Disclaimer: I wish I do own Naruto, but it's just too good to be true.
Kami adalah manusia biasa, sama seperti kalian. Mempunyai dua mata, telinga, satu hidung, mulut, dan mahkota beraneka warna yang menghiasi kepala kami—rambut.
Kami adalah manusia biasa, sama seperti kalian. Terdiri dari darah, daging, dan tulang. Berjalan dengan dua kaki dan menggenggam dengan kedua tangan.
Kami adalah manusia biasa, sama seperti kalian. Kami mempunyai perasaan—senang, sedih, benci, lelah.
Tapi kami berbeda dengan manusia yang lain. Mengapa?
Kami adalah sekelompok manusia yang hidup dalam bayang takdir sebagai manusia dengan ras super, yang hanya bisa dibuktikan oleh penggemar teori konspirasi—jika kau hidup berabad-abad yang lalu.
Kami adalah sekelompok manusia yang lahir dengan susunan gen berbeda dari manusia pada umumnya, yang menyebabkan kami menjadi seperti ini.
Kami adalah sekelompok manusia yang lahir di laboratorium para ahli genetika terkemuka berabad-abad lalu. Dalam artian, gen yang kami dapatkan berasal dari eksperimen para ilmuwan gila yang berusaha menciptakan suatu kelompok manusia dengan kemampuan khusus.
Bisa jadi, kami adalah manusia yang—hanya dengan menghirup oksigen di dunia ini—sudah menentang hukum alam, hukum Yang Maha Pencipta. Kami tahu itu, namun apa yang bisa kami lakukan?
Kami tetap manusia, yang lahir tanpa pengertian tentang apa yang telah terjadi pada nenek moyang kami berabad lalu.
Kami lahir dengan tubuh mungil nan suci, tanpa mengetahui betapa nistanya hidup ini.
Ya, kalau boleh berteriak, kami tidak ingin mempunyai keturunan. Keturunan berarti sama dengan melestarikan penentangan terhadap hukumNya.
Namun sayang, kami hanyalah manusia.
Sekelompok manusia biasa yang bisa merasakan cinta.
Arisa Hagiwara
Proudly present
The Time Traveler
Pemuda itu perlahan membuka mata, membiarkan seberkas sinar menembus celah di antara kedua kelopak matanya. Ia mengerjap sekali, dua kali, hingga setelah mengerjap tiga kali, kedua kelereng besar itu membuka seutuhnya, menampakkan sepasang iris onyx kelam yang dikelilingi bola mata berwarna seputih susu. Pupil kecilnya yang hampir tidak terlihat karena berwarna senada dengan irisnya memantulkan langit-langit kamarnya yang berlukiskan awan yang berarak ditiup angin dan dilatarbelakangi warna biru langit.
Perlahan, ia mengerang, sedikit menyesali keputusannya untuk terbangun sepagi itu pada hari Minggu yang cerah. Ia meraih remote di samping bantalnya dan menekan suatu tombol. Di hadapannya langsung tersaji hologram tiga dimensi yang menunjukkan pukul sembilan. Dengan sebelah tangan ia mengusap wajahnya, seolah menyuruh sepasang mata itu untuk tidak terpejam kembali. Kemudian ia pun bangun, tentu setelah menonaktifkan jamnya, terduduk sebentar untuk menyesuaikan diri, sebelum akhirnya berdiri dan melangkah menuju pintu kamarnya.
Dengan langkah diseret, ia menuruni tangga kayu, menimbulkan bunyi dak-duk pelan. Rambut ravennya sedikit menutupi dahi dan tengkuknya. Alis matanya yang tebal semakin menambah kesan misterius dalam dirinya. Yah, sebenarnya kesan itu hanya berlaku bagi orang yang baru melihatnya sekilas. Aslinya sih…
"Wah, pangeran tidur Ibu baru bangun rupanya. Ayo sarapan, sudah Ibu siapkan makan. Masih hangat kok, karena ibu tahu kau pasti tidak akan bangun sebelum jam delapan," sapa wanita berambut hitam panjang dan berwajah lembut yang sedang menata beberapa piring di meja makan, sekilas ia tersenyum hangat mendapati putra semata wayangnya yang sedang bersandar di pintu ruang makan itu. "Bagaimana tidurmu, Sasuke? Tumben sekali bangun sepagi ini. Biasanya jam sepuluh kau baru bisa membuka mata," tambahnya dengan nada menyindir.
Pria yang dipanggil Sasuke tersebut diam saja, sebelum ia beranjak menuju meja makan. Tidak untuk duduk, melainkan untuk memeluk pinggang sang ibu dari belakang, lalu membungkuk sedikit—karena Sasuke lebih tinggi dari ibunya—dan menyandarkan kepalanya di bahu sang Ibu. Hangat. Bisa dibilang, hanya dengan ibunya lah ia dapat bersikap semanusiawi itu.
"Sasuke, ada apa?" tanya sang Ibu, Mikoto Uchiha, dengan mata membulat mendapati tingkah laku anaknya yang aneh.
Di bahu ibunya, Sasuke menggeleng. Peraduan rambut hitamnya dengan rambut Mikoto membuat bunyi gemerisik kecil. "Entah mengapa, Bu, aku merasa rindu sekali dengan Ibu. Aku merasa seperti… seperti akan meninggalkan Ibu dalam waktu yang lama," lirihnya.
Walaupun tak bisa dilihat Sasuke, Mikoto justru tersenyum—bukan khawatir akan makna ucapan seperti itu. Dengan lembut ia melepaskan tautan tangan Sasuke dari pinggangnya, lalu berbalik menatap mata putra semata wayangnya tersebut. Ia seperti melihat ke dalam matanya sendiri.
"Sasuke," Mikoto merangkum kedua pipi anaknya, "tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sekarang cepat sarapan dan kita akan merayakan ulang tahunmu yang ke-19."
Tanpa suara, Sasuke mengangguk patuh. Ia berbalik badan untuk mengambil piring yang ada di buffet tak jauh dari tempatnya berdiri. Sungguh, ia sama sekali tak berniat merayakan ulang tahun. Lebih tepatnya, ia tak suka segala hal yang kekanakan seperti itu. Toh, apa yang harus dirayakan? Pengurangan umur kah? Batinnya sarkastis.
Tanpa Sasuke sadari, sang Ibu memerhatikan setiap gerak-geriknya dengan pandangan yang sulit dilukiskan. Antara bangga, juga sedih. Ada suatu hal yang membayanginya. Sesuatu yang ia tahu akan segera datang.
Tanpa suara, Sasuke melahap makanannya dengan nikmat, seolah sepiring penuh nasi dan omelet itu adalah makanan paling enak sedunia—dan kenyataannya Sasuke memang mengakui itu, selama makanan yang ia makan adalah buatan ibunya.
Selesai makan, Sasuke baru saja ingin beranjak berdiri ketika Mikoto yang duduk di sampingnya menahan pergelangan tangan kirinya. Dengan pandangan bertanya-tanya, ia menatap sang ibu yang tengah memandangnya gelisah.
"Ada yang ingin ibu bicarakan."
Masih dihantui rasa penasaran, akhirnya Sasuke duduk kembali, memandang ibunya dengan sebuah tanda tanya besar dalam hatinya.
Menghela napas, Mikoto Uchiha mulai berbicara pelan. "Ada… ada sesuatu yang kamu harus ketahui, Sasuke."
"Apa?" tanya Sasuke langsung.
Sang ibu mendesah sebelum melanjutkan. "Tapi, mohon jangan membenci Ibu karena hal ini," lirihnya.
Ada yang tidak beres, pikir Sasuke seketika. Otak jeniusnya mulai berjalan. Dalam diam, ia menunggu ibunya melanjutkan.
Mikoto Uchiha memandang Sasuke ragu"Aa… lebih baik kau mandi saja dulu, Nak," katanya tiba-tiba. "Ibu rasa… Ibu harus menata baik-baik tentang apa yang akan Ibu katakan," tambahnya serius.
Sasuke mengangkat alis, namun tetap diam. Dan—seperti yang selalu terjadi sebelumnya—ia beranjak berdiri tanpa berkata apa-apa.
"Sasuke Uchiha, putra tunggal Fugaku Uchiha. Umur 19 tepat hari ini, kuliah tahun pertama di Infinity College, Tokyo. Dikenal sebagai pribadi yang tertutup, pendiam, dan tidak pernah berurusan dengan orang lain. Lebih suka berdiam di barisan depan kelas, memerhatikan dosen yang mengajar. Tak pernah terlihat mencatat, namun semua nilai ujiannya sempurna," suara itu diakhiri dengan sebuah nada puas dan senyum terukir di bibir sang pembicara. Seringai, lebih tepatnya.
Laki-laki yang ditaksir berusia lebih dari setengah abad itu mendongak, menatap pemuda yang duduk di depannya dari balik kertas yang baru saja ia baca. Seringainya semakin lebar. Tanpa membaca kalimat-kalimat itu sampai tuntas, ia langsung melemparkannya dengan santai ke meja kerjanya. Badannya kemudian sedikit dibungkukkan sehingga sikunya tertumpu di meja.
Masih dengan seringai di wajah, ia berkata pelan namun tegas terhadap pemuda di seberang meja kerjanya itu. "Benar-benar anak Fugaku Uchiha," gumamnya geli seraya menunjuk sebuah foto berukuran 4 x 6 yang menampilkan pemuda berambut hitam mengilat dipadu dengan iris onyx kelam. Perawakannya misterius, seolah ia mengetahui segala yang dipikirkan orang-orang di sekitarnya. Agak seram, memang.
Pemuda di depan pria tua itu turut melihat foto itu. "Ya, tak bisa dipungkiri kalau dia sangat mirip Senior Uchiha," ujarnya mengangguk, membuat rambut crimson miliknya sedikit bergoyang menutupi dahinya yang lebar. "Aku tak sabar untuk mengajarinya," tambahnya.
Pria tua di hadapannya mengangguk. "Tentu saja. Haaaaah… aku tak bisa membayangkan akan ada dua Uchiha di kantor kita," kekehnya.
Pemuda berambut cepak itu menggidikkan bahu, walaupun wajahnya tetap sedingin es. Iris Jade, garis mata hitam, dan tato kanji berwarna merah darah bertuliskan 'Ai'—cinta—di keningnya cukup memberikan kesan bahwa ada aura gelap yang senantiasa menyelimutinya.
"Ya, walaupun Senior Uchiha tak akan seperti dulu lagi," tanggap pemuda misterius itu.
Pria tua di depannya mengibaskan tangan. "Peduli setan. Aku juga sudah tak seperti dulu, tapi aku masih bisa duduk di sini, bukan? Aku akan sangat senang bila mempunyai seorang Fugaku Uchiha sebagai tangan kananku. Bahkan bukannya tak mungkin ia akan menggantikan posisiku nantinya."
Pria tua itu mendesah sebelum berkata lagi, "Kau tahu mengapa aku memilihmu untuk menangani anak ini?" tanyanya yang hanya ditanggapi sang pemuda dengan kening yang berkerut samar, "sederhana saja. Aku punya firasat anak ini akan lebih susah menerima kenyataan. Yah, kau tahu, semacam tipe remaja beranjak dewasa yang membenci perubahan. Apalagi perubahan sedrastis ini. Dan kau termasuk orang yang kupercaya. Profesionalitasmu tak diragukan. Meskipun tugas utamamu bukanlah ini, tapi aku mencium beberapa kesamaan antara kau dan Sasuke."
Kerutan di dahi sang pemuda semakin dalam.
"Kalian sama-sama memiliki ayah yang hebat dan juga kalian sama-sama keras kepala pada awalnya. Stubborn," jawab pria tua itu enteng, seolah memberitahu ramalan cuaca hari itu.
Kini senyum samar perlahan mengembang dari bibir pemuda berusia sekitar awal dua puluhan itu. Mata Jade miliknya menutup ketika ia terkekeh pelan. "Oh, ayolah, Jiraiya. Jangan menganggapku sebagai anak Kenichi Sabaku yang keras kepala, itu cerita lama," gumamnya pelan setelah matanya membuka.
Kemudian ia melanjutkan, "Aku yang sekarang adalah Gaara Sabaku yang akan mencurahkan segenap tenaga untuk menolong umat manusia, seperti prinsip tempat kita bekerja ini."
"Baguslah," sahut Jiraiya puas, "kau tak tahu bagaimana kusutnya wajah Kakashi sepulang dari tempatmu. Bahkan masker yang menutupi tiga perempat wajahnya tidak bisa menutupi raut oh-aku-baru-saja-bertemu-dengan-manusia-paling-menyebalkan-sedunia," lanjutnya diakhiri tawa panjang.
"Sudahlah," Gaara mengibaskan tangan, wajahnya yang dingin terlihat menahan emosi—senyum, lebih tepatnya. "Itu sudah tiga tahun yang lalu, kalau kau ingat."
Pria setengah baya di depannya berusaha sekuat tenaga meredam tawanya. "Aduh, kau ini. Benar-benar…" gumamnya setelah tawanya mereda. "Oh ya, omong-omong, bagaimana keadaan Kenichi-san? Masih perokok beratkah, eh?"
Pandangan Gaara menerawang keluar jendela yang memenuhi satu dinding di belakang meja Jiraiya. Pemandangan Tokyo dari lantai 23 gedung tersebut memang menakjubkan. Ia seolah dapat melihat New York di kejauhan, tempat keluarganya menetap.
"Tampaknya sudah berkurang," jawabnya enteng, "Temari-neesan tampaknya sudah bisa mengambil tindakan tegas. Terakhir kali aku pulang ke New York, bau rokok yang biasa mengambang di udara sudah lenyap. Temari-neesan bahkan mengklaim bahwa ia bisa menurunkan 80 persen tingkat kecanduan otou-sama."
"Wah, wah, keluarga yang harmonis," tanggap Jiraiya. "Bahkan seorang Kenichi Sabaku yang terkenal galak itu bisa melemah di hadapan putri semata wayangnya. Ah, aku jadi ingin punya keluarga," lanjutnya.
Gaara tidak menanggapi karena ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia merogoh saku celananya dan menarik keluar benda setipis credit card itu. Sejenak ia terpaku menatap sederet huruf di layar.
Kemudian ia berkata pelan pada ponsel tangannya, setengah berbisik, "Aku akan segera ke sana."
Setelahnya, ia membiarkan ibu jari kirinya menari lincah di atas layar sentuh sebelum gadget itu dimasukkannya kembali. Ia menatap Jiraiya yang memandangnya.
"Tampaknya aku harus pergi. Barusan Shino dari divisi Pengawasan mengontakku, menyuruhku ke sana untuk registrasi sebelum berangkat ke tempat Uchiha. Hati-hati sekali ya, orang itu," ia berdiri, diikuti Jiraiya. "Baiklah, sampai jumpa," ujarnya pelan sebelum membungkuk hormat pada Jiraiya, yang hanya dibalas dengan bungkukan kecil.
Gaara sedang melakukan prosedur standar di pintu ketika Jiraiya memanggil namanya. Setelah yakin bahwa garis merah pemindai itu telah menyusuri matanya, ia menoleh.
"Jangan lupa ceritakan kepadaku seperti apa putra tunggal Fugaku itu nanti," kata Jiraiya dengan seringaian mencurigakannya yang biasa. "Aku tidak sabar menunggu."
Ucapan itu hanya dibayar dengan senyuman tipis oleh pemuda berambut merah itu. Ia mengangkat jempolnya, tepat ketika pintu bergeser secara otomatis. Tak menunggu lagi, Gaara melangkah keluar, berdiri di atas karpet merah yang menyelimuti seluruh lantai koridor, sebelum akhirnya bergerak menjauh.
Jiraiya menghela napas ketika pintunya bergeser menutup kembali. Ia kembali duduk dan menatap tumpukan dokumen yang menunggu manis untuk dibuka itu dengan helaan napas panjang.
Ah, aku sebenarnya benci kekuasaan karena ini!
To be Continued