Ciao~

Adakah yang masih nunggu fic ini? #ngarep.

Maaf untuk keterlambatan update-nya. Banyak tugas dan WB kambuh kala saya mau nulis lanjutannya, dan baru teratasi pada seminggu belakangan ini. Gomen, sebelumnya U_U.

Untuk Mitama134666, Sho-Meka Dixxon Scarlet, Iin cka you-nii, aajni537 dan Mayou Fietry sudah dibalas lewat PM.

Buat :

Hyouma Schieffer : Hai Shiro-chan! Terasakah sedihnya? Saya hobi banget buat cerita sedih sih #dibuang. Yosh! Ini udah update! Makasih buat reviewnya! XD

Natsu-chan : Halo, Natsu-chan! Haha, makasih buat ucapannya XD. Maaf ya kalo apdetnya chapter ini telatnya minta digorok XP. Iya, Hiruma co cwit ah~ #plak. Makasih buat reviewnya! XD

Balasan review udah selesai. Now read and enjoy~


.

.


Hiruma's POV

"Nah, waktunya pergi," ucapku sambil menyeringai seperti biasa.

"Tidak—jangan!" gadis itu mencoba meraihku.

"Arriverderci, Kuso Mane." Salamku sambil menyeringai kepadanya.

"Tidak—HIRUMA-KUUUN!" pekiknya kencang. Tubuhku mulai menjadi kabut dan—

"HIRUMA-KUUUUUUUUUN!"

—suara pekikan gadis itu menjadi suara terakhir yang kudengar dari Earthia. Suara terakhir dari dirinya sebelum aku memudar menjadi kabut.

Arriverderci, Mamori.

End of Hiruma's POV


. . .

Title : Mamori's Wish

Last Chapter : Rainbow

Story by : Hikari Kou Minami

Idea by : Hikari Kou Minami

Disclaimer : Eyeshield 21 by Riichiro Inagaki & Yuusuke Murata

Pairing : HiruMamo (main pair)

Genre : Fantasy, Romance

Warning : Sebagian besar AU, GAJEness, misstypo (buat jaga – jaga), HIRUMA AMAT SANGAT OOC, Yamato kumasukin di Deimon High School, beberapa OC, romance-nya gak kerasa.

Saran : Siapkan mental sebelum membaca, setelah membaca fic ini, silakan banting hp atau laptop atau komputer yang digunakan untuk membaca fic aneh ini, silakan tekan tombol 'Back' untuk kembali ke hal sebelumnya.

Pesan : Semoga anda suka

Don't like don't read

. . .


—Mamori's Wish © Hikari Kou Minami—


Normal POV

"HIRUMA-KUUUUN!"

Sejenak pekikan itu terdengar di sebuah bangku yang berada di dekat sebuah apartemen yang terlihat usang dan tak berpenghuni. Suara pekikan seorang gadis yang lama kelamaan tenggelam oleh rintihan deras titik-titik air yang mengguyur diri gadis itu beberapa saat yang lalu—membuat tubuhnya kebas.

Hening. Hanya melodi monoton hujan yang terdengar. Biru safir itu masih membelalak tak percaya. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh setan berambut spiky kuning yang beberapa saat yang lalu ada di sana bersamanya. Ia benar-benar tidak percaya. Sejenak, permata safir seindah laut itupun mulai berlinang.

Isakan. Hanya itu yang keluar dari bibir tipis merah mudanya. Isakan yang kemudian disusul dengan lelehan air hangat nan asin yang turun dari pelupuk matanya. Lelehan yang tak ada bedanya dengan titik-titik air yang kini mengguyurnya. Sejenak, ia lalu mengusapnya perlahan dengan punggung tangannya yang sama kebasnya dengan wajahnya. Namun, isakan itu masih terdengar.

"Kenapa ..."

"Kenapa kau tidak mengatakannya lebih awal, Hiruma-kun ...?" gadis itu bertanya yang entah kepada siapa.

"Kalau kau mau membuatku bahagia, kenapa kau malah menghilang? Ini justru membuatku menjadi tidak bahagia, bodoh!" pekik gadis itu kemudian. Tiada jawaban terdengar. Hanya rintik hujan yang menyahut pekikannya.

"Jawab Hiruma-kun! Jawab!" pekik gadis itu lagi dengan kepala menengadah. Rambut auburn-nya yang tadi menutupi wajahnya kini terurai dari wajah cantiknya. Tiada jawaban terdengar lagi. Jelas—karena orang yang dipanggil dengan 'Hiruma-kun' itu—sudah tidak ada di sana.

Dan, hujan pun hanya bisa menjadi saksi berpisahnya dua makhluk berbeda ras itu. Saksi bisu yang hanya mampu melihat mereka dalam diam. Diam tanpa jawaban.


—Mamori's Wish © Hikari Kou Minami—


"Tadaima...."

"Okae—Mamo-neechan!" Angeli Anezaki terkejut mendapati kakaknya—Mamori Anezaki—pulang dalam keadaan basah kuyup. Tangannya yang tadi memegang mangkuk berisi salad yang akan ia hidangkan untuk makan malam segera meraih tubuh sang kakak—meninggalkan mangkuk itu di meja.

"Ma-Mamo-neechan! Kau baik-baik saja? Kenapa basah kuyup begini? Aneki lupa bawa payung, ya? Kenapa nggak berteduh dulu waktu pulang tadi? Aku 'kan bisa menjemput aneki," gadis berambut hitam itu mulai membombardir Mamori dengan berbagai pertanyaan bernada khawatir itu. Mirip seperti dirinya.

Tersenyum tipis, Mamori pun menjawab, "Kakak baik-baik saja, kok,". Melepaskan pegangan adiknya, gadis itupun melepaskan sepatunya. "Kakak mau mandi dulu. Kalau makan malamnya sudah siap, panggil kakak ,ya!" seru Mamori sambil melangkah masuk ke dalam rumah—menuju kamar mandi. Sementara di depan pintu, sepasang bola safir hanya mampu memandang punggungnya dengan tatapan miris.


—Mamori's Wish © Hikari Kou Minami—


"Mamo-neechan! Kenapa makannya pelan sekali gitu? Nggak napsu makan, ya?" tanya seorang gadis berambut hitam—Angeli—yang menghentikan acara makannya sejenak ketika melihat sang kakak—Mamori—yang makan dengan tidak bernapsu.

"..." Hening. Mamori tidak menjawab pertanyaan adiknya.

"Mamo-neechan!"

"..."

"Mamo-neechaaan!"

"..."

"MAMO-NEECHAN!"

"Ah—iya! Ada apa?" Mamori tersentak dari lamunannya setelah ia mendengar seseorang—adiknya—memanggil dirinya. Sementara yang memanggil—Angeli—hanya bisa menghela napas melihat kakak perempuannya yang sedari tadi melamun.

"Aneki kenapa? Melamun, ya?" tebak gadis bermata biru itu.

"Ti—Tidak, kok!" dusta Mamori dengan senyum canggung di wajahnya. "Ayo teruskan makannya!" kata gadis berambut auburn itu sambil mengambil sesendok nasi kare dari piringnya.

"Terus kenapa tadi nggak menyahut waktu kupanggil?" gerak tangan gadis yang lebih tua itu terhenti sejenak ketika gadis yang lebih muda bertanya. Sejenak, pandangannya kosong.

"Err ... tadi kakak sedang memikirkan sesuatu, jadi nggak merhatiin ketika kamu panggil," jawab Mamori sambil tersenyum tipis. Tersenyum tipis penuh kecanggungan dan kepalsuan. Angeli hanya menjawab dengan 'Oh' pelan sambil melanjutkan acara makan malamnya. Dan hening pun menyelimuti acara makan tersebut. Tak ada yang mau membuka pembicaraan hingga—

"Tadaima!"

—dua buah suara terdengar dari pintu masuk depan—kedua orangtua mereka.

"Okaeri!" Angeli segera menghentikan acara menyuapnya dan berjalan ke arah pintu depan, sementara Mamori masih melamun dalam diam di ruang makan. Sepertinya gadis itu tidak begitu memperhatikan kedatangan orangtuanya.

"Kami baru saja makan malam. Bagian Kaa-san dan Tou-san juga sudah kusiapkan," kata Angeli dari arah pintu depan.

"Anak baik. Kalau begitu, kami ganti baju dulu ya," ucap Mami Anezaki sambil tersenyum ke arah sang putri bungsu. Sang ibu dan ayah lalu segera berjalan masuk ke rumah.

Beberapa menit kemudian, keluarga Anezaki pun lengkap sudah berada di ruang makan. Empat piring kare terhidang dengan salah dua piringnya sudah berkurang isinya—milik Angeli dan Mamori. Entah ada hawa apa di sana, Mami dan Tateo terlihat senang.

"Hei, malam ini, Kaa-san punya berita bagus untuk kalian!" kata sang ibu di sela acara makan tersebut.

"Kalau boleh tahu, berita bagus apa itu, Kaa-san?" tanya Angeli sedikit bersemangat. Sementara Mamori—masih saja terdiam sambil sesekali menyendokkan kare-nya.

Dengan senyum terulum, Mami melirik ke arah Tateo dan kemudian berkata, "Ayah kalian mendapatkan kembali pekerjaan pilotnya!"

DEG!

Sejenak, gerakan tangan Mamori untuk menyendok berhenti ketika mendengar ucapan sang ibu. Tubuhnya menegang. Pegangan pada sendoknya menguat dan entah kenapa, matanya panas dan—basah.

"Benarkah itu, Kaa-san, Tou-san?" Angeli mencoba meyakinkan pendengarannya.

"Iya, sayang. Akhirnya, ayah kalian bisa bekerja lagi!" ucap wanita berumur paruh baya itu sambil tersenyum senang. Sementara suaminya, hanya bisa tersenyum senang.

"Aku sudah selesai makan. Bolehkah aku kembali ke kamar?" tiba-tiba Mamori berdiri dari duduknya. Ketiga anggota keluarga Anezaki yang lain sontak menoleh ke arah putri sulung keluarga tersebut.

"Kenapa makannya sudah selesai, Mamo-chan?" tanya Mami bingung. "Kare-mu masih tersisa,"

"Aku mau mengerjakan tugas dari sekolah dulu, Kaa-san. Aku juga sudah kenyang, kok," jawab Mamori dengan senyum terhias di bibirnya. "Maaf ya, An-chan, jadi nyisa begini," katanya lagi sambil menoleh ke sosok adiknya.

"Tidak apa-apa, kak, kalau kakak memang sudah kenyang," sahut Angeli kemudian.

"Kalau begitu, aku kembali ke kamar dulu!" ujar Mamori lagi sambil berjalan keluar ruang makan—menuju kamarnya. Berjalan cepat, Mamori tidak mendengar ucapan apapun lagi dari arah ruang makan. Ia benar-benar ingin sendiri sekarang.

BRAK!

CKLEK!

Mamori menutup dan mengunci pintu kamarnya. Bersandar di daun pintu, tubuh gadis itu bergetar perlahan. Perlahan, tubuh mungilnya itu terseret jatuh ke lantai kamarnya. Tetes-tetes bening mulai meluncur jatuh dari wajah cantiknya. Perlahan, tetes air itu menderas dan mulai membasahi pakaiannya. Segera ia menekuk kakinya dan lengannya serta menangkupkan wajahnya dalam tekukan tangannya. Isak pun mulai terdengar dari bibir mungilnya.

Ucapan dari ibunya tadi, membuatnya mengingat kembali pertemuan terakhirnya dengan Hiruma—setan yang mencintainya dan yang ia cintai kini. Ayahnya mendapatkan pekerjaannya kembali, itulah permintaan terakhirnya yang dikabulkan oleh Hiruma dan yang membuat setan itu gagal dalam misinya.

Sungguh, ia menyesal mengucapkan permintaan itu. Seandainya, ia tidak mengucapkan permintaan itu, pasti ia sudah pergi dari dunia ini dan Hiruma berhasil dalam misinya serta kembali ke dunia setan. Dan—ia pasti takkan merasa sesedih ini di dunia sana. Tiada kesedihan. Semua saling berpisahan tanpa perasaan apapun.

Tapi, kini ia masih di dunia, sedangkan setan itu telah kembali ke dunianya sendiri untuk diubah wujudnya menjadi—malaikat. Dan parahnya, kini ia malah diliputi kesedihan mendalam atas hal itu. Tidak bahagia sesuai ucapan Hiruma waktu itu. Tidak sama sekali.

Mencengkeram erat lengan bajunya, isak tangis Mamori semakin keras. Semakin keras dan terdengar pilu serta menyayat. Hingga ia tidak menyadari, seorang gadis kecil tengah berhenti mematung di depan pintu kamarnya.


—Mamori's Wish © Hikari Kou Minami—


Berjalan dalam hening, Mamori berangkat ke sekolah. Semenjak masa berlaku permintaannya habis, ia sudah tidak dijemput oleh para 'teman palsu'-nya. Ia sudah tahu itu dan tidak berminat untuk bisa berteman lagi dengan mereka. Sejenak, ketika ia memasuki halaman sekolahnya, semua orang memperhatikannya dengan pandangan bingung. Ia tahu, semua pandangan itu dikarenakan oleh hal yang sudah tertulis di atas. Dan Mamori tidak peduli akan hal itu semua. Ia masih terlarut dalam kesedihannya sendiri.

"MAMORI-CHAN!"

Terdengar pekik riang yang disusul dengan rangkulan dari arah belakang Mamori.

"Ako-chan! Sara-chan!" sahut Mamori ketika mengetahui siapa orang yang sedang memanggil serta merangkulnya. Kedua gadis itu hanya tersenyum riang.

"Tumben sendiri?" tanya si gadis berambut panjang—Sara.

"Nggak bareng sama tiga cewek itu?" susul yang berkacamata—Ako.

Mamori hanya tersenyum simpul. "Tidak. Aku tidak dan tidak akan pernah bersama mereka lagi," jawab gadis blasteran Amerika-Jepang itu kemudian.

"Benarkah itu?" tanya Ako, tidak yakin. Mamori hanya mengangguk pelan sambil tersenyum.

"Yeeey! Mamori kita sudah balik seperti dulu lagi!" seru Sara senang. Sementara Ako tertawa senang, Mamori hanya tersenyum tipis. Sebagian kecil hatinya memang sedang bahagia karena teman-temannya yang dulu sudah kembali. Namun, sebagian besar hatinya—masih dikaluti sebumbung kesedihan.


—Mamori's Wish © Hikari Kou Minami—


Kelas pun dimulai. Terlihat guru tengah mengabsen setiap murid di kelas 2-1—kelas Mamori. Nama-nama setiap murid di kelas tersebut pun terpanggil satu persatu. Satu persatu, namun nama 'Hiruma Youichi' tidak terdengar dari bibir sang guru. Mamori menghela napas perlahan ketika menyadari hal itu. Keberadaan lelaki setan itu sudah ditiadakan di dunia ini.

Sepulang sekolah, seperti biasa, Mamori menuju ke ruang klub American Football dengan langkah sedikit tergesa. Latihan sore seperti biasa, dan ia, sebagai Manajer, harus menyiapkan manisan lemon untuk seluruh anggota klub. Tergesa-gesa, karena ia merasa jika ia terlambat, maka ia akan dimarahi oleh seseorang. Begitu sampai di ruang klub, Mamori segera membuka pintu ruang itu dan ia melihat—

—kekosongan dalam ruang tersebut. Mamori menepuk dahinya pelan. Ia merasa bodoh mengharapkan seseorang sudah berada di ruang tersebut tadi. Seseorang yang biasanya sudah duduk dengan menyilangkan kaki di atas meja, mengunyah permen karet sugarless dengan tangan sibuk mengetikkan sesuatu di papan keyboard. Seseorang yang akan memarahinya jika ia terlambat satu detik saja.

"Mamori bodoh! Dia 'kan sudah nggak ada di dunia ini! Sudah lenyap!" ujar Mamori memarahi diri sendiri. Ia pun berjalan ke dalam ruang klub tersebut. Meletakkan tasnya ke atas meja sambil memandangi kursi yang biasa diduduki oleh orang itu. Ia pun menuju dapur untuk meletakkan manisan lemonnya yang nanti akan ia persiapkan saat istirahat. Karena belum ada tanda-tanda kedatangan anggota lain, ia pun memutuskan untuk menyeduh kopi.

Beberapa menit kemudian, ia pun kembali ke ruang depan sambil membawa secangkir kopi. Ia pun meletakkan cangkir kopi itu di meja seraya mengucapkan, "Ini Hiru—"

Sejenak, ia pun membungkam mulutnya dengan telapak tangannya saat ia mengucapkan hal tadi. Mamori pun memukul pelan kepalanya. 'Mamori bodoh!' pikir Mamori kemudian. Sepertinya, menyiapkan kopi untuk Hiruma telah menjadi kebiasaan gadis itu hingga ia jadi mengucapkan hal tadi. 'Bodoh! Mamori bodoh! Jadi ingat dia, 'kan?'rutuk gadis itu lagi.

Gadis itupun memilih duduk di kursi sambil menunggu anggota lain. Kopi yang sudah ia buat tadi pun, hanya ia sesap seteguk dan kemudian ia biarkan mendingin. Menekuk kedua lengannya, gadis itu merebahkan kepalanya dalam lekukan lengan tersebut. Kembali, ingatannya tentang sang kapten setan pun terputar dalam otaknya layaknya film. Film yang harus berakhir tragis.

Sedih kembali menggerayangi, namun isak 'tak kunjung terdengar. Mamori sudah menguatkan hatinya. Mungkin, selaput air matanya telah mengering hingga setetes air mata pun tak kunjung keluar. Ia sudah merelakan lelaki setan itu. Meskipun, jauh di dasar lubuk hatinya yang paling dalam, masih ada ketidakrelaan yang menawan serta mengganjal dalam pikiran.

"Hiruma-kun ..."

GREK!

Sontak, Mamori terbangun dari posisinya. Ia pun menolehkan siapa yang telah menyebabkan suara tergesernya pintu ruang klub tersebut.

"Anezaki-san?"

"Take—Ah, Yamato-san?" Mamori hampir kelepasan menyebut nama kecil sang Running Back tersebut. Gadis itupun segera berdiri dari kursi yang ia duduki tadi. Gadis itupun menatap lelaki tersebut dengan ekspresi yang—cukup—canggung.

"Kau sudah datang, ya? Cepat juga," ucap lelaki berambut ikal itu. Menatap Mamori tanpa kecanggungan di manik mata oniksnya.

"Yaah, sudah kebiasaan 'kan. Kalau tidak, Hiruma-kun akan—ups!" Mamori segera menutup mulutnya yang kelepasan menyebut nama Hiruma. Yamato memiringkan kepalanya sejenak sambil mengernyitkan dahinya—bingung.

"Siapa itu 'Hiruma-kun'? Anggota baru? Aku belum pernah mendengar nama itu sebelumnya," tanya Yamato yang seakan tidak tahu dan tidak mengenal Hiruma.

"Eh?" safir itu sedikit terbelalak. 'Yamato tidak mengenal Hiruma? Tunggu! Apa ini jangan-jangan ...'

"Anezaki-san, siapa itu Hiruma? Apakah anggota baru?" Yamato bertanya lagi.

Mamori tahu, mengapa Yamato tidak ingat siapa itu Hiruma, dan juga alasan tidak dipanggilnya nama Hiruma Youchi dalam daftar absensi.

Lelaki itu telah melenyapkan keberadaannya di dunia.

"Anezaki-sa—"

"Ah, Hiruma-kun itu adalah ... teman lamaku. Ya, teman lamaku. Teman lama sewaktu SD dulu. Sudah kebiasaan. Kalau janjian dengannya, kalau aku telat pasti aku dihukum—sekalipun itu satu detik. Jadi, aku terbiasa datang tepat waktu," potong Mamori tanpa kebohongan kecil sekalipun. Sedikit senyum canggung terpasang manis di wajah cantiknya—berusaha meyakinkan lelaki di depannya tersebut.

"Oh, begitu. Kupikir dia anggota baru," imbuh Yamato kemudian. Sesaat, lelaki itu melangkah menuju ruang loker, namun sedetik kemudian langkahnya terhenti. "Ah—Anezaki-san, boleh kita bicara sebentar?"

"Ah—i-iya. Ada apa?" kata Mamori kaget.

"Apakah sebelumnya ... kita ... pacaran?" tanya Yamato dengan nada bingung. Safir biru itu terbelalak sedikit. Peluh keringat menetes di tengkuk gadis itu.

"A—Ano ... itu ... nggak benar," jawab Mamori sedikit ragu. "Kita nggak pacaran. Mungkin aja mereka mengarang hal itu," tambah gadis itu sambil tertawa kecil. Kali ini, ia benar-benar berbohong akan hal ini.

"Oh, jadi cuma iseng saja. Kupikir beneran. Dasar!" kata Yamato sambil menghela napas lega. "Pantas dia mengatakan hal itu juga,"

"Dia?"

"Dia. Karin Koizumi. Pacarku yang sebenarnya. Kami baru saja jadian kemarin," ucap lelaki itu dengan senyum bangga yang terkembang di bibirnya. "Dia menanyakan hal itu juga, dan jelas saja aku tidak tahu akan hal itu serta membantah berita itu. Untunglah, dia mempercayaiku," tambahnya lagi.

"Oh, selamat ya. Aku juga sedikit terganggu dengan hal itu," ucap Mamori sambil tersenyum tipis. "Kemarin ya ..." bisik gadis itu kemudian—yang hanya mampu didengar olehnya. Dan bisikan itu, mengingatkannya kembali pada kejadian kemarin. Sejenak, bola safir itu sedikit basah.


—Mamori's Wish © Hikari Kou Minami—


Hari pun berlalu. Sudah dua bulan semenjak lenyapnya ingatan seluruh siswa Deimon tentang Hiruma. Berita tentang Yamato yang sebelumnya pacaran dengan Mamori pun mulai tak terdengar lagi. Semua sudah tenggelam oleh sang waktu. Semua sudah kembali seperti biasanya.

Mamoripun sudah bisa menyesuaikan kesedihan hatinya saat ia harus terpaksa mengingat tentang Hiruma lagi jika ada sesuatu hal yang membuatnya ingat. Ia sudah takkan menangis lagi jika ia mengingat nama itu. Semua sudah ia tata. Ia sudah bertekad untuk melupakan lelaki itu bagaimanapun juga caranya. Ia 'tak ingin jatuh dan terperangkap dalam kesedihan yang harus membuatnya larut dalam kegalauan 'tak berujung di dalam hatinya. Tidak. Ia 'tak ingin.

Sebaliknya, ia terus aktif dalam segala aspek hidup dan sekolahnya. Ia mulai tumbuh menjadi remaja baik-baik tanpa aksi nekad nan berani yang pernah ia lakukan dulu. Ia mulai berubah.

Kini, ia terduduk sendiri di bangku taman yang biasa ia duduki dulu. Bangku yang menjadi kenangan. Kenangan antara dirinya dan lelaki itu. Kenangan yang begitu berharga. Tersenyum simpul, ia menikmati angin sepoi-sepoi sore hari itu sambil melihat kelopak-kelopak bunga sakura yang mulai berguguran. Yep, pohon sakura berdiri tak jauh dari bangku itu. Pohon sakura yang beberapa bulan sebelumnya belum menunjukkan kelopak-kelopaknya yang cantik.

Tangan mungil Mamori pun tak jarang menggapai kelopak-kelopak sakura yang gugur tersebut. Menggapainya dan menerbangkannya kembali dalam hembusan napas keras dari bibirnya. Berulang terus, hingga ia bosan untuk menerbangakan kelopak tersebut.

"Hhhh ..." desis Mamori kemudian. Safir birunya menerawang jauh ke depan. Ke sebuah direksi yang tak dapat dijelaskan. Direksi dalam alam pikiran gadis itu sendiri.

"Sudah dua bulan ya," gumam gadis itu kemudian. Bibirnya melengkungkan seulas senyum tipis. Sementara pandangannya melembut.

"Entah kenapa, aku jadi kangen padamu, Hiruma-kun," gumam gadis itu lagi sambil menundukkan kepalanya dengan ekspresi masam. Sedih kembali menggelayuti hatinya.

"Aku rindu mendengar suaramu ketika memanggilku. Aku rindu mendengar suara tembakanmu. Aku rindu mendengar tawa setanmu—yang sedikit abnormal—itu," ucap gadis itu kemudian. Bening menyelimuti bola safirnya.

"Aku rindu dengan seringaimu yang licik itu. Aku rindu melihat wajahmu lagi, Hiruma-kun," titik-titik air mulai meluncur jatuh dari pelupuk matanya. Ia pun mencengkeram erat bagian bawah jaket yang ia kenakan.

"Maafkan aku. Maafkan keegoisanku ini," ucap gadis itu lagi dengan linangan air mata yang begitu deras. "Aku tahu, rinduku ini terlalu egois," tambahnya lagi dengan terisak. "Padahal, aku sudah mencoba merelakanmu, tapi tetap saja ..."

"Ne, Hiruma-kun, apakah ..." Mamori menengadah ke arah langit. "Apakah kau merindukanku di sana?"

TES!

Tetes-tetes air bening mulai dijatuhkan oleh langit. Biru safir Mamori terbelalak—terkejut. "Ke—Kenapa tiba-tiba turun hujan begini? Di musim semi pula?" tanyanya bingung. Namun, jawaban akan pertanyaan tersebut 'tak terdengar. Hujan itupun malah semakin menderas.

"Gawat! Aku harus berteduh!" ucapnya lagi sambil beranjak dari bangku tersebut. Karena jarak rumahnya yang cukup jauh dari bangku tersebut, serta hujan yang semakin menderas, ia pun memilih untuk berteduh di bawah pohon sakura tersebut.

Derai hujan semakin deras dan seakan tidak mau menghentikan derai airnya. Mamori terjebak dalam lindungan pohon sakura yang kelopaknya mulai basah oleh titik air yang berjatuhan tak henti dari langit. Merasa masih terkena tetesan air, gadis itupun melepas jaketnya dan kemudian memayungkannya pada badannya. Dingin merayap dalam tubuhnya. Menggigil pelan, ia malah teringat kembali dengan Hiruma. Sejenak, safir itu berair dan basah kembali.

"Hujan begini, aku jadi ingat, saat aku memayungi seorang anak laki-laki yang kehujanan," gumam gadis itu, membuka kembali memorinya yang dulu. Dulu saat ia bertemu dengan Hiruma kecil untuk yang pertama kali.

"Anak laki-laki itu kesal karena aku menariknya dan memayunginya. Kemudian, aku memberikan payungku kepada anak laki-laki itu," gadis itu kembali bercerita. Tubuhnya gemetar sejenak.

"Beberapa bulan kemudian, giliran aku yang terjebak dalam hujan saat mengantar kepergian sahabatku dulu," bening kembali melapisi bulatan safir milik Mamori.

"Dan ... dan saat itu ... anak laki-laki itu ... memayungiku," ucap Mamori lagi dengan nada serak. "Saat itu ... kau ... memayungiku, Hiruma ... –kun ..." tangis pun pecah. Air bening mulai mengalir dari bola mata gadis itu. Mengalir deras sederas hujan waktu itu.

"Aku merindukanmu, Hiruma-kun! Aku merindukanmu, bodoh!" pekik Mamori keras sambil mencengkeram jaketnya yang pegangannya melemah.

"Kenapa kau malah mengorbankan dirimu untukku? Apa kau tahu, aku di sini, tidak bahagia! Tidak bahagia karena kehilanganmu! Apa kau tahu, Hiruma-kun?" Mamori semakin meracau. Pekikannya menjadi tak karuan. Tangisnya pun sudah seperti air hujan yang jatuh menimpa wajahnya.

"Bodoh ... HIRUMA BODOH!"

"Siapa yang kau bilang bodoh, Manajer Sialan?"

Dan sejenak, tetes air pun berhenti menghujamnya. Mamori membeku di tempat.

'Suara itu ... suara itu jangan-jangan ...'

"Hei, Manajer Sialan! Siapa tadi yang kau sebut dengan 'bodoh', heh?"

Menolehkan kepalanya dengan ragu, Mamori mencoba melihat sosok itu. Sosok yang membuat sekelilingnya menjadi reda tanpa air hujan yang turun. Mata biru safir gadis itu membulat sempurna ketika melihat sosok yang menyahut racauannya tadi.

Sosok itu. Sosok berambut spike blonde yang sedikit basah karena air hujan, dengan telinga elf di kedua sisi kepalanya. Manik emerald terpasang apik di kedua bola matanya. Wajah datar sosok itu lemparkan pada gadis di depannya.

Sosok itu—Hiruma, dengan payung biru—yang menggantikan senjatanya—yang berada dalam genggaman tangannya.

Sosok itu—sosok yang amat ia rindukan.

"Hiruma ... –kun ...?" gumam Mamori pelan. Bening air mulai membasahi matanya lagi.

"Hei, Manajer Sialan! Kau tuli, ya? Kutanya sekali lagi, siapa yang kau maksud dengan 'bodoh' itu, heh?" tanya Hiruma lagi sambil menaikkan nada suaranya. Namun, tak satupun jawaban terlontar dari bibir gadis itu. Justru—

GREB!

—pelukanlah yang menjawab pertanyaan tersebut. Pelukan kerinduan dari gadis itu. Pelukan yang penuh dengan—

"Kenapa kau malah nangis, Manajer Sialan?"

—air mata. Oh, Mamori sepertinya menjadi cengeng sore ini. Terlihat, bening air yang mulai jatuh dengan deras dari pelupuk matanya. Serta isakan tangisnya yang menggema dari bibirnya tanpa menjawab pertanyaan lelaki yang kini tengah ia peluk dan memeluknya balik—tangan kiri Hiruma yang kosong tengah merengkuh tubuh mungil gadis itu dan mengelusnya pelan. Menenggelamkan kepala gadis itu ke dadanya yang bidang. Sejenak, hanya isak tangis gadis itu dan derai hujan yang terdengar di antara mereka.

Beberapa menit kemudian, pelukan itu terurai. Isak sudah tak terdengar dari bibir mungil Mamori. Tangis sudah tak tertetes dari kedua bola safir milik gadis itu. Manik mata itu kini tengah menatap manik mata emerald milik Hiruma. Safir bertumbukan dengan zamrud. Diam masih mengunci mereka. Adu pandanglah yang berbicara.

"Kenapa..." Mamori mulai memecah hening. "Kenapa ... kau bisa kembali ke sini, Hiruma-kun?"

Menghela napas sejenak, Hiruma pun menjawab dengan mudahnya, "Kau tadi yang bilang merindukanku, jadi aku kemari,"

"Mou! Jangan bercanda! Aku serius!" ucap Mamori kesal.

"Kekekeke, kau mau tahu?" tanya Hiruma sambil memamerkan giginya yang tajamnya naudzubillah. Mamori mengangguk pelan dengan raut wajah masih kesal.

"Di Heavenia alias di dunia malaikat sialan itu membosankan. Jadi aku kembali ke Earthia alias dunia manusia sialan ini. Kekekeke!" jawab Hiruma dengan tawa setannya—yang terdengar sedikit abnormal.

"Terus kau sekarang ini ... malaikat, bukan? Kenapa seenaknya ke dunia manusia?" tanya Mamori lagi. Tapi, jawab yang keluar malah—

"K—KEKEKEKEKEKEKEKE! Gue? Malaikat? Nggak sudi! Gue udah berubah jadi manusia sialan sekarang, bukan malaikat sialan lagi! Kekekeke!" jawab Hiruma masih dengan tawa abnormalnya yang menjadi-jadi.

"Eeeh? K—Kok bisa?" tanya Mamori tak percaya.

"Mau tahu?" tawar dan tanya mantan (?) setan itu lagi. Mamori mengangguk dengan antusias. Gadis itu masih tak percaya kalau lelaki itu telah berubah jadi manusia.

"Ada aja! Kau nggak boleh tahu," jawab Hiruma kemudian disusul dengan tawa yang kian menjadi dan—tambah abnormal.

"Mou! Hiruma-kun! Aku 'kan serius!" bentak gadis berambut auburn itu sambil menggembungkan pipinya, kesal.

"Itu nggak penting. Yang penting, siapa tadi orang yang kau bilang 'bodoh' itu, heh? Dan ... " Hiruma menggantungkan kalimatnya. " ... siapa tadi yang bilang merindukanku, hmm?" seringai terlukis sempurna di wajah tampannya. Sementara, wajah sang gadis malah memerah tak karuan dengan kontannya.

"Si—Siapa yang bilang begitu?" Mamori mulai mengalihkan wajahnya dan bicara dengan gugup.

"Kau, Manajer Sialan. Siapa lagi?" jawab Hiruma masih dengan cengiran super lebar di wajah setannya. Berniat menggoda, ternyata.

"A ... ah, lupakan itu!" sahut Mamori sambil membuang wajahnya yang merahnya nggak karuan itu. Malu, marah, kesal, bercampur dalam benaknya. Namun, hanya satu perasaan yang mendominasi hatinya. Yaitu, senang.

"Dasar Manajer Sialan nggak mau ngaku!" ejek Hiruma kemudian. "Tapi, ngomong-ngomong ..." Hiruma memotong perkataannya sebentar. Sejenak, payung biru itu ia turunkan seraya berucap, "hujannya sudah reda,"

Sontak, Mamori menengadahkan wajahnya ke langit. Tetes-tetes air yang tadi mendera tubuhnya, sudah berhenti. Langit itu kini hanya tertutupi awan kelabu dan—

"Sepertinya, aku benar-benar bertemu dengan cewek sialan itu di bawah pelangi sialan, ya," ucap Hiruma dengan senyum tipis. Mamori yang tadi terpaku pada tujuh lengkungan warna pelangi, kini menolehkan wajahnya ke arah lelaki itu. Senyum terkembang di bibir gadis itu.

"Ya. Kau berhasil bertemu dengan gadis itu, Hiruma-kun,"


Fin—


Alhamdullillahirobbilalamiin! Akhirya saya bisa nyelesein ini fic! *tebar-tebar konfeti*

Akhirnya, dengan perjuangan keras ngilangin sifat males dan fujo saya serta penyakit WB yang melanda saya pasca chapter 11, fic ini berhasil complete juga! Hutang multichap saya habiiiis! \o/

Eiiits, nggak berarti saya sudah lunas hutangnya. Saya masih punya hutang 2 request dan 2 sequel serta fic collab saya juga ;_;

Oh ya, sebelumnya saya mau ngucapin ARIGATOU GOZAIMASU buat yang sudah ngasih saya review dan concrit di chapter-chapter sebelumnya. Maaf kalau di chapter ini masih ada kesalahan atau selama ini ficnya gaje banget ceritanya. Hujat saya di kotak review! Oke?

Arriverdercci

Hikari Kou Minami

Mind To Review And Concrit?


OMAKE—


"KENAPA LELAKI SETAN ITU BALIK KE DUNIA MANUSIA LAGI?"

Pekikan nyaring terdengar dari salah satu kamar di rumah keluarga Anezaki. Mata biru safir itu membulat tak percaya. Alisnya bertaut, kesal. Sementara, sosok yang tidak kasat mata di sebelah sosok bermata safir itu—namun bisa dilihat oleh sosok bermata safir itu—hanya bisa menutup telinganya ketika mendengar pekikan yang nyaringnya minta ditonfa (?) dan bahkan dapat meng-caps abuse-kan keyboard milik sang author.

"Biasa aja kali. Nyantai dikit napa," ucap sosok tak kasat mata itu—Hikari.

"TAPI, BUKANNYA KAU BILANG KALAU LELAKI SETAN ITU SUDAH KEMBALI KE DUNIANYA?" ucap Angeli—sosok bermata safir itu—dengan tidak santainya.

'Nanyanya nggak usah pakai capslock dong!' pikir Hikari masih dengan menutup telinga. Setelah sepertinya memperkirakan kalau tidak akan ada lagi pem-budek-kan telinga oleh sang manusia, malaikat kematian ini lalu melepas tangannya dari telinganya.

"Kau mau tahu, kenapa lelaki itu kembali ke duniamu?" tanya Hikari kemudian. Sementara sosok berambut hitam panjang di sebelahnya mengangguk cepat dengan antusias dan tidak santainya.

"Jadi begini ..."


Flasback

"YAHAAAAAAAAAA!"

DOR! DOR! DOR! DOR!

Teriakan kesetanan beserta suara peluru yang ditembakkan, terdengar bersahut-sahutan (?) dalam dunia yang berwarna putih bersih bak kapas yang belum dipakai untuk membersihkan wajah. Terlihat, sesosok malaikat—atau setan?—tengah menembakkan sebuah bazooka ke atas. Entah atas dasar apa sesosok setan nyasar ke dunia malaikat ini—Heavenia.

"Ka—Kami mohon, jangan tembakkan lagi senjatamu di tempat sesuci Heavenia ini ..." perintah yang lebih seperti permohonan terlontar dari salah satu malaikat di sana. Setan—malaikat—itu—Hiruma hanya menaikkan alisnya sebelah.

"Keh, memerintahku? Memangnya kau siapa?" ejek Hiruma kemudian. Ia pun berlalu sambil tetap menembakkan bazooka-nya. Oh, demi apa setan seperti itu harus berubah menjadi malaikat. Dunia pasti mau kiamat.

.

.

"Oh, Queen of Heaven. Kami sudah tidak sanggup lagi jika harus menghadapi malaikat peralihan setan itu," ucap salah seorang malaikat yang tengah menghadap pemimpin dari Heavenia—Queen of Heaven.

"Kalau begitu, akan kubicarakan bersama King of Hell dan memutuskannya bersama Sang Agung," ucap sang ratu dengan penuh kelembutan.

Beberapa hari kemudian, sang ratu membicarakan masalah tersebut bersama sang raja neraka. Sang ratu pun memutuskan untuk mengubah Hiruma menjadi seorang manusia karena ulahnya tersebut selain karena mengganggu kedamaian Heavenia—selain juga karena Helliver sudah tak menerima lelaki itu kembali.

Sang Agung pun menyetujui hal itu dan Hiruma pun berubah menjadi manusia seperti saat ini. Dan, sebelum ia terjun ke Earthia, dia sempat diberi sebuah penawaran oleh salah satu malaikat yang mengantarnya ke dunia manusia.

"Jika kau bisa melakukan perbuatan baik sebanyak-banyaknya, kau bisa berubah menjadi malaikat dan kembali ke sini,"

Namun, tawaran itu hanya dibalas dengan cengiran merendahkan lelaki itu. "Keh, sayangnya, aku tidak berminat untuk menjadi malaikat sialan lagi ataupun kembali ke dunia sialan kalian," ucap lelaki itu kemudian.

"Karena di dunia manusia, ada sesuatu yang lebih menarik dari itu semua,"

End of Flashback


"Begitulah!" kata Hikari menyudahi ceritanya sambil menyunggingkan senyum tak berdosa. Sementara Angeli, hanya sweatdrop mendengar cerita tersebut.

"Ternyata, bagaimanapun juga, pria itu tetaplah setan,"


FIN