Title : The truth behind his foresight had been revealed - 2

Rating : T

Disklaimer : Hidekaz Himaruya yang ALHAMDULILLAH SELAMAT *plak, para kontributor cerdas yang mengkontribusikan artikel di Encarta ataupun Wikipedia, tim penulis buku paket pelajaran Sejarah kelas VIII kota Semarang, para tukang gambar dark!Japan di Pixiv yang saya harap masih selamat ._.

Pasangan : Indonesia diperebutkan oleh kedua negara kuat, yakni Belanda dan Jepang.

Peringatan: PEMANGKASAN UNSUR SEJARAH (bukan karena nilai sejarah saya super madesu kok, sueer ._.v). Laki – laki yang tertarik kepada laki – laki (?), bahasa Indonesia yang bertele – tele, ketidaktepatan unsur asli dengan yang di sini, kekerasan, penggunaan senjata, penyimpangan karakterisasi, karakter buatan sendiri, dan bisa saja FF ini mengalami penurunan kualitas secara drastis walaupun saya sudah berusaha supaya tetap bagus ._.

A / N: banyak hal yang terjadi selama saya hiatus o wow. Pertama, saya nyaris kehilangan minat dan kehilangan gaya penulisan asli(?). Dua, siapapun yang menominasikan saya di IFA, terima kasih banyak pun tidak akan cukup! Ketiga, terima kasih buat nana_0_o yang mau membantu saya soal karakterisasi Indonesia dan hubungan-hubungannya dengan Belanda dan Jepang via twitter ataupun FFn! Selamat berjuang buat skripsi-nya ya~ ;w;/. Keempat, film Shaolin (walaupun Cina sih) banyak menginspirasi saya. Kelima, pas saya udah ada minat balik ke FFn, Jepang diguncang gempa dan tsunami, ditambah huru-hara PLTN ya .-. Doa saya menyertaimu ;_;/. Nah kelima hal tersebut membuat saya sangat berharap semoga saya gak mengecewakan kalian yang sudah mau mengikuti FF gaje ini ;_;


8 Maret 1942


Keheningan masih mendominasi keadaan sekitar. Bandara memang tampak lengang, tak ada seorang tentara Belanda ataupun beberapa rakyat Indonesia yang berani untuk melawan tentara Jepang. Yap, bandara berhasil dikuasai; atau lebih tepatnya akhirnya salah satu negara koloni Belanda, Hindia Belanda berhasil jatuh ke kekuasaan Kekaisaran Jepang.

Belanda menghela nafas berat. Ketakutannya tergantikan oleh rasa sedih yang mulai menusuk hatinya secara perlahan-lahan. Dengan kekuatan yang tersisa, dia berusaha berdiri tegak tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Walaupun luas wilayah negaranya kecil, namun postur tubuh rakyatnya rata - rata tinggi dan kekuatan angkatan lautnya sudah terkenal. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa dia, Negara Kincir Angin yang tersohor akan terjatuh seperti ini, apalagi dikalahkan oleh…negara Asia yang tinggi badannya berbeda jauh dari tinggi badannya. Di saat pertama kali mereka bertemu, tidak pernah terpikirkan pula bahwa negara yang sangat pemalu dan tertutup bisa menjadi…sangat bengis tak kenal ampun.

Mata zamrud bening bertatap dengan mata mirah yang kosong. Tak tahu harus berbuat apa ketika dia mengalami kekalahan, diputarlah badannya hingga memunggungi personifikasi Kekaisaran Jepang, kemudian berjalan perlahan menjauhi sosok berseragam serba hitam tersebut.

"Mau ke mana kau, Belanda? Tidakkah kau ingin sejenak melihat ekspresi koloni-mu yang manis ini setelah melihat kekalahanmu?"

Panggilan yang bernada sopan menusuk gendang telinga Belanda dan ditolehkan kepala jabriknya ke arah tempat di mana tadi dia berdiri. Mata hijaunya melebar dan jantungnya mulai berdetak kencang.

Di sana, di belakang personifikasi Kekaisaran Jepang, terdapat sosok yang mematung tanpa ekspresi. Walaupun jarak mereka cukup jauh, jika sudah mengenalnya selama bertahun-tahun pasti bisa langsung mengenali siapakah sosok tersebut. Belanda meraih tangannya yang bersarung ke dadanya sendiri, digenggamnya erat kain baju yang melekat di kulitnya. Ditariknya nafas perlahan dan memberanikan diri berjalan kembali ke tempat awal dia bersimpuh di depan personifikasi Kekaisaran Jepang. Salah satu tangannya yang menggenggam kain bajunya masih melekat erat tepat di depan jantungnya. Rasa takut bercampur malu mulai mendominasi apa yang ada di pikiran Belanda selama ini. Bahkan Belanda tidak ingin melihat seperti apa ekspresi wajahnya saat ini. Dia tidak terbiasa memiliki ekspresi seperti itu.

Kiku mulai merubah posisi berdirinya dan segera mendekati Indonesia sebelum Belanda sampai di posisi awalnya. Diraihlah pundak Indonesia yang sedari tadi bergeming dengan tangan bersarung putihnya, didekatkan bibirnya ke telinga Indonesia.

"Tak adakah kata terakhir untuk kompeni-mu yang sudah merawatmu selama ratusan tahun, hmmm?" bisik Kiku pelan.

Indonesia memejamkan kedua matanya perlahan saat nafas Kiku mulai menggelitik area alat pendengarannya. Jantungnya yang sejak tadi berdegup normal berangsur-angsur mulai bergerak cepat, seolah-olah hanya untuk mewarnai warna mukanya menjadi merah merona. Nafas dingin yang baru saja mengenai salah satu zona sensitifnya mulai membuat nafas Indonesia menjadi tercekat. Apakah ini efek mengerikan dari negara Asia yang berhasil menggulingkan pemilik aura terkeji pada saat itu, Imperial Rusia?

Indonesia berusaha membuyarkan sensasi yang baru saja menguasai seluruh badannya dengan cara mulai menjawab pertanyaan Kiku dengan nada normal, "entahlah. Aku belum memikirkannya."

Belanda menghentikan langkahnya. Walaupun tadi Kiku berbisik, Belanda bisa menangkap apa yang baru saja dikatakan oleh Kiku. Setelah mendengar jawaban Indonesia, seketika rasa malu langsung berganti dengan rasa kecewa. Walaupun dia merasa aneh juga, jika Indonesia belum pernah memikirkan perpisahan mereka berdua seperti apa, bukankah itu berarti Indonesia berpikir bahwa mereka takkan terpisahkan?

Sekarang arah mata mirah Kiku beralih ke sosok Belanda yang baru saja menunda usahanya untuk mendekati Indonesia. Senyum lebar mulai mengembang dan makna tatapan yang dimiliki Kiku mulai menyiratkan rasa sinis. Emosi Belanda mulai tergoda untuk naik tingkat ke mengekspresikan emosi kejengkelannya dengan cara…mungkin meninju si pria Asia hingga membuatnya jera untuk mengeluarkan tatapan mengejek itu kepadanya. Belanda sadar diri bahwa dia memang termasuk negara yang memiliki harga diri yang tinggi dan paling tidak suka dihina. Namun…mengingat posisinya sekarang dia adalah 'yang kalah'.

Kedua tangan kanan Belanda yang bersarung hitam terkepal kuat. Ditahannya emosi perlahan – lahan dan akhirnya mulai bisa berbicara tanpa melibatkan emosi, "Hei Jepang, bisakah kau memberikan kami berdua waktu untuk…uh…menyampaikan perpisahan?"

Bibir mungil yang sejak tadi melengkung ke atas kembali ke bentuk horizontal. Tatapan mata merahnya tidak lagi menunjukkan penghinaan, namun menunjukkan keheranan. Yap, Kiku sengaja melemparkan pandangan mengejek ke arah Belanda semata-mata untuk menguji ketahanan emosi-nya. Ternyata Belanda berhasil menahan emosinya sendiri dan tetap mempertahankan wibawa Kerajaan Belanda yang tidak akan mudah marah hanya karena tatapan mengejek dari perwakilan Kekaisaran Jepang.

Kiku menghela nafas dan mengambil jarak dari posisi awalnya yang berada tepat di sebelah Indonesia. "Bukan masalah. Kalian kuberi waktu lima menit untuk saling bertukar salam perpisahan, berhubung aku tidak punya waktu dan kau harus segera datang ke tempat yang sudah kutentukan untuk menandatangani perjanjian penyerahan koloni kesayanganmu kepadaku. Paham?"

Tanpa banyak basa-basi Belanda langsung mengangguk dan menarik paksa lengan Indonesia ke gudang penyimpanan yang sudah tak terpakai. Dia memilih tempat tersebut karena dia sudah tak tahan sejak tadi berpanas-panasan di tengah landasan pacu dan terlalu banyak keringat yang ia keluarkan. Belanda sempat keheranan kenapa Jepang yang durasi waktunya berjemur di bawah matahari sama dengan dirinya tidak mengeluarkan keringat sama sekali. Belanda segera membuyarkan lamunannya begitu dia tiba di dalam gudang kosong yang sangat luas dan lengang.

"Le-lepaskan aku, kepala tulip! Harusnya kamu tahu bahwa cengkeramanmu itu selalu menyakitkan!" seru Indonesia kesal dan menarik paksa dirinya dari cengkeraman tangan Belanda. Walaupun kedua alis Indonesia mengenyit dalam, namun mukanya sangatlah merah dan menunjukkan ekspresi malu daripada kesakitan. Bagi Belanda, hal itulah yang membuat Indonesia terlihat sangat imut saat ini.

Entah kenapa rasa malu dan kesalnya langsung terhapuskan oleh tawanya sendiri. Ya, baru saja dia tersenyum kemudian dilanjutkan dengan gelak tawa. Dia bisa mendengar sendiri tawanya membahana, memenuhi seisi ruang gudang. Kemudian dengan mata hijaunya yang mulai berair, dia bisa melihat ekspresi koloni kesayangannya menatapnya dengan penuh keheranan.

"Kenapa kau tertawa, tulip? Padahal…kita akan berpisah."

Tawanya langsung terhenti tanpa bekas.

"Dan waktu kita hanya lima menit untuk saling melemparkan salam perpisahan. Jadi…kenapa tidak segera saja kita akhiri ini…dan sudahi kekuasaanmu di sini."

Untuk pertama kalinya Belanda melihat ekspresi Indonesia yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

"Entah kenapa saat kekuasaanmu diambil alih oleh si alis tebal itu, perpisahaan saat itu tidak seberat ini."

Nafas Indonesia mulai tercekat dan mulai mempengaruhi efek bicaranya.

"Mungkin karena aku berfirasat bahwa aku akan dikuasai olehmu lagi? Memang terbukti, tapi entah kenapa aku merasa ini adalah akhir dari kekuasaanmu di negaraku."

Belanda mulai menahan nafas, pikirannya mulai memprediksi apa yang akan diucapkan oleh Indonesia selanjutnya.

"Mungkin saja perlakuan Jepang akan jauh lebih baik daripada perlakuanmu di sini. Entah kenapa aku jadi teringat saat aku kecil…baginda Raja Jayabaya banyak meramalkan nasibku di masa yang akan datang. Ramalannya memang terbukti, aku akan terlepas dari belenggumu namun kekuasaan Jepang kepadaku takkan berlangsung lama."

Prediksi Belanda meleset total. Sekarang dia tidak ingin mendengar apa yang akan diucapkan Indonesia selanjutnya.

"Aku akan merdeka dalam waktu dekat. Bebas dari kekuasaan manapun karena aku akan membangun kekuasaanku sendiri. Jadi, harusnya aku bahagia ketika hari ini akan datang, Belanda."

Belanda ingin segera menutup matanya rapat-rapat, dia tidak ingin melihat senyum yang perlahan-lahan mulai terkembang di wajah koloni kesayangannya.

"…tapi entah kenapa…rasanya berat untuk melepas kekuasaanmu. Memang sih, aku lebih banyak menderita daripada rasa senang dan manfaat yang kuterima. Jadi…"

Uh-oh, Belanda ingin segera meninggalkan tempat ini tanpa mendengar kalimat Indonesia selanjutnya.

"Selamat tinggal, Belanda. Aku banyak berterima kasih atas apa yang telah kau lakukan selama ini padaku. Aku bersumpah, suatu saat kau akan melihatku sama di matamu. Kau akan melihat aku adalah negara yang betul-betul bebas merdeka. Bukan lagi koloni yang harus kamu jaga dan dimanfaatkan."

Indonesia mulai menaikkan nadanya, senyum sudah terpasang manis di wajah yang dihiasi dengan optimisme tinggi. Diulurkan salah satu tangannya ke arah tangan kanan Belanda.

Awalnya Indonesia memang hanya bermaksud untuk berjabat tangan dan segera meninggalkan tempat, namun mendadak badannya ditarik paksa oleh Belanda ke dalam pelukan besar kompeninya.

"Perpisahan macam apa ini, Nesia? Aku tidak paham apa yang kau bicarakan."

Emosi Indonesia langsung meraih titik tertinggi dan langsung saja dia menarik badannya sendiri dari pelukan kompeninya. Sudah susah-susah menciptakan atmosfir yang penuh wibawa dan keformalan, justru dianggap tidak ada apa-apanya oleh kompeni tercintanya ini. Indonesia menghela nafas keras-keras dan tangannya mulai disilangkan di depan dadanya. Batuk kecil mengawali balasannya,

"BEGO! Jika kau tidak paham apa yang kumaksud, POKOKNYA TADI AKU MENEKANKAN BAHWA AKU AKAN SEGERA MERDEKA DARI SIAPAPUN!"

Ups. Padahal Indonesia sudah memasang pose penuh kewibawan dan kebijaksanaan. Namun emosinya baru saja meruntuhkan pose yang sudah disiapkan sebelumnya.

Oh bagus, pasti dia akan semakin berpikir bahwa aku memang betul – betul tidak pernah bisa menyusun kalimat perpisahan yang baik.

Namun di luar dugaan Indonesia, Belanda justru berjalan mendekat ke arahnya dan tangannya yang bersarung mulai mengelus lembut pipinya.

Hal yang tidak pernah ia lakukan sejak Indonesia mulai menjadi remaja dan terus melakukan perlawanan terhadapnya.

"Kau…serius ingin merdeka dariku?"

Indonesia mengernyitkan alisnya tajam. "Tentu saja. Kau pikir perjuanganku selama ini tidak mempunyai tujuan?"

Ekspresi yang ditampilkan Belanda membuat Indonesia terperangah. Dia tidak pernah menyangka ucapannya barusan bisa membuat Belanda mengeluarkan ekspresi tersebut.

Untuk pertama kalinya Indonesia melihat Belanda mempunyai ekspresi yang belum ia pernah lihat sebelumnya

Ingin rasanya Indonesia mengucapkan sesuatu untuk memperbaiki ekspresi kompeninya, namun Belanda hanya sekali menepuk pundaknya kemudian melenggang pergi dari dalam gudang.

Reaksi Belanda barusan sukses membuat Indonesia menjadi bimbang apa yang telah ia lakukan. Bukankah memang itu kata hatinya? Sesuatu yang ia inginkan dan selalu diperjuangkan setiap ada kesempatan? Kenapa saat kesempatan itu ada dan terbuka lebar, justru Indonesia merasa tidak nyaman?

Dan…setelah melihat reaksi Belanda seperti itu, Indonesia hampir saja mengurungkan niatnya.

"Wah…wah…tampaknya kau menjadi ragu. Bukankah itu yang sedang mengganggu pikiranmu, Indonesia?"

Di benak Indonesia masih terbayang – bayang ekspresi Belanda yang membekas kuat. Mata hijaunya yang bening tadi menatap tajam mata hitamnya dengan tatapan penuh harap. Harapan seperti 'bukankah kita akan selalu bersama?'

"Apa kau tidak menyadarinya, Indonesia? Sebenarnya Belanda tahu apa maksudmu."

"Eh?"

Kiku tertawa kecil. "Astaga, kalian kan sudah tinggal bersama selama hampir ratusan tahun. Bagaimana mungkin hal begitu saja kau tidak menyadarinya?"

Mata hitam Indonesia melebar. Jantungnya kembali berdegup kencang dan langsung saja dengan penuh semangat dia menghampiri Kiku. "Jadi…"

Kiku mengulurkan salah satu tangannya dan mengusap pelan rambut hitam setengah ikal milik Indonesia. "Yap, dia tadi hanya berpura – pura. Atau bisa saja memastikan seberapa jauh keseriusanmu untuk merdeka."

Amarah dan rasa jengkel langsung terkumpul di pikiran Indonesia. Ditepisnya tangan Kiku hingga tersingkir dari kepalanya.

Kiku sedikit terkejut dengan apa yang baru saja Indonesia lakukan terhadapnya. Namun dia memilih untuk tetap diam dan mengembalikan tangannya ke samping pinggangnya.

"Aku tidak pernah setengah – setengah untuk merdeka, Jepang. "

Kali ini Kiku dikejutkan kembali dengan pernyataan Indonesia barusan. Terdengar sederhana, namun tegas dan menyiratkan kemauan yang sangat. Kiku sekarang kembali menatap Indonesia lekat – lekat. Pandangan Indonesia memang lurus ke depan, tanpa ada keraguan untuk mundur. Posisi badannya tegap dan nafasnya teratur. Senyum kecil kembali mengembang di wajah sang pemuda Asia Timur tersebut.

"Lalu…apa yang akan kau lakukan jika seandainya aku memberikanmu kemerdekaan dalam waktu dekat ini?"

"Eh? Maksudmu? Jelaskan lebih rinci lagi!"

Kena

"Aku akan memberikan kemerdekaan kepadamu dalam waktu dekat."

Indonesia tidak percaya apa dengan apa yang baru saja dia dengar. Dia tidak tuli dan kalimat yang baru saja didengarnya memang terdengar jelas, namun sulit untuk diterima dengan akal sehat. Bagaimana mungkin suatu negara merebut koloni negara lain hanya untuk memberikan koloni tersebut kemerdekaan?

"Apa kalimat tadi masih belum jelas, Indonesia? Kau pasti berpikir kenapa aku berusaha keras merebutmu dari Belanda hanya untuk memerdekakanmu, bukan?"

Indonesia menggeleng dengan pasti.

"Misiku dari Omikami Amaterasu adalah membebaskan saudara – saudaraku dari kekuasaan negara barat. Termasuk kamu, Indonesia. Bisa dibilang aku adalah suadara tua kalian, jadi sudah sewajarnya jika sesama saudara harus saling membantu, kan?"

"…dan memerdekakan diriku termasuk kewajaran bagi sesama saudara?"

Kiku terkekeh pelan. "Astaga Indonesia, kau memang polos seperti apa yang Belanda ceritakan padaku. Akan kutekankan lagi maksudku untuk menyingkirkan kekuasaan Belanda adalah agar kamu segera mendapatkan kemerdekaan. Tidak hanya Belanda, saudara-saudaramu seperti Singapura, Malaysia, Filipina juga berhasil kusingkirkan kekuasaan dari negara-negara barat."

Indonesia memilih untuk tetap diam. Dia masih terpana dengan kalimat yang baru saja diucapkan oleh Kiku. Rasa tidak percaya ditambah dengan kenyataan bahwa kesempatan untuk merdeka terbuka lebar masih terus muncul di dalam nurani Indonesia. Indonesia menelan ludah keras – keras, kemudian dia membalas pernyataan Kiku dengan nada penuh keantusiasan.

"S-sungguh? Kau akan memberikan kemerdekaan kepadaku? Astaga Kiku…sebagai saudara justru aku belum bisa membalas apa-apa yang sudah kau berikan kepadaku." Indonesia menutup kedua matanya dengan kedua tangannya. Kiku bisa melihat bahwa Indonesia sedang menahan rasa gembiranya yang meluap-luap. Senyum Kiku makin melebar karena perangkapnya baru saja berhasil dengan mulus, tanpa ada rintangan.

Kini Kiku berjalan lebih dekat ke arah Indonesia, kemudian diletakkan kembali salah satu tangannya ke pundak Indonesia. Dengan masih senyum manis yang terpasang di wajahnya, Kiku mulai angkat bicara, "tentu saja kau bisa membalas apa yang baru saja kuberikan, bukan? Akan kuberitahu apa saja yang harus kau lakukan setelah Belanda menandatangani hak kepemilikanmu."

Masih terlarut ke dalam euforia yang masih memenuhi pikirannya, tanpa perlu berpikir panjang lagi Indonesia segera mengangguk dengan penuh keantusiasan. "Tentu saja! Bukankah begitu perlakuan terhadap sesame saudara?"

Arah tatapan Kiku beralih ke pintu keluar gudang penyimpanan yang terbuka lebar. "Aku ingin kau…"

~O~O~O~O~O~

Indonesia mengerahkan seluruh tenaganya ke arah gerak kaki larinya yang mulai berirama dengan nafasnya. Udara malam yang menusuk hingga tulang tidak dipedulikannya, dikarenakan panas yang mulai bereaksi di dalam tubuhnya karena kegiatan berlari yang sedang ia lakukan. Pandangan mata hitamnya fokus ke depan, arah gerak tangannya ke depan dan ke belakang secara bergantian, sesuai dengan gerak kakinya. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam spekulasi yang baru saja didengarnya.

Tentara Jepang sedang membongkar dan mulai menyegel semua bangunan yang berkepemilikan rakyat Belanda yang sedang bertempat tinggal di Indonesia.

Setelah yakin Indonesia telah tiba di tempat yang tepat, kedua telapak tangan Indonesia menyentuh lututnya sembari mengatur nafasnya. Tatapan matanya beralih ke arah bangunan yang memang dia maksud, beberapa detik kemudian matanya melebar.

Puluhan tentara Jepang sedang berkumpul di depan gedung. Beberapa dari mereka sedang berdiskusi dengan bahasa yang Indonesia tidak mengerti, beberapa masih sibuk memindahkan barang – barang yang aslinya dari dalam gedung ke luar gedung, sedangkan beberapa lainnya masih sibuk menangkapi orang – orang Belanda dengan tanpa perlawanan yang berarti.

Tidak tahu harus berkata apa, mata Indonesia langsung menyusuri di sekitar gedung bank tersebut. Mencari sosok yang tampaknya menjadi dalang penyegelan bank ini dan bisa ditanyai berbagai macam hal.

Ketemu

Walaupun di dalam kegelapan malam, bordiran emas yang terpasang di seragam militer Kiku bersinar terang karena terpaan sinar lampu minyak yang dibawa salah satu tentara Jepang. Tampak lampu minyak tersebut digunakan untuk membaca selembar kertas yang ukurannya cukup besar. Dan lagi – lagi, mereka sedang berbicara dengan bahasa yang Indonesia tidak mengerti. Setelah yakin bahwa sosok tersebut adalah Saudara Tuanya, Indonesia melangkahkan kakinya ke arah kumpulan tentara asing tersebut.

"Jepang," sahut Indonesia pendek namun volume suaranya dia buat agak lebih keras, sehingga ia tak perlu memanggil nama saudara tuanya dua kali.

Kiku menghentikan aktivitas berdiskusinya bersama tentara lain. Dilipatnya kertas besar tersebut menjadi empat bagian, kemudian dimasukkan ke dalam saku celananya. Ekspresi serius yang baru saja digunakannya langsung beralih ke ekspresi keramahan. "Ada apa, Indonesia? Jalan – jalan malam?"

"Tidak perlu berbasa – basi, Jepang. Bisakah kau jelaskan apa maksud dari menyita harta peninggalan milik Belanda di sini? Kau tidak pernah memberitahuku sebelumnya! Aku masih butuh dengan harta – harta mereka agar negara ini tetap berjalan!" bentak Indonesia dengan penuh amarah yang sudah melebur dengan kebingungan. Dia merasa tidak diperlakukan adil jika dia tidak tahu apa saja yang akan dilakukan Jepang di sini. Bukankah dia sudah menjanjikan kemerdekaan?

Kiku terdiam sejenak kemudian mulai berjalan mendekat ke sosok Indonesia yang masih melayangkan tatapan tajam ke arahnya. "Oh. Apakah penjelasan beberapa bulan yang lalu kurang jelas? Aku akan melepaskan semua kekuasaan Barat dari sini, Indonesia. Termasuk aku menyita semua aset milik Belanda. Aku menginginkan kamu agar bisa mendirikan segalanya dari rakyat Indonesia di negaramu sendiri."

"Ja-jadi, kau menginginkan agar negara ini bebas dari unsur Belanda?"

"Kau harus melupakannya segera. Sekarang kau adalah milikku dan aku adalah kompenimu. Harusnya kau diam saja dan ikuti apa yang aku perintahkan."

"Ta-tapi, bukankah kau menjanjikan kemerdekaan kepadaku?"

Indonesia bisa merasakan perutnya dihantam oleh sesuatu yang kuat dan penuh tekanan, yang tidak lain adalah kaki seorang perwakilan kekaisaran Jepang yang ekspresinya menyiratkan kesadisan yang tak terbayangkan. Selain terkejut, tentu saja Indonesia bisa merasakan ketakutan yang tak pernah ia rasakan sejak bertemu pertama kali dengan Jepang. Namun ketakutan mulai membayangi pikirannya ketika sebilah logam dingin menyentuh lehernya. Sebuah katana.

"Kemerdekaan tidak akan semudah itu diberikan dan didapatkan, bodoh. Kondisiku sekarang adalah berperang dengan sekutu atau negara – negara barat yang mempunyai banyak jajahan di seluruh Asia. Apa masih belum jelas di pikiranmu, aku harus membereskan semua tentara sekutu di sini, kemudian aku bisa memberikanmu kemerdekaan? Pikir baik – baik."

Mata hitam Indonesia terbuka lebar. Memang, setelah mendengar janji kemerdekaan dari Jepang sekitar beberapa bulan yang lalu membuatnya lupa diri dan tidak pernah terpikirkan bahwa kemerdekaan…masih jauh dari harapannya. Ditambah saat ini…badannya—tepatnya di perutnya—alas sepatu Kiku menempel di perutnya dengan penuh tekanan. Diperparah dengan keselamatan lehernya berada di keputusan pemilik katana tersebut.

Indonesia bisa mengartikan bahwa dirinya—tepatnya seluruh negaranya—sedang diinjak; atau lebih tepatnya sedang dijajah oleh Kekaisaran Jepang.

Kedua mata Indonesia menutup rapat. Lengkungan bibirnya menjadi lurus, kemudian dia menggigit bagian bawah bibirnya dengan cukup keras. Kenyataan memang berat. Seharusnya dia tahu ramalan Rajanya yang dulu menyatakan bahwa dia harus dijajah dulu, tidak langsung mendapatkan kemerdekaan.

Mata mirah Kiku memicing ke wajah Indonesia. Walaupun kedua mata Indonesia tertutup rapat, namun ia bisa merasakan bahwa Kiku sedang malayangkan tatapan menakutkannya kepada dirinya. Indonesia menelan ludah keras – keras . "Jika kau sudah mengerti, sebaiknya kau terus membantuku membereskan pasukan sekutu tersebut."

Setelah tekanan di perutnya dan di lehernya menghilang, Indonesia dengan susah payah segera berdiri dari sikap terlentangnya. Dibersihkannya tanah yang melekat di pakaiannya, kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada punggung Jepang. "Katakan rencana selanjutmu, Jepang."

Kiku membalikkan badannya sembari tersenyum, "kau bisa melihatnya besok. Intinya, aku hanya memintamu untuk terus mendukung perangku melawan sekutu tersebut."

~O~O~O~O~O~

Secarik kertas ditariknya dari celah antara pintu rumah dan lantainya. Kedua mata hitamnya mencoba mencerna apa maksud dari selebaran tersebut. Setelah paham, diletakkannya kertas tersebut ke atas meja terdekat dan menghela nafas keras – keras. Sekarang, dia semakin tidak bisa menebak apa yang diinginkan Jepang darinya dalam membantu perang melawan sekutu.


Bersambung?


Sesi membosankan tanpa tanggal karena…memang saya tidak bisa mencari sumber yang mencantumkan tanggal ._.

Sumber dari Buku Sejarah untuk SMP kelas VIII milik Pemkot Semarang ~ :3

[1] Penandatanganan penyerahan Indonesia dari Belanda ke Jepang, wakil dari Belanda diwakili oleh panglima tentara Belanda, bukan oleh Gubernur Jenderal. Dengan begini saat Jepang dikalahkan sekutu, Belanda bisa menguasai kembali Indonesia. Belanda berdalih karena ini merupakan penyerahan pihak militer Belanda, bukan pemerintah Belanda.

[2] Agar bisa terus melaksanakan ekspansinya dan mengalahkan sekutu, Jepang menggunakan propaganda bahwa dia adalah Saudara Tua Negara – Negara Asia, menjanjikan kemerdekaan, dan demi menciptakan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya, Negara jajahan harus membantu mereka berperang melawan sekutu.

[3] Jepang memeras kekayaan Indonesia dengan salah satu caranya adalah harta peninggalan milik Belanda disita seperti perkebunan, bank, pabrik, dan perusahaan – perusahaan vital seperti pertambangan, telekomunikasi, perusahaan transportasi dan listrik.

[4] Sekedar tambahan tak penting, batu rubi itu berwarna merah dan punya nama lain bernama batu mirah :B #plak.


Sesi berterima kasih [Abaikan lagi jika tidak tertarik atau berminat]


Buat anon seperti chiarii, randomize, mbak Berwald *plak*, sama Higa saya makasih banyak buat kesan dan voting kalian…*terharu*

Buat para pembaca yang login, nanti saya kreditkan kalian di akhir chapter deh 8'D


A/N : Boleh saya promosi? Saya mau promosi FF kolaborasi saya bersama Mint dari Apple – Mint Inversion yang bertemakan sejarah bercampur angst! Saya jamin sangat tidak mengecewakan karena saat itu saya masih berminat mendalami sejarah =w= *plak. Cerita tentang revolusi Amerika khukhukhu~ *plak*.

Maaf saya nggak nyangka bakal terjadi pemangkasan unsur sejarah seperti di atas ==". Saya hanya ingin menggali hubungan antar karakter (walaupun gagal ya? ._.).

BUTUH SARAN DAN KRITIK SEGERA!

Tekanan saya makin besar sejak FF ini mulai banyak dibaca, jadinya serba salah dan saya pesimis berat untuk menilai seberapa becusnya bagian ini ==;". SAYA MOHON MAAF DAN BAKAL BERUSAHA LEBIH BAIK JIKA BAGIAN INI MENGECEWAKAN! ;;A;; *sembah sujud minta ampun*

Bagian depan eksploitasi Jepang di Indonesia, syukur – syukur bisa sampai ke Proklamasi dan balik lagi ke perang antara AS – Jepang =w=";. Sampai ketemu di bagian selanjutnya~ semoga saya nggak kena WB ganas dan akut lagi :'D #ditendang.