Author's Note :

Dapet inspirasi dari gitarnya Ace dari Bando itu. Jadi, cerita ini dibuat deh. Nekat sih buatnya.

Saya mau nge-warning!

Warning Alert : AU story, GaJe (so pasti!), abal, misstypo (mungkin), time set yang membingungkan, place setting yang juga membingungkan dan terkesan nggak mungkin, OOC (maybe), alur cerita yang aneh bin ajib, khayalan tingkat tinggi, isinya Cuma flashback, jadi anggap aja itu inti ceritanya, dan hal – hal nista yang biasa dibuat oleh author newbie di setiap fandom. And last, if you don't like this fic, don't read and review even flame at me!

If this fic just be a trash in this fandom, I will delete this fic, OK!

=XXX=

Graveyard, September, 21st 2013

Di sebuah area pemakaman yang sepi, dari arah gerbang, terlihat sesosok pemuda berambut merah menyala yang sedang membawa gitar yang berwarna merah darah dan sebuket bunga chrysanthemum berwarna putih. Dengan mata merah yang ia punya, yang tertutupi oleh kacamata biru yang bertengger di depan matanya, ia melihat – lihat area pemakaman itu. Ia lalu melangkah ke dalam area pemakaman itu.

Sepi. Yah, begitulah keadaan area pemakaman itu. Kakinya yang terbalut oleh jeans putih itu melewati nisan demi nisan. Mata merahnya terlihat menatap ke depan lurus seakan sudah tahu dimana sesuatu yang dia cari. Cukup jauh dari ia berjalan tadi, kini ia sudah berada di depan sebuah makam. Sebuah makam yang sudah berumur. Terlihat dari nisan dan tulisan di atas nisan itu.

Name : Isabel Harvard

Date of Birth : October, 5th 1993

Date of Dead : September, 21st 2010

Ia lalu berjongkok di samping makam itu. Ia lalu mengelus makam itu dengan perlahan. "Sudah lama ya," gumamnya kemudian. Mata merahnya memandang makam itu dengan tatapan lirih dan sayu.

"Isabel... taukah kau disana, bahwa aku... masih mencintaimu..?" katanya pada makam itu sendiri, seolah makam itu dapat menjawab pertanyaannya tadi. Ia lalu mengelus makam itu lagi.

"Aku sudah membuat mimpimu menjadi kenyataan. Dua mimpi yang kau idam – idamkan. Tapi..." ucapnya terputus.

"Tapi... ada sebuah mimpimu yang tak bisa menjadi kenyataan. Mimpi kita. Mimpi itu harus hilang, di saat mimpi itu akan terwujud," lanjutnya dengan nada yang amat lirih. "Di saat aku harus kehilanganmu untuk selama – lamanya..." gumamnya lagi. "Di saat aku tak bisa menyelamatkanmu..." lanjutnya. "Maafkan aku, Isabel... gara – gara aku kau..." katanya terpotong.

"...harus pergi untuk selama – lamanya..." lanjutnya.

Ingatannya pun kembali terputar. Segala memori – memori di otaknya berputar kembali. Seperti komputer yang memutar kembali sebuah video rekaman yang dulu. Memori tentang seorang gadis berambut merah darah dan bermata hitam gelap segelap malam. Dan segala kenangannya akan gadis itu kini terputar di otaknya.

Badan gadis itu yang semampai. Wajah gadis itu yang cantik. Suara gadis itu saat memanggil namanya. Langkah kaki gadis itu yang tengah berjalan ke arahnya. Senyum gadis itu yang lembut. Kini semua terpatri dalam khayalan sang pemuda itu.

Sejenak sebuah memori juga ikut terekam di ingatannya. Memori di saat – saat terakhir gadis itu. Senyum terakhir yang dapat dilihat oleh pemuda itu. Suara lirih yang terakhir didengar pemuda itu. Dan pelukan tubuhnya yang terakhir yang dapat dirasakan pemuda itu.

Setetes buliran bening turun dari pelupuk matanya. Turun melewati pipinya yang putih hingga menuju dagu dan jatuh tepat di atas samping nisan itu. Ia lalu melepas kacamata birunya dan mengusap bekas buliran bening yang jatuh tadi dengan tangan sebelah kanannya.

Ia lalu meletakkan buket bunga chrysanthemum putih tadi di atas makam itu. Ia juga membersihkan makam itu dari guguran daun – daun yang tergeletak sembarangan di atasnya. Setelah itu, ia lalu duduk terdiam di samping makam itu. Pandangannya menerawang jauh ke depan. Kosong. Begitulah yang bisa diperkirakan.

"Haruskah aku selalu mengingatnya setiap aku kesini?" gumamnya pelan. "Hari ini, tepat 3 tahun kau pergi. Tepat 3 tahun, aku menjalani hidup tanpamu," gumamnya lagi. "Aku benar – benar bodoh! Sungguh – sungguh bodoh saat itu!" katanya dengan nada yang meninggi.

Pikirannya lalu melayang di hari saat pertama ia bertemu dengan gadis bernama Isabel itu. Dimana ia jatuh cinta dengan gadis itu dan dimana dia harus kehilangan gadis itu untuk selama – lamanya...

And this story is begin...

Isabel And The Red Guitar

Chapter 1 : Gadis yang Terobsesi Dengan Gitar

By : Hikari Kou Minami

Disclaimer : Eyeshield 21 by Yuusuke Murata & Riichiro Inagaki

Isabel Harvard dan OC lainnya milik saya seorang!

Rating : Teen

Genre : Romance, Tragedy

Warning : Please, look at the beginning of this fic.

Message : I hope all of you like this

Don't like don't read

Los Angeles, September 22nd 2008

Seorang lelaki tinggi sedang berjalan melewati sebuah trotoar jalanan yang sepi. Sebuah headphone berwarna merah dan hitam terpasang manis di kedua bahunya. Sepertinya headphone itu tidak sedang berfungsi untuk mengirimkan alunan nada – nada indah dari sebuah iPhone di saku celananya yang tersambung dengan seutas kabel hitam tipis dari ujung headphone ke arah saku celana lelaki itu.

Lelaki itu berjalan santai sambil bersiul – siul. Dengan rambutnya yang berwarna merah yang cukup menyala dan nyentrik membuat ia menjadi pusat perhatian siapapun yang melewati jalan itu. Kacamata biru bertengger manis di depan matanya yang berwarna merah yang terlihat ungu dari depan karena tertutup kacamata birunya.

Ia mengenakan jaket berwarna merah dengan dalaman sebuah t-shirt berwarna putih dan celana jeans putih keabu – abuan dengan aksesoris rantai tergantung di sela – sela ikatan belt hitam dan saku celananya yang berbeda dari saku tempat ia meletakkan iPhone-nya.

Di tangan kanannya, ia menenteng sebuah kotak gitar berwarna hitam. Sedangkan tatapan matanya masih memandang lurus ke depan tanpa ekspresi apapun. Bibirnya masih menyiulkan nada – nada yang rapi. Ritme-nya pun teratur. Mungkin ia mempunyai bakat bermusik.

Saat ia melewati sebuah gedung yang cukup tua, terlihat dari warna catnya yang putih kusam dan bangunannya seperti bekas peninggalan, ia mendengar sebuah lantunan musik mengalun dari dalam gedung itu. Sejenak lelaki itu menghentikan langkahnya serta siulannya.

Ia mulai menajamkan alat pendengarannya. Suara itu makin jelas terdengar melalui gendang telinganya. Ia lalu mulai mencari – cari asal suara itu. Suara nada – nada yang menyusun sebuah melodi indah yang kini tengah ia dengarkan. Berikut vocal yang diiringi oleh melodi tadi. Begitu merdu dan indah.

Ia lalu mencoba mempertajam indra pendengarnya ke arah gedung tua tadi.

Jelas. Terdengar sangat jelas. Suara seorang wanita sedang menyanyikan beberapa bait lirik dengan vokal yang merdu. Lagunya pun terdengar cukup sendu tapi tidak dengan nada yang minor. Cukup mayor malahan.

Lelaki itu lalu mencoba memasuki gedung itu. Ia lalu mencoba mengetuk pintu gedung itu.

Tiada jawaban.

Ia lalu mencoba sekali lagi mengetuk pintu itu dengan lebih keras.

Tetap tanpa jawaban.

Sia – sia saja jika ia mencoba menunggu. Karena kesal, ia lalu mencoba memutar kenop pintu itu dengan perlahan. Dan, gotcha! Terbuka!

Lelaki itu lalu mendesah pelan. Kenapa tidak dilakukan dari tadi? Pikir lelaki itu. Lelaki itu lalu membuka pintu itu perlahan. Sebuah ruang tamu menyapanya dari dalam. Yah, bisa dibilang begitu.

Sebuah meja mungil dan empat kursi kecil yang cukup tua berjejer di ruangan itu. Ia memperhatikan tempat itu dengan seksama. Ia lalu menyentuh permukaan meja itu.

Tak berdebu.

Berarti memang ada orang yang menghuni dan membersihkan tempat ini. Jadi ini tak sekedar gedung tua ya? Pikir lelaki itu.

Lelaki itu lalu melihat sekelilingnya. Matanya tertuju pada sebuah tempat sampah kecil di sudut ruangan. Terdapat plastik bekas makanan, kotak susu bekas , minuman kaleng bekas, kulit buah – buahan, kantung plastik bekas yang disumpal – sumpal dan beberapa kertas yang sudah diremas – remas ada di tempat sampah itu.

Ada yang tinggal disini, pikir lelaki itu. Ia lalu mendengar suara lantunan lagu lagi. Ia pun segera menuju arah sumber bunyi itu.

Perlahan, tapi pasti. Ia menelusuri ruangan – ruangan di lantai pertama di gedung itu dengan bantuan alat pendengarannya demi mencari tahu, siapa orang yang memainkan melodi itu dan suara milik siapa yang menjadi vokal di lagu itu.

Ia berjalan terus hingga lantai kedua gedung itu. Menaiki tangga perlahan sambil mendengar suara itu yang semakin jelas. Jelas. Hingga ia berhenti di sebuah ruangan di salah satu sisi di lantai dua. Ruangan dengan tulisan "Record Room" terpampang di pintunya. Lelaki itu lalu mendengar suara itu dari balik pintu dengan menempelkan telinganya di daun pintu itu.

Sayang, suara indah itu telah selesai menyenandungkan melodi tadi. Suara petikan gitar mengakhiri pertunjukan di siang bolong itu. Lelaki itu menghembuskan nafas kecewa. Sesaat ia ingin beranjak pergi, tapi sebuah suara menghadangnya.

"Kita harus cari gitaris, Isabel!" suara lelaki terdengar dari dalam ruangan itu.

Lelaki tadi menghentikan langkahnya. Ia mencoba mendengar apa yang akan dibicarakan di dalam sana.

"Watt, sudah kubilang, aku saja yang menjadi gitarisnya. Kau ini masih saja meributkan itu!" suara gadis kini yang menjawab suara lelaki tadi.

Gitaris? Pikir lelaki berrambut merah di luar ruangan. Ia lalu mencoba mendengarkan jawaban sang lelaki.

"Kau ini cocok di vokal, Bel! Kita nggak mungkin kan kalau nanti kita akan menyanyikan lagu yang menggunakan quick sing dan perubahan tempo dan nada gitar tanpa additional player? Kita belum punya additional player, bel! Kita juga baru membentuk band ini dua bulan lalu, kita juga belum diresmikan sebagai band minor, indie pun belum!" kata lelaki di dalam sana.

Lelaki berrambut merah tadi sedikit tertegun. Ia lalu mendengar lebih jauh lagi percakapan itu. Percakapan seorang lelaki bernama Watt dan gadis bernama Isabel di dalam sana.

"Watt, aku ini nggak cocok di vokal, aku masih nggak percaya dengan suaraku ini!" kata Isabel.

"Kau cocok, bel! Kita membutuhkan gitaris melodi sekarang! Kau cukup menjadi gitaris irama saja!" desak Watt.

"Tapi, Watt, aku-"

"Nggak ada tapi – tapian! Pokoknya aku akan cari gitaris melodi di luar sana!" kata Watt sambil melangkah. Suara langkahnya menuju pintu. Lelaki pembawa gitar tadi lalu segera berjalan menjauhkan diri.

Sayang. Begitu pintu terbuka, tanpa ba-bi-bu lagi, lelaki bernama Watt itu memanggilnya.

"Siapa kau?" tanya Watt.

Lelaki tadi lalu segera berhenti. Langkah seribunya yang sudah ia rencanakan mendadak tadi, hilang. Tapi ia tak menoleh kepada yang memanggilnya.

"Hei, kutanya sekali lagi, kau siapa? Aku belum pernah melihat pemuda sepertimu di dalam gedung ini. Kau juga bukan seorang Deliver Service kan? Petugas pengumpul sampah juga pasti bukan, kan? Lalu, apa yang sedang kau bawa itu?" tanya Watt dengan berbondong.

Mati kutu. Begitulah yang dirasakan lelaki yang kepergok sedang mau melarikan diri ini. Tapi ia masih tetap tak menoleh.

"Ada apa sih, Watt? Ngomong – ngomong sendiri di depan pintu begitu?" kata Isabel dari dalam ruangan.

"Hey, bel, kesini!" perintah Watt kepada Isabel.

"Ada apa?" tanya Isabel sambil melangkah ke arah Watt.

Mati aku! Pikir lelaki tadi. Sudah lelaki bernama Watt, sekarang gadis bernama Isabel itu memergokiku! Pikirnya tambah kacau. Gimana ini! Pikirnya bingung.

"Bel, kau pernah membawa lelaki seperti ini ke dalam gedung ini?" tanya Watt sambil menunjuk ke arah lelaki tadi.

Gadis itu lalu menoleh ke arah lelaki yang ditunjuk. Ia memandangi secara seksama. Rambut merah menyala. Jaket berwarna merah dengan celana jeans putih keabu – abuan. Dan sebuah kotak tertenteng di tangan kanan sang lelaki.

"Tidak pernah! Siapa dia? Saudaramu? Temanmu? Sepupumu? Atau, malah... pacarmu..?" tanya Isabel dengan beruntun dan diakhiri dengan pendapat nggak jelasnya serta dengan pandangan iih-jangan-jangan-loe-gay-ya?

"Ngaco kau! Mana mungkin! Kalau aku kenal dia, aku takkan bertanya padamu!" bentak Watt. Isabel hanya tersenyum lebar melihat temannya itu.

"Jadi dia siapa?" tanya Isabel balik.

"Tanya aja sendiri! Kutanyaain nggak mau jawab!" kata Watt marah.

"Ya, udah. Hey, kau! Sebenarnya siapa kau itu?" tanya Isabel dengan volume cukup keras.

Lelaki itu lalu menoleh sedikit ke belakang. Dengan tatapan gue-udah-kepergok, ia lalu menjawab dengan apa adanya.

"A, aku...er... aku hanya sedang berjalan – jalan di daerah sini. Ta, tanpa sengaja aku mendengar suara melodi dan lagu terdengar dari dalam gedung ini. Ja, jadi aku memutuskan untuk kesini untuk mencari tahu, si, siapa yang memainkan lagu itu. Ka, karena pintu depan terbuka, se, selain itu, ta, tak ada yang men, menjawab ketukanku, ja, jadi aku nyelonong masuk aja! Itu saja!" jawabnya dengan terbata.

"Terus, kenapa kau lari?" tanya Watt.

"A, aku sedikit mendengar per, percakapan kalian setelah selesai memainkan lagu. Ka, karena ta, takut kepergok, ya, aku jadi ingin lari," jelas lelaki itu.

"Oh, begitu! Jadi kau mendengar percakapan tentang gitaris itu?" tanya Isabel.

Lelaki itu hanya mengangguk. "Kalau begitu, a, aku permisi dulu-" katanya terpotong oleh suara Watt.

"Hey, apa yang kau bawa itu?" tanya Watt.

"Oh, i, ini gitar. Gitar lama sih. Memangnya kenapa?" tanya lelaki itu.

Gitar.

GITAR.

Lelaki ini membawa gitar.

"Hey, apa kau bisa memainkan gitar itu? Sebagai ritme mungkin?" tanya Watt sedikit bersemangat.

"Yah, begitulah. Kalau itu mudah," jawab lelaki itu.

'Itu sih, semua gitaris bisa!' Pikir Isabel kesal.

"Kalau distorsi dan irama? Tunning? Jago nggak?" tanya Watt bersemangat.

"Fuh, cukup jago sih, tapi aku jarang memainkan lagu rock, jadi hanya distorsi dan irama biasa, aku bisa. Kenapa?" tanya lelaki itu balik.

"Jadilah gitaris band kami!" teriak Watt dengan kencang bahkan nenek – nenek tuli pun bisa mendengar suaranya dengan sangat jelas.

Isabel menutup telinganya dengan kedua tangannya. Sudah beberapa detik sebelum Watt teriak, ia sudah memasang posisi itu. Ia lalu melepaskan tangannya.

"APA? Apa – apaan ini, Watt! Masa' dia menjadi gitaris band kita? Aku nggak setuju!" teriak Isabel tak setuju.

"Memangnya kenapa? Aku Leader-nya! Jadi terserah aku mau menariknya sebagai gitaris atau tidak!" bentak Watt.

"Pokoknya aku tidak setuju! Kau juga baru kenal dia kali ini, masa' sudah dijadiin gitaris! Pokoknya aku tidak setuju!" kata Isabel marah sambil melangkah pergi. Sesaat ia melewati lelaki tadi, ia memandang sinis pada lelaki itu. Kemudian ia lalu menuruni tangga dan membanting pintu depan gedung itu.

"Maaf, tapi, dia kenapa? Aku memang tak tertarik menjadi gitaris jadi-" kata lelaki itu terpotong.

"Tak apa, dia memang begitu. Obsesinya terhadap gitar memang lebih besar daripada terhadap vokal, jadi biarkan saja dia. Terus tadi, kumohon jadilah gitaris kami! Additional pun tak apa! Kami kekurangan personel untuk band kami, jadi, please!" kata Watt sambil mengatupkan kedua tangannya seraya memohon kepada sang lelaki itu.

"Kalau memang begitu, yah, tak apalah. Fuuu.. aku memang sedang senggang akhir – akhir ini. Jadi bisa saja kubantu. Sepertinya, ritme kita juga sama," jawab lelaki itu seraya membenarkan letak kacamata birunya sambil tersenyum ceria.

"Ritme? Aku tak tahu itu, ehehe," komentar Watt dengan sweatdrop. "Oh, ya, ngomong – ngomong, namamu siapa?" tanya Watt.

"Fuu.. Akaba Hayato. Panggil saja Akaba," jawab lelaki itu sambil tersenyum.

"Oh, Akaba. Kau orang Jepang ya?" tanya Watt setengah mengernyit mendengar nama yang cukup asing di telinganya.

"Begitulah, aku pindah ke Los Angeles seminggu yang lalu," jelas Akaba kemudian.

"Kalau begitu, aku Watter Knolcken, panggil saja Watt, dan cewek tadi bernama Isabel Harvaria, panggil saja dia Isabel," kata Watt memperkenalkan diri.

"Baiklah. Ngomong – ngomong, apa nama band kalian?" tanya Akaba.

"Namanya The Blood," jawab Watt sambil memainkan stik drumnya.

"The Blood? Darah? Dari mana kalian menentukan itu?" tanya Akaba heran dengan nama band itu.

"Dari namaku dan warna kesukaan Isabel. Namaku Watter, bisa saja dipanggil dengan Water yang berarti air, ya kan? Terus warna kesukaan Isabel adalah merah, jika digabungkan menjadi air merah atau air yang berwarna merah kan? Dan air yang berwarna merah adalah darah." jelas Watt sambil nyengir.

"Ooo, begitu. Aku juga yang menyukai warna itu, merah, sepertinya ritmeku dengan band ini cocok. Baiklah aku akan menjadi gitaris band kalian!" seru Akaba.

"Sungguh? Syukurlah! Akhirnya aku mendapatkan gitaris untuk band ini!" seru Watt senang. 'meski aku tak tahu apa yang dimaksud ritme oleh orang ini' batinnya ragu.

"Baiklah, sekarang kau disini dulu. Aku akan pergi ke tempat Felica untuk membicarakan ini!" seru Watt sambil berlari menuju ujung tangga.

"Felica?" gumam Akaba bingung.

Watt berbalik dan menyahutnya,"Dia manager band ini! Sudah dulu ya! Kau tetaplah disini dulu!" Watt lalu menghilang di ujung tangga. Terdengar suara langkahnya menuruni tangga dengan terburu – buru. Setelah itu bunyi suara pintu tertutup pun terdengar. Dan tinggallah Akaba sendiri di depan ruangan itu kini. Sepi.

'Daripada tidak ada kerjaan, aku mau lihat ruang rekaman ini,' pikir Akaba yang lalu melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Saat ia melihat ruangan itu, terlihat beberapa perangkat musik tergeletak disana. Drum berwarna hitam. Bass berwarna hitam kebiruan terpasang di samping kirinya. Keyboard di tergeletak manis di samping kiri depan drum tadi, tepat di depan bass tadi. Beberapa gitar terpasang di dinding sebelah kiri drum tadi. Yang paling menarik perhatian Akaba saat memandang barisan gitar itu adalah sebuah gitar berwarna merah dengan sedikit warna hitam turut mewarnai gitar itu.

"Fuu.. ternyata ada yang menyamai, ya," gumamnya pelan. Ia lalu melihat standing mic di barisan paling depan. Ia lalu melihat ke arah bawah ruangan itu. Tergeletak beberapa kertas yang tersebar tak beraturan. Ada pula yang terremas – remas tanpa dibuang di tempat sampah.

Ia lalu berjalan pelan ke dalam. Tepat di dekat kertas – kertas yang bersebaran tadi, ia berjongkok. Ia lalu mengambil sebuah kertas itu. Tertulis disana beberapa partitur not balok untuk piano. Ia lalu mengambil kertas lain. Tertera kunci – kunci gitar disitu. Ia lalu mencoba mengambil sebuah kertas lagi. Kini gantian tab – tab gitar memenuhi kertas putih itu.

"Huuft.. benar – benar terobsesi ya?" desahnya pelan. Ia lalu berjalan lagi dan berjongkok lagi memungut satu kertas lagi. Dan bukan kunci maupun notasi angka atau balok yang tertera di kertas itu. Beberapa buah huruf yang membentuk kata – kata yang tertulis sangat rapi dan baik. Dan kata – kata itu mulai membentuk kalimat – kalimat sedih. Kalimat – kalimat yang haus akan rasa kebahagiaan di dalamnya, karena kalimat itu menuliskan,

"Tanpa sebuah kata cinta meninggalkanku, tanpa sebuah kata cinta membuangku..." gumam Akaba pelan. "Apa ini lirik yang tadi kudengar? Sebuah lirik sendu tapi dengan vokal yang terbilang mayor. Apakah gadis itu yang menulis ini?" tanya Akaba sendiri.

Ia lalu melihat kunci gitar tadi. Sejenak ia memperhatikannya. Ia lalu mencoba mengambil tempat duduk di sofa yang terletak di bagian samping kanan ruangan itu. Ia lalu duduk dan mengeluarkan gitar dari dalam kotaknya. Dan gitar yang dikeluarkannya itu mempunyai corak, motif dan warna yang sama dengan gitar yang menarik perhatian Akaba. Tapi, warna merah di gitar ini terlihat lebih menyala. Merah yang sama dengan merah rambut si pemilik, Akaba.

Ia pun mencoba mencari kunci yang tertera di kertas tadi. Kunci C minor. Ia lalu memetiknya. Serasa mampu untuk memainkannya, ia lalu memainkan kunci – kunci di kertas itu. Alunan nada sendu nan minor terdengar dari setiap petikan gitarnya. Akaba pun terlarut dalam petikan gitarnya sendiri.

=XXX=

Di sebuah trotoar, berjalan seorang gadis berambut merah gelap panjang. Ia mengenakan rompi berwarna merah menyala, dengan dalaman t-shirt hitam membalut tubuhnya. Mata berwarna hitamnya memancarkan kekesalan tiada tara. Sesekali ia mengacak – acak rambutnya yang sepunggung itu. Suara – suara umpatan kesal pun tak jarang keluar dari mulutnya. Sebuah kalung perak dengan liontin berbentuk bintang terpasang di lehernya yang jenjang. Kaki – kakinya yang jenjang dan terbalut legging hitam dan sepatu boots berwarna merah itu sedang melangkah kesal. Ia lalu berjalan cepat menuju gedung yang beberapa menit lalu ia tinggalkan. Gedung tua tempatnya rekaman dengan teman masa kecilnya, Watt. Yah, gadis itu adalah Isabel.

Dia berdiri di depan tempat itu lama sambil memandang gedung itu. Sepertinya, pergi ke tempat manapun hanya membuatnya kesal dan marah. Jadi, dia memutuskan untuk kembali ke tempatnya tadi. Tempat yang bisa ia gunakan leluasa untuk bermain gitar kesukaannya. Tempatnya untuk menyanyikan beberapa bait lagu yang ia ciptakan sendiri. Dan tempatnya untuk meraih mimpi. Mimpi Isabel.

"Semoga saja, Watt dan lelaki menyebalkan tadi sudah pergi, aku kesal dengan mereka berdua! Seenaknya saja, Watt memilih lelaki tadi untuk menjadi gitaris! Huuft!" ucap gadis itu sebelum membuka kenop pintu gedung itu.

Ia lalu memandang tempat itu. Sepi. 'Syukurlah,' pikir Isabel. Tapi, nada leganya terhenti ketika ia mendengar sebuah lantunan petikan gitar membahana di dalam gedung itu. Isabel lalu menajamkan indra pendengarannya. 'Siapa yang memainkan gitar? Watt kah? Tak mungkin! Watt tidak bisa memainkan gitar! Kuncinya saja ia tak tahu,' Pikir Isabel menerka – nerka. Lalu siapa?

Gadis itu lalu mencoba menaiki tangga. Ia yakin, suara itu berasal dari atas. Tepatnya "Record Room" band-nya. Ia lalu setengah berlari ke arah ruangan yang dimaksud. Ia pun membuka paksa pintu ruangan itu dan...

Seorang lelaki berambut merah tengah duduk sambil memetik gitar berwarna merah dan hitam. Isabel mengernyit melihat gitar itu. "Gitarku.." gumamnya pelan. Merasa diperhatikan, lelaki tadi, Akaba, lalu menoleh ke Isabel. Ia lalu mengambil sikap berdiri dan meletakkan kertas yang sedari tadi ia pegang ke sofa.

"Oh, hey. Apa kabar? Kau sudah... er.. kembali ya?" kata Akaba tiba – tiba.

"Hey kau! Meski Watt sudah mengatakan bahwa kau akan menjadi gitaris, jangan seenaknya menggunakan gitar orang lain dong!" bentak Isabel.

"Gitar orang lain? Maksudmu ini?" kata Akaba bingung sambil menunjuk ke arah gitar yang ia bawa.

"Kalau bukan itu, apa lagi! Cepat kembalikan gitarku!" bentak Isabel marah.

"Gitarmu? Ini gitarku. Gitarmu berada disana," kata Akaba sambil menunjuk sebuah gitar merah yang hampir sama dengan gitar kepunyaannya di samping kiri drum yang berada di seberang Akaba. Isabel pun malu sendiri.

"Oh, begitu ya, maaf ya, aku nggak tahu," kata Isabel dengan muka merah karena malu. "Ngomong – ngomong, kau tadi yang memainkan lagu ya?" tanya Isabel kemudian.

"Ah, iya, maaf kalo aku mengambil dan memainkan itu seenaknya, aku akan kembalikan partitur – partitur lagu milikmu!" kata Akaba sambil mengumpulkan kembali partitur yang tadi ia pungut. Ia lalu menyerahkannya kepada gadis berambut merah itu. Gadis itu melihatnya sekilas lalu mengambil partitur lagu itu. Mereka lalu duduk di sofa yang tadi diduduki oleh Akaba. Setelah itu, keheningan terjadi. Tak ada satupun dari mereka yang membuka mulut. Hingga keheningan itu dipecahkan oleh Isabel.

"Oh, ya, siapa namamu?" tanya Isabel sambil menoleh ke arah Akaba.

"Namaku Hayato Akaba, panggil saja Akaba karena kita belum saling akrab," jawab Akaba. Isabel sedikit mengernyit.

"Kenapa?" tanya Isabel lagi. Mata hitam onyxnya menyiratkan keingin tahuan.

"Itu nama keluargaku. Hanya orangtuaku dan beberapa teman akrabku di Jepang yang memanggilku dengan 'Hayato'. Sedangkan yang lain hanya memanggil dengan 'Akaba'," jawab Akaba.

"Oh, begitu. Kalau suatu saat kita menjadi akrab, boleh aku memanggilmu dengan 'Hayato'? Meski aku nggak yakin kita bakalan akrab!" tanya Isabel. Akaba sedikit terkejut dengan permintaan Isabel itu.

"Maksudmu dengan kau tidak yakin kita bakal akrab?" tanya Akaba heran.

"Aku masih membencimu karena kau merebut posisiku sebagai gitaris di band ini!" kata Isabel kesal. Sepertinya kekesalan Isabel beberapa menit yang lalu belum juga reda.

"Oh, maaf kalau aku merebut posisimu, ngomong – ngomong, kudengar dari Watt, kau begitu ter-obsesi dengan gitar, benarkah itu?" tanya Akaba kemudian. Isabel menatapnya sesaat.

"Hhh, si Watt itu! Meski dibilang ter-obsesi, hal itu justru lebih menjurus ke mencintai deh," ucap Isabel dengan sedikit menghela nafas. Mata hitamnya kini memandang ke arah si gitar merah yang tengah berbaris di dinding.

"Maksudnya mencintai?" tanya Akaba heran.

"Sangat sangat menyukai si gitar, dibawa kemana saja, dimainkan dimana saja, dalam situasi dan kondisi apapun," tutur Isabel.

"Kenapa kau begitu menyukai gitarmu itu?" tanya Akaba kemudian. Isabel tak menjawabnya. Ia malah menatap lelaki itu. Ia lalu sedikit menghela nafas.

"Sebenarnya alasannya itu hanya aku dan Watt saja yang tahu karena mungkin sedikit konyol," jawab Isabel kemudian. "Mungkin kau akan tertawa,"tambahnya. Isabel sedikit tersenyum mengucapkan kata itu.

"Aku tak akan tertawa. Aku janji!"kata Akaba berusaha meyakinkan gadis itu.

"Watt pernah berkata itu dan alhasil ia malah ketawa, aku tidak mempercayaimu!" jawab Isabel ketus.

"Percayalah padaku! Aku tak akan tertawa! Kumohon!" harap Akaba kepada gadis berambut merah itu.

"Benar, kau tak akan tertawa?" kata Isabel meyakinkan.

"Benar!" jawab Akaba segera.

"Sungguh?" kata Isabel lagi.

"Sungguh! Suer!" seru Akaba sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari manisnya ke atas.

"Baiklah, dengarkan baik – baik,"kata Isabel yang sepertinya sudah yakin pada Akaba. Akaba lalu menyiapkan pendengarannya untuk mendengar alasan dibalik rasa suka -cinta- Isabel kepada sang gitar merah milik gadis itu. Hatinya bertekad untuk jangan tertawa, karena jika ia tertawa, ia akan semakin dibenci oleh gadis itu.

"Alasanku menyukai gitar itu adalah..."

Distorsi – distorsi keras pun mulai memenuhi suasana percakapan itu. Akaba semakin merasa ingin tahu. Dentaman – dentaman kuat terasa di hatinya. Suasana tegang nan horor mulai menyelimuti ruangan itu.

"Karena..."

To Be Continued

Yay~ fanfic baru! Fyuh, nggak terasa udah hampir 4000 kata tertulis di chapter 1 ini! Sebenarnya fic ini udah kesimpen lama di folder khusus fanfic di flashdisk tapi baru kuselesain sekarang, ehehe^^

Oh ya, saya kurang tahu nama gitarnya Akaba, karena banyak fic yang bilang namanya Isabel, yaudah ngikut aja.

Saya mau tahu respon untuk fic ini, bagus atau jelek atau biasa atau standar atau malah ancur nan gaje. Jadi, silakan review saya agar saya tau bagaimana tanggapan readers buat nih fic satu.

Last,

REVIEW!