Summary (silahkan baca kalau berkenan. Bila tidak, yasut.) :

Naruto mengidap penyakit yang bisa membatalkan impiannya untuk menjadi pemain basket pro. Tapi tiba-tiba datang malaikat penyakit yang menghilangkan penyakitnya dan memberikannya ke orang lain? Haruskah Naruto senang atau sebaliknya?

.

.

FIRST

.

.

Sorak gembira, teriakan, dan dukungan dari lapangan Konoha Senior High School itu terdengar sampai seluruh gedung belajar. Suara pantulan bola basket yang terdengar keras dan berkali-kali itu memenuhi lapangan, semua pemain yang bertarung memperebutkan bola disanapun mengeluarkan keringat sampai bertetes-tetes, tapi tidak ada yang memperdulikan keringat masing-masing. Semua mata hanya tertuju pada satu benda. Benda bulat dan oranye itu. Yup, sekarang sedang ada pertanding basket antar sekolah. Konoha SHS dan Suna SHS

Bola yang sedang dibawa oleh tangan seseorang berambut pirang itu dipantulkannya keras-keras sebelum melompat tinggi untuk memasukan bola itu kedalam ring yang sudah ada dihadapannya.

"HEI JANGAN BIARKAN ITU TERJADI!" lelaki dengan baju trainingnya yang berada di kursi cadangan bertuliskan 'visitor' itu berteriak dengan kencang melihat seseorang hendak memasukan bola ke ringnya. Detik-detik yang ada distopwatch juri pun masih berjalan dengan santai.

Mendengar hal itu orang yang berambut jabrik itu menambah lebar senyumnya dan berteriak dengan kencang. "DUNK!" dan bersamaan dengan teriakannya, langsung terdengar sorakan heboh dari penonton yang menyaksikan hal itu dan pluit wasit ditiup panjang yang berarti akhir per tandingan itu.

.

.

THAT'S HURT

By : Zoroute

Desclaimer : My bappake Masashi Kishimoto

Pair : NaruSaku, NaruHina

Genre : Family, Friendship, Romance(dikit-dikit)

Warning : Gaje, abal, jelek, mungkin OOC. Ohiya, Pairing sama Genrenya itu untuk di chap ini! Tolong digaris bawahi, yaaa!

A/N : Akhirnya aku ngebuat juga fic NaruHina. Dan aku ngebuat fic ini setelah aku sakit loh! Tapi bukan sakit yang sama kayak penyakit karakter yang mau kupake ini. Hehe. Cuma kurang darah karena kebanyakan tidur (Gatau deh apaan namanya. Pokoknya pening!) Nah, waktu udah sehat, aku langsung buat tekad supaya bisa ngebikin fic ini! YEAH! Happy reading everyone!

.

.

Normal POV

Pagi itu sangat cerah dan masih sama dengan pagi-pagi di Konoha SHS yang seperti biasa. Baru dikantin sudah banyak terdengar obrolan yang membuat susananya menjadi ribut, dan satpam masih menyiapkan amarahnya untuk calon-calon murid yang terlambat.

Dan dikelas XI-B, si rambut pirang dan jabrik itu masih menyengir seperti biasa. Memang cengiran itu adalah cengiran biasa yang sering ia keluarkan, tapi kali ini dengan maksud berbeda. Karena hari ini lagi-lagi ia bisa membanggakan dirinya.

"Wah, Naruto. Kau terlihat bangga banget hari ini, ya?" tanya Sakura yang sejak tadi merasa ada yang aneh dengan sahabatnya. Setelah ditanya seperti itu , cowok pirang plus jabrik itu langsung nyengir lagi dan semakin lebar, memperlihatkan sebarisan giginya yang putih. "Ya doong! Aku telah menjadi pahlawan Konoha, bukan? Siapa yang tidak bangga dengan hal itu?" tanyanya lagi belum melepaskan rasa bangganya.

"Yah, yah.." Sakura hanya bisa mengangguk pelan dan hanya bisa mengingat bagaimana perjuangan sahabatnya yang sangat ingin menjadi pemain basket profesional di seluruh dunia. Pada awalnya Sakura hanya menganggap Naruto adalah cowok yang tidak mempunya kelebihan pada akademik dan mempunyai cita-cita yang setinggi bulan. tapi, siapa sangka Naruto sangat pandai melemparkan bola ke sasaran? Toh dia sudah berusaha untuk jadi yang terbaik bukan?

"Nah, Sakura-chaan! Kamu akan mentraktirku apa dihari ini atas keberhasilanku?" tanya Naruto sambil membayangkan makanan enak yang akan dibelikan Sakura untuknya.

"Tapi, tingkatkan juga akademikmu, bodoh! Jangan merasa puas dulu!" jitakan Sakura langsung mengenai kepala Naruto, dan dengan cepat orang yang punya langsung kesakitan sendiri sambil memegangi kepalanya.

"Haha, iyaa.. Lagian kenapa Sakura-chan tidak memberikan otak encermu kepadaku agar aku menjadi pintar?" tanya Naruto dengan cengengesan.

"Kalo bisa sih aku mau membagi, tapi tidak bisa tau!"

"Lah! Udah bisa tauu!" cela Naruto dengan tampang mengejek, "Masa orang sepintar Sakura Haruno tidak tau caranya?"

"HAH? Emang bagaimana?" dengan mata sebal Sakura bertanya.

"Gini, nih" Naruto langsung memegang kepala Sakura dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya memegang pisau. Kebetulan pisau itu ia ambil di meja gerobak bakso yang sudah ada dihadapan mereka, seakan Naruto ingin membelek kepala Sakura.

"WUAAAAH!"

BUKH!

"Aduuh.. Sakura-chaan.. aku cuma bercandaa~" Naruto langsung memegangi mata kirinya yang bonyok, karena pukulan sadis dari Sakura.

"Kalo aku sih tidak bercanda tuh!" cewek berambut pink itu lansung kesel. Habis bercandanya bikin nakutin aja, sih!

"Tadi pisaunya tidak kena kepala, kan? Jadi jangan maraah.." pinta Naruto, ia pikir kalau Sakura marah, ia tidak akan jadi ditraktir.

"Maksudmu kalo 'KENA' baru aku boleh marah?" teriak Sakura yang naik pitam dan mencubit tangan kanan Naruto.

"AW!" Naruto hanya bisa tertawa sambil menahan sakit akibat cubitan Sakura, tapi tiba-tiba cubitan Sakura menjadi sakit yang sangat sakit, padahal Sakura tidak mengkencangkan cubitannya. "AHK!" dengan sekali sentakan tangan Sakura langsung ia tepis dengan kasar.

"Ah?" Sakura yang sepertinya menyadari Naruto sangat kesakitan itu langsung heran. "Maaf. Aku tidak mencubitmu dengan kasar, kan?" tanyanya dengan muka khawatir.

"Engg.. kalo cubitanmu sih, emang selalu sakit. Tapi, entah kenapa tadi aku merasa ada yang sakit banget di tanganku. Kayak kesetrum atau keram.." cara bicara Naruto berubah seakan lebih berat dan serius, ia masih memandangi tangannya sendiri.

"Hah? Maaf.." Dengan rasa bersalah Sakura berminta maaf.

"Bukan, ini bukan tentang cubitanmu." Naruto langsung mengepal tangannya, lalu karena ia melihat muka Sakura yang terlihat khawatir, ia langsung mengubah air mukanya menjadi lebih bersemangat. "Sudahlah Sakura-chan, jangan terlalu khawatir seperti itu!" katanya dengan senyumnya yang kembali muncul.

"Iya, selama kamu baik-baik saja, sih. Yaudah, ayo makan mie yamin kesukaanmu. Tuh udah aku pesenin" katanya sambil menunjuk mangkok mie yang sedang di taruh oleh penjual Mie yamin.

"YOKEEH! Kalo ini sih, aku terima dengan senang hati!" dengan cepat Naruto mengambil sumpit yang ada dihadapannya, dan memakannya degan buru-buru.

Saat Sakura hendak memberi tau, tiba-tiba Naruto memperlambat gerak makannya dan tiba-tiba berhenti dengan tatapan kosong ke mienya, "Hei, Naruto kamu kenapa?" tanyanya heran.

.

.

Naruto's POV

Ini aneh. Aneh.

Kupandangi tagan kananku yang sedang memegang sumpit. Tangan itu bergetar sendiri, tanpaku perintah. Dan kenapa tangan ini tidak bisa berhenti?

"Naruto?"

Sakura yang terus menanyakan keadaanku disana tidak kuperhatikan sama sekali, aku terlalu heran dengan gerak tubuh yang begitu semena-mena ini. Karena gemetar yang masih belum berhenti itu, kuputuskan untuk menahan tangan kananku dengan tangkan kiriku yang menganggur, dan akhirnya tanganku berheti bergetar. Ini bukan gemetar karena takut ataupun pegal, jadi ini apa?

"Naruto?"

Kukepal pelan-pelan tangan kananku yang mulai menegang dengan hati-hati. "Sial, kenapa dengan diriku?" tanyaku sendiri.

"NARUTO!" Sakura akhirnya berteriak cemas ke diriku, karena dari tadi aku sama sekali tidak menyahut.

"Ya? Apa?" sahutku, pelan.

"Kamu kenapa?" tanyanya, sekarang matanya sudah cemas sekali dengannya.

"Ng maaf, Sakura-chan. Sepertinya aku tidak bisa memakan traktiranmu ini. Aku ingin balik kekelas." kataku dengan nada yang tidak seceria biasa dan kuusahakan tidak terdengar sedih, tapi sepertinya ini sangat terdengar jelas.

"Aku akan menemanimu ke kelas."

"Tidak. Boleh aku kesana tanpamu? Aku sedang ingin sendiri" kataku, lalu menurunkan bahu Sakura yang sudah naik, tanda ia akan berdiri. Aku mencegah agar Sakura mengikutiku.

"Emm.. baiklah" sebenarnya aku yakin Sakura ingin sekali menyusulku yang sedang menuju kelas, tapi masalahnya kelasku sekarang berada di lantai 4 sedangkan kelas Sakura sedang ada dilantai 3.

Dan Sakura juga mempunyai sisi malasnya juga, ia terlalu malas untuk membuatku tidak tenang. Sakura memang sahabat yang sangat hebat. Walaupun aku tidak pernah sekelas dengannya, kami berdua sudah saling mengenal satu sama lain dengan baik.

.

.

Aku berjalan dengan setengah berlari menuju kelas. Entah kenapa hanya dengan tangan yang gemetar itu membuatku cemas. Banyak orang yang kulalui ingin memberikanku selamat atas kemenangan konoha di tadi pagi, tapi aku sedang tidak mood untuk menyambut perkataan mereka.

Aku ingin sendiri.

Kubuka pintu kelas yang bertuliskan XI-B, yang menjadi kelasku. Kupikir kalau ingin mencari kesendirian itu dikelas, karena setauku saat waktu istirahat di jam 12 semua orang akan ke kantin untuk mencari makan.

T ernyata saat aku membuka pintu kelasku, yang kujumpai disana adalah beberapa orang yang sedang memakan bekalnya, ada yang mengobrol di kelas, dan ada juga yang menyendiri sambil sibuk dengan kegiatannya sendiri.

"Ah, sial. Tebakanku salah ya kalo dikelas bakal tidak ada orang?" keluhku kediriku sendiri dengan nada kesal dan kemudian mencari meja dimana aku sebelumnya menaruh tasnya disana.

Sesampainya dimeja aku hanya terdiam sambil memandang tangan kananku. Sepertinya ada yang aneh dengan bagian tubuhku yang sedang ku teliti itu.

Aku mencoba memegang pensil mekanik punyaku yang tergeletak dimeja. Aku mencoba menulis sesuatu di meja, selama aku menulis tidak ada suatu huruf yang berbeda dengan biasanya kok. Apa mungkin tulisanku emang sudah ancur dari sananya, ya? Hehe..

Lalu aku menghembuskan nafas lega. Mungkin kekhawatiranku memang udah agak berlebihan, ya? Masa cuma gara-gara tangan gemetar aja aku sudah ketakutan? Cih, payah nih. Emang sih, aku agak takut kalau tanganku ada apa-apa. Siapa tau itu bisa membatalkan mimpiku menjadi pemain basket profesional.

Akupun langsung membuang pikiran itu jauh-jauh. Aku mencoba menghibur diriku sendiri dengan tersenyum. Yah, kayaknya aku tidak bisa balik lagi kekantin untuk memakan kembali traktiran sakura, padahal perutku masih lapar.

"Uzu—Uzumaki-san," tiba-tiba suara lembut itu terdengar memanggil namaku. Aku langsung menengok kearah belakang kiriku, tempat dimana seseorang menciptakan suara itu.

"Ya? Kenapa?" sahutku.

"Apakah aku boleh meminjam penghapusmu?" tanya seorang cewek bermata indigo itu.

"Hn, tentu saja." aku langsung mengambil pengapus yang ada di depanku. Dan membalikkan tubuhku kebelakang dan memberikan pengapus itu ke mejanya. Lalu, karena aku melihat buku gambar yang ada dimeja itu, aku langsung membenarkan cara dudukku menjadi duduk bersila dengan menghadap kebelakang. Pas kehadapan muka cewek itu.

"Hei.. kau Hyuuga, kan?" tanyaku, kayaknya aku sangat jarang berbicara dengan cewek ini. Karena, kurasa cewek ini selalu sendiri.

"Em.. I—Iya" angguk cewek itu dengan sedikit menunduk malu.

"Ng? Kenapa mukamu merah? Apa aku menakutimu?" kataku dengan cemberut sambil menaruh daguku dikedua tanganku yang terlipat dimejanya.

"..Bukan, Bukan itu.." jawabnya semakin memerah.

"..Baiklah. Tapi apa kau sedang menggambar?" tanyaku penasaran sambil melihat buku gambar yang sedang ia pegang.

Dengan muka yang masih menunduk ia mengangguk pelan.

"Boleh aku lihat?" pintaku, dan tanpa kata 'boleh' dari cewek berponi rata itu, aku langsung mengambil buku gambar itu dan membuka halaman per halaman. Gambar yang ia gambar itu sederhana, gambar yang mungkin banyak dilihat di manapun, seperti goresan pensil yang membentuk taman, pohon dan susana gunung. Tapi entah kenapa gambar itu sangat indah.

"Waaah, indah banget!" seruku spontan dengan memuji. "Ajari aku! Ajari aku!"

"Uzumaki-san, kalau kau mau.. Kau boleh menggambar di halaman manapun." kata cewek itu.

"Hemm, baiklah kalau kau memperbolehkan." lalu aku langsung menggambar dihalaman kosong setelah halaman yang digambar oleh cewek Hyuuga itu. Aku tidak ada ide menggambar, jadi kuputuskan untuk menggambar cewek didepanku yang masih saja menunduk itu.

Karena tidak bisa menggambar aku hanya gambar sederhana, muka yang kugambar itu oval, malah nyaris lingkaran, dan poni rata dengan rambut panjang yang dibiarkan tergerai. Dan mata indigo yang indah. Aku sedikit terpana melihat matanya yang indah.

"..Matamu kebagusan. Aku susah menggambarnya." keluhku, masih konsen dengan kertas gambar dan tidak sempat melihat muka Hyuuga yang sudah merah kayak kepiting itu.

Dan aku akhirnya hanya membuat dua titik bulat yang besar sebagai mata di gambarku itu. Dan untuk sentuhan terakhir kugambar garis lekung yang besar. dan didalam halaman yang kugambar itu tergambar Hyuuga yang tersenyum lebar disana.

"Hehe, maaf, aku tidak bisa gambar" kataku sambil memberikan tanda tangan di pojok bawah, "..Ohya, panggil aku 'Naruto' ya, Hyuuga. Aku agak risih dengan seorang temanku yang masih memanggilku dengan 'Uzumaki'." Pintaku sambil menuliskan tanggal hari ini diatas tanda tangan.

Tapi saat aku hendak menuliskan tanda tangan, tiba-tiba tanganku kembali bergetar, "Uhk, kenapa lagi ni tangan?" tanyaku pelan dengan sedikit kesal, dan dengan kasar menggepalkan tanganku sekaligus menggengam dengan kencang pensil cewek itu. Setelah gemetar itu selesai, aku langsung menanda tangani dengan cepat.

"A—Ada apa?" tanyanya gugup.

"Tidak, tidak apa!"

Apa mesti aku memeriksakan tanganku ini kedokter? Ah, manja banget kau, Naruto!

Dengan senyuman yang kuusahakan sama seperti sebelumnya aku membenarkan posisi dudukku yang jadi kedepan lagi, dan berdiri.

Dan saat aku beranjak dari kursiku, si cewek berambut biru tua ke ungu-unguan itu alias Hyuuga memanggil namaku, "Na—Naruto-kun! Aku akan memanggilmu seperti itu, tapi kau juga harus memanggilku.. Hinata."

"Okeh. Dengan senang hati, Hinata-chan" jawabku lembut, "Tapi kamu kapan-kapan harus menggambarku, ya?" pintaku sambil keluar ruangan kelas.

Dengan muka blushing berat, cewek yang mulai sekarang akan dipanggil dengan sebutan Hinata plus embel-embel '–chan' itu memeluk buku gambarnya dan menutup semua mukanya yang sekarang sedang merah banget.

.

.

Normal POV

Akhirnya waktu pulang sekolahpun tiba. Dan bukan hanya satu sampai lima orang saja yang paling menunggu-nunggu waktu yang hanya ada sekali perhari ini. Sama halnya seperti cowok-cowok yang paling hobi untuk menghabiskan sorenya dilapangan sekolah untuk bermain basket ataupun bola bersama.

Ataupun hanya untuk ajang pamer kehebatan ke cewek-cewek yang paling senang nge-gosip dikantin. Karena, disini kantinnya berhubungan langsung dengan dua lapangan sekolah walaupun diberi jarak sedikit. Jadi orang yang sedang makan di kantin ini dapat melihat atau cuci mata bila melihat ke arah lapangan.

"HEEEI! Naruto!" seseorang cowok dengan menggunakan jaket abu itu memanggil Naruto dari lapangan basket.

"Apaan, Kiba?" sahut Naruto.

"Main basket, yuk! Ngerayain kemenangan tim kita!" kata Kiba, masih dengan teriakannya.

"Hei, adanya kalo ngerayain kemenangan itu dengan pesta dan makanan, bukan malah main basket lagi!" teriak Naruto. walaupun ia memprotes, ia tetap menjatuhkan tas ranselnya dengan seenaknya di tanah dan masuk kedalam lapangan.

Setelah Naruto memasuki lapangan, semangatnya kembali naik dan dengan senang ia berteriak, "Kiba! Lempar bolanya ke aku!" pintanya sembari berlari kearah Kiba dan yang lain.

"Enak aja, ini bolaku! Rebut aja sendiri, 'Hero of the day'!" seru Kiba sambil memeletkan lidahnya dengan tatapan iseng.

"Hei, kaauu.. Meremehkanku, ya?" lalu dengan kelincahannya, Naruto langsung mengambil bola yang ada di tangan Kiba, "Hehe.. bersedihlah bagi semua orang yang sudah mengejek 'Naruto-sama' sepertiku! HAHAHA!" dengan tawa kekuasaan ia membagakan diri, sedangkan semuanya langsung angkat bahu saat Naruto membanggakan dirinya untuk keseratus kalinya.

Lalu dengan ancang-ancang ia bersiap nge-shoot ke ring yang letaknya sangat jauh, lebih jauh dibandingkan lemparan yang bisa menghasilkan tiga poin, tapi dia dengan pede mengukur jarak tembakannya.

Namun, saat ia akan nge-shoot, tiba-tiba ia merasakan tangannya yang kembali sakit. Sakit seperti saat tangannya dicubit oleh Sakura. Sakit yang menyerupai keram.

"AKHHH!" tembakannya langsung tidak jadi, ia rasakan tangannya keram sekeram-keramnnya. Ia memegang tangan kanannya dengan kesakitan.

Semua temannya yang menyaksikan itu langsung berlari kearah Naruto dengan pandangan khawatir.

"Hoi! Naruto! Kau tidak apa, kan!" seru Shikamaru yang juga melihat Naruto yang kesakitan.

"AHK! SIAL! Ada apa sama tanganku ini!" keluhnya sambil menahan sakit. Teman-teman langsung semakin khawatir, apalagi melihat Naruto yang menahan sakit dengan keringat yang sudah menetes dari dahinya.

"HEI! Panggil penjaga UKS!" teriak Kiba ke Chouji yang sedang keheranan dari luar lapangan.

"Ah! BAIK!" lalu ia berlari menuju UKS dengan tergesa-gesa.

.

.

Pulang sekolah menjadi waktu sekolah kesenangan Naruto. Karena, pulang sekolah adalah waktu dimana ia bisa puas bermain basket bersama teman-teman yang lain tanpa khawatir kalau ada bel sekolah yang akan memotong permainan. Namun, Hari ini entah kenapa menjadi hari yang mungkin terburuk bagi Naruto.

Dia berada di UKS dengan tangan yang masih kaku dan gemetar. Ia hanya memandang Kaa-san nya yang sudah datang kesana, Kushina Uzumaki. Kaa-san yang selalu menyanyangi anaknya yang suka jahil itu. Ia tampak khawatir dengan penjelasan yang diberikan oleh Kiba dan kawan-kawan.

Naruto cuma bisa memegang tangan kanannya sambil menatap kosong ke lantai, pandangannya sekarang cuma bisa kosong, dan tidak bersemangat.

"Naruto, Kaa-san sangat sedih mendengarnya. Apa kamu tidak apa?"

Dengan pandangan yang belum berubah, ia menggeleng dengan pelan lalu bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari ruangan UKS. Kushina dengan segera menyusul anak semata wayangnya itu.

"Baiklah, ayo kita pulang bersama." ajak Kushina dengan senyuman penyemangatnya, ia masih agak sulit menyamakan langkahnya dengan Naruto yang sekarang badannya sudah lebih tinggi dan besar dibanding dirinya sendiri.

"Tidak. Aku kesini dengan motor, aku harus membawanya kembali pulang."

"Tidak perlu. Kaa-san dan Otou-san akan membawanya pulang nanti." katanya, "Kita akan kedokter."

"Tidak apa! Tanganku baik!" Naruto mulai memberhentikan langkahnya yang memburu dan dengan cengiran yang jelas sekali dipaksakan itu ia tolak ajakan Kaa-sannya.

"Tapi, kita akan memeriksakannya saja, biar kita tau ada apa dengan tanganmu."

"..Tidak. Aku tidak mau" sekarang pandangannya tampak serius.

"Kumohon Naruto, sudah sejak kemarin Kaa-san melihatku memegang tanganmu. Kalau misalnya itu penyakit dan dibiarkan, mungkin akan lain masalahnya."

Perkataan Kushina membuat Naruto tersadar, ia sudah dari kemarin merasakan gejala yang aneh ditangannya, bukan dari hari ini saja. Dan akhirnya Naruto mengangguk sambil kembali berjalan keluar sekolah.

Kushina yang melihat anggukan itu, hanya bisa menghela nafas lega sementara. Karena ia masih khawatir dengan apa yang akan terjadi di tempat dokter.

.

.

Sekarang mereka berdua sudah ada didepan dokter spesialis syaraf. Hanya ada dua orang yang tampak mengeluarkan suara disana, sedangkan cowok berambut jabrik itu hanya bisa diam dan menundukan wajahnya.

"Baiklah, berarti anakmu ini yang terkena gejala itu?" tanya dokter pirang panjang itu yang tadi sudah memperkenalkan dirinya dengan nama Tsunade.

"Hm," tanpa merubah posisinya ia menjawab.

"Karena kamu yang mengalaminya, bisa kamu jelaskan tentang apa yang terjadi oleh tanganmu?"

Dengan nada yang sedikit dipaksakan, ia menjawab dengan berat "..Tanganku terasa kejang dan suka keram mendadak."

"Mungkin ini—" saat Tsunade ingin meremehkan penyakit Naruto yang mungkin hanya pegal biasa.

"Keram yang berbeda dari biasanya. Yang ini lebih kerasa sakitnya" Naruto yang sudah tau akan diejek langsung memotong. Walaupun ia tidak mau ada hal buruk yang menimpa tangannya, ia tidak akan membiarkan dirinya diejek dengan penyakit yang sebenarnya begitu menyiksanya.

"..Saya agak ragu untuk mengatakan ini, tapi boleh kupinjam tanganmu?" pintanya.

Naruto dengan menahan nafas ia ulurkan tangannya kedepan agar Tsunade bisa memeriksanya.

"Apa disini sakit?" Tsunade menekuk-nekuk jemari Naruto, sambil menunggu rekasinya.

"Tidak."

"Coba kau tulis sesuatu dengan pensil ini." katanya lagi.

Saat meraih pensil yang ada di meja, ia menatap sebentar Tsunade. Ia takut di bagian ini.

Dan ia mulai menulis dengan biasa, 'aku,-naruto-akan-menjadi-pemain-basket-profe—' lalu tulisannya berhenti, ia kembali merasakan tangannya gemetar.

"Ck," Naruto berdecak kesal saat melihat tangannya bertingkah seperti saat ia ada disekolah. Sedangkan Kushina yang baru melihat langsung kaget dan kekhawatiran langsung memenuhi dadanya.

"Em, cukup" Tsunade sudah sedikit mengerti. "Aku sudah bisa memberikan diagnosa sementara."

"Baiklah, kalau gitu. Aku akan keluar." ucap Naruto yang langsung bangkit dari kursi dan keluar dari ruangan dokter spesialis syaraf itu.

.

.

Naruto's POV

Setelah keluar dari ruangan sialan itu aku langsung menyender di pintu, berharap semua akan baik-baik saja. Kupandangi lagi kedua tanganku dan mengepalkannya erat-erat. Dan diam untuk mendengarkan dari luar ruangan, suara mereka masih terdengar jelas dikupingku.

"..Naruto" terdengar Kushina hanya bisa menggumamkan nama anaknya dari dalam, "Bagaimana, dok?" tanyanya.

"Dia harus kesini lagi sekitar dua minggu lagi agar mengetahui penyakit apa yang benar-benar dideritanya," kata Tsunade mendahului.

"Baik, dia akan saya urus."

"..Sampai pengecekan yang berikutnya, saya akan katakan kalau dia terkena penyakit—" ia sedikit memberikan jeda disana sambil menarik nafas.

"ALS. Amyotrophic lateral Sclerosis"

ALS? Penyakit sial apa itu! Batinku saat aku mendengar penyakitku itu.

"Penyakit yang berawal dari kejangnya syaraf motorik tangan, kaki dan lidah, yang akan berujung kelumpuhan dan akhirnya kematian." jelas Tsunade sambil menghela nafas.

Dengan cepat mataku membulat, jantungku berdetak kencang. Entah kenapa keseimbanganku langsung tidak terasa lagi. Aku yang tadinya menyender di pintu itu langsung merosot dan jatuh terduduk.

"Apa yang akan terjadi padaku?" kataku kediri sendiri dengan suara gemetar.

.

.

To Be Continue

.

.

A/N : Thankyouu udah ngebaca fic aku inii.. Ohiya, plis jangan tanya tentang kebenaran gejala yang aku tulis di fic ini. Emang sih ada benernya tapi ada salahnya. Yang penting, aku udah coba nyari gejala ALS di internet. Dan aku juga bukan dokter, jadi harap maklum

.

Next chapter :

Naruto yang tidak terima dengan penyakitnya itu hanya bisa marah dan marah, lalu siapa orang yang bisa membuatnya tenang? Dan bagaimana sikap Naruto bertemu dengan peri penyembuhnya?

Dialog :

"Aku ingin menjadi pemain basket profesional!"

"Tidak. Kamu pasti bisa naruto"

"Aku bisa menghilangkan penyakitmu"

.

And, one more. Do you mind to Review?

Please revieeww.. Semua kesalahan Author akan diperbaiki kalo ada yang review heehe!

.

.

THANKYOU.