Toshiro menatap langit malam yang dipenuhi dengan taburan bintang dari teras rumahnya. Dipandanginya bintang-bintang yang saling berkelap-kelip tersebut dengan tatapan datar. Ia menghela nafasnya—untuk yang kesekian kalinya. Pemuda itu teringat akan kata-kata yang Rukia tujukan padanya.
"Lalu, bagaimana dengan Shiro-chan?"
Toshiro beranjak dari duduknya. Sebelum benar-benar masuk, ia kembali menatap taburan bintang yang masih senantiasa turut menyinari malam. Ditatapnya langit itu lekat-lekat—seolah takut ia akan melupakan pemandangan indah tersebut dalam hidupnya. Ia kembali menghela nafasnya. Kalau diibaratkan, bintang-bintang itu mirip sekali dengan Rukia. Selalu terlihat terang di tempat seburuk apapun ia berada. Toshiro mendesah. Ya, gadis itu memang seperti bintang yang selalu setia memancarkan cahayanya di langit yang tampak kelam. Namun, apakah ia sadar bahwa sosok bintang yang terpatri di hatinya kini bukan lagi sosok Rukia—orang yang selama ini amat disayanginya?
.
.
.
.
.
Bleach © Tite Kubo
.
.
Sequel Between You and Me
.
.
Only Your Love
.
.
.
.
Toshiro menatap Byakuya yang barusaja mengumumkan status Rukia beserta rencana pernikahan gadis mungil itu. Kembali terbayang dibenaknya saat ia melempar sekotak cincin untuk Ichigo agar diberikan pemuda itu untuk Rukia. Toshiro masih mengingatnya dengan sangat jelas saat ia menemukan benda itu di atas meja kerja di kamar Ichigo. Ia menghela nafasnya berat. Entah mengapa, dia merasa ada yang janggal dalam dirinya. Bukan, bukan karena pernikahan Ichigo dan Rukia. Bukan juga karena ia masih tidak bisa melepaskan dan merelakan Rukia. Tapi, dia merasa ada bagian dirinya yang hilang dan itu bukan Rukia.
"Shiro-chan," sapaan itu berhasil membuyarkan pikiran Toshiro.
Pemuda itu mengangkat kepalanya yang semula tertunduk sebelum ia menatap wajah Rukia—wajah adik tirinya, yang terpaut jarak beberapa meter dari tempatnya berdiri. Di sebelah gadis itu, berdiri sosok jangkung pria berambut orange yang sudah bersahabat lama dengannya—sosok yang selalu setia menemani kemanapun Rukia pergi.
"Kenapa melamun, Shiro-chan?" tanya gadis itu saat ia berdiri berhadapan dengan kakaknya.
"Aku tidak melamun," sanggah pemuda itu. "Hanya berpikir!"
Rukia tersenyum kecil. "Jangan terlalu banyak berpikir, nanti rambutmu benar-benar berubah putih semua!"
Toshiro mendengus kesal. "Sudah kukatakan berulang kali padamu, kalau rambutku ini asli. Sama dengan milik Ichigo," sahutnya.
"Kenapa membawa-bawa namaku?" seru Ichigo.
"Hanya contoh," jawab Toshiro asal. "Jadi, kapan pernikahan kalian dilaksanakan?"
"Paling lambat kira-kira dua minggu lagi," ucap Ichigo.
"Lalu, siapa wanita yang sudah berhasil memikat hati Shiro-chan saat ini?"
Toshiro mendesah. "Entahlah. Aku merasa ada yang janggal!"
"Janggal bagaimana?" tanya Rukia tidak mengerti.
"Seperti kehilangan penopang hidupku," sahutnya dengan wajah muram.
Rukia terdiam mendengar penuturan Toshiro, begitupula dengan Ichigo. Ditatapnya wajah Ichigo oleh gadis mungil tersebut—berusaha meminta jawaban yang tepat untuk memberikan saran yang tepat pada kakaknya.
"Lebih baik bertanya saja pada Hinamori," suara Ichigo memecahkan suasana yang semula hening.
Toshiro menatap wajah Ichigo lekat-lekat. Tiba-tiba saja ia merasakan desiran aneh yang bergumul dalam dadanya. Rasa sesak yang menari-nari liar namun terasa mendamaikan. "Momo," ucapnya dengan suara lirih.
"Kenapa Momo?"
"Hinamori itu kuliah jurusan psikologi, jadi aku yakin dia pasti mengerti apa yang kamu rasakan," jelas Ichigo.
"Psikolog?" tanya Toshiro dengan raut wajah bingung.
"Memangnya Shiro-chan belum tahu?"
Toshiro hanya menggelengkan kepalanya saat Rukia melontarkan pertanyaan tersebut. Memang, sejauh ini hubungan yang terjalin diantara mereka berdua hanya sebatas rekan kerja. Jadi, wajar saja bila masih banyak identitas Momo yang belum benar-benar diketahui olehnya.
"Jadi, Shiro-chan mau bertanya pada Momo?"
Toshiro mengangkat bahunya. "Entahlah. Aku tidak yakin!"
Rukia mengangguk-angguk kecil mendengar jawaban Toshiro.
"Rukia," panggil Isshin dari kejauhan.
Gadis itu menengokkan kepalanya ke arah datangnya suara yang sudah memanggil namanya. Merasa dirinya dibutuhkan lelaki itu, ditatapnya wajah Ichigo lalu beralih ke Toshiro.
"Kami harus berfoto untuk undangan pesta," ucap Ichigo kepada Toshiro—berusaha menjelaskan mengapa ayahnya tiba-tiba memanggil mereka berdua.
"Kalau begitu, pergilah!"
Rukia tersenyum. "Kami ke sana dulu ya, Shiro-chan!" ucap gadis itu melambaikan tangannya sambil melangkah menjauhi Toshiro.
Ditatapnya kedua pasangan yang berjalan menjauhinya tersebut. Sesekali Toshiro tersenyum kecil saat ia mengingat masa lalu yang terjadi diantara mereka bertiga. Masa lalu yang mengikat mereka dalam satu perasaan bernama cinta.
~x~x~x~x~x~
Momo menatap pemuda berambut hitam dihadapannya lekat-lekat. Sementara yang dipandangi hanya tersenyum kecil sambil menatap balik gadis bermata hazel tersebut.
"Kenapa memandangiku terus, Momo?" tanya pemuda itu pada akhirnya.
Momo menghela nafasnya. "Kenapa kau yang menjemputku?"
Ya, gadis itu barusaja kembali ke kota tempat tinggalnya, Paris. Dirinya memang sengaja kembali dikarenakan ayahnya yang memaksanya untuk segera pulang karena ada beberapa urusan mendadak. Tapi, gadis itu tidak menyangka bahwa ayahnya membiarkan pemuda di hadapannya ini untuk menjemputnya di bandara.
"Karena aku ingin menjadi orang yang pertama menyambut kepulanganmu," sahutnya sambil tersenyum.
Momo memalingkan wajahnya. "Aku tidak membutuhkan sambutanmu, Shuuhei Hisagi!" seru gadis itu sambil menekankan kalimatnya di nama pemuda tersebut.
"Aku ini tunanganmu lho, Momo!"
Gadis itu menatap Shuuhei dengan tatapan tajam. "Sejak kapan kau menobatkan dirimu sebagai tunanganku?"
"Mungkin sekarang belum. Tapi malam ini adalah hari peresmiannya," jawab Shuuhei tanpa mempedulikan tatapan Momo yang semakin tajam.
Momo menarik kopernya dan melangkah menjauhi Shuuhei. "Aku akan pulang sendiri!"
Shuuhei yang mendengar hal itu hanya menaikkan alisnya. Pemuda itu tersenyum kecil sebelum dilangkahkan kakinya untuk menyejajari langkah kecil Momo yang terlebih dulu meninggalkannya. Setelah sejajar, ditahannya tangan gadis tersebut.
"Mau apalagi, Shuuhei?" pekik gadis itu sambil menahan emosinya.
"Aku akan mengantarmu. Tidak ada penolakan," seru pemuda itu sambil menarik tangan Momo dengan erat. Momo tidak diam saja. Gadis itu meronta minta dilepaskan—tidak mempedulikan orang-orang yang mulai memandangi mereka.
"Shuuhei, lepas!" perintah Momo.
Namun, pemuda itu tetap tidak melepaskan genggaman tangannya. Ia terus menarik gadis itu sampai mereka berhenti di depan mobil BMW silver miliknya. Diperintahkannya gadis itu untuk naik—yang terang saja ditolak mentah-mentah oleh Momo. Setelah melalui berbagai macam perdebatan, akhirnya Momo mengalah dan lebih memilih mengikuti perintah pemuda di hadapannya sambil terus menggerutu dalam hati.
~x~x~x~x~x~
Momo membaringkan tubuhnya di ranjang kamarnya yang berhias motif pohon maple. Gadis itu kembali memutar ingatannya saat kejadian siang tadi di bandara, saat ketika Shuuhei datang menjemputnya. Momo mendesah kecil. Pemuda itu adalah kekasih Momo—atau mungkin mantan kekasihnya, walaupun sebenarnya hubungan mereka belum benar-benar berakhir—karena mereka berdua sama-sama tidak pernah mengatakan bahwa hubungan mereka memang sudah berakhir.
Ia menghela nafasnya. Ingatannya masih segar saat Shuuhei tiba-tiba menghilang dari hidupnya. Pemuda itu pergi meninggalkannya tanpa ucapan sedikitpun sebelumnya. Benaknya kembali bermain—teringat akan masa lalunya dengan pemuda yang pernah dicintainya, atau mungkin sekarang perasaan itu masih membekas di hatinya. Entahlah, ia juga tidak tahu.
"Momo," suara itu kembali menyadarkan Momo dari alam bebasnya. Dibangunkan tubuhnya lalu dilangkahkan kakinya menuju pintu kamarnya sebelum ia membukanya.
"Ada apa, bu?" tanya gadis itu setelah ia berdiri berhadapan dengan ibunya.
Wanita berambut panjang tersebut tersenyum. "Kamu ke ruang makan sekarang ya. Ada hal penting yang ingin ayahmu bicarakan."
Momo mengerutkan keningnya. "Hal penting? Maksudnya urusan mendadak yang waktu itu ayah bicarakan ditelepon?"
"Turun sajalah dulu. Biar ayahmu sendiri yang menyampaikannya," ucap wanita tersebut.
"Baiklah. aku akan turun setelah aku mengganti pakaianku," sahut gadis itu.
~x~x~x~x~x~
Momo menuruni tangga rumahnya untuk sampai di ruang makan. Namun saat ia berdiri di sana, terlihat olehnya ayah serta ibunya sedang berbincang bersama-sama dengan kedua orangtua Shuuhei. Gadis itu terpaku ditempatnya saat memandang hal tersebut.
"Momo," sapa Shuuhei.
Rupanya pemuda tersebut melihat gadis itu hanya berdiri diam dan merapat di tembok rumahnya. Senyum kecil kembali menghiasi wajahnya yang tampan. Dihampirinya gadis itu dengan wajah sumringah.
"Kenapa diam saja? Ayo, bergabung!" ajak pemuda itu sambil menarik tangan Momo. Sedangkan Momo hanya mengikutinya tanpa bisa memberikan reaksi apapun atas tindakan yang Shuuhei lakukan. Gadis itu juga menurut saja saat Shuuhei menyuruhnya duduk di samping pemuda tersebut. Ya, Hinamori terlalu terkejut mendapati hal yang terjadi di hadapannya. Kembali terngiang di telinganya akan ucapan Shuuhei tadi sore.
"Aku ini tunanganmu lho, Momo!"
Momo menatap cemas ke arah kedua orangtuanya—beserta orangtua Shuuhei yang menatap mereka sambil tersenyum. Momo mengerti apa yang ada dipikiran mereka. Pasti mereka mengira bahwa hubungannya dengan Shuuhei sudah bisa dibawa ke tahap yang lebih memastikan lagi. Gadis itu menghembuskan nafasnya sebelum mengatakan hal yang sebenarnya kepada orangtuanya—bahwa hubungannya dengan Shuuhei itu sudah tidak bisa dan tidak akan dilanjutkan kembali. Belum sempat ia mengeluarkan suaranya, ayahnya terlebih dahulu bicara.
"Momo, Shuuhei, ada hal penting yang ingin kami berempat katakan pada kalian," ucap laki-laki berambut coklat itu memulai kalimatnya—yang tanpa sadar memotong kalimat yang hendak dilontarkan Momo. "Kami merasa hubungan yang terjalin diantara kalian berdua sudah sepantasnya untuk dibawa ke tahap yang lebih lanjut lagi. Kami tidak memaksa kalian untuk cepat-cepat menikah. Tentu tidak seperti itu! Kami hanya meminta kepada kalian berdua untuk bertunangan," jelasnya.
"Aku setuju dengan apa yang Sousuke katakan. Benar bukan, Lisa?" ucap Kensei—ayah dari Shuuhei— ikut menimpali. Sementara Lisa—istrinya, hanya tersenyum kecil sambil menganggukkan kepala.
"Retsu dan aku sudah membicarakan hal ini dengan orangtua Shuuhei, dan mereka setuju. Sekarang kami ingin bertanya kepada kalian berdua, apakah kalian bersedia?" tanya Sousuke.
"Aku tidak bisa," sahut Momo cepat sebelum Shuuhei sempat menyetujui hal tersebut. Semua mata kini tertuju pada gadis bermata hazel tersebut. Gadis itu meneguk salivanya saat ditatap dengan pandangan yang mengatakan bahwa ia harus memberi alasan yang tepat atas kata-katanya.
"Begini, Momo ingin melanjutkan kuliahnya yang tertunda waktu itu. Momo bercita-cita ingin menjadi psikolog, jadi dia masih belum siap untuk bertunangan denganku. Lagipula, waktunya juga terlalu cepat. Kurasa Momo masih terkejut mendengar hal ini," sela Shuuhei.
Momo mendelik tajam ke arah pemuda itu. Shuuhei hanya tersenyum kecil untuk membalasnya. Gadis itu merutuk kesal, karena menurutnya Shuuhei sengaja mengatakan hal itu dan justru itu akan membuatnya semakin terpojok.
"Pertunanganmu akan ayah laksanakan sebelum jadwal kuliahmu dimulai. Kalau begini, bagaimana?"
Momo menghela nafasnya. Apa yang dipikirkannya benar-benar terjadi. Sekarang posisinya terpojok. Mau menolak, jelas tidak mungkin. Mau menerima, juga tidak mau. Dipandanginya wajah ayah dan ibunya lekat-lekat—berharap mereka mengerti apa yang dirasakannya saat ini.
"Bagaimana Momo?" kali ini Retsu yang bertanya.
Gadis itu menghembuskan nafasnya—menyerah. "Baiklah, aku mau!" ucapnya pelan.
~x~x~x~x~x~
Momo menutup ponselnya. Barusaja ia diberi kabar bahwa kakak sepupunya—Ichigo Kurosaki, akan melangsungkan pernikahannya dengan Rukia dua minggu lagi. Gadis itu tersenyum mendengar berita tersebut. Sedikit rasa tidak percaya muncul dibenaknya karena Ichigo benar-benar dapat memiliki orang yang dicintai olehnya—orang yang sebelumnya dikatakan adik kandungnya. Gadis itu menghela nafasnya. Ia juga tak lupa menceritakan tentang pertunangannya dengan Shuuhei kepada kakak sepupunya itu.
Gadis itu menatap pantulan dirinya di cermin. Entah kenapa, dia merindukan sosok pemuda berambut putih itu. Ingin sekali rasanya ia mendengar suaranya—hanya suaranya saja, tidak lebih, tapi tidak bisa. Momo sadar, kalau pemuda itu terlalu jauh dari jangkauannya. Miris sekali rasanya mengingat pemuda itu tidak bicara apa-apa saat melepas kepergiannya.
Momo merebahkan tubuhnya di ranjang miliknya. Pikirannya terasa penat saat ia kembali teringat akan acara pertunangannya dengan Shuuhei yang akan diadakan beberapa minggu lagi. Seandainya ada cara yang bisa membatalkan pertunangan ini, batin gadis itu sebelum ia terlelap dalam mimpinya.
~x~x~x~x~x~
"Momo akan bertunangan?" pekik gadis berambut sebahu itu dengan rasa tidak percaya. "Dengan siapa?"
Ichigo menghembuskan nafasnya. "Dengan Hisagi Shuuhei," jawabnya.
"Siapa dia? Pacar Momo?"
"Iya, dia kekasih Hinamori. Tapi setahuku, mereka sudah lama berpisah dan tidak bertemu."
Rukia mengerutkan keningnya. "Lalu kenapa tiba-tiba mereka bisa bertunangan?"
"Mungkin karena kedua orangtua mereka yang memutuskan hal itu," jawab Ichigo.
"Apa kau mengenal Shuuhei juga, Ichigo?"
Ichigo menatap gadis mungil itu lekat-lekat. "Dia satu angakatan denganku. Kami bersekolah di SMA yang sama sewaktu di London. Aku sangat mengenalnya dan aku juga tahu kalau dia—mencintai gadis lain!"
Mata Rukia membulat karena terkejut mendengar pernyataan Ichigo. "Kalau dia mencintai gadis lain, mengapa dia bertunangan dengan Momo? Bukankah hal itu hanya membuat Momo tersakiti?"
"Shuuhei hanya berusaha menghapus masa kelamnya," sahut Ichigo dengan mata menerawang.
"Maksudmu?"
"Kekasihnya meninggal sehari sebelum pertunangan mereka. Pada saat itu, ia sangat depresi sampai akhirnya Momo datang ke dalam hidupnya. Sejak saat itu Shuuhei selalu bergantung dengan Momo, bahkan ia menganggap Momo adalah reinkarnasi dari kekasihnya yang meninggal. Dan saat itulah ia baru benar-benar sadar bahwa tindakannya salah—tindakannya yang menganggap Momo adalah reinkarnasi kekasihnya. Hal terakhir yang aku ketahui, dia pergi meninggalkan Momo tanpa mengatakan apapun," jelas Ichigo panjang lebar.
"Kasihan sekali," gumam Rukia.
"Justru Hinamori-lah yang paling tersiksa dalam hal ini," sahut Ichigo. "Dia bahkan tidak tahu apa-apa tentang masalah Shuuhei."
Rukia mendongakkan kepalanya untuk menatap Ichigo. "Semoga Momo bisa mendapatkan kebahagian yang benar-benar diinginkannya ya."
Ichigo hanya menganggukkan kepalanya tanda menyetujui apa yang gadis itu ucapkan. Pemuda itu menatap langit senja yang mendominasi angkasa sambil berujar dalam hatinya. Semoga kau bisa menemukan kebahagiaanmu yang sebenarnya, Hinamori!
~x~x~x~x~x~
~x~x~To Be Continued~x~x~
~x~x~x~x~x~
Hahaha, Yurisa membawa fict baru kawan~~
Bukan baru juga sih. Yap, cerita ini adalah lanjutan dari fict Yurisa yang berjudul 'Between You and Me'. Adakah kawan pernah membacanya?
Lanjut, jadi sebenernya banyak fict yang ingin Yurisa publish, hanya saja Yurisa sulit menemukan waktu yang kosong. Bayangkan saja, dari hari Senin sampai Minggu, Yurisa pasti ada kegiatan yang berurusan dengan sekolah. Percaya atau tidak, urusan kalian sajalah, hahaha…
Dan akhirnya, pada waktu sesempit ini Yurisa berhasil mempublish fict sequel dari 'Between You and Me' yang sebenernya sudah lama sekali ingin Yurisa publish. Sebenernya fict ini ingin Yurisa jadikan oneshoot, hanya saja saat Yurisa melihat words yang tertera, words tersebut sudah mencapai angka lima ribu lebih dan belum sampai setengah dari kisahnya. Maka dari itu, Yurisa putuskan untuk menjadikan ini multichapter. Tidak akan panjang sepertinnya, mungkin lima.
Terakhir, doakan Yurisa supaya sukses UTS minggu depan dan sukses mengupdate fict ini dengan teraratur, karena setelah UTS sepertinya Yurisa akan mulai aktif kembali (Yurisa ga janji ya, tapi akan diusahakan semaksimal mungkin).
Thank you, guys~~~
Review?