...!" dan aku teringat temanku. Orang tuaku. Keluargaku.

Aku sering mengingat mereka, tapi mereka tak mau peduli. Karena aku selalu gagal. Kesempurnaanku secara fisik, juga membuatku dilupakan oleh mereka. Ya, mereka iri. Iri padaku.

"Apalagi kau!" lanjutku. Menunjuknya, dengan telunjuk tanganku.

Tanpa sadar, pisau yang kugenggam tadi terjatuh.

Ia tetap tersenyum, "Jika kau belum mengenalku, maka biarkan aku mengenalmu. Karena aku sangat mengenalmu, hingga menginginkanmu. Aku selalu menangis dan menyerah saat aku gagal, tapi kau menyadarkanku. Bahagia dan tersenyum saat melihatmu... Sejak pertama kali..." Dia mengangkat tangan kirinya, dan mengalungkannya di leherku, "Jika kau perlu kehangatan... ...Kehidupan... Keberhasilan... Maka. Biarkan aku memberikan semuanya untukmu..."

Cukup sudah!

Kesabaranku habis!

Benci! Aku marah padanya! Dan ingin membunuhnya. Bersama denganku, menggunakan pisau tadi.

Tapi aku baru sadar, bahwa pisau itu sudah jatuh dari tadi.

Dan lagi-lagi... Tubuhku menolak!

Aku malah memeluknya, dan langsung melumat bibirnya.

Dengan kasar.

Ia pun membalas pelukanku. Erat.

Ia juga membuka mulutnya. Hingga tak ku sia-siakan kesempatan ini. Ku jelajahi semua yang ada di dalamnya.

Ya, semuanya!

Hingga aku dapat merasakan lidahnya.

'...Manis..?'

'Manis...'

'Manis...'

'...Aku... Menangis...?'

Bukan.

Bukan aku. Tapi dia juga.

Kami menangis.

Aku tak mengerti lagi sekarang...

'Mengapa... Mengapa sekarang aku ingin hidup... Hah...!' teriakku dalam hati.

Dan menyadari, air mata kami makin mengalir deras.

Hingga mengalir sampai ke mulut kami.

Dan aku dapat merasakan, rasa air matanya.

...

Asin.

Tanpa sadar, aku melepas semua ini dengan kasar. Aku kemudian bertanya, "Kenapa...? Kenapa sekarang aku ingin hidup...?"

Ia mengangkat tangan kanannya yang terluka. Olehku. Dan menjilat darahnya itu, "Karena kau menginginkan kehangatan..." Jawabnya.

Lagi.

Untuk kesekian kalinya ia membuatku tercekat.

"Kau belum gagal untuk semuanya... Justru kegagalan adalah jalanmu untuk maju. Orang-orang menganggapmu bodoh, lemah, dan sampah. Tapi bagiku kau satu dari milyaran bintang yang paling terang..." Ia tersenyum lagi, dan menggenggam erat ke dua tanganku. "Kau pernah bilang, kalau hidup ini memang tak adil. Tapi, justru karena itu kita ada. Untuk menjaga kesetimbangan dan kestabilitasan dunia ini. Itulah kompensasinya... Jika di dunia ini semua orang berhasil, maka dunia ini akan hancur. Asumsi berdasarkan ideologi mereka sendiri... Kau tahu apa selanjutnya, dari perkataanmu dulu menurut versiku Daisuke-san?" tanyanya. Dan menengadahkan wajahnya ke langit.

"Apa..." Tanyaku lembut.

Entah kenapa, semua emosi, dan kemarahan, serta rasa benciku menghilang.

Sekarang, aku hanya ingin hidup.

"Manusia itu bagai awan... Tak sama jalan yang ditempuh tiap hari..." Lanjutnya lagi.

Aku tersenyum memdengarnya.

Semua redup. Redup sudah kebencianku. Musnah sudah putus asaku.

Aku hanya ingin hidup. Lebih lama lagi.

Dan seperti mengerti apa yang ia pikirkan, aku sudah tahu apa yang akan ia sampaikan.

"Semua tak akan pernah sama. Kemarin, sekarang, esok, lusa, nanti... Tak dapat diukur dengan persepsi maupun asumsi kita sendiri... Jika sekarang kita gagal, yakin nanti akan berhasil. Jika kau putuskan (hidupmu) sekarang, kau tak kan tahu, dan tak akan pernah tahu kesempatanmu. Hidup cuma sekali, hanya ada satu pilihan jika kau ingin semua segera berakhir. Maka, jangan pernah kau bunuh dirimu sendiri, dan jangan pernah berfikir untuk itu sekarang. Biarkan waktu yang membunuhnya... Jangan pernah melupakan seseorang, jika kau tak ingin dilupakan orang lain. Jangan pernah membunuh dirimu, jika kau tak ingin orang lain mati olehmu. Semua orang hidup dan dilahirkan mempunyai pasangan masing-masing. Maka, jangan pernah berfikir kau sendirian. Jika kau mati sekarang, bagaimana dengan pasanganmu itu? Jodohmu itu? Takdirmu itu? Akankah ia harus sendirian di dunia ini? Tanpamu... Hidup..." Ucap kami berdua. Bersamaan.

Dan, kami pun menutup mata kami. Seolah 'Menutup lembar lama. Menyimpannya. Dan memulai lembaran baru', dengan membukanya perlahan. "Hidup di dunia ini, dan menjalaninya. Jika kau ingin melupakan sesuatu itu, jangan pernah berfikir kau mampu untuk melakukannya. Percuma. Maka, simpanlah sesuatu itu. Melupakannya, hanya akan membuatmu tersesat dan jatuh semakin dalam ke ideologi maupun persepsimu itu. Dan itu, adalah hal yang paling menyakitkan. Semua orang hidup di dunia ini memiliki tugas masing-masing... Manusia yang tak pernah berjuang melaksanakannya, adalah sangat hina. Dan, mereka semua akan mati jika tugasnya sudah selesai... Jika kau ingin tahu tugasmu... Maka..." lagi. Kami mengucapkannya secara bersamaan.

"...Jalanilah hidupmu... Dan jangan pernah mengakhirinya sendiri..." Lanjut kami lagi.

Cup!

Ia lalu mengecupku singkat.

Walau begitu, aku masih dapat merasakan kehangatannya...

"Ayo..." ajaknya. Menarik tangan kiriku.

Aku lalu mengikutinya.

Kemanapun ia menuntunku.

'Sekarang aku tahu... Arti 'HIDUP' itu... Terimakasih...' Batinku.

Pandanganku mendapati tangan kanannya yang menggandengku. Terluka. Olehku.

"Lukamu..."

"Oh!" kejutnya. "Ini cuma luka kecil. Kau mengkhawatikanku yah? Daisuke-san?" godanya.

Aku jadi salah tingkah. Tapi, kepribadianku yang tenang sudah kembali. Dan aku berhasil menyembunyikannya, dengan menggaruk pipi kananku, dengan telunjuk tangan kananku. "Tidak..." jawabku datar.

Padahal, di dalam hati aku sangat mengkhawatirkannya.

"Hihihi..." Tawanya.

Dan, tubuh kami pun menghilang.

Di telan pintu.

Hanya angin yang tahu...

TO BE CONTINUE...

Minta REVIEW Dong~….