"Wedding Dress"

Chapter 6

Naruto owned by Masashi Kishimoto

SasuSaku

AU

Kebahagiaanmu, atau kebahagiaan cintamu.

xoxoxoxox

"Dia tidak bilang apa-apa lagi setelah itu," Sakura berbicara pada telefon yang diapitnya di antara telinga dan pundaknya, tangannya sibuk memotong-motong tomat.

"Kalau aku jadi dia, aku juga tidak tahu harus bilang apa," Ino bicara di ujung saluran, "Maksudku, itu seperti kalimat termanis sekaligus termenyakitkan yang pernah ada, Sakura!"

Sakura tertawa kecil, "Aku hanya memperkenalkannya pada bayiku, Ino..."

"Ya, dengan cara menempelkan tangannya lalu bilang 'Ini ayah, nak'. Ya Tuhan, aku bahkan hampir menangis mendengarnya," Ino berpendapat.

"Hahaha... Baiklah, baiklah, terserah katamu, Ino. Nanti kutelefon lagi ya? Aku sedang memasak makan siang."

"Oke. Daaah," Ino mengiyakan, mengerti kalau sahabatnya sedang sibuk.

Telefon itu diakhiri, Sakura menghela nafas panjang setelah menutup telefon. Ia memasukan potongan-potongan tomat ke dalam blender dan menekan tombol 'on'-nya. Kini, sudah hampir memasuki usia lima bulan kandungannya, Sakura mulai mengalami apa yang orang bilang masa 'ngidam'. Entah harus disebut ironis atau manis, tapi kini Sakura sangat menyukai tomat. Jus, bumbu masakan, saus, segala yang mengandung tomat akan masuk ke dalam perutnya.

"Kau mengikuti ayahmu, ya...?" Sakura bicara dan mengelus perutnya, tersenyum kecil.

Blender sudah menghaluskan potongan-potongan tomat tadi menjadi jus. Sakura menuangkannya ke dalam gelas yang sudah diisi es terlebih dahulu. Dengan itu lengkaplah makan siang Sakura. Salad buah dan jus tomat dingin. Ia tidak bisa mempersiapkan yang lebih dari itu, tidak cukup waktu yang dimilikinya dalam sehari. Apalagi ia masih harus mempersiapkan pernikahan Matsuri dan Sasuke.

Pikiran pernikahan Matsuri dan Sasuke membuat Sakura terdiam di kursi meja makannya. Tatapannya menerawang dan heningnya ruangan membuat air matanya kembali terbentuk.

Ya, selain ngidam, perubahan mood ibu hamil sepertinya dialami pula oleh Sakura.

Sebelum air matanya sempat terjatuh, bel pintu rumahnya berbunyi. Dengan cepat Sakura menghapus jejak-jejak air mata yang sudah terjatuh dengan dua tangan. Ia lalu bangkit untuk membukakan pintu pada tamu yang datang.

Tentu saja pria yang seharusnya; Uchiha Sasuke.

Ketika melihat Sasuke yang berdiri di depan pintu rumahnya, Sakura hanya bisa tertawa dan menggelengkan kepala, "Kau sering ke rumahku ya, hari-hari ini?"

"Hn."

"Ada apa?" Sakura bertanya, tidak mempersilahkan masuk terlebih dahulu.

"Aku ingin mengajakmu ke dokter," Sasuke berkata datar.

Dengan alis terangkat, Sakura menanggapi, "Dokter? Untuk apa?"

"Hn. Dokter kandungan."

Sakura sedikit terkesiap. Kesadarannya kalau ia belum pernah ke dokter kandungan, bahkan sampai usia lima bulan kandungannya, membuatnya terkejut. Ditambah lagi, sekarang yang mengajaknya untuk ke dokter kandungan adalah ayah dari bayi yang dikandungnya. Semua terlalu ironis, terlalu berat untuk diterima otak dan hati Sakura yang sudah terlalu banyak dibebani.

"Aku rasa itu bukan ide yang bagus...," Sakura berusaha kuat menatap Sasuke, "Aku akan pergi ke dokter kandungan, tapi tidak sekarang."

Sasuke hanya berdiri di posisinya, menatap Sakura. Memperhatikan bagaimana kedipan mata Nona Haruno itu begitu cepat. Bagaimana dalam setiap kedipannya, ada air mata yang ditutupi.

"Maaf, Sasuke... Tapi aku sedang ingin sendiri. Kau harus pulang sekarang...," Sakura menarik senyum di wajahnya.

Sesuatu dalam hati Sakura berteriak bodoh. Ia tahu pasti kalau saat ini ia tidak ingin sendirian. Sekarang Sasuke berdiri di depan pintu rumahnya, kenapa ia harus mengusirnya? Tidak apa 'kan kalau mengundang Sasuke masuk? Menemaninya menyantap makan siang, apapun agar ia tidak merasa kesepian. Tidak usah peduli kalau Sasuke adalah tunangan orang lain, ia punya hak untuk mendapat perhatian Sasuke. Ia mengandung bayi Sasuke 'kan? 'Kan?

"Tolong, Sasuke, pulanglah...," tapi malah kata-kata itu yang keluar dari mulut Sakura.

Sesuatu yang lain dalam hati Sakura menyadarkannya. Menyadarkan kalau ia tidak boleh egois. Sasuke bukan miliknya, dan meskipun bayi yang dikandungnya adalah bayi Sasuke, ia tetap tidak memiliki hak untuk menahan Sasuke; untuk membuat Sasuke memberi perlakuan spesial padanya. Bagaimanapun juga, semua yang terjadi saat ini hanyalah buah dari 'kecelakaan'. Dan Sakura harus bertanggung jawab pada dirinya sendiri, bukannya melimpahkan semua pada Sasuke.

"Sakura," Sasuke menyebut nama Nona Haruno itu karena sekarang, Sakura sudah mulai menunduk. Menghindari tatapan Sasuke dan menyembunyikan air matanya yang mulai jatuh.

Tenaga Sakura seperti terkuras habis. Ia tidak punya tenaga bahkan untuk bergerak sekalipun. Sakura hanya berdiri di hadapan Sasuke, wajah tertunduk, air mata yang mengalir tanpa suara isak. Bagitu lemasnya sampai saat Sasuke melangkah masuk ke dalam rumahnya, ia hanya bisa diam. Begitu lemasnya sampai saat Sasuke menutup pintu rumahnya, ia masih terdiam. Bahkan sampai Sasuke menuntunnya masuk ke dalam, dan membantunya duduk di sofa, Sakura hanya bisa terdiam...

...dan menangis.

xoxoxoxox

Sepi. Hanya itu yang bisa digambarkan dari ruang makan rumah keluarga Uchiha. Ruangan dengan dominasi warna putih dan abu-abu itu hanya memiliki sebuah karpet merah di bawah meja makan yang memberi aksen. Sisanya, sepi masih mendominasi. Sebuah meja makan dengan enam kursi di sekelilingnya terletak di tengah ruangan. Salah satu kursinya terisi seorang gadis muda berambut coklat.

Mashed potatoes dengan potongan beef cordon bleu tidak membangkitkan selera makan Matsuri. Ia hanya menegak wine berwarna merah sedikit demi sedikit dari gelasnya. Mencoba menenangkan pikirannya yang sedang kalap.

Baru kali ini ia begitu dikejutkan akan sebuah kenyataan. Selama hidupnya, ia selalu mempersiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan terburuk. Hal itu selalu diterapkan kedua orang tuanya dari saat ia masih begitu kecil. Dan hal itu pun masih dianutnya pada saat ia pertama bertemu Sasuke. Saat itu ia adalah penjabat posisi manager di bidang Human Resources Development di perusahaan naungan nama besar Uchiha. Ketika sosok anak bungsu pewaris kekayaan Uchiha itu datang enam tahun yang lalu, ia sama sekali tidak menyangka kalau hubungan yang lebih dari sekadar rekan kerja akan terjalin di antara mereka. Uchiha Sasuke, Matsuri tidak pernah berharap lebih, selalu bersiap untuk hal yang terburuk. Ia pun tidak berharap akan sebuah lamaran romantis yang dilancarkan Sasuke pada malam di mana hubungan mereka mencapai anniversary yang ke-5 tahun.

Tapi semua keindahan itu membuatnya melepas apa yang telah menjadi prinsipnya selama bertahun-tahun. Ia membiarkan pikirannya lepas, membayangkan hal-hal indah dan bahagia. Sampai semua itu hancur di hadapannya. Hanya hitungan bulan menuju pernikahannya, seorang wanita muncul dari masa lalu Sasuke, mengatakan bahwa dirinya mengandung anak Sasuke. Pria yang benar-benar Matsuri cintai.

"Hei, Matsuri!"

Sapaan ceria itu membuat Matsuri sadar dari lamunannya dan mendongak, melihat ke arah suara itu muncul.

Uchiha Itachi, kakak dari pria yang sangat ia cintai.

"Hei, Itachi-niisan!" Matsuri memaksakan senyum di wajahnya.

Itachi mengerutkan dahi. Tas besar yang ia sampirkan di pundak diletakkan di salah satu kursi meja makan. "Ada apa?"

"Hm?" Matsuri memandangi Itachi yang lalu duduk di kursi di dekatnya, "Tidak ada apa-apa..."

"Oh ya?" Itachi meraih gelas wine Matsuri. Pria itu memperhatikan isi gelasnya, menggoyangkan gelas itu hingga wine di dalamnya sedikit bergejolak, menghirup wanginya dan berkomentar, "Cabernet Sauvignon...?"

Matsuri mengangguk, "Carlo Rossi."

"Wine yang terlalu kuat untuk makan siang, 'kan?" Itachi meletakkan kembali gelas itu di samping piring makan Matsuri, "Katakan, ada apa...? Hm?"

Matsuri memandangi Itachi cukup lama. Cukup lama sampai akhirnya air matanya tidak terbendung dan akhirnya jatuh. Itachi cukup terkejut, tapi ia berusaha tenang. Kepanikan tidak dibutuhkan Matsuri saat ini. Sosok kakak yang menenangkanlah yang Matsuri cari, setidaknya itu yang Itachi pelajari selama bertahun-tahun gadis itu menjalin hubungan dengan adiknya.

"Hei... Kau tahu 'kan kau bisa cerita apapun padaku...," Itachi bicara dengan lembut.

Matsuri mengangguk, "Aku tahu... Aku tahu... Hanya saja- Ini-"

Matsuri mengangkat dagunya, menatap lurus ke depan dan mengatur nafasnya yang sempat terputus-putus karena menangis. Tarik nafas..., hembuskan perlahan. Dan ia kembali tenang.

"Apa kau tahu Haruno Sakura?" Matsuri bertanya pada Itachi.

"Ya... Dia teman lama Sasuke, dan kalau aku tidak salah dengar, ia yang menjadi wedding organizer pernikahanmu dan Sasuke 'kan?" Itachi menjawab.

Anggukan kepala Matsuri cepat, "Ya, Haruno Sakura yang itu."

"Oke... Ada apa dengan dia? Maksudku, kalau ini soal cemburu seperti yang kau alami setahun yang lalu, kau bisa tenang. Kau tahu Sasuke, dia tidak akan memilih gadis lain. Apalagi sekarang kau adalah-"

"Dia hamil," potong Matsuri cepat.

Itachi melanjutkan ucapannya meski terpotong, "-tunangan Sasuke. Sakura apa?"

"Hamil," Matsuri mengulang informasi yang ia katakan sebelumnya, "Haruno Sakura hamil. Tebak siapa ayahnya?"

Mata Itachi membesar, "Tidak... Tidak, tidak, tidak."

"Ya. Kau akan menjadi paman, Itachi-niisan," Matsuri berkata dengan senyum miris di wajahnya, "Dan keponakan pertamamu, bukan anakku."

Matsuri tertawa pelan, tapi tawa itu semakin mengecil dan terganti dengan tangis. Tangis yang perih, tidak cukup untuk menggambarkan perasaan Matsuri saat itu, tapi Matsuri hanya melakukan apa yang tubuhnya ingin lakukan. Sudah terlalu lama ia memendam sakit itu sendirian. Sudah terlalu lama otaknya memerintahkan air matanya agar tidak jatuh. Sudah terlalu lama ia membohongi perasaannya sendiri. Ia tidak berani bicara pada Sasuke, takut akan kenyataan kalau Sasuke akan meninggalkannya dan menambah rasa sakit yang ada. Dan kesadarannya akan kenyataan membuat tangisnya semakin histeris.

Di lain pihak, Itachi berusaha untuk tetap tenang. Seperti yang ia pikir sebelumnya, kepanikan tidak dibutuhkan oleh Matsuri saat itu. Maka Itachi menarik kursinya mendekati Matsuri, merangkul calon adik iparnya itu dalam sebuah pelukan seorang kakak, "Menangislah..."

Siang dengan tangis dari dua nona muda.

xoxoxoxox

"Apa aku sahabat yang buruk?" Ino bertanya pada suaminya, Sai. Siang itu begitu terik, bahkan Sai kehilangan semangat melukisnya. Sekarang yang ia lakukan hanya duduk di sofa ruang tengah apartemennya, menonton DVD dengan kepala Ino bersandar di pundaknya.

"Kenapa bertanya seperti itu?" Sai berusaha mengelus kepala Ino dengan tangannya.

"Entahlah...," Ino menghela nafas, "Aku merasa gagal sebagai sahabat."

"Jelaskan 'gagal'," Sai menanggapi.

"Ya, kau tahu... Posisi Sakura di sini sangat tidak baik... Tadinya aku berpikir kalau Matsuri adalah wanita yang harus lenyap dari muka bumi ini, tapi lalu aku berpikir dari sudut pandangnya..."

"Dan...?" Sai meminta kelanjutan penjelasan Ino.

"Sangat tidak enak mengetahui kalau tunanganmu menghamili orang lain," Ino berkata sambil memainkan tangan Sai yang tidak sedang mengelus kepalanya, "Apalagi mengetahui kalau tunanganmu itu mungkin masih menyukai gadis lain."

"Maksudmu, Sasuke menyukai Sakura dan Matsuri mengetahuinya?" Sai bertanya.

"Aku tidak tahu sih... Tapi sepertinya begitu. Kau tahu, girls' feeling, sayang...," Ino berkata pelan.

Sai terdiam sesaat sampai akhirnya menanggapi, "Kau memang sahabat Sakura, sayang... Tapi mungkin ini sudah saatnya kau melepas Sakura. Maksudku, ada kalanya ia hanya butuh dirinya sendiri dalam menyelesaikan masalah 'kan?"

"Tapi ini Sakura...!" Ino menarik diri dari Sai, "Ia tidak akan bisa menghadapinya sendirian!"

Sai menatap Ino dengan mata teduhnya, "Tapi aku yakin Sakura juga tidak ingin melihat sahabatnya uring-uringan seperti ini."

Ino membuka mulut, berusaha berargumen balik. Tapi pada akhirnya ia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat dan memutuskan untuk diam.

"Dia akan baik-baik saja," Sai menggenggam tangan Ino, "Mungkin tidak dalam waktu dekat, tapi semua pasti akan baik-baik saja."

Ino tersenyum kecil ketika menatap Sai, "Thanks, hubby..."

Sai balik tersenyum dan mengecup bibir Ino.

xoxoxoxox

Sakura hanya duduk, menatap kosong. Di situlah ia, di dapur sekaligus ruang makannya, baru saja selesai menyantap makan siang. Tapi kali ini ia tidak sendiri, di ruangan itu ada seorang pria.

Uchiha Sasuke meletakkan piring makan dan gelas yang baru saja digunakan Sakura di bak cuci piring. Pria itu berbalik dan melihat Sakura yang menatap kosong. Satu jam yang lalu, ia harus menenangkan Sakura yang menangis, lalu memaksanya untuk makan. Sekarang setelah makan siang sudah Sakura habiskan, Sasuke merasa ia harus kembali ke tujuan awal ia mendatangi rumah Haruno.

"Kita ke dokter kandungan sekarang," Sasuke berkata seraya berjalan mendekati Sakura.

Sakura masih terdiam.

Satu helaan nafas, "Sakura, ayo."

"Aku tidak mau...," Sakura berujar lemah.

"Kau tidak punya alasan, ayo," Sasuke menarik lengan Sakura, berusaha membuatnya bangkit.

"Aku tidak mau...!" Sakura menghentakkan tangan Sasuke.

Tatapan mereka bertemu. Sasuke dengan tingkat kesabaran yang sudah hampir habis, dan Sakura dengan emosinya yang labil.

"Apa kau tahu rasanya, Sasuke...? Apa kau tahu?" Sakura berteriak histeris.

Sasuke hanya memandanginya.

"Apa kau tahu rasanya malu, sakit, dan sedih ketika orang-orang melihat dengan tatapan aneh dan sinis?"

Air mata Sakura mengalir, nafasnya semakin tidak beraturan.

"Kau tidak tahu, Sasuke... Dan kau tidak akan pernah tahu! Atau mengerti!" Sakura kembali meneriakkan setiap kata-kata.

Entah mengapa, tatapan Sasuke melembut. Meski tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut pria itu, tapi tatapannya pada Sakura melembut. Bukan mengasihani, tapi seperti mengerti...

"Pergi...," Sakura berkata setelah meredakan amarahnya, "Pulanglah."

Kali ini, Sasuke tidak melawan. Ia berjalan keluar ruangan, berhenti di pintu dapur dan melihat Sakura.

"Maaf...," ujar Sasuke.

Dan dengan itu, Nona Haruno kembali sendirian.

-to be continue-

-"Wedding Dress" chapter 06 finished-

xoxoxoxox

Chapter ini sengaja dibuat untuk menetralisirkan keadaan. Saya tidak ingin terjadi chara-bashing pada Matsuri, atau karakter manapun di fanfic ini. Dimohon kesediaannya untuk memberikan kritik dan saran. :) Terima kasih.

Tertanda, Viviane S.