Genre: Romance, Humor

Rating: T

Warning: BL, Ga-je, Amatir Author.

OOC: Male!Indonesia, Male!Malaysia, Male!Batavia, Male!Thailand, Male!Laos, Male!Myanmar, Fem!Singapore.

Disclaimer: Hidekaz Kishimoto *plak*. Hidekaz Himaruya.

A Piedi

Anak itu, anak lelaki yang hidup dengan memangkul nama sebuah Negara di pundaknya. Menjalani hidup yang tak seperti anak seusianya. Tak selayaknya. Dia harus menghadapi banyak perang dan melindungi penduduk yang bernaung di bawah nama negaranya—tanpa boleh pandang bulu. Semua orang menyayanginya dan memandangnya dnegan penuh hormat dan rasa kagum. Semua kaum hawa ingin memiliki keturunan sepertinya. Ia adalah personifikasi dari Negara merah putih, Indonesia.

Hidupnya bukanlah seperti apa yang angin bawa dari telinga ke telinga. Bukan seperti apa yang tersuratkan. Ada alasan, selalu ada alasan dalam semua hal. Alasan kuat ia terpilih menjadi personifikasi Negara adalah, ia anak sebatang kara. Ayahnya meninggal dalam kecelakaan saat hendak menemani sang bunda melahirkan. Dan ibunya meninggal setelah melahirkannya. Ini merupakan rahasia Negara yang hanya diketahui oleh petinggi Negara dengan janji sakral. Yang melarang untuk memperbolehkan satu angin pun untuk meniupnya.

Orang yang melanggar janji harus kehilangan nyawanya. Begitulah hukum alam. Memang terdengar kejam. Namun pertaruhan reputasi sang laki-laki Negara itu lebih harus didahului.

Menjadi anak yang mewakili Negara tidak menjadikan dirinya sempurna. Lagi-lagi angin salah meniup kabar. Laki-laki itu tetap bersekolah. Bersosialisasi. Bernafas dan makan makanan negaranya yang dari Sabang sampai Merauke itu enak. Tapi ia tak boleh melewati batas-batasan yang ada. Ia bersekolah di sekolah khusus bagi anak yang bernasib sama sepertinya, Hetalia Gakuen. Ia tak boleh bermain selain dengan para mentri dan segunung kertas pekerjaan yang tak pernah bosan-bosannya datang. Ia dipenjarakan oleh waktu.

Ia bukan murid terpintar di kelasnya. Ia hanya anak biasa. Sering tertidur di kelas, bengong, ngupil, menguap, ngom…

"Woi! Kok narasinya jadi ngejelekin gua gini?"

Eh, ya, maaf. Anak lekai itu bernama Nusa Pratama Putra. Sang lelaki garuda (kacangnya kacang). Rambut hitamnya yang menutupi dahi dan tak melebihi standar 'anak rapih nan soleh' ala Indonesia. Tingginya yang rata-rata begitu sempurna dnegan kulitnya yang berwarna sawo matang. Lebih putih sedikit dari Spain. Tata bicaranya yang halus…

"Ah! Bacod nih narator! Gua sumpel pake kaos kaki yang belom gua ganti dari seminggu lalu juga, nih!"

…begitu sopan. Ia juga dikenal cinta damai…

"Ngajak ribut, ya, lu? Gua duluan yang nyentuh itu pisang coklat! Malooon!"

…kata-kata yang ia lantunkan tak pernah kasar…

"Malooon! An*piiip* lu! Bang*piiip*! Balikin piscok gua!"

…sangat tradisional. Sikapnya juga sangat sopan…

"Indonesia! Coba kamu jawab soal ini!"

"Costbarer"

Sebuah kapur melayang tepat ke dahinya dalam radius 80 km/jam.

"Dari mana jawaban itu?"

Indonesia mengelus dahinya. "Maaf, pak, tadi inyong lagi nyoba gugel translet"

…sangat sopan. Nilai studinya pun memuaskan…

"Amboi! Gua dapet 10!"

Singapore menoleh. "Tapi nilai tertinggi 100, kak."

…memuaskan. Tidak ada yang berkata bagus. Dia anak yang rajin berolahraga…

"Kenapa kamu nggak olahraga, Indonesia?"

Ia memegangi perutnya. "Maaf, pak, nyeri haid-ku tadi parah sekali"

"Be, begitu? Maafkan ba… JANGAN BERCANDA! MANA ADA LAKI-LAKI HAID?"

Dan detik berikutnya, Nusa bermain adegan indihe bersama sang guru berkeliling lapangan sekolah. Benar-benar rajin.

.

.

.

Tanpa disadari oleh dirinya sendiri, banyak anak yang diam-diam terpikat olehnya…

"Hei lihat. Itu anak dari Indonesia."

"Tampannya."

"Ih, coba dia hombreng, ya, bok. Euh, pengen eike raep rasanya."

Hawa dingin pun terasa dari belakang Indonesia dengan kehadiran para kucing garong. Tentu saja Indonesia tidak membalas…

"Tokoh Beast mirip sama kamu, deh, Malay." Gumam Nusa.

"Berarti nanti kamu jadi Bella-nya, dong." Goda Malaysia.

"Kalau gua, pasti bakal ninggalin lu dan nggak balik ke istana lagi." Celetuknya. "Mau pinjem?" ia menawarkan.

"Kalo akhirnya gitu, nggak ah," gumam Malaysia. "Lagian sekarang kan sedang pelajaran."

" Justru lebih seru karena sedang pelajaran!" cetus Myanmar.

"Setuju!" seru Indonesia.

"Gitu?" tanya Malaysia, mulai antusias dengan muka mesumnya.

Sang guru yang sejak tadi menunggu mereka sadar, bergetar amarah.

…sang pheromon sedang belajar dengan serius.

.

.

.

"Selamat datang, tuan Nusa."

Anggukan.

"Salah satu kakak kelas anda sudah menunggu di ruang makan."

"Terima kasih."

Pintu ruangan terbuka. Meja makan yang megah dan panjang pun menyambutnya. Ada seorang pria di tengah-tengah meja makan megah itu.

"Selamat siang," sapanya dengan sopan.

"Satemu enak sekali," pujinya. "Da."

…ya, tamunya memang penting. Indonesia ditugaskan bertukar ilmu tentang dukun dengan Russia.

.

.

.

"Aduh," Indonesia merintih. "Sa-sakit, Malay."

"Ayo dong, Indon. Gua juga gerak, tau."

"Tapi ini udah kebanyakan. Udah nggak bisa ditampung lagi," rintihnya. "Gua… gua udah nggak tahan lagi!"

"Bentar lagi juga selesai." Malaysia bergerak.

"A! aduh!" air mata keluar dari mata Indonesia. "Malon… pelan sedikit!"

"Ma-maaf, Indon. Tadi kelepasan."

"Gua udah nggak tahan!" raung Indonesia. "Lu ulek aja itu cabe sendirian! Udah banyak tahu! Terus jangan numpah-numpahin garam! Mahal! Mata gua sakit nih!" raungnya.

"I-iya."

…Indonesia sedang bermain masak-masakkan dengan adiknya.

.

.

.

Indonesia adalah pekerja keras. Apalagi dalam hal belajar…

"Aduh, kepala gua udah pusing! Materi ujiannya kebanyakan!"

"Sabar ya, Thailand," Singapore menghiburnya.

"Ini materi apa lagi? Kita kan kelas Asing Tenggara. Buat apa belajar sejarah hidup Ratu Elizabet?"

"Dikira kita nge-fans," gumam Malaysia sambil terus menulis.

"Astaga. Indonesia masih kuat belajar."

"Kuat banget," gumam Singapore.

"Kompak, ya, sama Malay. Tumben," gumam Myanmar.

"Indon, gua udah nyatet sampai halaman ini. Sisanya lu," ujar Malaysia.

"Sip."

"Oh, gua kira belajar. Ternyata bikin back-up buat jawaban ujian," gumam Singapore.

"Yah, yang penting kompak, lah," ucap Laos.

…anak yang sangat rajin.

.

.

.

Ini merupakan salah satu pembicaraan intim antara Malaysia dan Indonesia…

"Malon, kalau nanti gua udah nggak ada, jaga adik-adik, ya?"

Malaysia tidak langsung menjawab. "Kapan meninggalnya?"

Hening yang cukup panjang. "Kamu ini."

"Oi, kapan?"

"Soalnya, kadang kita nggak tahu apa bakal ada hari esok atau nggak."

…intim.

.

.

.

Indonesia sedang membaca buku di perpustakaan ketika Laos menghampirinya.

"Oi."

"Hn."

"Tumben di perpustakaan. Kenapa? Lagi berantem sama Malay?"

Hening sejenak. "Malaysia itu… selalu bawa dompet berwarna kuning. Di bilang itu adalah lambang kebahagiaan. Sampai berendam pun dompet itu selalu di bawa…" hening sejenak. "Huh. Apa itu yang namanya kebahagiaan?"

Laos dengan muka pucat antara mau tertawa dan panik karena tiba-tiba ditanya, hanya bisa menyimpulkan, "ngingau?"

.

.

.

Hari ini adalah hari ulang tahun Sealand. Semuanya meratakan dengan suka cita…

"Selamat, ya, Sealand," ucapan dari para Nation.

"Ini hadiah kamu," ucap Indonesia. Ia menyodorkan kadonya yang lumayan besar.

Sealand membukanya dan keningnya berkerut. "Hi-lo?"

"Tumbuh tuh ke atas, bukan ke bawah," senandung Indonesia.

"YOU GITT!" seru Sealand sembari membanting kado dari Indonesia.

…semuanya senang.

.

.

.

"Indon, udah berapa lama kita pacaran?" adalah pertanyaan yang diajukan Malaysia pada Indonesia saat perjalanan menuju sekolah.

"Berbulan-bulan."

"Sudah dua tahun!"

"Dua tahun terdiri dari berbulan-bulan."

Malaysia tak bisa membalas ucapannya. "Kenapa kau tidak memberitahuku?"

"Hn?"

"Bahwa kau sudah sekali bercerai…"

"Aku sudah…"

"Dua kali menikah."

Indonesia seketika bungkam. Ia hanya menatap Malaysia dengan wajah tidak percaya. Ia tidak berusaha mengelak.

"Kenapa kau tidak pernah menceritakan tentang Netherland? Dan Batavia?" tuntut Malaysia.

Indonesia memalingkan wajahnya. Mereka berdiam diri. Hingga mereka samapi di depan gerbang sekolah. "…Karena mereka sudah tidak ada. Tak ada lagi yang bisa diceritakan. Cerita selesai," suara Indonesia sedikit goyah di akhir.

Malaysia tak membantah atau mengatakan apa-apa lagi. Ia terbungkam dengan wajah terluka Indonesia untuk pertama kalinya. Cerita yang dia sembunyikan tentang suami dan anaknya. Ia ingat apa yang dikatakan Australia padanya,

"mereka melihat penembak jitu dan mengenalinya. Sang penembak mengejar mereka…kejadian itu terjadi ketika Indonesia sedang bertugas ke Jepang."

Sungguh ironis. Sikap ceria yang selama ini Indonesia tunjukkan, kenapa ia tak menyadari? Bahwa itu hanya benteng pertahanan diri. Untuk melindungi diri dari masa lalu yang menyakitkan. Indonesia hanya tak ingin terluka lagi dan ia berpura-pura bahwa ia baik-baik saja.

.

.

.

Hubungan Indonesia dan Malaysia itu rukun sesuai dengan kartun Tom and Jerry. Masalah kecil bukanlah tantangan…

"Bang*piiip* kau Malon!"

"Kurang ajar! Kau yang duluan nyenggol aku tahu, Indon!"

…sama sekali bukan masalah.

"Aku tahu, Indon. Kau marah karena perutmu lapar, kan?"

"Bukan!"

"Udah, nggak usah dibahas lagi. Nih, ada tahu bulat spesial lho!"

" 'kan sudah kubilang bukan!" hening sejenak. "Tapi ngomong-ngomong, aku mau dong."

Lihat?

.

.

.

Indonesia adalah anak yang suka bertualang. Ia rela menyenangkan para pegawainya dengan tugas yang menumpuk. Membuat mereka harus kerja lembur tanpa bayaran lebih. Karena uang lemburnya dipakai untuk jalan-jalan, tentu saja.

"Ini dimana, Lon?"

"Nggak tahu," jawaban itu mendapat death glare dari kekasihnya. "Keluarga gua baru pindah dan gua baru ke dua kalinya ke sini."

"Telepon dong!"

"Nggak ada sinyal," Malaysia mengayun-ayunkan ponselnya.

Indonesia memukul keningnya sendiri.

"Ah, ada sinyal. Halo? Ya, memang Einstein lebih cakep dari Hitler. Ya. Ya. Oh, bener bener. Ayah betul. Ya? Oh, iya. Bye."

"Apa katanya?"

"Hitler cakep."

"Arah ke rumahmu?"

"Hah?"

…bersama Malaysia, perjalan terasa takkan pernah berakhir.

.

.

.

Indonesia adalah sosok kakak yang dapat diandalkan. Diam-diam Malaysia pun mengakui. Ia-lah orang penengah jika terjadi masalah…

"Ayo ngaku gay*piip*! Lu udah mencuri duit!"

"Kalau sudah menemukan bukti yang cukup, silahkan telepon pengacara saya."

"Kak, boleh aku tonjok dia?" tanya Singapore pada Indonesia.

"Jangan."

"Kami menemukan bukti dalam bentuk kode yang ternyata adalah cek sebesar US $.1000 atas nama gay*piip*," ujar Laos.

"Dasar tamak!" cemooh Singapore.

"Masih ada lagi?"

"Boleh kutonjok dia kak?" tanya Singapore lagi.

"Jangan."

"Hei, wig dora! Tomingse! Jangan mengelak lagi kau!" seru Malaysia.

"Untuk orang seperti Kolonel Daniel, ia tidak akan bisa membuat kode layaknya seorang teknisi ekspert, sepertimu," ujar Myanmar.

"Ia meminta bantuanku. Lalu ia membayarku."

"Singapore," gumam Indonesia sambil memiringkan badannya, memberi jalan bagi Singapore yang berdiri di belakangnya.

Dalam hitungan detik, sang koruptor sudah jatuh tergeletak di lantai dengan hidung berdarah akibar pukulan dari Singapore.

"Bawa dia ke pengadilan," gumam Indonesia pada anak buahnya.

…satu kasus, selesai.

.

.

.

"As-ta-ga," Malaysia tersenyum jahil ketika menemukan satu bungkus kaset kosong di samping pemutar musik. "Selalu mengejutkanku. Kaset? Kemana Indonesia yang suka dengan teknologi?"

Tak ada jawaban.

Mereka sedang berada di ruangan keluarga, berdua. Malaysia menekan tombol "play" pada pemutar musik. Alunan musik mulai memenuhi ruangan. Suara biola yang memainkan lagu Indonesia Raya begitu indah. Malaysia mulai menutup kedua matanya—menikmati musik yang mengalun dengan lembut.

Musik selesai.

"Hai, Ayah Indo," Suara bocah kecil terputar dari kaset. "Bagaimana permainanku? Aku akan mahir memainkan biola saat kau sudah pulang nanti!"

"Hai, Putra," suara pria yang terdengar begitu lembut.

"Ayah Indo, cepatlah pulang. Aku dan ayah Nether akan menanti di rumah!" serunya.

"Cepatlah pulang, Putra."

Adalah akhir dari isi kaset tersebut. Netherland dan Batavia, pikir Malaysia. Malaysia tak berbicara. Ia tak sanggup. Seolah sudah membuka kotak terlarang, ia merasa bersalah. Indonesia yang duduk di sofa, hanya terdiam. Ia menatap ke arah perapian. Wajahnya tak mengatakan apapun namun matanya memancarkan kesedihan.

Malaysia menyadari, ada lubang dalam diri Indonesia yang takkan bisa diisi dengan siapapun. Bahkan dirinya.

fin