Halo, semua!

Ini fiction NaruSaku pertama yang kutulis..

moga-moga menarik minat pembaca... (amin)

enjoy!


CHAPTER 1

"Psst! Sakura-san!"

Aku mengalihkan mataku dari buku yang kubaca dengan enggan dan menoleh ke arah bisikan itu. "Oh, hai! Mmm…" aku menatap gadis berambut hitam pendek yang memanggilku tadi. Aku mengenalnya. Aku pernah melihatnya bekerja sambilan di rumah sakit Konoha. "Mmm…" gumamku lagi, mencoba mengingat namanya.

"Namaku Hibino Tatsuku," gadis itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar. Aku balas tersenyum sambil menyambut tangannya. "Anu… aku tahu bahwa kita baru saja berkenalan, tapi…" dia mengulurkan sebuah kertas dan pena. "Bisa tolong mintakan tanda tangan Naruto Uzumaki-san?"

Lagi-lagi.

Ini permintaan ke-sebelas yang kudapat hari ini. Aku mengepalkan tinjuku dan berusaha menahan diri untuk tidak menghancurkan meja ini. Bisa runyam kalau aku tidak diijinkan datang lagi ke perpustakaan karena menghancurkan meja. "Tentu. Akan kuminta padanya jika dia tidak sibuk," jawabku sambil melontarkan sebuah senyuman paksa. Gadis itu nyaris saja menjerit karena kegirangan. Dia menjabat tanganku berkali-kali dan keluar dari perpustakaan.

"Sialan kau, cowok pirang!" aku mendesis marah. Wajah tolol Uzumaki Naruto mulai muncul di kepalaku. Mengingat rambut pirangnya yang jabrik dan mata birunya saja bisa langsung membuatku naik darah, apalagi jika bertemu langsung dengannya? Sudah seharian ini aku dikejar fans-nya yang entah kenapa menjadi semakin banyak tiap hari.

Uzumaki Naruto. Si tolol itu. Punya fans.

Fans.

Sampai sekarang juga aku masih percaya kalau hal itu hanyalah mimpi. Tapi sayangnya hal itu adalah kenyataan.

Cowok itu tiba-tiba saja menjadi sangat terkenal ketika dia berhasil mengalahkan Pain. Yah, Pain. Monster yang berhasil menghancurkan Konoha. Bukan hanya mengalahkan Pain. Naruto menghidupkan kembali seluruh rakyat yang mati terbunuh karena Pain. Kuakui, Naruto memang melakukan sesuatu yang sangat luar biasa di Konoha. Padahal dia masih genin… Tapi berkat kehebatan itu, Naruto membuatku dikejar-kejar fans-nya. Cowok idiot itu sengaja mengurung dirinya di tempat tersembunyi untuk berlatih jurus baru sehingga tidak ada seorang pun yang bisa menemukannya. Yah, tentu saja aku tahu tempat persembunyian itu.

"Sakura-san,"

Panggilan itu membuatku tersentak. Aku menengadah dan menatap Sai yang sudah berdiri di depanku. "Halo, Sai." Aku menyapanya dan dia balas menyapaku.

"Bukankah tadi ada seorang gadis yang minta tanda tangan Naruto-kun?" tanyanya, polos. Entah mengapa wajahku kembali panas ketika aku mendengar pertanyaan itu. "Dia sudah pergi?" tanya Sai lagi.

"Ya." Aku menjawab dengan ketus. "Sai, bisa tolong jangan bicarakan hal ini di depanku lagi?" tanyaku dengan suara bergetar karena menahan marah. Sai hanya terdiam ketika mendengar pertanyaanku. Mata hitamnya itu mengawasiku dengan tajam.

"Wajah merah padam, tangan terkepal, rahang mengeras, sorot mata menajam, alis bertaut…" ujarnya. "Sakura-san, kenapa kau marah?" tanyanya lagi, dengan nada yang polos.

"Aku tidak marah!" bentakku, tidak sadar bahwa teriakanku mengundang pandangan dari orang-orang. Sai tidak menghiraukan bentakkanku. Dia membuka buku yang sejak tadi dipegangnya dan mulai membolak-balik halaman buku itu.

"Aku sadar bahwa kau selalu marah-marah sejak ada gadis yang minta tanda tangan Naruto-kun. Menurut analisaku, kau bukan marah karena merasa terganggu. Setelah membaca buku ini, aku sadar bahwa kau cembur…"

"Aku tidak cemburu!" bentakku lagi sambil melayangkan kepalan tanganku ke arah wajahnya. "Syanaarooo!"


Kakashi-sensei menarik napas dalam-dalam dan menutup buku novel 'Icha-Icha Paradise' yang selalu dibawanya itu. "Hari yang indah," ujarnya sambil menatap langit yang biru. Dia memalingkan matanya dari langit biru itu dan menatap Sai. "Apa yang terjadi dengan wajahmu, Sai?"

"Sakura-san yang.. Ohok!" ucapannya langsung terhenti ketika aku menyikut pinggangnya.

"Oh, tidak apa-apa, Kakashi-sensei!" aku tertawa kaku sambil melotot ke arah Sai, memaksanya untuk bungkam.

"Ada-ada saja kalian," dia mendesah. "Kalian mau melihat latihan Naruto?" tanyanya sambil menunjuk ke arah air terjun yang berada di pojok hutan. Kami mengangguk dan berjalan menuju air terjun itu. Aku menatap air terjun itu dan setelah menarik napas, aku memasukkan kepalaku di air terjun itu. Siapa yang pernah menyangka kalau di balik air terjun ini terdapat gua yang dalam? Setelah melewati air terjun itu, aku langsung mengeringkan rambutku yang basah. Syukurlah rambutku ini pendek, jadi bisa cepat kering. Sai yang sama sekali tidak peduli dengan bajunya yang basah, berjalan terus menuju kedalaman gua, tempat dimana Naruto berlatih. Aku dengan cepat mengikuti Sai dari belakang.

Sebenarnya aku tidak mau mengakui kalau aku mencemaskan teman satu tim-ku yang tolol itu. Dia berlatih siang malam tanpa istirahat sedikit pun. Tentu saja dia ingin menjadi semakin kuat bukan untuk dirinya sendiri. Dia ingin menyelamatkan Sasuke-kun. Tidak peduli apa pun resikonya. Aku sendiri tidak tahu mengapa Naruto harus berjuang sekeras itu. Sasuke-kun… sudah bukan Sasuke-kun yang kukenal lagi… Dia dengan rela hati menyerahkan diri pada sisi kegelapan. Aku memejamkan mata dan wajah tampan Sasuke Uchiha muncul di kepalaku. Sejak kacil, aku menyukai pemuda itu. Sangat menyukainya sampai-sampai aku rela mengorbankan nyawaku sendiri untuknya.

"Sasuke-kun…" aku bergumam. Tiba-tiba leherku tercekat dan air mata mulai mencul di mataku. Aku cepat-cepat menyeka air mata itu sebelum mereka turun dan membasahi wajahku. Aku tidak mau Naruto menemuiku ketika aku dalam kondisi menyedihkan. Aku menatap keranjang makanan yang sejak tadi kupegang. Naruto selalu kelaparan setelah latihan keras. Aku sengaja membuatkannya bekal dan obat penambah stamina. Dia pasti senang. Senyumku mekar ketika aku membayangkan cengiran lebarnya nanti.

"Naruto!" aku berseru. "Hei, bagaimana latihan…" ucapanku tiba-tiba terhenti ketika aku menatap sosok gadis berambut ungu gelap panjang dengan mata bewarna abu-abu. Gadis itu duduk di depan Naruto dengan wajah tersipu-sipu. "Hinata?" aku berseru kaget. Bagaimana mungkin dia ada di sini? Lokasi tempat ini hanya diketahui oleh tim Kakashi saja! "Anu, kenapa kau bisa tahu tempat ini?"

"Oh, selamat siang Sakura-san," Hinata menunduk ke arahku. "Aku kebetulan bertemu Naruto-kun di Ichiraku kemarin dan aku bertanya dimana dia berlatih karena aku ingin mengunjunginya dan dia memberitahuku."

Aku melirik tajam ke arah Naruto. "Bukankah tempat ini harus dirahasiakan, Naruto?" tanyaku dengan tajam. "Hanya anggota tim yang boleh tahu tentang tempat ini!" aku menegur cowok berambut pirang itu.

"Tidak apa-apa, kan? Hinata tidak berniat jahat, kok! Dia tidak akan mengganggu latihanku," jawab Naruto dan kembali menatap mata Hinata. "Ya, kan, Hinata?" tanyanya sambil menyeringai.

Hinata tersenyum malu dan mengangguk. "Kuharap kedatanganku kesini tidak mengganggu kalian…" dia melirik Sai dengan cemas. Sai tersenyum sopan dan menggeleng.

"Tentu saja tidak, Hyuuga-san."

"Ya, dattebayo! Santai saja, Hinata!" Pemuda berambut pirang itu menyeringai lebar. "Aku memang sedang istirahat! Oh, laparnya!" serunya. Suara perut Naruto bergema di dalam gua ini. Aku tersenyum geli dan melupakan kejengkelanku. Aku berniat mengeluarkan onigiri yang sudah kubuat, namun sesuatu menghentikanku.

"A-anu, Naruto-kun…" Hinata menundukkan wajahnya yang sudah merah padam. "K-kalau mau kau boleh makan onigiri ini…" Hinata menyodorkan sekotak onigiri yang tertata rapi. Wajah Naruto langsung menjadi cerah dan sambil tertawa riang, cowok itu menerima onigiri itu.

"Wah, makasih Hinata! Kau memang baik!" tanpa segan-segan, cowok itu melahap bekal yang dibawa Hinata. "Mmm! Enak! Kau bisa jadi istri yang hebat, dattebayo!" pujinya sambil menyeringai lebar, membuat wajah Hinata semakin terbakar. Tiba-tiba, janjungku berdetak kencang ketika menatap meraka berdua yang terlihat akrab. Entah mengapa, aku tidak menyukai adegan itu.

"Anu, Sai-san, Sakura-san…" Hinata menatapku. "Aku membuat onigiri yang cukup banyak. Kalian ikut makan saja…" gadis itu tersenyum malu-malu ke arahku dan Sai.

"Baiklah kalau begitu. Itadakimasu…" Sai memasukkan onigiri itu ke dalam mulutnya. "Mm, enak. Sangat berbeda dengan onigiri buatan Sakura-san."

Mata Naruto terbelalak dan dia tersedak onigirinya. "Sai! Kau mau mati ya?" desis Naruto sambil membungkam mulut Sai dengan tangannya. Naruto menoleh ke arahku dan menyeringai panik. "Sakura-chan, Sai hanya bercanda!"

"Naruto-kun tidak berpikir begitu? Kau nyaris pingsan ketika mencicipi onigiri buatannya."

"Bodoh! Tutup mulutmu itu, Sai!" Naruto meraih dua buah onigiri dan menjejalkan semuanya ke mulut Sai. "Gara-gara kau, aku juga bisa dibunuh! Maaf, Sakura-chan!" Naruto menatapku dengan panik.

Aku terdiam menatap Naruto yang masih meminta maaf. Biasanya, aku pasti akan marah mendengar ucapan Sai. Biasanya, aku akan menghajar Sai tanpa ragu. Namun, entah mengapa kali ini perasaan marah itu tidak muncul.

Aku menatap Hinata yang cekikikan melihat Naruto yang sibuk membantai Sai. Entah mengapa, hatiku terasa pedih ketika aku menatapnya. Gadis itu cantik. Feminim. Jago masak dan lembut.

Sangat berbeda denganku yang kasar dan sama sekali tidak bisa masak ini.

Hinata bisa menyemangati Naruto dalam latihannya. Dia bisa memasak untuk Naruto. Dia bisa membuat Naruto senang. Sedangkan aku? Apa yang bisa kulakukan untuk Naruto?

Sifat kasarku ini membuatnya takut padaku. Aku tidak bisa memasak, namun aku memaksanya memakan masakanku. Aku berbuat janji yang bukan-bukan dengannya sehingga dia hampir mati berkali-kali karena mencoba menepati janjinya. Aku terlalu lemah dan tidak bisa membantu mengembalikan Sasuke-kun. Aku tidak bisa melindungi Naruto ketika Pain nyaris mengalahkannya. Aku hanya berdiri dari tempat yang jauh, mengawasi Naruto yang sekarat. Hinata-lah yang rela mengorbankan diri untuk menyelamatkan Naruto. Dia tahu bahwa dia tidak bisa menang melawan Pain, namun dia tetap pergi dan menolong Naruto.

Aku sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa untuknya.

Tiba-tiba aku merasa kalau aku ingin kabur dari tempat ini sekarang juga. Aku ingin menghilangkan diri dari hadapan Naruto. Cowok itu punya Hinata. Dia tidak mungkin membutuhkan cewek kasar dan tidak berguna sepertiku.

"S-sakura-chan?" Naruto memanggil namaku. "Anu, bukannya aku minta dipukul, ya. Tapi kenapa kau masih belum memukul kami? Biasanya kau pasti langsung memukul kami.."

"Memukul?" Hinata tersentak kaget. "Anu, Sakura-san… Naruto-kun baru saja memar-memar karena latihan… Jangan pukul dia, ya?" Hinata memohon dengan takut-takut.

Leherku kembali tercekat. Hatiku terasa sangat sakit. Aku ingat perasaan sakit ini. Aku merasakan perasaan ini ketika Sasuke-kun pergi dari Konoha. Aku merasa kehilangan. Naruto sudah tidak membutuhkanku. Dia membutuhkan Hinata.

"A-aku baru ingat kalau aku ada urusan penting," aku tertawa kaku sambil memalingkan tubuhku dari Naruto dan Hinata. "Sampai jumpa, Hinata, Sai, N-Naruto..." aku sama sekali tidak sadar kalau suaraku sudah bergetar. Tanpa buang waktu lagi, aku berlari keluar dari gua, meninggalkan teman-temanku yang kebingungan.

Sesampainya di luar gua, aku langsung melemparkan keranjang makanan yang sejak tadi kupegang. Naruto tidak akan membutuhkan itu. Setidaknya, aku tidak mau sistem pencernaan-nya jadi rusak karena onigiri yang tidak enak itu. Setelah membuang keranjang itu, aku melesat menuju rumahku. Aku tidak bisa menahan air mata yang nyaris tumpah ini. Aku tidak tahu kenapa aku mau menangis. Setiap kali membayangkan Hinata dan Naruto bersama, dadaku terasa sesak. Aku tahu bahwa aku menyukai Sasuke-kun, namun aku tidak bisa menolak kenyataan bahwa hatiku terasa pedih ketika membayangkan Naruto pergi menjauh dariku.


Aku sama sekali tidak sadar bahwa hari sudah gelap ketika aku membuka mata. Sepertinya aku ketiduran setelah menangis meraung-raung tadi. Aku mengusap mataku sambil tersenyum pahit. "Memalukan…" gumamku. Pergi begitu saja dari hadapan Naruto dan yang lain. Pasti mereka tahu bahwa ada sesuatu yang aneh terjadi padaku. Aku menarik napas dalam-dalam. Sudahlah. Aku tidak boleh bermuram durja terus seharian ini. Aku harus semangat! Setelah memaksakan sebuah senyuman, aku beranjak dari ranjang dan berniat untuk membaca buku yang baru saja kupinjam dari perpustakaan.

"Lho? Dimana buku itu?" aku bergumam bingung ketika aku sadar bahwa aku tidak membawanya bersamaku. Lalu, tiba-tiba aku teringat dimana aku meletakkannya. Aku tersentak dan menepuk dahiku. "Di keranjang yang kubuang itu! Sialan…" Aku tidak boleh menghilangkannya. Itu buku perpustakaan! Setelah menghela napas panjang, aku membuka jendela dan melompat keluar, melesat menuju hutan dimana aku membuang keranjang itu.

Sesampainya di hutan, aku kebingungan karena aku sama sekali tidak bisa menemukannya. Di sela-sela kepanikanku, aku mendengar suara langkah kaki seseorang. Aku menajamkan pendengaranku dan pelan-pelan, aku meraih kunai. Langkah kaki itu semakin mendekat. "Siapa?" aku berseru dengan suara lantang dan garang.

"Ini aku, Sakura-chan."

Keteganganku melenyap ketika aku menatap sosok cowok dengan rambut pirang dan sepasang mata biru yang terang. "Naruto! Kau mengagetkanku!" aku menghela napas dan kembali memasukkan kunai-ku.

"Sedang apa kau disini?" tanya Naruto sambil tersenyum. "Mencariku, ya?" tanyanya sambil menyeringai. Aku tersenyum geli melihat cengiran konyolnya itu. Entah mengapa, aku merindukan cengiran itu.

"Siapa yang mencarimu! Aku mencari keran.." ucapanku terhenti. Jika kuberitahu bahwa aku kehilangan keranjang, dia pasti ngotot untuk ikut mencari benda itu. Aku tidak mau Naruto tahu apa isi keranjang itu. "Tidak apa-apa," gumamku, lemah.

"Jangan-jangan Sakura-chan mencari ini?" Naruto menyodorkan sebuah keranjang bewarna coklat. Mataku terbelalak ketika aku menatap keranjang milikku.

"Ah! Kenapa keranjang itu bisa ada padamu?" tanyaku sambil mengambil benda itu dari tangannya. Aku membuka tutupnya dan aku melongo ketika manatap satu-satunya benda yang tersisa di dalam sana adalah buku perpustakaan. "Lho? Dimana onigiri dan obat penambah stamina-nya?"

Naruto menyeringai sambil menepuk perutnya, membuatku semakin melongo.

"Kau habiskan semuanya? Onigiri itu untuk porsi 3 orang lho!"

"Benarkah? Aku sudah habiskan semuanya." Naruto menyeringai. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi dan hanya menatapnya seperti orang tolol.

"Astaga… bukankah kau sudah makan onigiri buatan Hinata? Itu kan lebih enak!"

"Memang, sih…" Naruto bergumam sambil meletakkan tangannya di belakang kepala. "Tapi aku lebih suka onigiri buatan Sakura-chan. Itu kan sesuatu yang Sakura-chan buat untukku. Rasanya, kalau aku memakan itu, aku bisa menjadi lebih kuat." Naruto tersenyum, membuatku kehilangan kata-kata.

"B-benarkah? Kau merasa lebih kuat? Bukankah dengan memakan itu perutmu akan sakit?"

"Aku sudah kebal, sih!" Naruto menyeringai. "Tidak peduli dengan apa rasanya, yang pasti, ketika aku memakan onigiri itu, aku seakan-akan mendengar suara Sakura-chan yang menyemangatiku. Karena itu, aku tidak akan menyerah! Aku akan terus berlatih untuk menjadi Hokage terkuat dan menyelamatkan Sasuke!" Cowok itu tersenyum ke arahku sambil mengancungkan jempolnya. "Itu janji seumur hidup."

Mendengar ucapan Naruto, aku jadi teringat sesuatu. Aku teringat apa alasanku untuk belajar menjadi ninja medis. Cowok ini selalu mengorbankan diri untuk melindungiku. Dan aku hanya bisa melihatnya terluka. Aku ingin melindungi Naruto. Karena itu aku belajar menjadi ninja medis. Perlahan-lahan, senyumku muncul.

"Dasar bodoh," gumamku. "Kau ini hanya menyusahkanku saja! Berlatih sampai menghancurkan tubuhmu sendiri! Bagaimana kalau kau sampai tidak bisa menggerakkan tubuhmu lagi?"

"Hehe, kan ada Sakura-chan yang bisa menyembuhkan luka-ku!"

Aku tersenyum lebar. Yah, setidaknya aku bisa menyembuhkan cowok idiot ini. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan Hinata. Entah mengapa, aku merasa puas akan hal yang tidak bisa dilakukan Hinata ini.

"Kalau begitu, aku juga akan berlatih lebih keras supaya aku bisa menyembuhkanmu terus!" Aku menyeringai sambil mengeluarkan buku kesehatan yang kupinjam.

"A-anu, Sakura-chan…"

"Apa?"

"Bagaimana kalau kau meminjam buku memasak saja? Biar masakannya lebih enak?" tanyanya sambil meringis. Aku mendengus dan memasang wajah marah.

"Apa? Kau menghina masakanku?" teriakku dengan suara lantang. Naruto cepat-cepat menundukkan kepalanya sambil menggeleng panik. Aku cekikikan menatap tingkahnya itu. Sekarang, aku merasa sangat lega. Kesedihan yang sejak tadi berada di dadaku entah lenyap kemana. Aku tidak tahu mengapa aku begini peduli dengan Naruto. Sebenarnya, bukan urusanku jika Naruto mau pacaran dengan Hinata. Tapi entah mengapa aku tidak suka dengan bayangan mereka berdua pacaran. Jangan-jangan… aku suka Naruto? Aku menatap pemuda yang berdiri di sebelahku ini.

Ah, tidak mungkin. Aku suka Sasuke-kun.

Tapi kenapa selama ini kau terus memikirkan Naruto? Hati nuraniku mulai berbicara. Kau menangis karena takut Hinata akan merebutnya.

Perlahan-lahan, aku tersenyum. Mungkin saja aku menyukainya. Sasuke tidak ada di sisiku selama ini. Sedangkan Naruto terus berada di sisiku.

"Anu, Sakura-chan. Aku mau memberitahu sesuatu padamu." Naruto mulai berbicara.

"Apa?" tanyaku sambil tersenyum.

"Aku baru saja pacaran sama Hinata."


TBC

Makasih udah baca :)

please di review ya!

arigatou!