Standard disclaimer applies

Akhirnya bisa di-update juga *tepar* Maaf, telat hampir seminggu dari Halloween. Life's been really hectic. Yang berani bilang kuliah lebih nyantai daripada SMA, sini, saya jejelin lollipop rasa wasabi (abaikan orang galau ini -plak-) Oh. Dan balasan untuk review anon:

Minazuki Zwei: Nggak apa-apa, makasih udah review :) Ehh sekuel? Waduh kayaknya nggak bisa…saya bingung gimana ngelanjutinnya dan memang dari awal sudah berencana cuma segini. Maaf lho… *bungkuk*

MariaDesu: Makasih reviewnya. Yup, ini sudah diupdate :)

RaquelCarriedo nantiahloginnya: Lanjutannya di sini~ Semoga anda menikmati.

Ok…on with the story!

Warning: very mild kissing, but I'm not telling who—well, it's pretty guessable I guess ;p

Happy reading~!


HAUNTED HOUSE

-chapter three-

"Emm... Lovi? Kayaknya...kita terkurung, nih."

Lovino hanya mendengus melihat Antonio tertawa gugup, jemarinya masih memencet tombol elevator dengan sia-sia, berusaha membuat benda macet itu kembali berfungsi. Begitu pintunya tertutup, entah kenapa aliran listrik langsung terputus, memerangkap mereka berdua di dalam elevator laknat itu.

Berdua. Hanya dirinya dan si Spaniard bego yang baru bulan lalu jadia—CORET YANG BARUSAN. Bukan konsumsi publik.

"Cih. Di dalam sini nggak ada sinyal lagi." Pemuda Italia itu memasukkan kembali hp-nya ke dalam saku, alis auburn-nya bertemu. Dia ingat Feliciano sempat menjerit sesaat sebelum pintu elevator laknat itu menutup. Jangan-jangan, adiknya itu...

Antonio menghela napas, sudah menyerah memenceti tombol yang jelas-jelas tidak berfungsi.

"Terus gimana, dong? Senter sama peta-nya kan masih di aku, kasihan Ludwig sama yang lain..."

Lovino harus menahan hasrat untuk tidak facepalm. "Bego! Di saat seperti ini masih juga mikirin orang lain! Kita kekurung, goblok, KEKURUNG! Tinggal tunggu waktu sampai oksigen menipis terus kita tercekik, mati, terus..."

"Mmm Lovi, kamu agak lebay..."

"...terus kalo kita udah jadi hantu, sumpah, gue bakal menghantui adek goblok itu sama si otaku-bastardo atau siapapun sekongkolannya..."

"Errr... Lovi..."

"...sampe mereka harakiri ato gantung diri di gunung Fuji! Jangan dikira mentang-mentang gue tsundere terus enggak peka, ya! Gue udah bisa nebak akal bulus mereka..."

Antonio tidak mendengarkan. Mata hijaunya melebar ketika senternya menyorot pemuda Italia yang masih menyumpah-nyumpah. Atau lebih tepatnya, ke sosok di belakangnya.

"...Lovi? Apapun yang terjadi, jangan lihat ke belakang."

Sungguh, tidak ada gunanya Antonio mengambil kelas psikologi semester ini. Masih saja dia tidak bisa membaca situasi. Bukankah memang sudah menjadi hasrat manusia untuk melanggar apa yang dilarang? Lovino serta merta menolehkan kepalanya ke belakang, mata hazel-nya menyipit mencoba melihat menembus kegelapan.

Dan langsung bertatapan dengan mata merah yang mengalirkan darah, wajah pucat berbingkai rambut awut-awutan. Sosok berjubah itu menyeringai, memamerkan sederetan taring berbalut saliva, sebelum menjulurkan tangannya dan menarik korbannya yang kian memucat itu ke dadanya, perlahan mendekatkan taringnya ke leher sang pemuda Italia...

"CHIGYAAAAA!"


"Tidak bisa. Pasti listriknya putus atau semacamnya" Ludwig berhenti memencet-mencet tombol elevator dan berpaling menatap rekan-rekannya. "Mereka berdua terperangkap di dalam sana."

"Emm...perlukah kita mencari pertolongan?" Tino bertanya, kekhawatiran terdengar jelas di nada suaranya.

"G'm'na c'r'nya? S'n'ter d'n p't'nya d'p'g'ng si C'rriedo." Dengan ini terpecahkan sudah rekor kalimat terpanjang Berwald.

Ludwig harus menahan diri untuk tidak mengacak rambutnya yang tertata rapi karena frustrasi. "Aku sudah berusaha menghubungi Honda, tapi tidak nyambung entah kenapa."

Tentu saja. Honda Kiku saat ini hanya akan menjawab panggilan dari Feliciano Vargas seorang. Ah, kalau saja mereka bisa melihat seringai Feliciano yang tersembunyi kegelapan...

"Ngomong-ngomong, tadi kamu kenapa, Feliciano? Tiba-tiba teriak begitu. Kamu melihat sesuatu?" Ludwig mendadak bertanya, mata birunya menatap tajam siluet yang dia harap adalah si pemuda Italia.

Mata hazel itu melebar dalam ekspresi kepolosan. "Vee! Iya, tadi aku merasa ada yang nyolek pundakku, makanya aku jadi takut dan memeluk Tino! Maafkan aku, vee!"

Air mata mulai menggenangi mata hazel itu, walaupun tentu saja tidak ada yang bisa melihatnya. Ah Feliciano, aktingmu sungguh menyeluruh...

Tino langsung mendekati Feliciano, menepuk-nepuk pundaknya dengan penuh keibuan. "Sudahlah, Feliciano. Tidak apa-apa, tidak ada yang menyalahkanmu..." Pemuda Finlandia itu lalu mengangkat wajahnya menatap kedua sosok yang menjulang tinggi di atasnya, samar-samar oleh kegelapan.

"Lalu, sekarang sebaiknya bagaimana? Kita tidak bisa di sini selamanya..."

"Vainamoinen benar. Kita harus bergerak."

"K'm'na?"

"Kita coba cari tangga. Tadi sewaktu kita melihat peta, aku ingat melihat tangga dekat-dekat sini. Kita cari tangga itu, turun ke lantai satu, dan langsung menuju lobi." Ludwig menerangkan, mendengar Berwald bergumam mengiyakan.

"Ide bagus. Kalau boleh menyarankan, bagaimana kalau kita bergandengan tangan supaya tidak terpisah-pisah? Di sini gelap sekali..." Tino mengusulkan, jemarinya sudah menggandeng tangan Feliciano. Ludwig dan Berwald bertukar pandang dalam gelap sebelum mengangguk. Maka mulailah keempatnya berjalan menembus kegelapan…


"ADUH! Alfred, you GIT! Udah tahu tembok diem masih ditabrak juga! Turunin gue sekarang! Gue mau jalan sendiri aja!"

"T-Tapi hantu yang barusan serem banget, Art! Tahu-tahu nongol gitu aja dari dalem sumur..."

"GUE GAK PEDULI POKOKNYA TURUNIN GUE SEKARANG SEBELUM GUE CEKEK LO BIAR JADI SATU SAMA MEREKAA! DASAR LO GAK BECUS NYARI JALAN KELUA-"

"Ah, Arthur! Di situ kayaknya ada orang! Ayo, kita tanyain pintu keluarnya di mana!"

"Tung- oi... bloody hell, Alfred! Dengerin orang ngomong, you git! DAN TURUNIN GUE SEKARANG!"

Dan derap langkah diikuti sumpah serapah kembali mengisi koridor yang gelap.


"Y'kin ini j'l'n y'ng b'nar?"

"Tidak terlalu yakin sih, tapi mestinya di sekitar sini."

"Vee...Tino, kita mau ke mana sih sebenarnya?"

"Kita sedang mencari tangga. Kita harus turun ke lantai satu untuk mengabari organizer bahwa Antonio dan Lovino terperangkap dalam elevator..."

"Ohh begitu. Ah! Mungkin di sebelah sini!"

"Darimana kamu ta- Ah! Tunggu, Feliciano! Kenapa tiba-tiba..."

"T'no?"

"Oi, ini siapa yang tiba-tiba narik gini?"

"Vee! Aku tadi denger suara-suara aneh dari sana, mungkin aja itu jalan keluarnya!"

"Suara aneh?"

Firasat buruk mulai menghampiri Ludwig, Berwald, dan Tino. Apalagi ketika mendengar sendiri suara yang dimaksudkan oleh Feliciano.

"Kicir... Kicir kicir... Ini lagunya..."

Suara itu tidak jelek, cukup mendayu, tapi entah kenapa mendirikan bulu kuduk. Mungkin karena efek kegelapan total yang membuat mereka bahkan sukar melihat rekan sendiri. Berwald merasakan tangan Tino—setidaknya dia berharap itu tangan Tino dan bukan makhluk lain—mengerat di sekeliling jemarinya. Di sebelahnya, Ludwig menelan ludah dengan sangat ketara. Feliciano, anehnya, masih tampak ceria.

"Vee! Ada yang nyanyi ternyata!"

Terlalu ceria, malahan.

"F-Feliciano... K-Kayaknya arahnya bukan ke sini, deh..." Tino tertawa gugup, berusaha menarik pemuda Italia itu kembali ke jalan yang benar. Anehnya, tangan Feliciano kali ini tak bergeming.

"Lagu lama... yang datang... dari Jakarta..."

"Ah! Di situ juga ada cahaya! Jangan-jangan, itu Fratello Antonio yang nyanyi! Suara Fratello Antonio kan, bagus dan logatnya seksi gitu..."

"Memangnya suara Carriedo setinggi ini? Lagipula, lagunya kok terdengar seperti..."

"Ayo, kita lihat!"

"Tunggu, Feliciano! K-Kalau dipikir-pikir, harusnya Antonio dan Lovino saat ini masih..."

Terlambat. Keempatnya kini sudah berada dalam sebuah ruangan. Cermin besar menempel di dinding keramik, memantulkan cahaya lembut yang berasal dari sudut di balik tikungan.

"...s'p'rti to'let."

"Ini memang toilet! Sudahlah Feliciano, kita pergi dari sini! Perasaanku nggak enak..."

"Vee...Tapi, gimana kalau ternyata itu beneran Fratello? Coba masuk dulu yuk, vee!"

"Feli- tung-"

Lagi-lagi, terlambat. Entah bagaimana, Feliciano sudah menyeret mereka sampai membelok tikungan. Sekarang, keempat pasang mata berbeda warna itu menatap sebuah sosok yang bersimpuh di lantai, sebatang lilin menyala di depannya. Sosok itu berada di posisi nyaris membungkuk, menyembunyikan wajahnya di balik tirai rambut hitam panjang. Anehnya, tembang lembut yang dinyanyikannya tidak terdengar teredam atau apapun juga.

"Saya menyanyi, ya tuan... memang sengaja..."

Sosok itu perlahan mengangkat kepalanya, rambut hitam panjang itu tersibak helai demi helai, menampilkan seraut wajah yang...tidak ada. Tidak ada wajah. Bahkan Berwald pun merasakan bulu kuduknya meremang.

"Tuk menghibur... hati yang luka..."

Sebentuk bibir muncul di kulit kosong itu, sudut-sudutnya mengarah ke atas dalam seringai menyeramkan.

"Hati yang luka..."

Lilin itu mendadak padam. Hawa dingin menyergap, tawa riang bergaung sejenak di telinga mereka, dan seringai tanpa wajah itu tahu-tahu sudah ada di depan mereka. Tersenyum lebar.

"GYAAAAAAAAAAAAHHHH!"


Honda Kiku harus menahan jemarinya yang sudah gatal ingin menggoreskan buah pikirannya ke sketch-book kesayangannya. Bagaimana tidak, di sampingnya kini sedang ada sosok Alfred F. Jones tengah menggendong Arthur Kirkland bagaikan sepasang kekasih yang baru saja mengikatkan benang merah. Dia tidak tahu mana yang lebih beruntung, mereka atau dirinya, di saat Alfred tiba-tiba berlari mendekatinya, berteriak-teriak lega dengan suaranya yang seperti toa. Tadinya dia sudah mempertimbangkan diri untuk kabur—bagaimanapun juga Alfred adalah partisipan, sementara dia adalah organizer—namun niatnya itu luruh secepat blok garam di lautan begitu melihat sosok Arthur Kirkland tengah blushing dalam gendongan sang American. Ahh, salahkah bila tadi dia nyaris mimisan?

"Kiku, jadi kita mau ke mana nih?" Pertanyaan riang itu memindahkan alam pikirannya yang sudah berkelana ke dunia rate M kembali ke dunia nyata.

"Ah iya. Tadi, saya mendapat laporan dari Herakuresu-san selaku pelaksana teknis bahwa elevator sedang macet. Saya kemari untuk memperbaikinya, karena elevator itu kebetulan bagian dari atraksi ini."

Yang tentu saja adalah dusta. Tentu tidak perlu diungkapkan bahwa sang Grecian itu sesungguhnya tengah tidur lelap dikelilingi kucing-kucingnya, dan dirinyalah yang sebenarnya mengontrol elevator itu. Sebetulnya, bisa saja dia mengurus benda elektronik itu dari ruang kontrol tapi... kalau begitu dia tidak akan bisa menerima imbalannya kan? Dia sudah memenuhi perjanjiannya dengan Feliciano untuk 'membantu mencomblangkan' Antonio dan Lovino—memang sih mereka sudah jadian sekitar sebulan, tapi menurut Feliciano mereka masih butuh dorongan, terutama kakaknya yang suka malu-malu-tapi-mau. Yah pokoknya, sekarang dia bukan hanya berpotensi mendapatkan bahan doujin SpaM*no, melainkan juga US*K. Sungguh beruntung dirinya ini...

"GYAAAAAAAAAAAAHHHH!"

Terdengar suara jeritan, bergaung dan penuh teror. Alfred dan Arthur langsung terdiam, bulu kuduk langsung meremang.

"K-Kiku…y-yang barusan itu…" Alfred tidak menyelesaikan kalimatnya karena sibuk menelan ludah dengan susah payah.

"Hmm. Sepertinya datang dari arah toilet." Seulas senyum muncul di bibir sang pemuda Jepang, tersembunyi oleh kegelapan.

Yang barusan... Bahkan Okisensusheruna-san juga ikut menjerit ya? Sepertinya anda agak terlalu berlebihan, Neshia-san...

Teriakan itu terdengar makin keras dan dari kejauhan terdengar suara derap langkah. Kiku mengarahkan senternya menerangi koridor di depannya dan benar saja; dalam hitungan detik empat siluet tampak berlarian, berteriak-teriak ketakutan.

"Minna-san. Ini saya, Honda Kiku. Harap tenang…" Pemuda Jepang itu mengumumkan sambil menggoyang-goyangkan senternya bak penjaga mercu suar.

Keempat orang itu langsung menoleh, ketakutan yang serupa mewarnai wajah mereka, lalu serta-merta langsung berlari ke arahnya.

"Kikuuuu! Aku takut sekali, vee!"

"Ah, ada Alfred dan Arthur! Kalian selamat rupanya!"

"…."

"Honda! Syukurlah kamu bawa senter! Dengar, tadi Carriedo…"

"Saya sudah dengar soal Kariedo-san dan Roviino-kun. " Kiku memotong dengan sopan, menatap keempat peserta yang baru datang itu. Mereka masih tampak agak pucat. Nanti mungkin sebaiknya dia minta Eduard menunjukkan rekaman kamera tersembunyi di toilet. Siapa tahu ada adegan-adegan ekstra.

"Sekarang…bagaimana kalau kita kunjungi mereka?"


Lovino Vargas tidak menyukai kegelapan. Dia tidak suka saat pandangan matanya terbatas, membuatnya tanpa pertahanan dan siap diserang kapan saja. Heh. Bukan salahnya kalau dia tampan, bergaya, dan seorang Italian sampai banyak orang terpesona padanya-termasuk 'hantu' gila yang nyaris me...me...sebaiknya tidak usah diingat. Ya, karena itulah dia tidak menyukai kegelapan. Bukan karena dia tidak bisa melihat sepasang mata hijau terang yang pasti sedang memandangnya dengan penuh kekhawatiran, melihat alis cokelat itu beradu dengan begitu simetrisnya, melihat...

"Lovi, kamu nggak apa-apa kan?"

Suara itu datang dari suatu tempat di sebelah kanannya. Sangat dekat. Sang pemuda Italia bisa merasakan wajahnya memerah seketika.

"C-Cih. Selain nggak bisa ngeliat keriwilku sendiri, aku nggak apa-apa, bodoh. Kamu sih, pake acara ngerusakin senternya segala. Sekarang kita sama sekali nggak punya penerangan, kan!"

Benar. Detik begitu taring si 'hantu' menyentuh kulitnya, Antonio langsung menghajar kepala si 'hantu' dengan senternya. Aksi itu langsung diikuti kegelapan total begitu si senter pecah, dan yang berikutnya dia tahu hanya suara gedubrakan dan sumpah serapah dalam bahasa Spanyol. Beberapa saat kemudian Antonio menyerukan namanya lalu menarik tangannya, mengajaknya ke salah satu sudut di mana mereka duduk berdua sampai sekarang, menunggu pertolongan datang.

Menit berlalu dalam diam. Begitu matanya mulai membiasakan diri pada kegelapan, Lovino melihat gundukan tepat di seberangnya. 'Hantu' yang tadi mengganggunya.

Dia mendengus.

"Kau kan tidak perlu menghajarnya sampai seperti itu," komentarnya. "Kasihan, dia cuma menjalankan tugas."

"Dia pantas dihajar." Antonio menjawab datar. Lovino menoleh menatap siluet sang Spaniard, yang walaupun dalam gelap, dia bisa menangkap matanya berkilat berbahaya. "Dia menyentuh Lovi. Tidak ada yang menyentuh Lovi-ku dan boleh hidup setelah itu."

Ketika Antonio menoleh menatapnya, matanya entah bagaimana sudah kembali ceria seperti biasa. "Karena Lovi milikku seorang, ya kan?"

Lovino tidak tahu dia harus merinding atau tersanjung mendengar pernyataan itu. Dia berdeham, sedapat mungkin menyembunyikan warna merah yang mewarnai wajahnya. Dia sudah tahu Antonio memang sedikit bipolar, tapi mendengarnya seposesif ini... untuk pertama kali...

"Tadi...di sini ya?"

Lovino tersentak ketika jemari sang Spaniard mulai menelusuri dadanya, perlahan naik ke kerah bajunya. Darah mengalir deras ke wajahnya, menyuplai blushing di pipinya ketika dia merasakan napas Antonio begitu dekat dengan dadanya.

"...tempat si vampir sialan itu hampir menggigitmu..."

Sudahkah dia menyebutkan bahwa hawanya mendadak jadi lebih panas? Pemanasan global sialan...

"I-Itu tulang selangka, bego!"

Dia hampir bersumpah bisa merasakan Antonio terkikik kecil di dadanya.

"Mmm kalau begitu di sini~"

"C-Chigi! I-Itu jakunku!"

"Ah. Kali ini pasti bener..."

Ya. Kali ini bukan jemari yang bermain, tapi benda asing panjang yang hangat dan lembab. Lidah. Si bangsat itu menjilati lehernya!

B-Bukannya itu tidak terasa n-nikmat a-atau semacamnya sih...

"Mm...Lovi lezat sekali... Pantas saja hantu sialan itu mau merebutmu tadi..." Napas panas Antonio beradu dengan begitu sempurna dengan kulitnya yang mulai memanas oleh darah muda yang bergejolak. "Tapi... tidak ada yang boleh mencicipi Lovi yang lezat ini. Tidak sebelum aku melayangkan gigitan pertama..."

Lovino mengerang keras ketika gigi Antonio melakukan kontak dengan lehernya, dengan lembut menghisap kulitnya. Menandainya sebagai miliknya.

"B-Bas- Mmmnn... Bastardo..."

Spaniard itu tertawa kecil, mengubah posisinya sampai Lovino bisa merasakannya berada di depannya, kedua tangannya menopang berat tubuhnya di dinding di kedua sisi sang Italian. Lovino bersumpah dia sempat melihat seringai sekilas sebelum Antonio kembali membenamkan kepalanya ke lehernya.

"¿Te gusta, Lovinito?"

Damn bastard. Selalu tahu apa yang dia inginkan. Perlukan dia memberi jawaban?

"Ahh... ¿quieres más?"

Damn Antonio and his freaking build-in tsundere-translator...

Lovino tidak punya waktu untuk bahkan mengeluarkan desahan ketika bibir Antonio menyegel lembut bibirnya, perlahan memainkan lidahnya dengan sangat...sensual. Dia memang pernah dengar orang Spanyol terkenal jago mencium, tapi... hell, bahkan waktu mereka pertama kali jadian pun Antonio tidak se...senafsu ini.

Kedua bibir itu berpisah untuk kembali mencecap udara, namun Antonio tidak membiarkannya beristirahat. Dalam hitungan detik dua kancing atasnya sudah terbuka, menampilkan tulang selangka dan bagian atas dadanya. Cih. Sudah kepalang tanggung. Sebelum Antonio sempat menyerang bagian tubuhnya yang lain, Lovino membenamkan tangannya ke rambut ikal pasangannya, menariknya semakin dekat sambil balas menyeringai.

Jangan dikira cuma orang Spanyol doang yang jago nyium, bodoh!

Bahkan tanpa membuka matanya, dia tahu mata hijau itu pasti tengah terbuka lebar dalam keterkejutan. Tangannya berpindah dari rambut ke tengkuk Antonio, semakin menariknya ke dalam ciuman panas. Dalam kegelapan itu sudah sukar melihat tangan siapa milik siapa, mendengar suara selain desahan keras yang dikeluarkan mereka berdua...

"Vee! Fratello menggerayangi Fratello Antonio!"

"...glek"

"Gila, tsundere-tsundere gitu buas juga ternyata, si Lovino. Art, kamu bisa kayak gitu nggak?"

"Lo minta dijejelin scone bikinan gue, git?"

"...Su-san, aku malu..."

"...'ku iri..."

"Ah. Sumimasen, sepertinya kami datang di saat yang kurang tepat..."

Tarik kata-katanya barusan. Lovino Vargas sangat menyukai kegelapan. Atau apapun yang bisa menutupi keadaan mereka berdua yang tengah disinari cahaya senter pemuda Jepang sialan itu bagaikan bintang utama disorot spotlight di atas arena. Ditonton enam orang bertampang mangap seperti arwana kekurangan oksigen—minus Berwald yang tetap tanpa ekspresi seperti biasa tentunya. Tunggu, yang mengaliri hidung Berwald itu...darah? Demi scone rasa tomat, bahkan sampai Berwald pun mimisan melihat mereka?

"Ahaha. Jadi...umm enaknya kita lanjutin di mana?" Antonio tertawa gugup, tampak sudah kehabisan kata-kata.

Lovino bisa merasakan darah kembali naik ke kepalanya, namun kali ini bukan membawa kenikmatan. Melainkan kemurkaan. Dia berdiri, menarik keluar sebuah Colt 1191 dari saku jaketnya. Mereka semua, termasuk Antonio, langsung bungkam melihat senjata api yang biasanya dibawa mafia itu.

"LUPAIN YANG BARU AJA KALIAN LIAT, SIALANNN!"


"Berisik sekali, aru." Wang Yao menggerutu, menumpuk koin demi koin yang menjadi penghasilan mereka hari ini. Dari kejauhan terdengar suara teriakan teredam dan...yang barusan itu suara tembakan? Ah, pasti dia hanya membayangkan. Cuma orang kelewat paranoid atau punya koneksi dengan mafia yang cukup sinting untuk bawa-bawa senjata ke sekolah.

"Dikirain gampang apa, menghitung beginian. Anak jaman sekarang, aru..."

"Mm~? Memangnya, Jao bukan anak jaman sekarang, da?" Ivan Braginski berkata riang, tiba-tiba mengalungkan tangannya yang besar di bahu mungil pemuda China itu, membuatnya teratuk meja tempat dia menyusun koin-koinnya.

"Ivan! Lihat apa yang kauperbuat, aru! Sekarang aku harus menyusun semuanya dari awal! Ini semua salahmu, aru!" Yao mengeluh, telapak tangannya bertemu dahinya dalam keputusasaan. Sia-sia sudahlah hasil kerjanya tiga jam terakhir.

Ivan sebaliknya, malah tertawa kecil dan pada saat bersamaan mencengkeram lengan Yao yang tengah terulur untuk mengumpulkan koin-koin yang tercecer.

"Baiklah, aku yang salah. Sekarang...biarkan aku bertanggung jawab, da?" Senyum kekanak-kanakan sang Russian berubah menjadi seringai tak terbaca ketika dia memegang dagu si pemuda China, perlahan menuju bibirnya yang separuh terbuka...

Sampai pintu yang menjeblak terbuka membuyarkan momen yang telah dinantinya.

Yao berpaling cepat sebelum bibir mereka sempat bersentuhan, rona merah sedikit mewarnai wajahnya. Mata madunya sengaja menghindari mata violet sang pemuda Russia ketika dia melihat sepupunya bersender di pintu depan, tampang sedikit pucat terengah-engah.

"Kiku? Kau tidak apa-apa, aru?"

Yang ditanya hanya menutup pintu perlahan, tampak malu tadi lepas kendali sejenak, lalu berdeham.

"Ti-Tidak apa-apa. Saya sudah berhasil mengantar para peserta pulang. Dengan ini, rumah hantu Obakeya resmi tutup untuk hari ini. Otsukaresamadeshita, minna-san." Pemuda Jepang itu membungkuk sopan, sedapat mungkin menyembunyikan bercak cat yang menodai lengan siku bajunya. Untung saja Lovino masih cukup waras untuk hanya mengisi pistolnya dengan peluru cat. Kalau sampai peluru betulan, pasti sudah melayanglah nyawa Alfred yang kena tembak tepat di jidat—yang membuatnya jatuh terjengkang bersama Arthur dan berakhir dalam posisi...silakan dibayangkan sendiri—dan Ludwig yang terkena di daerah...yang sangat menyakitkan bagi kaum pria.

Yah pokoknya, yang penting sekarang mereka semua sudah pulang dengan penuh kedamaian, dan dia sudah mendapatkan bahan doujin yang dibutuhkannya. Walaupun harus diakui, adegan Antonio dan Lovino itu jauh melebihi perkiraannya. Mungkin lain kali dia harus mencoba mengurung keduanya di loker gymnasium. Lebih sempit, lebih panas, lebih berpotensi untuk…

"Kamu juga Kiku, kau sudah berjuang keras." Elizaveta Herdervary tersenyum, mengulurkan segelas lemon tea buatannya sendiri, yang diterima Kiku dengan penuh syukur.

"Terimakasih, Erizabeeta-san. Suara jeritan yang anda keluarkan waktu itu sangat meyakinkan."

Dia melempar senyum pada gadis Hungaria itu, yang membalasnya dengan tawa renyah. "Mungkin iya, tapi tetap saja tidak sesukses Ivan. Dia berhasil bikin si Alfred itu lari tunggang langgang hanya dengan mencolek bahunya, kau tahu?"

"Da. Si Jones saja yang terlalu gampang ditakut-takuti. Mestinya tadi aku coba mencolek si Kirkland saja ya... Kayaknya bakal lebih seru, da." Sang Russian berkomentar riang, mengayun-ayunkan pipa air yang didapatnya entah dari mana.

Kiku tertawa gugup dan cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke kru-nya yang lain.

"Ah, Furanshisu-san? Wajah anda..."

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Francis Bonnefoy langsung meledak dalam tangisan lebay, menutupi mukanya yang lebam dengan tangannya. Kiku menatap Elizaveta dengan pandangan heran, minta penjelasan.

"Jangan tanya aku. Dia sudah begini sejak kembali dari pos-nya di terowongan. Entah dia diapain sama Berwald tapi yang jelas, sekarang dia trauma." Gadis berambut cokelat itu menjelaskan, menepuk-nepuk punggung pemuda Perancis itu penuh simpati.

"Heh, bukan cuma kamu yang sial, gitu loh!" Feliks Łukasiewicz nimbrung dengan logatnya yang tidak biasa. "Mereka nggak ada yang ketakutan ngeliat aku, masa! Salah satu malah dengan beraninya bilang aku imut! Padahal, kan, aku udah pake topeng serem, gitu loh! Hihhh dasar orang-orang gak berselera!" Pemuda Polandia itu curhat sambil mengibaskan rambut pirang sebahunya.

"Kau masih beruntung, Feliks..." Sahabat dekat Feliks, Toris Lorinaitis, ikutan curhat dengan muka merana. "Tadi waktu lagi nakut-nakutin mereka aku dengan begonya nabrak meja. Udah diketawain abis-abisan, salah satu dari mereka malah nawarin bantuan. Memangnya aku segitu menyedihkannya ya..." Pemuda Lithuania itu langsung pundung di pojokan, menangisi harga dirinya sebagai jadi-jadian yang tergradasi dengan kejam.

"Ngomong-ngomong Kiku, Gilbert mana? Masih jaga di elevator?" Elizaveta berusaha mengalihkan pembicaraan yang makin lama makin emo.

Kiku menggerak-gerakkan kakinya dengan gelisah. "Ahh. Bairushumitto-san sekarang sedang ada di UKS. Dia agak...ah, kurang beruntung bertemu Kariedo-san…"

Mata hiijau Elizaveta melebar. "Hah? Gilbert dihajar Antonio? Kok bisa?"

"Soal itu saya juga kurang tahu detailnya. Nanti saja kita minta Eduarudo-san menunjukkan rekaman dari kamera tersembunyi di elevator. Ah kebetulan, saya juga ingin coba melihat rekaman bagian toilet, pos-nya Neshia-san. Sepertinya kita sukses besar di sana, para peserta tadi menjerit keras sekali..."

Tepat saat itu, seorang gadis berambut hitam panjang melongok ke dalam ruangan, ekspresinya menyiratkan kepanikan.

"Mbak Eliza! Bisa tolong bantuin bentar di dapur? Si Willem bego itu tadi bikin kompor meledak, dan gawatnya sudah berjam-jam kita gosok jelaganya nggak hilang-hilang juga. Kalau Mas Kiku sampai ta-" Kalimatnya terputus ketika mata hitamnya bertemu mata cokelat gelap si pemuda Jepang. Gadis Indonesia itu langsung memucat.

"M-Mas Kiku! I-Ini bukan seperti yang anda kira! Saya sudah berusaha mencegah tapi si kepala tulip itu ngotot masukin arang ke kompor minyak..."

"Neshia-san," Kiku memotong pembelaan Nesia dengan sopan, firasat kurang enak mulai merasuki pikirannya. "Tadi…anda bilang anda berada di dapur? Sejak kapan?"

Gadis itu mengedip, kaget seniornya yang terkenal disiplin itu tidak menegurnya. "Ah. Engg sejak...tiga jam yang lalu, mungkin?"

"Terus, bagaimana dengan pos anda di toilet?" Kiku mulai merasakan keringat dingin merayapi wajahnya. Di sisi lain, Nesia malah jadi tambah panik dan kebingungan.

"Aduh! Saya benar-benar lupa! Pos itu nggak ada yang jaga! Duhh…maafkan saya, mas! A-Anda tidak marah kan?"

Kiku tidak mendengarkan Nesia yang berulang kali minta maaf, benaknya berusaha mencerna informasi yang baru diterimanya. Nesia dan Willem sudah berjam-jam ada di dapur, memperbaiki kompor meledak. Jadi, seharusnya di toilet sedang tidak ada orang? Kalau begitu, yang tadi berada di toilet dan membuat Ludwig dan yang lain sampai teriak-teriak ketakutan itu...

...siapa?

Bahkan di saat dia merasakan seolah sepotong es meluncur ke dalam perutnya, dia bisa mendengar sebuah senandung samar-samar dari sudut ruangan.

Kicir... Kicir kicir...

-fin


A/N: Akhirnya... *tepar* Congrats untuk Eka Kuchiki-san yang berhasil menebak Ivan dan Francis sebagai hantunya. Dan kredit untuk Hana Senritsu-san atas sarannya untuk memunculkan hantu beneran. Dan lagu 'Kicir-Kicir' itu...sebenernya asal nyomot aja. Tadinya mau pake lagu 'Bengawan Solo' tapi males nyari liriknya, ya sudah pake yang ingat saja akhirnya. Anggaplah di sini lagu 'Kicir-Kicir'-nya rada mellow dan mistis gitu *digampar karena seenaknya*
Dan soal logatnya si Feliks...karena di anime dia ngomong pakai Nagoya-ben, di sini saya bikin rada-rada...genit gimana gitu. Hehehe *dilindes Feliks FC* Oh, dan Willem di sini maksudnya Netherlands, nyomot dari fanfic Godfather karya arekey-san. Fic-nya keren banget lho! Mafia mafia gitu~ *kokjadipromosi*
Oh. Dan apakah chapter ini rada menyerempet ke M? Perlukah saya ganti ratingnya? Soalnya terus terang waktu nulis bagian AntoLovi (atau LoviAnto, yang mana sajalah -plak-) saya…ah, agak keterusan *ditendang* Dan di sini Indo-tan saya bikin jadi cewek. Gomen, buat yang mengharapkan male!Indo, tapi untuk cerita ini rasanya lebih masuk kalo Indo jadi cewek. Kapan-kapan aja ya, saya bikin oneshot (hopefully historical) dengan male!Indo… (jangan tebar janji kamu nak! *ditampol*)

Err…kritik, saran maupun komen lewat akan sangat dihargai. Sekali lagi, maaf karena tidak bisa memenuhi deadline… *dipecat pemredaksi*

Terimakasih sudah membaca :)

Regards,

Ryokiku