Bicara memang mudah, justru tindakannya itu yang sulit. Satu jam yang lalu, boleh saja Momo berceloteh di depan mereka—Ichigo, Rukia dan Toshiro—kalau semua masalah ini akan baik-baik saja tanpa perlu melibatkan pemicu baru dari kedua orangtuanya dan Shuuhei. Namun sekarang, saat kedua orangtua mereka sudah berada dihadapannya, gadis itu hanya bisa tersenyum kikuk kala memandangnya. Terlebih lagi saat orangtua Shuuhei menyambutnya dengan hangat seperti anak mereka sendiri. Bahkan Momo yakin, Shuuhei sendiri tidak pernah dimanjakan seperti ini. Perasaan itu membuatnya merasa bersalah.

Lain Momo, lain pula Shuuhei. Pemuda itu malah lebih parah. Setiap kali ditanya—pertanyaan apapun itu, baik tentang dirinya, tentang Momo ataupun tentang hubungan mereka berdua atau bahkan diluar hal itu—ia hanya bisa menggaruk bagian belakang kepalanya sambil menjawabnya dengan tergagap. Kedua orangtua mereka sangat menyadari perubahan sikap drastis dari putra dan putri mereka, namun mereka hanya tersenyum kecil sambil mengangkat alis mereka tinggi-tinggi. Itu bukan tindakan heran—dan Momo tahu itu. Mereka memberi kode antara satu sama lain yang terbaca seperti; mereka berdua seperti pasangan canggung yang barusaja melakukan malam pertama.

Oh, demi Tuhan! Bunuh saja Momo detik itu juga yang terlalu berlebihan tatkala membaca ekspresi raut wajah kedua orangtua mereka masing-masing. Momo hanya bisa meluruhkan bahunya lemah. Mungkin terlalu shock atas pembacaan ekspresi berlebihan yang barusaja dilakukannya. Sementara Shuuhei, menyadari ada yang tidak beres dengan calon tunangannya—ah, bukan, ia akan menjadi mantan tunangannya—segera melangkahkan kakinya sebelum menyentuh lembut pundak gadis yang memang masih kalah tinggi dengannya.

"Ada apa, Momo?" suara berwibawa itu terdengar tenang, namun tanpa bisa terkirakan nada cemas dan khawatir berlarian keluar dari pita suaranya. Matanya menatap lekat hazel Momo, seolah dengan begitu ia bisa membaca apa yang sedang dipikirkan gadis itu.

"Aa," gadis itu menggeleng pelan, "tak apa, Shuuhei. Mungkin hanya kelelahan."

Pemuda berambut hitam itu mengerutkan keningnya. "Benar? Katakan saja supaya aku bisa membantumu."

"Sungguh," gadis itu menatap balik mata Shuuhei sambil menurunkan tangan lelaki tersebut dari pundaknya, "aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja, kau tidak perlu secemas ini, Shuuhei."

Ia tersenyum setelah menghela nafas tanda lega. "Baguslah kalau begitu," ia berucap sambil tersenyum tanpa menyadari kedua pasang manusia sedang memperhatikan tingkah-laku mereka berdua sambil terkikik kecil.

Shuuhei tidak sadar, gadis berambut coklat-tua itulah yang terlebih dahulu menyadari akibat dari tindakan Shuuhei. Cepat-cepat ditatapnya Shuuhei dengan pandangan khawatir seraya berbisik pelan, "jangan bersikap seperti ini, Shuuhei. Orangtua kita akan salah sangka dengan apa yang barusaja mereka lihat."

Pemuda itu lekas memalingkan wajahnya. Dihelanya nafasnya kuat-kuat sebelum ia melangkah maju untuk mengejar kedua pasang manusia yang masih menatap mereka dengan ekspresi bahagia. Namun Momo hanya bisa termangu dengan sempurna di tempatnya. Termangu setelah ia mendengar gumaman lirih Shuuhei yang tak sengaja tertangkap oleh telinganya; Seandainya aku masih dihatimu seperti kamu yang masih dihatiku.

#

.

.

Bleach © Tite Kubo

Only Your Love by Yurisa-Shirany Kurosaki

Sequel Between You and Me

.

.

#

Penjamuan makan malam yang diadakan oleh Keluarga Kurosaki tidak diadakan besar-besaran. Mereka cukup menyediakan segala sesuatunya dengan sederhana namun tetap mengutamakan kepentingan tamunya. Terlebih tamu itu adalah kerabat dari istri yang dicintainya—Masaki.

Keluarga Momo serta Keluarga Shuuhei juga tidak tampak keberatan akan jamuan sederhana ini. Mereka justru sangat menikmatinya, terlebih lagi dengan sikap terbuka dari tuan rumah yang membuat mereka semua tampak nyaman. Semua—

—kecuali Momo.

Gadis bermata hazel itu hanya memainkan sendok serta garpu yang berada di tangannya. Ocehan dari orang sekitar, lelucon yang diungkapkan oleh Isshin, bahkan canda-tawa yang menghiasi ruang makan tersebut tampak sulit membuatnya terlepas dari lamunan yang sejak tadi mengunci pikirannya. Lamunan yang membawanya pada kejadian siang tadi tatkala Shuuhei menggumamkan kalimat lirih yang terdengar olehnya tanpa disengaja.

Momo tahu, pemuda itu sungguh-sungguh sudah mencintainya dengan tulus. Ia berbeda dari pertemuan pertama kali mereka berdua. Shuuhei yang sekarang sudah memandang dirinya sebagai Momo, bukan seperti dulu. Dulu saat Momo merasa pandangan itu bukan pandangan Shuuhei saat menatapnya. Benar, ia tak melihat bayang dirinya dibalik mata indah Shuuhei. Tidak sekalipun, sampai hari ini.

Hari ini saat ia melihat tepat di manik mata Shuuhei, gadis itu tahu kalau Shuuhei hanya melihatnya. Melihatnya sebagai seorang Hinamori Momo, bukan yang lain, dan Momo tahu akan itu. Maka, sekarang beginilah dirinya. Benaknya mulai berteriak dalam hati, benarkah perasaan cintanya pada Shuuhei sudah pupus? Secepat itukah ia berpaling dari sosok Shuuhei yang selama ini selalu membayanginya? Semudah inikah ia jatuh cinta pada Toshiro?

Tiga pertanyaan yang entah sejak kapan mulai memenuhi dirinya. Tiga yang utama. Tiga yang melambangkan perasaannya kini. Tiga yang akan menentukan hidup dan masa depannya. Tiga yang akan menjadi titik tumpuan dari seluruh penopang hidupnya.

Momo kembali menghela nafasnya. Entah sejak kapan rasa gelisah ini menghantui bayangnya. Bahkan merambat sampai berujung ke perasaan yang seharusnya sudah ia pastikan sedari awal. Lalu, mengapa sekarang semuanya berubah seolah membalikkan telapak tangan? Mengapa dengan sekejap ia meragukan rasa cintanya pada Toshiro? Buruknya, kenapa harus di saat ia telah memutuskan untuk mengakhiri tunangannya dengan Shuuhei?

Tepukan pelan dipundak gadis itu cukup membuatnya terkejut, bahkan ia tersentak hampir jatuh dari kursinya. Shuuhei dengan sigap, menangkap gadis itu agar ia tetap berada di tempatnya. Pemuda berambut hitam itu memandang pada hazel Momo sambil bertanya, "kau tidak enak badan?"

Ah, betapa lembutnya pria ini. Sampai-sampai Momo hanya merasa ada dirinya dan Shuuhei di tempat itu saking asiknya ia memperhatikan mata Shuuhei yang juga sedang menyelami dirinya. Sepersekian detik kemudian gadis itu sadar, membuatnya memalingkan wajah sesegera mungkin sebelum menjawab, "tidak, sungguh, aku baik-baik saja."

Lengan pemuda itu menyentuh pundaknya—memaksa agar gadis itu bangkit dari duduknya. "Ikut aku sebentar, Momo."

Seakan terhipnotis dengan suara tenangnya, gadis itu mengikuti ajakan Shuuhei yang kini membawanya ke beranda atas rumah Keluarga Kurosaki. Ia biarkan gadis itu duduk di salah satu kursi yang tersedia sementara ia membiarkan dirinya bersandar pada tiang penyangga yang berdiri vertikal secara memanjang. Matanya tak henti menatap sesosok gadis yang kini tengah menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Ceritakan saja padaku, Momo," pemuda itu membuka mulutnya.

Gadis itu mendongakkan kepalanya dan terlihatlah kalau ia sedang menahan tangisnya. Terbukti dengan kedua matanya yang berkaca-kaca mulai ia kerjapkan berkali-kali. Gadis berambut coklat-tua itu sudah membuka mulutnya, namun tak ada satu patah katapun yang keluar karena dengan cepat ia kembali membungkam suaranya.

Entahlah, Shuuhei tidak mengerti dengan tingkah Momo saat ini. Pemuda itu memutuskan membalikkan badannya untuk menatapi langit malam yang menaungi tempatnya—serta manusia lainnya—berdiri. Melihat pesona gelap yang misterius itu sepi tanpa terlihat bintang satupun.

"Aku bimbang," suara itu memecah keheningan setelah terdiam beberapa saat. Suara yang membuat Shuuhei memasang tegak kedua telinganya sebelum membalikkan kembali badannya menatap Momo.

Sambil mengerutkan keningnya, pemuda itu bertanya, "apa maksudmu, Momo? Bimbang karena apa?"

Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan. "Aku tidak mengerti, Shuuhei. Aku tidak mengerti," kali ini airmata mulai menuruni kedua belah pipinya, "aku bingung dengan diriku sendiri. Aku tidak tahu apa yang kini aku rasakan. Aku sama sekali tidak mengerti."

"Jelaskan lebih spesifik, Momo. Aku tidak mengerti maksud kalimatmu yang berbelit-belit," pemuda itu menaikkan oktaf suaranya sedikit. Terdengar nada tidak sabar dalam suaranya tatkala ia melihat gadis itu mulai menangis.

"Shuuhei, tinggalkan aku sendiri."

Pemuda itu barusaja hendak membantah saat dirasakannya seseorang menepuk pelan pundaknya. Didapatinya sosok Ichigo sedang berdiri menatapnya dengan pandangan agar ia menuruti keinginan gadis yang kini tengah menahan tangisnya itu. Shuuhei hanya bisa menggelengkan kepalanya sebelum ia meninggalkan Momo berdua dengan Ichigo.

Tatkala bayangan Shuuhei menghilang dibalik dinding bercat biru muda itu, Ichigo segera mendudukkan dirinya tepat di kursi sebelah tempat Momo berada. Tangannya mengelus pelan puncak kepala gadis yang kini masih menutupi wajahnya dengan kedua tangan mungilnya tersebut. Ichigo tidak mengatakan apapun, ia hanya membiarkan ketenangan menguasai kembali jiwa sepupu tersayangnya. Setidaknya bersabar untuk menunggu gadis itu berceloteh lebih baik ketimbang memaksanya untuk mengatakan apa yang belum siap untuk dikatakannya.

"Ichigo," panggilan lirih itu membuyarkan lamunan pemuda berambut jingga tersebut. "Apa yang akan kau lakukan kalau kau bimbang dengan perasaanmu sendiri? Yang mana yang akan kau pilih?"

Pemuda itu mengerutkan keningnya, "perasaan bimbangku yang mana? Apa yang harus kupilih?"

Momo tersenyum getir. "Bagaimana kalau aku tidak benar-benar sudah melupakan Shuuhei? Bagaimana kalau ternyata aku masih mencintainya sementara kami sudah sepakat untuk membatalkan pertunangan ini? Apa yang harus kujelaskan pada Toshiro kalau ternyata aku benar-benar tak bisa hidup tanpa Shuuhei? Apa yang akan kau lakukan bila berada di posisiku, Ichigo?"

Pemuda itu menatap lembut hazel yang kini tengah merana. Ia tahu, Momo bimbang. Gadis itu hanya merasa semuanya terlalu mendadak. Namun tetap saja, semendadak apapun situasi itu, gadis ini harus bisa menentukan siapa yang benar-benar terbaik untuk memasuki seluruh hidupnya. Dan Ichigo tak bisa memilih siapa yang terbaik di antara mereka berdua.

Helaan nafas terdengar jelas dari pemuda bermata amber tersebut. Ia melantunkan celotehnya dengan hati-hati, "aku tidak pernah mengalami apa yang kau rasakan. Namun, coba kau pikirkan dalam-dalam, siapa yang benar-benar pantas bersamamu? Shuuhei atau Toshiro? Aku tahu, aku tidak bisa banyak membantumu, tapi ingatlah satu hal. Siapapun yang kau pilih, pasti selalu ada hati yang terluka. Justru karena itu, pilihlah dengan sungguh-sungguh, supaya kau tidak mengecewakan lagi hati yang lain."

Momo menerawang, "bagaimana kalau orang itu adalah Shuuhei?"

"Aku tidak bermaksud menolak keputusanmu untuk memilihnya," Ichigo menghembuskan nafasnya, "tapi apa kau sudah memikirkan ini semua? Setidaknya, aku juga menginginkan yang terbaik untukmu, Momo. Aku tahu kau sangat mencintai Shuuhei sedari dulu, tapi setidaknya pikirkan pula perasaan Toshiro yang telah kau beri harapan. Dia juga menginginkan kesempatan ini, sama besarnya dengan keinginan yang Shuuhei miliki."

"Aku takut," gadis itu menatap Ichigo sambil menampilkan wajah gelisah di sana, "aku takut kalau selama ini aku hanya memiliki perasaan sesaat terhadap Toshiro. Aku takut kalau aku tidak benar-benar mencintainya. Aku takut sekali, Ichigo."

"Aku juga," sebuah suara menyahut perkataan Momo—membuat mereka berdua mendongak untuk menatap siapa si Pemilik Suara tersebut. "Aku juga pernah mengalami rasa bimbang dan takut yang kau rasakan, Momo."

Ichigo tersenyum kecil. "Lalu apa yang kau lakukan, Rukia?"

Wanita itu—yang ternyata istri dari Kurosaki Ichigo—menampilkan senyum tipis untuk membingkai paras cantiknya, "aku membiarkan hati nuraniku berjalan sampai ia mengatakan bahwa aku ternyata sudah mencintai kakak kandungku lebih dari siapapun yang ada di dunia ini."

Pemuda berambut jingga itu menggerutu kecil, "kita bukan saudara kandung, Rukia."

"Aku tahu," gadis bermata violet itu menyahut, "tapi setidaknya ikatan itulah yang sudah menahan perasaan kita masing-masing, benar bukan?"

Ichigo tersenyum tipis—jawaban persetujuan akan ungkapan pertanyaan Rukia. "Jadi, Momo, coba kau pejamkan matamu serta kosongkan pikiranmu. Perintahkan dirimu untuk membayangkan, siapa orang yang benar-benar berada dalam benakmu saat ini," Ichigo beranjak dari tempatnya sembari memeluk pundak Rukia, "tak apa bukan bila kutinggal?"

Momo mengangguk. Tanpa perlu hitungan menit, pasangan tersebut sudah menghilang dari batas jarak pandangnya. Gadis itu memilih untuk menghembuskan nafasnya sebelum benar-benar menuruti perkataan terakhir Ichigo. Perkataan yang mungkin akan membawa pilihan terbaik untuknya. Perkataan yang juga membuat seorang pemuda berambut hitam yang kini tengah bersembunyi berdebar kencang karena ulahnya.

Dan, bingo! Senyum lebar yang terpampang di wajah gadis itu menandakan bahwa ia sudah yakin akan perasaan mengenai dirinya sendiri.

~x~x~x~x~x~

Suasana pagi itu terasa sejak tatkala angin menghembuskan dirinya. Suasana sejuk yang berbanding terbalik dengan aura keseriusan yang menguar dari tubuh dua orang manusia berbeda jenis. Memang tidak terlihat dari wajah mereka bahwa mereka telah menguarkan aura serius, namun dari gerak-gerik yang mereka tunjukkan sangat meyakinkan bahwa mereka hendak membicarakan sesuatu.

Gadis itu masih saja menyesap aroma teh hijau dari cangkir kecilnya sedang yang satunya masih sibuk menatap arah taman dengan pandangan menerawang. Mereka memang tengah duduk di teras belakang yang menghadap langsung ke arah taman. Pemandangan indah yang cukup seimbang dengan keseriusan yang menguar dari tubuh mereka.

"Shuuhei," sapaan gadis itu membuat si Pemilik Nama menolehkan kepalanya guna menatap balik orang yang tengah memanggilnya.

Pemuda itu hanya diam. Tolehan kepalanya sudah menjadi bukti cukup bahwa ia tengah memperhatikan gadis bermata hazel itu seutuhnya. Seutuhnya dengan makna bahwa ia juga siap mendengarkan ocehan yang hendak keluar dari bibir mungil gadis tersebut.

"Aku tidak tahu apa kau benar-benar mencintaiku saat ini, tapi kalau itu benar aku sungguh-sungguh minta maaf," gadis itu mengalihkan bola matanya ke arah lain, "aku mencintaimu, sungguh, namun aku juga mencintai Toushiro. Shuuhei, setelah aku berpikir semalaman, aku berniat untuk menceritakan pada orangtua kita bahwa aku akan membatalkan pertunangan ini. Aku tidak peduli mereka akan memarahiku atau bahkan tidak akan menganggapku sebagai anak mereka lagi, tapi hanya ini yang aku tahu."

Hening sejenak, "aku juga tahu kalau Toushiro masih mencintai Rukia walaupun ia mengatakan padaku bahwa ia mencintaiku. Hanya saja kalimatnya waktu itu benar-benar serius dan aku percaya akan hal itu. Aku tidak bisa memungkiri bahwa detik itu juga aku merasa bahwa aku adalah wanita yang paling bahagia, aku juga menyadari bahwa aku tidak bisa hidup tanpa Toushiro. Aku tidak tahu bagaimana aku harus menjelaskannya, tapi aku merasakan hal itu."

Suasana kembali senyap untuk beberapa saat sampai Shuuhei memutuskan untuk memulai kalimat pertamanya, "aku sudah tahu kalau sejak awal kau akan memilih Toushiro. Aku juga mengerti kalau aku tidak pantas untuk bersamamu, karena pada pertemuan pertama aku tidak pernah melihat dirimu dalam mataku. Kupikir, kesempatan kedua kali ini bisa membuatku kembali bersamamu sejak aku pergi meninggalkanmu tanpa kabar, namun aku terlambat. Hatimu sudah lebih dulu menentukan bahwa Toushiro pemenangnya, bukan aku."

"Aku minta maaf, Shuuhei, aku tidak bermaksud unt—"

"Sssh," pemuda itu meletakkan telunjuknya untuk memotong kata-kata Momo, "cinta tidak selamanya harus memiliki, Momo. Cinta yang benar adalah merelakan orang yang kita sayangi hidup bahagia sesuai dengan pilihannya. Mungkin kata-kata itu terdengar menyedihkan, namun saat kau memahami artinya dan mencoba untuk mengikhlaskannya, semua akan terasa lebih ringan dan membawamu pada kebahagiaan yang sebelumnya tertunda."

"Tapi aku—"

"Momo," Shuuhei kembali memotong, "percayalah dengan kata-kataku. Aku baik-baik saja dan masalah orangtua kita, aku yakin mereka pasti mengerti dengan pilihan kita ini."

"Bagaimana dengan undangannya?"

"Kurasa masih dalam proses pencetakkan, jadi tidak akan masalah."

"Shuuhei," panggilan Momo membuat pemuda tersebut kembali menatapnya, "terima kasih atas semuanya."

~x~x~x~x~x~

Beberapa jam setelah Momo berbincang serius dengan Shuuhei, ia kembali dihadapakan dengan situasi yang lebih menegangkan dibanding sebelumnya. Jemarinya tak henti bergerak memainkan ujung bajunya sementara bola matanya bergulir dengan gelisah tatkala menatap sosok yang duduk berjejer di hadapannya.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Momo?"

Gadis itu menggigit bibir bawahnya saat merasakan kegugupan melanda dirinya. Namun, sebuah tangan besar secara mendadak menyentuh tangan kanannya dan Momo tahu kalau tangan tersebut milik Toshiro yang tengah duduk di sampingnya.

"Maaf kalau aku menyela," Toshiro memberanikan diri untuk mewakili apa yang hendak Momo ucapkan, "aku mencintai Momo dan aku ingin membahagiakannya. Aku ingin agar ia menjadi pendamping hidupku sampai akhir hidupku. Maka dari itu, aku meminta pada kalian semua untuk memberikanku izin menikahi Momo serta membatalkan pertunangannya dengan Shuuhei."

"Apa kau tahu dimana posisimu saat ini? Kau adalah orang luar yang seharusnya tidak pantas meminta padaku dan pada orangtua Shuuhei untuk membatalkan pertunangan anak kami berdua. Kau tahu, kau tidak berhak bicara seperti itu pada kami," Aizen melontarkan kalimatnya dengan nada dingin dan kaku.

"Aku tahu, aku memang tidak pantas. Namun, aku akan melakukan apapun demi kebahagiaanku dan Momo karena kami saling mencintai. Kami ingin agar kami bisa hidup saling berdampingan dan saling mengisi serta mendapat restu dari kalian semua."

"Apa kau merasa pantas untuk bisa bersama putriku?"

"Ya, aku merasa pantas."

"Apa kau yakin kalau kau memang mencintainya?"

"Aku tidak pernah seyakin ini sebelumnya."

"Kau harus tahu, Momo bukanlah gadis yang kau inginkan. Dia cengeng dan masih suka bertingkah kekanakkan, dia juga tidak terlalu pandai dalam urusan rumah tangga, khususnya memasak. Momo juga termasuk gadis yang tidak bisa berhenti bicara, dan aku tidak yakin kalau kau sanggup menghadapinya saat sifat cerewetnya itu muncul," celoteh Aizen panjang-lebar.

"Aku tahu," Toshiro menegakkan dirinya sebelum kembali menjawab mantap, "karena itulah aku yang akan berusaha mengisi kekurangannya. Momo memang bukan gadis yang kuinginkan, tetapi dia adalah gadis yang sejak semula diciptakan hanya untukku. Aku tidak menginginkannya karena aku justru membutuhkannya lebih dari yang aku kira."

Mata Aizen bergulir menatap Shuuhei, "bagaimana denganmu, Shuuhei?"

Pemuda itu tersenyum tipis. "Aku tidak akan menghalangi kebahagiaan orang lain, Paman, apalagi kebahagiaan Momo."

"Bagaimana dengan kalian? Kensei? Lisa?"

Mereka saling bertatapan sesaat, "kami setuju dengan Shuuhei. Kami tentunya tidak pantas melarang Momo untuk menentukan pilihan dan kebahagiaannya. Momo sudah jadi wanita dewasa, jadi aku yakin ia sudah memikirkan hal ini dengan matang."

Aizen berdehem kecil setelah melihat anggukan kepala Retsu, "kalau begitu, bisakah kau menjaga kepercayaan kami untuk menjaga Momo sepenuhnya?"

Toshiro tersenyum lebar diikuti Momo. Dengan semangat, pemuda itu menganggukkan kepalanya, "tentu saja aku akan menjaga Momo. Aku sungguh-sungguh berterima kasih atas kepercayaan yang telah kalian berikan."

"Nah, Toshiro," pemuda berambut jingga tersebut menepuk pundak Toshiro, "selamat datang di keluarga besar kami, kawan. Mulai hari ini kau bukan hanya kakak iparku tapi juga calon suami dari sepupuku tersayang."

"Aa," ia tersenyum sumringah, "terima kasih, Ichigo."

"Hei, apakah tidak ada adegan ciuman? Biasanya setelah melalui perjuangan panjang, kisah akan ditutup dengan hal seperti itu, bukan?"

Momo mendelikkan matanya. "Kau terlalu banyak membaca dongeng, Shuuhei. Aku tidak mungkin melakukannya."

"Hm," Toshiro menyeringai, "kenapa tidak?"

Sepertinya Toushiro menuruti akan ucapan Shuuhei. Terbukti dengan tarikan pemuda tersebut membuat dirinya dan Momo berdiri tanpa ada jarak sedikitpun, diikuti dengan kedua bibir mereka yang bertautan. Orangtua mereka hanya bisa menggelengkan kepala menghadapi tindakan berani tersebut, sedangkan Ichigo hanya bisa tersenyum-senyum—mungkin teringat akan tindakannya yang dulu saat mencium Rukia di hadapan Byakuya. Sementara Shuuhei hanya bisa bergumam lirih.

"Ah, sepertinya aku juga harus menemukan pasanganku yang sesungguhnya."

#

The End

#

Yak, tamat dengan ending yang semakin menjengkelkan. Lagi-lagi Yurisa mengecewakan pembaca semua, karena lagi-lagi chapter ini tidak bernyawa. Mana HitsuHina-nya cuma sedikit lagi #ngais-ngais tanah. Oh tidaaaaak! Ampuni author tidak becus ini. Gomen na… *sujud-sujud

Tapi, tapi, tapi, kalau boleh ngoceh sedikit, Yurisa paling suka sama kata-kata Shuuhei ke Momo tentang cinta yang benar. Astaga, itu sumpah kata-kata yang udah sering banget didenger, cuman entah kenapa Yurisa suka aja. Oke, lanjut dah!

Nah, di chapter terakhir ini, Yurisa ucapkan terima kasih untuk kalian yang sudah membaca cerita ini, baik yang meninggalkan review atau tidak, pada kalian yang sudah mem-fave cerita ini atau bahkan mem-fave saya? I give my big appreciate to you. Thanks a lot, guys.

And, this is my other thanks for delalice, Violet-Yukko, edogawa Luffy, Michilatte626, and Catherina Theresia. Makasih banyak, guys, tanpa kalian Yurisa yakin Yurisa ga ada apa-apanya. Pokoknya, seribu kata terima kasih deh untuk kalian~ /duagh

Ne, for my last chapter, mind to review?